Layanan Jasa Konsultasi.

Kami dapat memberikan JASA Nasehat Kebijakan terhadap Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan; Pengadaan Barang/Jasa Konstruksi (Perencanaan - Persiapan - Pelaksanaan - Kontrak); dan Pemenangan Tender. Kami juga membantu membuat Kebijakan Perusahaan (Peraturan Direksi dan Dokumen Tender). Hubungi bonatua.766hi@gmail.com

Translate

Tampilkan postingan dengan label KAJIAN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label KAJIAN. Tampilkan semua postingan

07 Agustus 2022

Analisis Kebijakan "Penetapan Pemenang" melalui Tender/Seleksi

Presiden Republik Indonesia melalui Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang telah diubah oleh Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 memerintahkan bahwa Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa melalui Penyedia, tahapan pemilihan melalui Tender/Seleksi khususnya dalam Penetapan Pemenang ditetapkan dengan Peraturan Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Presiden juga telah membuat ketentuan umum sebagai berikut:

1. Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran Kementerian Negara/Lembaga/Perangkat Daerah. 

2. Kuasa Pengguna Anggaran pada Pelaksanaan APBN yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari PA untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada Kementerian Negara/Lembaga yang bersangkutan. 

3. Kuasa Pengguna Anggaran pada Pelaksanaan APBD yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang diberi kuasa untuk melaksanakan sebagian kewenangan pengguna anggaran dalam melaksanakan sebagian tugas dan fungsi Perangkat Daerah. 

4. Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disingkat PPK adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk mengambil keputusan dan/atau melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja negara/anggaran belanja daerah. 

5. Unit Kerja Pengadaan Barang/Jasa yang selanjutnya disingkat UKPBJ adalah unit kerja di Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah yang menjadi pusat keunggulan Pengadaan Barang/Jasa. 

6. Kelompok Kerja Pernilihan yang selanjutnya disebut Pokja Pemilihan adalah sumber daya manusia yang ditetapkan oleh kepala UKPBJ untuk mengelola pemilihan Penyedia.

7. Aparat Pengawas Intern Pemerintah yang selanjutnya disingkat APIP adalah aparat yang melakukan pengawasan melalui audit, reviu, pemantauan, evaluasi, dan kegiatan pengawasan lain terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi Pemerintah.

Kepala LKPP dalam hal ini melalui Peraturan LKPP nomor 12 tahun 2021 tentang Pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah melalui penyedia (PLKPP 12/21) menetapkan ketentuan Penetapan Pemenang sebagai berikut:

a. Pokja Pemilihan menetapkan Pemenang Tender/Seleksi dan Pemenang cadangan 1 (satu) dan Pemenang cadangan 2 (dua). Pemenang cadangan ditetapkan apabila ada. 

b. Sebelum penetapan Pemenang, apabila terjadi keterlambatan dalam proses pemilihan dan akan mengakibatkan Surat Penawaran habis masa berlakunya, maka Pokja Pemilihan melakukan konfirmasi secara tertulis kepada calon Pemenang untuk memperpanjang Surat Penawaran sampai dengan perkiraan jadwal penandatanganan Kontrak.

c. Calon pemenang yang tidak bersedia memperpanjang masa berlaku surat penawaran, dianggap mengundurkan diri dan tidak dikenakan  sanksi. Pokja Pemilihan menetapkan kembali calon Pemenang. 

d. Pokja Pemilihan membuat Berita Acara Hasil Pemilihan (BAHP). 

e. Untuk Pengadaan Barang/Jasa Lainnya dengan nilai Pagu Anggaran paling sedikit diatas Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah) dan Pengadaan Jasa Konsultansi dengan nilai Pagu Anggaran paling sedikit diatas Rp10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah), Pokja Pemilihan mengusulkan penetapan pemenang pemilihan kepada PA melalui UKBPJ yang ditembuskan kepada PPK dan APIP K/L/PD yang bersangkutan. 

f. PA menetapkan pemenang pemilihan berdasarkan usulan Pokja Pemilihan. Apabila PA tidak sependapat dengan usulan Pokja Pemilihan, maka PA menolak untuk menetapkan Pemenang pemilihan dan menyatakan Tender/Seleksi gagal. 

g. PA menetapkan pemenang pemilihan berdasarkan peringkat usulan Pokja Pemilihan. Dalam hal PA menetapkan pemenang cadangan 1 atau pemenang cadangan 2 sebagai pemenang maka PA harus memberikan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. 

h. PA menyampaikan surat penetapan Pemenang atau surat penolakan Pemenang kepada UKPBJ paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah usulan penetapan pemenang diterima. Dalam hal PA tidak memberikan penetapan/penolakan maka PA dianggap menyetujui usulan Pokja Pemilihan mengacu ke Peraturan Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2017 tentang Pedoman Beracara untuk Memperoleh Putusan Atas Penerimaan Permohonan Guna Mendapatkan Keputusan dan/atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintah .

i. Apabila PA menolak hasil pemilihan maka PA menyatakan Tender/Seleksi gagal. 

j. Dalam hal PA menerima/menolak hasil pemilihan, UKPBJ memerintahkan Pokja Pemilihan untuk menindaklanjuti penetapan/penolakan tersebut. 

k. PA untuk pengelolaan APBN dapat melimpahkan kewenangan penetapan pemenang pemilihan/Penyedia kepada KPA sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan 

Dari jabaran diatas sangat jelas terdapat 2 (dua) Pejabat yang menetapkan pemenang yaitu Pokja dan PA.


06 Agustus 2022

Analisis Kebijakan "Dokumen Pemilihan".


Menurut Presiden, Dokumen Pemilihan (Dokpil) adalah dokumen yang ditetapkan oleh Pokja Pemilihan/Pejabat Pengadaan/Agen Pengadaan yang memuat informasi dan ketentuan yang harus ditaati oleh para pihak dalam pemilihan Penyedia. Dokumen Pemilihan terdiri atas Dokumen Kualifikasi; dan Dokumen Tender/Seleksi/Penunjukan Langsung/Pengadaan Langsung. Ketentuan lebih lanjut mengenai Dokpil ditetapkan dengan Peraturan Kepala Lembaga dalam hal ini adalah Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah nomor 12 tahun 2021 tentang Pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah melalui penyedia (PLKPP 12/21). Pokja (Kelompok Kerja) Pemilihan  adalah sumber daya manusia yang ditetapkan oleh kepala Unit Kerja Pengadaan Barang/Jasa (UKPBJ) untuk mengelola pemilihan Penyedia. Pokja bertugas melaksanakan persiapan dan pelaksanaan pemilihan Penyedia kecuali e-Purchasing dan Pengadaan Langsung dan dalam melaksanakan tugasnya dapat dibantu oleh tim ahli atau tenaga ahli. UKPBJ adalah unit kerja di Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah (K/L/PD) yang menjadi pusat keunggulan Pengadaan Barang/Jasa. Pejabat Pengadaan (PP) adalah pejabat administrasi/pejabat fungsional/personel yang bertugas melaksanakan Pengadaan Langsung, Penunjukan Langsung, dan/atau e-Purchasing. Pengadaan Langsung Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya adalah metode pemilihan untuk mendapatkan Penyedia Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya yang bernilai paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Sedangkan Pengadaan Langsung Jasa Konsultansi adalah metode pemilihan untuk mendapatkan Penyedia Jasa Konsultansi yang bernilai paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).e-Purchasing (Pembelian secara Elektronik) adalah tata cara pembelian barang/jasa melalui sistem katalog elektronik atau Toko Daring. Agen Pengadaan (AP) adalah UKPBJ atau Pelaku Usaha yang melaksanakan sebagian atau seluruh pekerjaan Pengadaan Barang/Jasa yang diberi kepercayaan oleh K/L/PD sebagai pihak pemberi pekerjaan. Pemilihan Penyedia Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya dilakukan melalui metode: a. e-Purchasing; b. Pengadaan Langsung; c. Penunjukan Langsung; d. Tender Cepat; dan e. Tender.

Selanjutnya Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) menetapkan di dalam PLKPP 12/21  bahwa Pokja Pemilihan/Pejabat Pengadaan menyusun Dokumen Pemilihan berdasarkan dokumen persiapan pengadaan yang ditetapkan oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan telah direviu oleh Pokja Pemilihan/Pejabat Pengadaan yaitu dokumen tabel 1 berikut:

Setelah Dokumen ditetapkan PPK dan direviu Pokja, maka dokumen ini dijadkan Dasar bagi Pokja untuk lanjut ke Penetapan Dokumen Pemilihan sebagai berikut: 

I. Dokumen Kualifikasi.

Pokja Pemilihan/Pejabat Pengadaan menyusun Dokumen Kualifikasi yang memuat informasi dan ketentuan tentang persyaratan kualifikasi Penyedia, digunakan sebagai pedoman oleh Pokja Pemilihan/Pejabat Pengadaan dan Peserta untuk memenuhi dipersyaratkan. Dokumen Kualifikasi paling sedikit memuat:

Tabel 2. Muatan Minimal Dokumen Kualifikasi

Untuk pemilihan Penyedia dengan prakualifikasi, Dokumen Kualifikasi disampaikan sebelum penyampaian penawaran. Untuk pemilihan Penyedia dengan pascakualifikasi, Dokumen Kualifikasi disampaikan bersamaan dengan Dokumen Tender/Seleksi.

II. Dokumen Tender/Seleksi/Penunjukan Langsung/Pengadaan Langsung.

1. Dokumen Tender/Tender Cepat/Pengadaan Langsung.

Pokja Pemilihan menyusun Dokumen Tender/Penunjukan Langsung yang memuat paling sedikit meliputi:

Tabel 3. Muatan Minimal Dokumen Tender/penunjukan langsung.

2. Dokumen Seleksi/Penunjukan Langsung.

Pokja Pemilihan menyusun Dokumen Seleksi/Penunjukan Langsung yang paling sedikit meliputi:

Tabel 4. Muatan Minimal Dokumen Seleksi/Penunjukan Langsung

Dokpil adalah sekumpulan beberapa dokumen tertentu dimana Kepala LKPP telah membuat ketentuan muatan minimal yang harus dikandung oleh Dokpil tersebut dalam lampiran I, II dan III PLKPP 12/21 sebagaimana ditunjukkan pada tabel diatas, namun lampiran tersebut masih bersifat judul Dokumen yang isinya belum konkret. 

Pada Pedoman Pelaksanaan PBJ melalui Penyedia terdapat tahapan Persiapan Pemilihan Penyedia melalui Tender/seleksi dimana pada tahapan ini terdapat sub tahapan penyusunan dokpil, sub tahapan ini harus mengacu kepada Model (contoh) yang dilampirkan pada lampiran IV, V dan VI. Namun Kepala Lembaga juga mengizinkan Pengguna Anggaran maupun kuasanya atas dasar pertimbangan untuk mengatasi kekosongan hukum dan/atau stagnasi pemerintahan guna kemanfaatan dan kepentingan umum untuk melakukan penyesuaian diluar dari pedoman pelaksanaan PBJ, dalam hal ini muatan yang dapat dirubah adalah terkait :

  1. Prosedur PBJ
  2. Tata cara PBJ
  3. Tahapan pada tahap :
    • persiapan pengadaan, 
    • persiapan pelaksanaan pemilihan, 
    • pelaksanaan pemilihan dan/atau 
    • pelaksanaan pekerjaan untuk barang/jasa.

Menurut Undang-Undang nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang telah diubah oleh Pasal 175 Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU 30/14') bahwa Keputusan Administrasi Pemerintahan yang juga disebutkan Keputusan Tata Usaha Negara atau Keputusan Administrasi Negara yang selanjutnya disebut Keputusan adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan adalah unsur yang melaksanakan Fungsi Pemerintahan, baik di lingkungan pemerintah maupun penyelenggara negara lainnya. Fungsi Pemerintahan adalah fungsi dalam melaksanakan Administrasi Pemerintahan yang meliputi fungsi pengaturan, pelayanan, pembangunan, pemberdayaan, dan pelindungan. Dapat disimpulkan bahwa penetapan Dokpil adalah Keputusan Tata Usaha Negara atau Keputusan Administrasi Negara. Status ini menarik dan akan dibahas pada artikel berikutnya apabila ada keberatan dari masyarakat yang terdampak atas putusan tersebut.


03 Agustus 2022

PROBLEM PENYELENGGARAAN SBU SAAT INI

    Implementasi Peraturan Pemerintah nomor 05 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko khususnya Penyelenggaraan Layanan Sertifikasi Badan Usaha Jasa Konstruksi (BUJK) sebagai salah satu perizinan standar kegiatan konstruksi sampai saat ini ternyata masih mengalami kendala, hal ini ditenggarai oleh Pembenahan besar-besaran yang dilakukan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) selaku wakil Pemerintah Pusat yang berwenang melakukan pembinaan konstruksi di Indonesia. Salah satu pembenahannya dalam rangka peningkatan Kualitas Konstruksi saat ini adalah proses sertifikasi Badan Usaha dimana prosesnya semakin melibatkan banyak pihak yaitu Lembaga Online Single Submission (OSS), Kementerian PUPR, Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) dan keikutsertaan Masyarakat Konstruksi seperti Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK), Lembaga Sertifikasi Badan Usaha (LSBU), Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP), dan Asosiasi terakreditasi. 

SBU yang telah disetujui LSBU dan diregistrasi LPJK baru bisa sah digunakan setelah di aktivasi/verifikasi oleh OSS RBA (Risk-Based Approach). LSBU tersebut harus dibentuk oleh Asosiasi yang telah terakreditasi LPJK, dan LSBU tersebut juga sudah memiliki lisensi dari LPJK. BUJK yang mengajukan permohonan SBU juga harus memiliki Tenaga Kerja Konstruksi (TKK) yang ber-Sertifikat Kompetensi Kerja (SKK) Konstruksi, sertifikat ini dikeluarkan oleh LSP yang terlebih dahulu harus memperoleh lisensi dari BNSP baru kemudian dicatatkan di LPJK. LSP juga merupakan lembaga baru dimana belum banyak yang tersedia untuk mengampu begitu banyak kualifikasi dan klasifikasi SKK termasuk menyediakan fasilitas Tempat Uji Kemampuan (TUK) bagi para tenaga kerja yang memohon sertifikasi, dalam hal ini TUK harus mampu menjangkau seluruh kabupaten kota di Indonesia. 

Dalam hal pembenahan organisasi, pada LPJK terdapat proses transisi yang berlangsung cukup singkat dan cepat, dari semula tugas dan fungsinya mengacu kepada Undang-Undang nomor 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi namun pada tahun 2020 harus dua kali menyesuaikan diri yaitu terhadap Undang-Undang nomor 02 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi lalu menyesuaikan lagi ke Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU 11/20). Keberadaan LSBU dan LSP merupakan lembaga baru sebagai institusi yang didirikan berdasarkan peraturan pemerintah turunan UU 11/20, bertambahnya organisasi baru ini turut menambah beban kerja LPJK pada proses penyelenggaraan sertifikasi.

Sistem Informasi Jasa Konstruksi terintegrasi (SIJKT) pada tahap awal juga menjadi beban proses karena hampir semua tahapan meliputi akreditasi asosiasi, lisensi LSBU, pembuatan Sertifikat Badan Usaha (SBU), registrasi di LPJK dan Aktivasi OSS dilakukan melalui aplikasi terintegrasi, dalam jangka pendek sistem ini sangat menyulitkan pengguna bahkan seluruh organisasi penyelenggara (KemenPUPR/LPJK/LSBU/LSP/Asosiasi) karena harus belajar terlebih dahulu namun untuk jangka panjang diyakini sistem ini akan mampu menghemat waktu dan biaya proses sertifikasi karena dilakukan secara online yang melibatkan teknologi informasi. Kelebihan SIJKT saat ini ternyata menjadi autocontrol terhadap sistim yang lama khususnya dalam mengatasi problem bajak membajak SKK, kini sistim dapat secara otomatis menolak persetujuan  SBU jika terjadi Double User yaitu 1 (satu) orang TKK dipakai dibeberapa BUJK baik sebagai Penanggungjawab BUJK, Penanggungjawab Teknik ataupun Penanggungjawab Subklasifikasi Badan Usaha, meskipun 1 (satu) orang tersebut memiliki beberapa klasifikasi dan kualifikasi SKK yang berbeda. Sistim ini juga berhasil mendeteksi Double User pada SBU yang telah diterbitkan LPJK periode pengurusan sebelumnya, tercatat lebih dari 700an pengaduan yang dikirim ke LPJK terkait pembajakan TKK bahkan sudah ada 26.629 BUJK yang terancam pencabutan SBU karena permasalahan tersebut. Problem ini menjadi masalah yang membebani Layanan Sertifikasi BUJK karena klaim mengklaim bukan perkara gampang dan cepat untuk diselesaikan, selain adanya perkara hukum hubungan industri antara perusahaan dan pekerja karena faktanya kebanyakan yang membiayai pembuatan SKK adalah BUJK tempat TKK bekerja, selain itu terdapat juga perkara hukum Pidana berupa pemalsuan surat pernyataan dan pembocoran dokumen pribadi seperti Kartu Tanda Penduduk, Ijazah, SKK dan Curriculum Vitae, dalam kasus ini tak jarang LPJK dipanggil Aparat Penegak Hukum sebagai saksi ahli.

Dapat disimpulkan problem yang dihadapi LPJK periode 2021-2024 sangatlah besar, di internal lembaga ini harus mereorganisasi platform pelayanannya sesuai tujuan dan prinsip pembentukan UU 11/20, di external LPJK juga harus mempersiapkan kematangan LSBU, LSP dan Asosiasi. Platform masa lalu juga menjadi sumber permasalahan karena menyisakan pekerjaan rumah dimana ada kebijakan terdahulu yang tidak diperbolehkan saat ini. Saya memandang kebijakan Kementerian PUPR selaku kementrian yang membina Konstruksi Nasional tidak terlepas dari pembenahan Kualitas Industri Konstruksi agar kedepannya jumlah dan korban Kecelakaan terkait Konstruksi dapat ditekan sekecil-kecilnya. Sebagai rakyat berdaulat, tentunya kita harus memastikan bahwa fungsi pembinaan KemenPUPR yang melibatkan masyarakat melalui LPJK selalu dapat kita monitoring dan evaluasi setiap saat. 

27 Juni 2022

Informasi PBJ masih jadi rahasia ? pesulap informasi bebas berkeliaran.



    Tidak terasa hari ini ulangtahunnya Peraturan Komisi Informasi nomor 01 tahun 2021 tentang Standard Layanan Informasi Publik (PerKI 01/21) yang telah diundangkan per tanggal 30 Juni 2021. Seharusnya regulasi yang merupakan pelaksanaan Undang-Undang nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU 14/08) ini cukup ditakuti dan hormati serta memberikan kepastian hukum mengingat ini adalah hierarki tertinggi dibawah Undang-Undang Dasar 1945. Semoga Komisi Informasi sebagai salah satu lembaga pelaksana UU 14/08 memberikan evaluasi resmi yang bisa dijadikan acuan pertanggungjawaban terhadap rakyat.

Dalam Siklus Analisis untuk Kebijakan Publik, terdapat tahapan  Problem structuring, forecasting, Prescription, Monitoring dan Evaluation. Dalam kasus PerKI 01/21, tahapan yang dijalani saat ini adalah Implementasi dimana jika kita hendak mengukur pelaksanaanya maka harus menggunakan Analisis Monev (Monitoring dan Evaluasi), Analisis ini juga diperlukan untuk melihat apakah ada kepastian Hukum dan mengukur response para stakeholder dilapangan. Dalam hal PerKI 01/21 khususnya terkait Pengadaan Barang/Jasa  Pemerintah (PBJ) maka stakeholder yang dimaksud adalah Pejabat Pengelola Informasi & Dokumen (PPID) beserta atasan PPID yaitu pimpinan tertinggi Badan Publik (BP) dari Kementrian/Lembaga/Pemerintahan Daerah (K/L/PD) dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Apa saja yang perlu di Monev, dalam konteks PBJ menurut saya cukup satu saja  yaitu sudahkah BP mengumumkan secara berkala segala informasi yang dimaksud pada pasal 15 ayat (9) PerKI 01/21? sebelum saya terangkan lebih lanjut mohon dibaca artikel berikut: Sah...Dokumen PBJ ini sudah tidak RAHASIA lagi.

PerKI 01/21 jelas menyebutkan bahwa Informasi terkait PBJ tergolong Informasi BerkalaUndang-Undang nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU 14/08) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “berkala” adalah secara rutin, teratur, dan dalam jangka waktu tertentu. UU 14/08 juga menyebutkan bahwa BP wajib memberikan dan menyampaikan Informasi tersebut paling singkat 6 (enam) bulan sekali. 

Informasi yang dimaksud paling sedikit terdiri atas:
  1. tahap perencanaan, meliputi dokumen Rencana Umum Pengadaan (RUP).

  2. tahap pemilihan, meliputi:

    1. Kerangka Acuan Kerja (KAK)

    2. Harga Perkiraan Sendiri (HPS) serta Riwayat HPS;

    3. Spesifikasi Teknis (ST)

    4. Rancangan Kontrak (RK)

    5. Dokumen Persyaratan Penyedia atau Lembar Data Kualifikasi (LDK)

    6. Dokumen Persyaratan Proses Pemilihan atau Lembar Data Pemilihan (LDP)

    7. Daftar Kuantitas dan Harga (DKH)

    8. Jadwal pelaksanaan dan data lokasi pekerjaan;

    9. Gambar Rancangan Pekerjaan (GRP)

    10. Dokumen Studi Kelayakan dan Dokumen Lingkungan Hidup, termasuk

      Analisis Mengenai Dampak Lingkungan;

    11. Dokumen Penawaran Administratif;

    12. Surat Penawaran Penyedia

    13. Sertifikat atau Lisensi yang masih berlaku dari Direktorat Jenderal

      Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia;

    14. Berita Acara Pemberian Penjelasan (BAPP)

    15. Berita Acara Pengumuman Negosiasi (BAPN)

    16. Berita Acara Sanggah dan Sanggah Banding

    17. Berita Acara Penetapan atau Pengumuman

    18. Laporan Hasil Pemilihan Penyedia;

    19. Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa (SPPBJ)

    20. Surat Perjanjian Kemitraan

    21. Surat Perjanjian Swakelola

    22. Surat Penugasan atau Surat Pembentukan Tim Swakelola; 

    23. Nota Kesepahaman atau Memorandum of Understanding.

c. tahap pelaksanaan, meliputi:

  1. Dokumen Kontrak yang telah ditandatangani beserta Perubahan Kontrak yang tidak mengandung informasi yang dikecualikan;

  2. Ringkasan Kontrak yang sekurang-kurangnya mencantumkan informasi mengenai para pihak yang bertandatangan, nama direktur dan pemilik usaha, alamat penyedia, nomor pokok wajib pajak, nilai kontrak, rincian pekerjaan, spesifikasi pekerjaan, lokasi pekerjaan, waktu pekerjaan, sumber dana, jenis kontrak, serta ringkasan perubahan kontrak.

  1. Surat Perintah Mulai Kerja;

  2. Surat Jaminan Pelaksanaan;

  3. Surat Jaminan Uang Muka;

  4. Surat Jaminan Pemeliharaan;

  5. Surat Tagihan;

  6. Surat Pesanan E-purchasing;

  7. Surat Perintah Membayar;

  8. Surat Perintah Pencairan Dana;

  9. Laporan Pelaksanaan Pekerjaan;

  10. Laporan Penyelesaian Pekerjaan;

  11. Berita Acara Pemeriksaan Hasil Pekerjaan;

  12. Berita Acara Serah Terima Sementara atau Provisional Hand Over;

  13. Berita Acara Serah Terima atau Final Hand Over.


    Apakah Dokumen tersebut telah tersedia secara otomatis di PPID masing-masing BP? Hasil Monitoring saya secara terbatas menyatakan "tidak", karena saya belum menemukan adanya Portal PPID yang secara otomatis menayangkan Informasi tersebut, dari 54 jenis Informasi yang mestinya dibuka secara berkala hanya 13 jenis informasi yang dibuka setiap saat itupun melalui Portal LPSE (block warna Hijau diatas), 9 jenis informasi (Block merah huruf putih diatashanya terbuka bagi peserta yang mendaftar di tender metode Pascakualifikasi, namun jika Metodenya Prakualifikasi maka dokumen KAK, ST, RK, LDP, DKH dan BRP hanya terbuka bagi peserta yang lolos evaluasi kualifikasidan sisanya 33 jenis Informasi masih misteri sulap yang hanya tukang sulap, penyelenggara dan pengawas acara yang tahu.
    Hasil monitoring tersebut tentunya menjadi bahan Evaluasi kita bersama bagaimana sesungguhnya Implementasi PerKI 01/21. Dapat disimpulkan bahwa banyak BP menafsirkan sepihak Informasi yang ditayangkan di LPSE adalah sudah cukup dalam konteks kekuasaan pemerintah yang menguasai data, mungkin banyak yang lupa bahwa Informasi Publik diatur oleh Undang-undang yang mendapat persetujuan bersama antara Rakyat (melalui DPR) dan Pemerintah sehingga semua orang/badan harus tunduk termasuk pemerintah itu sendiri. Perlu juga diingat bahwa UU 14/08 memuat aturan sanksi termasuk sanksi pidana bagi Masyarakat/BP yang melakukan pelanggaran.
    Informasi adalah Hak Asasi Manusia (HAM) dan Kebebasan Informasi adalah cerminan Demokrasi, memang UU 14/08 masih memberi celah upaya bagi masyarakat untuk memaksa meminta Informasi Berkala tersebut yaitu dengan jalan meminta ke PPID, jika tidak diberi masyarakat bisa mengajukan sengketa Informasi ke Komisi Informasi di wilayah BP bernaung. Jika masih tidak dikabulkan bisa mengajukan keberatan melalui Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) hingga Mahkamah Agung bahkan Peninjauan Kembali. Semua tahapan itu butuh Waktu, Tenaga dan Biaya bagi kedua belah pihak baik Pemohon (masyarakat) dan termohon (atasan PPID). Apakah ini cerminan Demokrasi di Indonesia? 

Salam Kebebasan Informasi Publik.

24 Juni 2022

Peranan teknologi e-Procurement dalam Pembangunan Ekonomi Kota Surabaya.

Bersama Pelopor Modernisasi PBJ di Indonesia


Pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan nilai dan jumlah produksi barang atau jasa dalam kurun waktu tertentu. Pertumbuhan ekonomi sebuah wilayah erat kaitannya dengan tingkat kesejahteraan rakyatnya. Untuk meningkatkan kesejahteraan maka produksi harus dirangsang, salah satu Instrumen yang digunakan negara adalah Procurement/pengadaan barang/jasa dan modal pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah (APBN/D) yang selalu dilakukan setiap setahun sekali. Beberapa indikator dari adanya pertumbuhan ekonomi adalah naiknya pendapatan nasional, pendapatan perkapita, jumlah tenaga kerja yang lebih besar dari jumlah pengangguran, serta berkurangnya tingkat kemiskinan.


Pertumbuhan ekonomi dapat diukur secara nominal atau riil (disesuaikan dengan inflasi). Pertumbuhan ekonomi dilihat dan diukur dengan cara membandingkan komponen yang dapat mewakili keadaan ekonomi suatu wilayah masa kini dan periode sebelumnya. Komponen yang digunakan untuk mengukur pertumbuhan ekonomi suatu wilayah adalah angka Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Ekonomi suatu wilayah dapat dikatakan bertumbuh jika kegiatan ekonomi masyarakatnya berdampak langsung kepada kenaikan produksi barang dan jasanya. 


Menurut Prof. M. Suparmoko, terdapat 4 faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, yaitu Penduduk dan Tenaga Kerja, Kapital, Sumber Daya Alam, dan terakhir Teknologi dan Wiraswasta. Penduduk dan tenaga Kerja adalah individu produktif yang berperan sebagai penggerak suatu organisasi, baik dalam perusahaan maupun institusi, karena manusialah yang kemudian akan mengendalikan faktor lainnya tersebut. Cepat lambatnya proses pembangunan tergantung kepada sejauh mana SDM selaku subjek pembangunan memiliki kompetensi yang memadai untuk melaksanakan proses pertumbuhan ekonomi. Kapital/modal sebagai proses penambahan stok modal fisik buatan manusia berupa peralatan, mesin dan bangunan. Modal dibutuhkan manusia untuk mengolah sumber daya alam dan meningkatkan kualitas IPTEK, modal berupa barang-barang sangat penting bagi perkembangan dan kelancaran pembangunan ekonomi karena juga dapat meningkatkan produktivitas. Sumber daya alam, yaitu sesuatu yang berasal dari alam, mencakup kesuburan tanah, letak dan susunannya, kekayaan alam, mineral, iklim, sumber air, hingga ke sumber kelautan. Bagi pertumbuhan ekonomi, ketersediaan sumber daya alam yang melimpah sangat baik dalam menunjang pembangunan. Perkembangan teknologi yang semakin pesat mendorong percepatan proses pembangunan. Pergantian pola kerja yang semula menggunakan tangan manusia digantikan oleh mesin-mesin canggih berdampak kepada aspek efisiensi, kualitas dan kuantitas. 


Kota Surabaya merupakan salah satu kota metropolitan di Indonesia memiliki luas sekitar 326,37 km2. Sebagian besar wilayah Surabaya merupakan dataran rendah dengan ketinggian 3 – 6 meter di atas permukaan air laut, kecuali di sebelah Selatan dengan ketinggian 25 – 50 meter di atas permukaan air laut. Populasi penduduk Kota Surabaya sampai dengan bulan Juni 2005 mencapai 2.701.312 jiwa, dengan tingkat kepadatan 8.277 jiwa/km2. Secara administrasi pemerintahan kota Surabaya (Pemkot) dikepalai oleh Walikota yang juga membawahi koordinasi atas wilayah administrasi Kecamatan yang dikepalai oleh Camat. Jumlah Kecamatan yang ada di kota Surabaya sebanyak 31 Kecamatan dan jumlah Kelurahan sebanyak 163 Kelurahan dan terbagi lagi menjadi 1.363 RW (Rukun Warga) dan 8.909 RT (Rukun Tetangga). Secara topografi Kota Surabaya merupakan dataran rendah yaitu 80,72 % (25.919,04 Ha) dengan ketinggian antara -0,5 – 5m SHVP atau 3 – 8 m LWS, sedang sisanya merupakan daerah perbukitan yang terletak di Wilayah Surabaya Barat (12,77%) dan Surabaya Selatan (6,52%).


Penyelenggaraan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PBJ) saat ini dilakukan secara elektronik/e-Procurement (e-Proc) menggunakan sistem informasi yang terdiri atas Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) dan sistem pendukung, yang dikembangkan oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah (K/L/PD) menyelenggarakan fungsi layanan pengadaan secara elektronik yaitu suatu layanan pengelolaan Teknologi Informasi (TI) untuk memfasilitasi pelaksanaan PBJ secara elektronik. Secara Global,  Perserikatan Bangsa-Bangsa dan World Trade Organization telah memperkenalkan TI Media Elektronik di dalam Sistem PBJ Dunia, namun Indonesia sendiri baru melibatkan media elektronik setelah dikeluarkannya Keputusan Presiden nomor 18 tahun 2000 itupun sebatas papan pengumuman pada media elektronik atas nama-nama paket yang ditenderkan.


Pada tahun 2002, Ibu Tri Rismaharini (akrab dipanggil Risma) yang saat itu menjabat sebagai Kepala Bagian Bina Pembangunan kota Surabaya dalam rangka menjalankan Keputusan Walikota Surabaya nomor 65 tahun 2001 tentang Rincian Tugas dan Fungsi Sekretariat Daerah Kota Surabaya, berhasil membuat dan mengembangkan e-Proc.  PBJ di kota Surabaya saat itu telah memasuki era digital dimana sebelumnya dari pengumuman paket tender di media elektronik menjadi di website bahkan tahapan prosesnya up to date, dari pengambilan dokumen tender yang awalnya hard copy "berbayar" menjadi Softcopy gratis bahkan bisa didownload melalui internet, dari peserta yang memasukkan dokumen penawaran Hardcopy menjadi softcopy bahkan bisa diupload melalui web portal dari kantor/rumah/warnet. Modernisasi ini secara pasti telah mengatasi permasalahan Jarak, Waktu bahkan Biaya tender, penasaran bagaimana selengkapnya pelaksanaan e-Proc tersebut! silahkan baca Keputusan Walikota Surabaya nomor 50 tahun 2004 tentang Pedoman Pelaksanaan Proses Pemilihan Penyedia Barang/Jasa Pemerintah Daerah dengan Sistem e-Proc.


Dalam satu kesempatan sesi Focus Group Discussion (FGD) mini pada hari Jumat tanggal 17 Juni 2022, kami dapat berdiskusi langsung dengan narasumber yaitu Ibu Risma dan didampingi Bapak Robben Ricco dimana kedua orang ini merupakan pihak yang terlibat langsung penerapan TI di Pemkot, terungkap fakta-fakta sebagai berikut:

  1. Kondisi pengelolaan Kota Surabaya sebelum tahun 2000 sangatlah kacau sehingga berakibat buruknya kualitas Fasilitas maupun Pelayanan Publik, diperparah kondisi hampir 75% wilayahnya terkena banjir.
  2. Permasalahan pokok adalah rendahnya anggaran untuk membiayai pembangunan Infrastruktur maupun pendukung pelayanan Publik, belum lagi permasalahan Moral Hazard yang membuat anggaran belanja yang sangat sedikit menjadi semakin tidak efisien. 
  3. Kondisi ini membuat beliau harus mencari solusi koordinasi Pembangunan yang bisa mengatasi kedua masalah diatas secara bersamaan. Untungnya berkat bantuan pakar IT yaitu Profesor Richardus Eko Indrajit lahirlah solusi pembuatan aplikasi e-Proc berbasis web pertama di Indonesia.
  4. Tantangan berikutnya dan paling berat adalah pada saat tahapan implementasi, bisa dibayangkan akibat tender manual dirubah e-Proc maka proses pemilihan menjadi transparan dan dapat diketahui masyarakat secara luas dan tentunya ini menjadi ancaman bagi orang-orang yang selama ini nyaman bermain di sistem yang manual, bahkan hambatan dari SDM internal unsur pemkot juga terjadi, sebagai wujud resistensi, bu Risma dan keluarga pernah mendapatkan ancaman nyawa.
  5. Hasil nyata dari tender yang transparan adalah terciptanya persaingan yang sehat dan memasuki sistem pasar sempurna yang dapat diikuti siapa dan dimana saja tentunya. 
  6. Persaingan sehat memaksa para Penyedia (wiraswasta) menjadi kreatif menciptakan dan menawarkan metode kerja yang efisien. Pernah penawar untuk tender Pekerjaan Penimbunan lahan rendah dimenangkan dengan harga dibawah 75% dari Harga Perkiraan Sendiri (HPS), setelah diklarifikasi ternyata meskipun harga sangat murah namun karena penawar adalah Developer dan tanahnya bersumber dari lahan yang tanahnya berbukit yang akan dijadikan perumahan maka yang seharusnya penawar mengeluarkan ongkos tempat pembuangan tanah malah bisa dialokasikan dan dibeli oleh pemerintah. Sistim teknologi memotong rantai pasok tanah timbunan dari seharusnya melalui broker tanah menjadi langsung dari penjual tanah ke pembeli.
  7. Penerapan IT berefek terjadinya Efisiensi biaya Pagu disetiap paket lelang, akibatnya ada dana menganggur (sisa harga pagu terhadap harga penawaran) yang saat itu regulasinya membolehkan pemanfaatan kembali sepanjang masih di kode rekening dan tahun anggaran yang sama. Sistem PBJ yang cepat membuat proses pemilihan penyedia bisa berlangsung dengan cepat pula tanpa harus melewati tahun anggaran. Dalam hal ini Pemkot langsung belanja barang/jasa dan modal untuk membangun jalan dan memperbaiki saluran agar tidak banjir. Pembangunan infrastruktur kota bisa dipercepat tanpa menunggu tahun anggaran berikutnya. Pak Robben juga menjelaskan bagaimana strategi saat itu agar pemanfaatan hasil efisiensi tender bisa segera digunakan kembali untuk belanja berikutnya dalam tahun anggaran yang sama, pemkot melakukan tender dini yaitu dibulan Oktober sebelum tahun anggaran berjalan, gak perlu menunggu pengesahan APBD tentunya setelah ada pernyataan tidak keberatan dari penyedia apabila anggaran tidak disetujui. 
  8. Terjadi multiplier effect, akibat infrastruktur jalan dan saluran dapat dengan cepat diadakan/diperbaiki, maka akses yang bebas banjir lekas dibangun dan tak lama setelah itu di sepanjang lokasi tersebut bertumbuh pusat-pusat bisnis baru dan effect selanjutnya harga tanah mahal, nilai jual objek pajak  pun naik dan kesemuanya menambah pemasukan daerah. Sebagai contoh adalah lokasi di jalan Mayjen. Sungkono, saat ini telah berdiri Ciputra World Surabaya dan Rumah sakit Mayapada.
  9. Kesuksesan Penerapan teknologi pada e-Proc ternyata menjadi raw model penerapan e-Government terintegrasi yang menghubungkan e-Budgeting, e-Musrenbang, e-Audit, e-Performance dan lainnya.

Foto : Kegiatan FGD dikantor Kementerian Sosial


Data primer hasil FGD tersebut telah kami uji dengan pertama sekali mengetahui kondisi yang terjadi diera sebelum diterapkannya teknologi e-Proc di Surabaya. Menurut penelitian Hayati Hehamahua yang berjudul Analisis APBD Kota Surabaya Suatu Kajian Kemandirian Dan Efektivitas Keuangan Daerah, yang dimuat pada Jurnal Media Trend Vol. 9 No. 1 edisi Maret 2014, bahwa Kondisi keuangan Pemkot saat itu berdasarkan Perkembangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Surabaya Tahun Anggaran 2000 – 2002 (dalam Juta Rupiah) adalah sebagai berikut :   

Hayati Hehamahua menyimpulkan bahwa kondisi sebagian besar pendapatan Pemkot masih diperuntukkan bagi pengeluaran rutin (75,46%), belanja pembangunan maupun untuk pelayanan kepada masyarakat hanya memperoleh bagian yang relatif kecil (14,54%). Ada kesan seolah-olah APBD hanya untuk membiayai gaji/honor, dan perjalanan dinas pegawai Kota Surabaya. Hasil FGD yang menyebutkan kondisi keuangan pemkot yang serba kekurangan sebelum penerapan teknologi e-proc (tahun 2000 s/d 2001) sejalan dengan hasil penelitian.


Dalam hal kebaruan teknologi, kami juga telah menguji dengan meneliti periodisasi kebijakan Pemanfaatan TI pada K/L/PD diseluruh Indonesia. Hasil pencarian menunjukkan bahwa Kementerian Pekerjaan Umum (KemenPU) baru menerapkan e-Proc di tahun 2005 itupun terbatas hanya untuk PBJ Konstruksi saja.  Badan Perencanaan Pembangunan Nasional  (Bappenas) dibawah Pusat Pengembangan Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Publik yang dikepalai Bapak Agus Rahardjo baru menerapkan e-Proc pada tahun 2006,  hingga akhirnya pada tahun 2007, Presiden resmi menunjuk LKPP sebagai satu-satunya institusi pengembang e-Proc dan hasil pengembangan SPSE-nya diterapkan secara Nasional pada seluruh K/L/PD dimulai pada tahun 2010. Penerapan Teknologi e-Proc di Pemkot 3 tahun lebih awal dari KemenPU, ini menjadi klaim kebaruan penerapan teknologi elektronik di sistim PBJ Indonesia.


Dalam hal apakah benar terjadi pertumbuhan ekonomi di Kota Surabaya, maka salah satu komponen yang kami pilih untuk mengujinya adalah angka Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Secara lengkap gambaran tentang PDRB dan nilai PDRB perkapita di Kota Surabaya selama tiga periode (2002-2004) dapat dilihat pada Tabel  berikut:  


Sumber : Rencana Pembangunan Jangka Menengah kota Surabaya 2005


Penggunaan teknologi e-Proc pada tahun 2002 terbukti secara significant meningkatkan PDRB perkapita masyarakat Surabaya menjadi naik sebesar 5 juta rupiah di tahun 2004. Besaran nilai PDRB ini secara nyata mampu memberikan gambaran mengenai nilai tambah bruto yang dihasilkan unit-unit produksi pada suatu daerah dalam periode tertentu. Lebih jauh, perkembangan besaran nilai PDRB merupakan salah satu indikator yang dapat dijadikan ukuran untuk menilai keberhasilan pembangunan suatu daerah, atau dengan kata lain pertumbuhan ekonomi suatu daerah dapat tercermin melalui pertumbuhan nilai PDRB. Meskipun dalam tulisan ini kami hanya membahas komponen PDRB, namun berdasarkan komponen lain seperti angka Inflasi yang bisa dilihat pada dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah kota Surabaya 2005, juga menunjukan benar telah terjadi pertumbuhan ekonomi.


Keberhasilan pembangunan ekonomi Kota Surabaya dapat juga diukur secara kualitatif dari berbagai prestasi yang relevan yang diterima oleh Kota Surabaya maupun tokoh Sentral yang berperan didalamnya. Secara personal, Ibu Risma yang semula Kepala Bagian Bina Pembangunan (2002) dan mempelopori e-Proc diangkat menjadi Kepala Bagian Penelitian dan Pengembangan (2005), Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota Surabaya (2008), Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya (2010), Wali Kota Surabaya (2010—2015 ; 2016—2020) hingga akhirnya menjadi Menteri Sosial RI (2020—sekarang). Secara institusi, kota Surabaya juga diberi penghargaan e-Proc dari LKPP pada tanggal 20 November 2013 karena Kota Surabaya adalah pelopor penerapan sistem lelang elektronik di tahun 2002. Penggunaan TI pada sistim Pemkot seperti e-Government, e-Budgeting, e-Proc, e-Musrenbang, e-Audit, e-Performance, dan berbagai sistem penunjang secara terintegrasi lainnya banyak diadopsi oleh K/L/PD lain seperti LKPP dan Komisi Pemberantasan Korupsi.


Pertumbuhan Pembangunan Ekonomi wilayah Surabaya melalui penerapan teknologi sangat sesuai dengan teori ilmu ekonomi yaitu ilmu yang mempelajari segala tingkah laku dan aktivitas manusia untuk mendapatkan sesuatu dengan sumber daya yang terbatas. Berawal dari terbatasnya alokasi Anggaran untuk pembangunan Kota Surabaya, diciptakanlah teknologi e-Proc untuk mengatasi sifat Moral Hazard birokrasi yang merupakan SDM pengelola PBJ. Teknologi tersebut terbukti menghasilkan efisiensi anggaran sehingga tercapai Nilai Value for Money secara maksimal dan output selanjutnya adalah ketersediaan infrastruktur seperti jalan dan saluran. Teknologi e-Proc juga meningkatkan kualitas dari PBJ, hanya penyedia yang benar-benar menguasai metode pekerjaan yang berani menawarkan harga ketat tanpa mengurangi kualitas. Kompetisi memaksa efisiensi produksi dengan cara penggunaan SDM tepat jumlah dan tepat guna, peralatan yang masih kondisi Prima dan material yang memangkas rantai pasok ataupun hal-hal yang tidak perlu yang menyebabkan pemborosan dan pembengkakan biaya produksi termasuk melayani pungli. Teknologi e-Proc juga terbukti meningkatkan kuantitas frekuensi tender, monitoring waktu tender dapat diamati bersama dan mampu mengidentifikasi dini potensi keterlambatan. Dengan bantuan sistem, SDM pengelola PBJ menjadi berubah dari Hardworker menjadi smartworker. Hampir semua kegiatan bisa dilakukan melalui aplikasi, pertemuan fisik hanya untuk bagian-bagian yang tidak dapat digantikan teknologi saja seperti klarifikasi alat dan penandatangan kontrak.


Sebagai outcomenya dari teknologi e-Proc adalah terciptanya bisnis dan investasi di suatu wilayah yang berdampak multiplier effect berkelanjutan termasuk bertambahnya Pendapatan Asli Daerah, terbelinya produksi barang/jasa para wiraswasta hingga akhirnya menaikkan PDRB masyarakat Kota Surabaya. Dengan meningkatnya parameter PDRB perkapita tersebut dapat menjadi indikasi bahwa Pertumbuhan Perkembangan Ekonomi Surabaya saat itu telah berhasil.

 

 

Daftar Referensi: 


  1. Hayati Hehamahua, Analisis APBD Kota Surabaya Suatu Kajian Kemandirian Dan Efektivitas Keuangan Daerah, Jurnal Media Trend Vol. 9 No. 1 Maret 2014.
  2. Irawan dan Suparmoko. 2002. Ekonomika Pembangunan. Yogyakarta:BPTE Yogyakarta.
  3. Keputusan Walikota Surabaya nomor 65 tahun 2001 tentang Rincian Tugas dan Fungsi Sekretariat Daerah Kota Surabaya.
  4. Keputusan Walikota Surabaya nomor 50 tahun 2004 tentang Pedoman Pelaksanaan Proses Pemilihan Penyedia Barang/Jasa Pemerintah Daerah dengan Sistem e-Procurement.
  5. Rencana Pembangunan Jangka Menengah kota Surabaya 2002-2004, link : https://www.surabaya.go.id/uploads/attachments/profilpemerintah/rpjm/Bab2.pdf.
  6. Wikipedia, link : https://id.wikipedia.org/wiki/Tri_Rismaharini.




Perhatian : 
Seluruh atau sebagian dari artikel ini sangat memungkinkan menjadi bagian dari Makalah ataupun Disertasi saya terkait Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, mohon mengkomunikasikan apabila hendak dipakai di forum resmi demi menghindari Praktek Plagiatisme. Terimakasih

08 Mei 2022

PRAKTEK KOLUSI PADA TENDER


 

   Salah satu bentuk tindakan yang dapat mengakibatkan persaingan tidak sehat adalah persekongkolan dalam tender, yang merupakan salah satu bentuk kegiatan yang dilarang oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 (UU 05/99) tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha sebagaimana telah diubah pertama kali oleh Pasal 118 Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Prinsip-prinsip umum yang perlu diperhatikan dalam tender adalah transparansi, penghargaan atas uang, kompetisi yang efektif dan terbuka, negosiasi yang adil, akuntabilitas dan proses penilaian, dan non-diskriminatif. Sejalan dengan hal tersebut, UU 05/99 juga mengatur tentang larangan persekongkolan dalam tender sebagaimana digariskan pada Pasal 22.

Pasal 22

Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. 

    Persekongkolan dalam tender tersebut dapat terjadi melalui kesepakatan- kesepakatan, baik tertulis maupun tidak tertulis. Persekongkolan ini mencakup manipulasi lelang atau kolusi dalam tender (collusive tender) yang dapat terjadi melalui kesepakatan antar pelaku usaha, antar pemilik pekerjaan maupun antar kedua pihak tersebut. Kolusi atau persekongkolan dalam tender ini bertujuan untuk membatasi pesaing lain yang potensial untuk berusaha dalam pasar bersangkutan dengan cara menentukan pemenang tender. Persekongkolan tersebut dapat terjadi di setiap tahapan proses tender, mulai dari perencanaan dan pembuatan persyaratan oleh pelaksana atau panitia tender, penyesuaian dokumen tender antara peserta tender, hingga pengumuman tender.

    Praktek persekongkolan dalam tender ini dilarang karena dapat menimbulkan persaingan tidak sehat dan bertentangan dengan tujuan dilaksanakannya tender tersebut, yaitu untuk memberikan kesempatan yang sama kepada pelaku usaha agar dapat ikut menawarkan harga dan kualitas yang bersaing. Sehingga pada akhirnya dalam pelaksanaan proses tender tersebut akan didapatkan harga yang termurah dengan kualitas yang terbaik.

Pengaturan pemenang tender tersebut banyak ditemukan pada pelaksanaan pengadaan barang dan atau jasa yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah (government procurement), BUMN, dan perusahaan swasta. Untuk itu Pasal 22 UU No. 5/1999 tidak hanya mencakup kegiatan pengadaan yang dilakukan oleh Pemerintah, tetapi juga kegiatan pengadaan yang dilakukan oleh perusahaan negara (BUMN/BUMD) dan perusahaan swasta.

    Tender adalah tawaran mengajukan harga untuk memborong suatu pekerjaan, untuk mengadakan barang-barang atau untuk menyediakan jasa. Dalam hal ini tidak disebut jumlah yang mengajukan penawaran (oleh beberapa atau oleh satu pelaku usaha dalam hal penunjukan/pemilihan langsung). Pengertian tender tersebut mencakup tawaran mengajukan harga untuk:

  1. Memborong atau melaksanakan suatu pekerjaan.

  2. Mengadakan barang dan atau jasa.

  3. Membeli suatu barang dan atau jasa.

  4. Menjual suatu barang dan atau jasa.

Berdasarkan definisi tersebut, maka cakupan dasar penerapan pasal 22 UU No. 5/1999 adalah tender atau tawaran mengajukan harga yang dapat dilakukan melalui;

  1. Tender terbuka,

  2. Tender terbatas,

  3. Pelelangan umum, dan

  4. Pelelangan terbatas.

Berdasarkan cakupan dasar penerapan ini, maka pemilihan langsung dan penunjukan langsung yang merupakan bagian dari proses tender/lelang juga tercakup dalam penerapan pasal 22 UU No. 5/1999. 

Indikasi Persekongkolan dalam Tender

Tender yang berpotensi menciptakan persaingan usaha tidak sehat atau menghambat persaingan usaha adalah:

  1. Tender yang bersifat tertutup atau tidak transparan dan tidak diumumkan secara luas, sehingga mengakibatkan para pelaku usaha yang berminat dan memenuhi kualifikasi tidak dapat mengikutinya;

  2. Tender bersifat diskriminatif dan tidak dapat diikuti oleh semua pelaku usaha dengan kompetensi yang sama;

  3. Tender dengan persyaratan dan spesifikasi teknis atau merek yang mengarah kepada pelaku usaha tertentu sehingga menghambat pelaku usaha lain untuk ikut.

Untuk mengetahui telah terjadi tidaknya suatu persekongkolan dalam tender, berikut dijelaskan berbagai indikasi persekongkolan yang sering dijumpai pada pelaksanaan tender. Perlu diperhatikan bahwa, hal- hal berikut ini merupakan indikasi persekongkolan, sedangkan bentuk atau perilaku persekongkolan maupun ada tidaknya persekongkolan tersebut harus dibuktikan melalui pemeriksaan oleh Tim Pemeriksa atau Majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).

1. Indikasi persekongkolan pada saat perencanaan, antara lain meliputi:

  1. Pemilihan metode pengadaan yang menghindari pelaksanaan tender/lelang secara terbuka.

  2. Pencantuman spesifikasi teknik, jumlah, mutu, dan/atau waktu penyerahan barang yang akan ditawarkan atau dijual atau dilelang yang hanya dapat disuplai oleh satu pelaku usaha tertentu.

  3. Tender/lelang dibuat dalam paket yang hanya satu atau dua peserta tertentu yang dapat mengikuti/melaksanakannya.

  4. Ada keterkaitan antara sumber pendanaan dan asal barang/ jasa

  1. Nilai uang jaminan lelang ditetapkan jauh lebih tinggi dari pada nilai dasar lelang.

  2. Penetapan tempat dan waktu lelang yang sulit dicapai dan diikuti.

2. Indikasi persekongkolan pada saat pembentukan Panitia, antara lain meliputi:

  1. Panitia yang dipilih tidak memiliki kualifikasi yang dibutuhkan sehingga mudah dipengaruhi.

  2. Panitia terafiliasi dengan pelaku usaha tertentu.

  3. Susunan dan kinerja Panitia tidak diumumkan atau cenderung ditutup-tutupi.

3. Indikasi persekongkolan pada saat prakualifikasi perusahaan atau pra lelang, antara lain meliputi:

  1. Persyaratan untuk mengikuti prakualififasi membatasi dan/ atau mengarah kepada pelaku usaha tertentu.

  2. Adanya kesepakatan dengan pelaku usaha tertentu mengenai spesifikasi, merek, jumlah, tempat, dan/atau waktu penyerahan barang dan jasa yang akan ditender atau dilelangkan.

  3. Adanya kesepakatan mengenai cara, tempat, dan/atau waktu pengumuman tender/lelang.

  4. Adanya pelaku usaha yang diluluskan dalam prakualifikasi walaupun tidak atau kurang memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan.

  5. Panitia memberikan perlakukan khusus/istimewa kepada pelaku usaha tertentu.

  6. Adanya persyaratan tambahan yang dibuat setelah pra- kualifikasi dan tidak diberitahukan kepada semua peserta.

  7. Adanya pemegang saham yang sama diantara peserta atau Panitia atau pemberi pekerjaan maupun pihak lain yang terkait langsung dengan tender/lelang (benturan kepentingan).

4. Indikasi persekongkolan pada saat pembuatan persyaratan untuk mengikuti tender/lelang maupun pada saat penyusunan dokumen tender/lelang, antara lain meliputi adanya persyaratan tender/ lelang yang mengarah kepada pelaku usaha tertentu terkait dengan sertifikasi barang, mutu, kapasitas dan waktu penyerahan yang harus dipenuhi.

5. Indikasi persekongkolan pada saat pengumuman tender atau lelang, antara lain meliputi:

  1. Jangka waktu pengumuman tender/lelang yang sangat terbatas.

  2. Informasi dalam pengumuman tender/lelang dengan sengaja dibuat tidak lengkap dan tidak memadai. Sementara, informasi yang lebih lengkap diberikan hanya kepada pelaku usaha tertentu.

  3. Pengumuman tender/lelang dilakukan melalui media dengan jangkauan yang sangat terbatas, misalnya pada surat kabar yang tidak dikenal ataupun pada papan pengumuman yang jarang dilihat publik atau pada surat kabar dengan jumlah eksemplar yang tidak menjangkau sebagian besar target yang diinginkan.

  4. Pengumuman tender/lelang dimuat pada surat kabar dengan ukuran iklan yang sangat kecil atau pada bagian/lay-out surat kabar yang seringkali dilewatkan oleh pembaca yang menjadi target tender/lelang.

6. Indikasi persekongkolan pada saat pengambilan dokumen tender/ lelang, antara lain meliputi:

a. Dokumen tender/lelang yang diberikan tidak sama bagi seluruh calon peserta tender/lelang.

  1. Waktu pengambilan dokumen tender/lelang yang diberikan sangat terbatas.

  2. Alamat atau tempat pengambilan dokumen tender/lelang sulit ditemukan oleh calon peserta tender/lelang.

  3. Panitia memindahkan tempat pengambilan dokumen tender/lelang secara tiba-tiba menjelang penutupan waktu pengambilan dan perubahan tersebut tidak diumumkan secara terbuka.

7.Indikasi persekongkolan pada saat penentuan Harga Perkiraan Sendiri atau harga dasar lelang, antara lain meliputi:

  1. Adanya dua atau lebih harga perkiraan sendiri atau harga dasar atas satu produk atau jasa yang ditender/dilelangkan.

  2. Harga perkiraan sendiri atau harga dasar hanya diberikan kepada pelaku usaha tertentu.

  3. Harga perkiraan sendiri atau harga dasar ditentukan berdasarkan pertimbangan yang tidak jelas dan tidak wajar.


8. Indikasi persekongkolan pada saat penjelasan tender atau open house lelang, antara lain meliputi:

  1. Informasi atas barang/jasa yang ditender atau dilelang tidak jelas dan cenderung ditutupi.

  2. Penjelasan tender/lelang dapat diterima oleh pelaku usaha yang terbatas sementara sebagian besar calon peserta lainnya tidak dapat menyetujuinya.

  3. Panitia bekerja secara tertutup dan tidak memberi layanan atau informasi yang seharusnya diberikan secara terbuka.

  4. Salah satu calon peserta tender/lelang melakukan pertemuan tertutup dengan Panitia.

9. Indikasi persekongkolan pada saat penyerahan dan pembukaan dokumen atau kotak penawaran tender/lelang, antara lain meliputi:

  1. Adanya dokumen penawaran yang diterima setelah batas waktu.

  2. Adanya dokumen yang dimasukkan dalam satu amplop bersama-sama dengan penawaran peserta tender/lelang yang lain.

  3. Adanya penawaran yang diterima oleh Panitia dari pelaku usaha yang tidak mengikuti atau tidak lulus dalam proses kualifikasi atau proses administrasi.

  4. Terdapat penyesuaian harga penawaran pada saat-saat akhir sebelum memasukkan penawaran.

  5. Adanya pemindahan lokasi/tempat penyerahan dokumen penawaran secara tiba-tiba tanpa pengumuman secara terbuka.

10. Indikasi persekongkolan pada saat evaluasi dan penetapan pemenang tender/lelang, antara lain meliputi:

  1. Jumlah peserta tender/lelang yang lebih sedikit dari jumlah peserta tender/lelang dalam tender atau lelang sebelumnya.

  2. Harga yang dimenangkan jauh lebih tinggi atau lebih rendah dari harga tender/lelang sebelumnya oleh perusahaan atau pelaku usaha yang sama.

  3. Para peserta tender/lelang memasukkan harga penawaran yang hampir sama.

  4. Peserta tender/lelang yang sama, dalam tender atau lelang yang berbeda mengajukan harga yang berbeda untuk barang yang sama, tanpa alasan yang logis untuk menjelaskan perbedaan tersebut.

  5. Panitia cenderung untuk memberi keistimewaan pada peserta tender/lelang tertentu.

  6. Adanya beberapa dokumen penawaran tender/lelang yang mirip.

  7. Adanya dokumen penawaran yang ditukar atau dimodifikasi oleh Panitia.

  1. Proses evaluasi dilakukan ditempat yang terpencil dan tersembunyi.

  2. Perilaku dan penawaran para peserta tender/lelang dalam memasukkan penawaran mengikuti pola yang sama dengan beberapa tender atau lelang sebelumnya.

  1. Indikasi persekongkolan pada saat pengumuman calon pemenang, antara lain meliputi:

    1. Pengumuman diumumkan secara terbatas sehingga pengumuman tersebut tidak diketahui secara optimal oleh pelaku usaha yang memenuhi persyaratan, misalnya diumumkan pada media massa yang tidak jelas atau diumumkan melalui faksimili dengan nama pengirim yang kurang jelas.

    2. Tanggal pengumuan tender/lelang ditunda dengan alasan yang tidak jelas.

    3. Peserta tender/lelang memenangkan tender atau lelang cenderung berdasarkan giliran yang tetap.

    4. Ada peserta tender/lelang yang memenangkan tender atau lelang secara terus menerus di wilayah tertentu.

    5. Ada selisih harga yang besar antara harga yang diajukan pemenang tender/lelang dengan harga penawaran peserta lainnya, dengan alasan yang tidak wajar atau tidak dapat dijelaskan.

  2. Indikasi persekongkolan pada saat pengajuan sanggahan, antara lain meliputi:

    1. Panitia tidak menanggapi sanggahan peserta tender/lelang.

    2. Panitia cenderung menutup-nutupi proses dan hasil evaluasi.

  3. Indikasi persekongkolan pada saat penunjukan pemenang tender/ lelang dan penandatanganan kontrak, antara lain meliputi:

  1. Surat penunjukan pemenang tender/lelang telah dikeluarkan sebelum proses sanggahan diselesaikan.

  2. Penerbitan surat penunjukan pemenang tender/ lelang mengalami penundaan tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.

  3. Surat penunjukan pemenang tender/lelang tidak lengkap.

  4. Konsep kontrak dibuat dengan menghilangkan hal- hal penting yang seharusnya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kontrak.

  5. Penandatanganan kontrak dilakukan secara tertutup.

  6. Penandatanganan kontrak mengalami penundaan tanpa alasan yang tidak dapat dijelaskan.

14. Indikasi persekongkolan pada saat pelaksanaan dan evaluasi pelaksanaan, antara lain meliputi:

  1. Pemenang tender/lelang mensub-contractkan pekerjaan kepada perusahaan lain atau peserta tender/lelang yang kalah dalam tender atau lelang tersebut;

  2. Volume atau nilai proyek yang diserahkan tidak sesuai dengan ketentuan awal, tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.

  3. Hasil pengerjaan tidak sesuai atau lebih rendah dibandingkan dengan ketentuan yang diatur dalam spesifikasi teknis, tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. 

Referensi : 
  • Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha sebagaimana telah diubah pertama kali oleh Pasal 118 Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
  • Peraturan KPPU Nomor 2 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pasal 22 Tentang Larangan Persekongkolan dalam Tender.

POSTINGAN TERBARU

KONFERENSI PERS DUGAAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KETENAGA KERJAAN DAN TRANSMIGRASI

Jakarta, 25 Januari 2024. KPK menetapkan 3 orang sebagai tersangka korupsi pengadaan sistem proteksi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) pada Kemen...

POSTINGAN POPULER