Layanan Jasa Konsultasi.

Kami dapat memberikan JASA Nasehat Kebijakan terhadap Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan; Pengadaan Barang/Jasa Konstruksi (Perencanaan - Persiapan - Pelaksanaan - Kontrak); dan Pemenangan Tender. Kami juga membantu membuat Kebijakan Perusahaan (Peraturan Direksi dan Dokumen Tender). Hubungi bonatua.766hi@gmail.com

Translate

01 September 2021

Komisi V DPR RI Rapat Dengar Pendapat dengan Dirjen Bina Konstruksi

Komisi V DPR RI Rapat Dengar Pendapat dengan Dirjen Bina Marga, Dirjen Bina Konstruksi dan Dirjen Sumber Daya Air Kementerian PUPR dengan agenda: 1. Evaluasi Pelaksanaan APBN TA 2021 s.d. Agustus 2021; 2. Membahas Alokasi Anggaran menurut fungsi dan program masing-masing Unit Eselon I K/L Unit Eselon I Mitra Kerja Komisi V DPR RI dalam RAPBN TA 2022. Rabu, 01 September 2021.


apabila tidak bisa dibuka, silahkan di klik link berikut https://www.youtube.com/watch?v=lFrUdvuhURk 

        Beberapa Anggota Dewan yang terhormat masih fokus pada penggiringan Opini "Harga Terendah sebanding dengan Kualitas kerja Buruk". Sebelum membahas opini itu saya rasa kita kembalikan kepada Fakta bahwa "Dulu-dulu Kontraktor menawar hampir 100% namun banyak juga jalan cepat rusak, jembatan ambruk, gedung rubuh bahkan pekerjaan mangkrak", sampai disini jelas Penggiringan Persepsi terhadap Harga Rendah berbanding lurus dengan rendahnya Kualitas pekerjaan.
Mari kita berandai-andai apabila ada pekerjaan Pembuatan Saluran  


LIVE STREAMING - KOMISI XI DPR RI RDP DENGAN BPS DAN LKPP

LIVE STREAMING - KOMISI V DPR RI RDP DENGAN DIRJEN BINA MARGA, BINA KONS...

21 Agustus 2021

Bolehkah menyebut MEREK pada TENDER ? dan apa SANKSI-nya ?


Hallo para pelaku PBJ khususnya para pembaca, kali ini saya tertarik mengkaji dalam rangka menjawab pertanyaan salah satu member FB Group LKPP (Barang dan Jasa) - Ekosystem PENGADAAN Indonesia. Adapun pertanyaan tersebut adalah apakah dalam spesifikasi teknis boleh merujuk/mensyaratkan ke merek tertentu?, sekilas ini pertanyaan gampang dijawab namun bila dikaji dengan kacamata Kebijakan Publik ternyata tidak, dan penjelasannya coba saya jabarkan pada artikel ini.

Terkait artian Merek, menurut Undang-Undang nomor 13 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (UU 13/16) adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau Jasa. Merek tersebut dilindungi Hukum setelah Hak atas Merek tersebut terdaftar pada Berita Resmi Merek yaitu media resmi yang diterbitkan secara berkala oleh Menteri melalui sarana elektronik dan/atau non-elektronik dan memuat ketentuan mengenai Merek.

Terkait bagaimana Merek tersebut dipasarkan di Indonesia khususnya pada metode pemilihan Tender sudah diatur melalui Undang- Undang nomor 05 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU 05/99) yang terakhir diubah oleh Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja Pasal 118 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha. Selanjutnya Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 2 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pasal 22 Tentang Larangan Persekongkolan dalam Tender (PerKPPU 02/2010) sebagai aturan pelaksanaan UU 05/99 jelas menyebutkan bahwa salah satu Indikasi Persekongkolan dalam Tender adalah dengan persyaratan dan spesifikasi teknis atau merek yang mengarah kepada pelaku usaha tertentu sehingga menghambat pelaku usaha lain untuk ikut.

Terkait PBJ, penyebutan merek juga sudah diatur melalui Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PS 16/18') sebagaimana yang diubah oleh Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021. PS 16/18' menyebutkan bahwa dalam penyusunan spesifikasi teknis/KAK dimungkinkan penyebutan merek terhadap:

  1. komponen barang/jasa;
  2. suku cadang;
  3. bagian dari satu sistem yang sudah ada; atau
  4. barang/jasa dalam katalog elektronik atau Toko Daring.

Dan khusus untuk Metode Tender Cepat, penyebutan dimungkinkan hanya untuk Suku Cadang dan bagian dari satu sistem yang sudah ada.

Selanjutnya Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah nomor 12 tahun 2021 tentang Pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah melalui penyedia (PerLKPP 12/21) sebagai pelaksanaan dari PS 16/18 menyebutkan bahwa Spesifikasi teknis/KAK harus didefinisikan dengan jelas dan tidak mengarah kepada produk atau merek tertentu kecuali dimungkinkan sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden. Pada Lampiran PerLKPP 12/21 juga sudah sangat jelas bahwa merek yang diusulkan Peserta dalam penawarannya termasuk unsur yang dievaluasi/dinilai.

Dapat disimpulkan baik UU 05/99 maupun PS 16/18 membolehkan penyebutan merek namun UU 05/99 ada Larangan bahwa Merek tersebut "tidak mengarah kepada pelaku usaha tertentu sehingga menghambat pelaku usaha lain untuk ikut". Untuk lebih jelas dapat dibaca di Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 2 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pasal 22 Tentang Larangan Persekongkolan dalam Tender.  PS 16/18' dibuat atas dasar pertimbangan adanya Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja Pasal 175 tentang perubahan Undang-Undang nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU 30/14') dimana disebutkan asas penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan antara lain asas Legalitas dan Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB). Secara legalitas Merek diatur oleh Undang-Undang nomor 13 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis sedangkan salah satu prinsip pelaksanaan PBJ adalah Akuntabel maka dengan sendirinya Merek yang dimaksud pada PS 16/18' adalah yang sudah terdaftar di Berita Resmi Merek Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Untuk memeriksa apakah Merek tersebut sudah terpenuhi aspek legalitasnya maka bisa dilakukan pengecekan pada https://pdki-indonesia.dgip.go.id.

Meskipun tidak melarang pembatasan satu atau beberapa jenis merek, namun batasannya jelas diatur di PerKPPU 02/10 yaitu sepanjang tidak mengarah kepada pelaku usaha tertentu sehingga menghambat pelaku usaha lain untuk ikut. Berdasarkan PerKPPU 02/10 dan penelitian saya, indikasi pelanggaran batasan tersebut adalah antara lain sebagai berikut:

  1. Adanya kesepakatan dengan pelaku usaha tertentu mengenai merek barang dan jasa yang akan ditender.
  2. Pemilik Merek hanya mau bekerjasama atau memberikan dukungan kepada Penyedia tertentu sehingga penyedia lain tidak bisa ikut apalagi memenangkan tender.
  3. Pemilik Merek memberikan discount khusus kepada penyedia tertentu sehingga bisa menawar lebih rendah dari Penyedia lain yang diberikan dukungan yang sama.
  4. Pemilik merek mencabut dukungannya dengan alasan sedemikian rupa pada tahap evaluasi sehingga menggugurkan penawaran penyedia tersebut.

 

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana jika Indikasi tersebut terpenuhi, apa yang harus dilakukan oleh masyarakat yang mengetahui maupun penyedia yang dirugikan. Untuk ini setiap orang yang mengetahui telah terjadi atau patut diduga telah terjadi pelanggaran dapat melaporkan secara tertulis kepada KPPU, dengan keterangan yang jelas tentang telah terjadinya pelanggaran, dengan menyertakan identitas pelapor. Selain itu Pihak yang dirugikan sebagai akibat terjadinya pelanggaran dapat melaporkan secara tertulis kepada Komisi dengan keterangan yang lengkap dan jelas tentang telah terjadinya pelanggaran serta kerugian yang ditimbulkan, dengan menyertakan identitas pelapor. Apabila terbukti maka dapat dijatuhkan sanksi administratif yaitu printah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan


Contoh Kasus Penyimpangan terkait Merek:

  1. Tidak ditetapkannya Merek Cat KAK. Dalam penyusunan HPS, dasar perhitungan memakai Cat Merek Mahal, namun saat pemilihan, merek yang dipakai tidak ditetapkan akibatnya timbul multi tafsir di seluruh penawar. Adalah penawar A yang memakai harga ekstrim yaitu menawarkan harga cat oplosan sedangkan penawar lain pakai vinilex dan Jotun serta merek lainnya. Karena harga jauh beda, si A bisa menawar dibawah 80% dan memenangkan tender dan bekerja. Pelaksanaannya tentulah berdasarkan apa yang diperjanjikan di dokumen penawaran dan akibatnya pengawas dan auditor tidak memiliki dasar hukum untuk melarang pemakaian cat oplosan. Jadilah Bangunan dengan Cat yang seumur jagung, tak berapa lama setelah batas waktu masa pemeliharaan habis maka mulai warna berubah, luntur, terkelupas dll.

  1. Pencantuman Merek mengarah ke Penyedia tertentu. Pada persyaratan dicantumkan merek lampu A, dimana merek ini cuman import lampu dari china lalu dilabelin merek tertentu yang belum terkenal dan tidak terdaftar di Kemenkumham. Meskipun merek lampu sangat banyak bahkan terdaftar, terpaksa semua penyedia meminta dukungan ke pemilik merek A, untungnya dikasih namun khusus penyedia tertentu diberi harga sangat murah akibatnya penawaran bisa paling rendah dan menang. Ada juga kasus si pemilik Merek menarik dukungannya sedemikian rupa pada saat klarifikasi sehingga memenangkan penawaran penyedia tertentu yang mendapat dukungan.

  2. Ditetapkan merek namun pilihan tidak ditetapkan di dokumen penawaran.
    Bahan Atap di dokumen penawaran disyaratkan merek Genteng Benton A, B, C,  Si Penawar yang dimenangkan juga memilih merek A,B,C di spesifikasi teknisnya. Saat pelaksanaan, Konsultan/PPK memaksa pakai merek C karena sudah punya deal dengan produsen merek tersebut. Akibatnya harga C naik (markup) dan kontraktor menanggung beban, jadilah kontraktor mesan merek C tapi minta KW1 Kw2. Selesai tuh bangunan, namun belum habis masa pemeliharaannya... atapnya rubuh.

  3. Ditetapkan namun dikasih celah spesifikasi “setara”. Di dokumen KAK disyaratkan U Ditch merek A atau setara, penyedia yang dimenangkan juga ikut memberi penawaran merek A atau setara. Pas dilapangan ada celah seputar definisi setara ”ukurannya apa”, jadilah persamaan persepsi berbayar di lapangan dan U Ditch cetak sendiri ataupun cor ditempat. Yang terjadi selanjutnya bisa ditebak sendiri. 

27 Juni 2021

ANGGOTA DPR RI (TSK) PBJ KERJA SAMA PENGANGKUTAN BIDANG PELAYARAN

Transparansi Tahap Evaluasi sebagai Upaya Mencegah Kecurangan

Semalam, sportifitas sebuah kompetisi terselamatkan, harga diri ajang sepak bola sekelas Benua Biru EURO 2020 antara timnas Itali-vs-Austria (27 Juni 2021) terlindungi oleh Video Assistan Referee (VAR), pasalnya kecurangan yang berbuah GOLL oleh pemain Austria dibongkar oleh VAR, bagaimana salah satu pemain menyusup dengan melanggar aturan OFFSIDE dibukakan ke publik sehingga Gollnya dibatalkan wasit. Bagaimana peristiwa itu sesungguhnya terjadi bisa disaksikan pada video berikut  ini pada menit 06:00.



Lantas apa hubungannya dengan PBJ? 

Pada siklus tahunan APBN/APBD, perencanaan belanja PBJ yang disetujui DPR/DPRD (RKA-K/L/Pemda) akan lanjut ke proses sesuai ketentuan PS 16/18 yaitu tahapan persiapan pengadaan; persiapan pemilihan; pelaksanaan pemilihan; pelaksanaan kontrak hingga akhirnya Serah terima PBJ. Dari keseluruhan tahapan ini maka yang paling menjadi pusat perhatian adalah proses pelaksanaan pemilihan penyedia, bagaimana tidak, ini adalah proses kunci hasil monitoring para oknum penyedia terdepan, eksekutif dan legislator yang dilakukan sebelum RKA-K/L/Pemda ditetapkan. Paket-paket itu nantinya akan seperti Bola yang digiring sampai terjadi GOLL dan Penyedia terdepan keluar sebagai pemenang.

Proses penggiringan bola biasanya mempersiapkan berbagai skenario kecurangan, berbagai cara disusun pada proses persiapan termasuk mengeluarkan jurus dan kunci andalan demi memastikan pada saat pelaksanaan pemilihan terjadi goll yang diharapkan. Jika di breakdown, proses pelaksanaan pemilihan metode tender pascakualifikasi secara garis besarnya dimulai dari tahapan pengumuman; penjelasan; upload penawaran; evaluasi; penetapan pemenang; sanggah; SPPBJ dan terakhir tahap penyelesaian Kontrak. Dari keseluruhan tahapan ini maka yang paling krusial adalah tahapan Evaluasi, tahapan ini ibarat satu atau dua langkah sebelum bola memasuki gawang lawan. Sangking krusial-nya, skenario kecurangan wajib dijalankan demi memastikan penggiringan sesuai keinginan para pemonitor....tak ada cerita, harus GOLLLLLL.

Anti kecurangan yang paling efektif pada kompetisi penggiringan bola saat ini adalah VAR, dimana rekaman dibukakan dan diputar ulang secara detil untuk membuktikan apakah proses terjadinya Goll tersebut benar-benar sah. Bukan hanya pemain, wasit, juri, hakim maupun penonton dilapangan namun masyarakat-pun diluar arenapun bisa melihat kualitas evaluasi penetapan Goll tersebut. 

VAR-nya PBJ dimana?
Proses Penetapan pemenang adalah peristiwa Goll-nya sebuah bola, VAR-nya adalah pembukaan Rekamanan Elektronik Dokumen Penawaran yang telah diupload Pemenang melalui aplikasi SPSE. Rekaman ini dipakai pokja sebagai bahan dasar melakukan evaluasi, tidak bisa ditambah kurang karena segala aktivitas tercatat di LOG SERVER dan dijamin oleh Undang-undang ITE.

Kondisi Evaluasi Pemilihan Penyedia PBJ saat ini bagaimana?

Harus kita akui prinsip transparansi telah diterapkan diseluruh proses/tahapan Pelaksanaan Pemilihan PBJ kecuali pada Tahapan Evaluasi pemilihan penyedia. Rusak Susu sebelanga hanya karena Nila setitik, implementasi transparansi PBJ tercemar hanya karena satu proses yang tidak transparan sehingga mengakibatkan Proses evaluasi pemilihan saat ini lebih mirip SULAP, tiba-tiba keluar  Pemenang yang merupakan suatu hasil akhir dari kompetisi. Tak ada yang tahu kebenaran evaluasi tersebut kecuali POKJA selaku pendownload dokumen penawaran dan LPSE selaku pemilik server tempat rekaman upload penawaran peserta dikirimkan ataupun para Auditor yang memliki akses ke LPSE.
Para peserta hanya mendapat Berita Acara (BA) yang berisikan nilai raport masing-masing bahkan kadang BA hanya diperlihatkan saja pada halaman LPSE kegiatan paket berlangsung. Isinya adalah suatu Kesimpulan akhir serangkaian prosedur evaluasi yang telah dilakukan evaluator yang pada umumnya mempertunjukkan kekurangan "Looser" atau bahasa kerennya "dikuliti" namun tidak dibarengi pembuktian bahwa dokumen si "Winner" benar-benar sempurna, tidak seperti peserta lainnya yang memiliki kekurangan ataupun kesalahan yang menggugurkan penawaran. Kelompok kerja biasanya berlindung dibalik ULP, dan ULP yang bernaung pada UKPBJ merasa tidak memiliki hak membukakan rekaman tersebut, UKPBJ juga beralasan bahwa terkait Informasi, peserta harus memintanya ke Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID). Rekaman ini adalah barang mahal, sangat dilindung mengingat isinya besar kemungkinan merekam kecurangan-kecurangan setidaknya asumsi ini berdasarkan hasil pembuktikan pada persidangan kasus OTT KPK ataupun persidangan KPPU.


Upaya yang dilakukan bagaimana?  

Pelaksanaan Prinsip Transparansi PBJ yang dimaksudkan pasal 6 PS 16/18 serasa menyempit, boleh terbuka seluas-luasnya asal jangan bukti rekaman berisi Informasi yang dievaluasi. Berharap adanya keterbukaan Informasi pada sistem PBJ adalah kesia-siaan meskipun saat ini telah terbit PerLKPP 12/21, diperparah  lagi bahwa ternyata upaya meminta rekaman tersebut diluar sistim PBJ jauh lebih rumit lagi, selain butuh waktu sangat lama juga menghabiskan biaya terbilang lumayan. Faktanya, Upaya meminta ke PPID Pemerintah Provinsi DKI Jakarta makan waktu 71 hari, upaya sidang Ajudikasi non Litigasi di Komisi Informasi Provinsi DKI Jakarta makan waktu 220 hari dan terakhir upaya PTUN Provinsi DKI Jakarta makan waktu 92 hari dan semua institusi tersebut sepakat menolaknya. Total waktu yang saya habiskan untuk memperjuangkan keterbukaan Informasi memakan waktu setahun lebih tepatnya 12,7 bulan dan oleh karena itu untuk aksi #savePBJ pada upaya ini cukup sampai disini saja.

Saya tidak kecewa, hasil studiku setidaknya membuktikan bahwa prosedur dan persidangan yang saya jalani dan yakin bisa menyelamatkan PBJ dari praktek-praktek kecurangan ternyata butuh Komitmen Besar dari Negara, bukan hanya dari Pemerintah, Pelaku PBJ, KPK, Komisi Informasi, Hakim atau bahkan seorang teoritis seperti saya. Semoga kedepannya makin banyak pegiat PBJ maupun pegiat Hak Informasi tertarik melanjutkan upaya saya tentunya dengan belajar dari kesalahan penyusunan permohonan yang saya jalani, beberpa orang sudah ada yang tertarik dan untuk itu akan saya dukung penuh.

Dalam pandangan saya, setidaknya telah berusaha menunjukkan kepada para stakeholder negara ini bahwa keterbukaan Rekaman Pemenang mampu menghemat waktu dan biaya proses pemilihan, menguragi keterlibatan para penggiring paket, meringankan kerja APIP/D dan Auditor, serta mencegah masuknya oknum APH main proyek. Tentunya harapan terbesar dan terpenting kita mampu menutup kebocoran anggaran PBJ yang ditaksir sebesar 10% setiap tahunnya. Perhitungan saya, kita bisa menghemat sekitar 100 Triliun pertahun dari APBN/APBD yang biaya PBJ-nya bisa sampai 1.000 T. Ini bisa melunasi hutang negara bahkan serasa air setitik ditengah kekeringan akibat pandemi yang membuat cashflow negara berkontraksi hebat.

Harapannya bahwa dengan membukakan rekaman dokumen penyedia, kemenangan yang diperoleh melalui proses kecurangan bisa dibatalkan. Akibatnya celah kesempatan berbuat curang tertutup. Jika tidak ada jaminan penggiringan paket akan berhasil maka Penyedia Terdepan pasti berhenti menggiring dan tidak ikut-ikut membuat jurus kuncian dalam persyaratan tender. Tidak ada juga oknum-oknum yang menjadikan kecurangan sebagai bahan perasan yang ujungnya minta paket juga. Saya rasa Value For Money pasti bukanlah angan-angan semata.

Salam Kebijakan Publik PBJ    

Artikel terkai lainnya :



POSTINGAN TERBARU

KONFERENSI PERS DUGAAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KETENAGA KERJAAN DAN TRANSMIGRASI

Jakarta, 25 Januari 2024. KPK menetapkan 3 orang sebagai tersangka korupsi pengadaan sistem proteksi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) pada Kemen...

POSTINGAN POPULER