Layanan Jasa Konsultasi.

Kami dapat memberikan JASA Nasehat Kebijakan terhadap Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan; Pengadaan Barang/Jasa Konstruksi (Perencanaan - Persiapan - Pelaksanaan - Kontrak); dan Pemenangan Tender. Kami juga membantu membuat Kebijakan Perusahaan (Peraturan Direksi dan Dokumen Tender). Hubungi bonatua.766hi@gmail.com

Translate

19 Juni 2022

Sejarah Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE)


    
Penyelenggaraan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PBJ) dilakukan secara elektronik (e-Proc) menggunakan sistem informasi yang terdiri atas Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) dan sistem pendukung, yang dikembangkan oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP)Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah (K/L/PD) menyelenggarakan fungsi layanan pengadaan secara elektronik (LPSE) yaitu suatu layanan pengelolaan teknologi informasi untuk memfasilitasi pelaksanaan PBJ secara elektronik. Kebijakan SPSE sendiri diatur khusus oleh Bab X tentang PBJ secara Elektronik pada Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang berpedoman pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Alat Elektronik.

Secara Global, United Nations Commision on International TradeLaw (UNCITRAL) yaitu salah satu komisi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa telah memperkenalkan sistim Electronic Data Interchange (EDI) pada Pedoman Sistim PBJ Dunia Model Law on Procurement of Goods, Construction and Services (1994), secara hampir bersamaan World Trade Organization (WTO) melalui Agreement on Government Procurement 1994 (GPA 1994) telah pula menggunakan email untuk media pemasukan Penawaran peserta. Indonesia sendiri, procurementnya baru melibatkan media elektronik setelah dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah meskipun baru sebatas pada tahapan pengumuman paket tender yang dapat dimuat secara Elektronik/internet.

Pada tahun 2002, Ibu Tri Rismaharini yang saat itu menjabat sebagai Kepala Bagian Bina Pembangunan kota Surabaya dalam rangka menjalankan Keputusan Walikota Surabaya nomor 65 tahun 2001 tentang Rincian Tugas dan Fungsi Sekretariat Daerah Kota Surabaya, telah berhasil membuat dan mengembangkan e-Procurement. Keberhasilannya ini tak lepas dari kesuksesannya mempelopori modernisasi sistem koordinasi pemerintahan kota Surabaya yaitu e-Government yang kemudian dilanjut dengan e-Budgeting, e-Procurement, e-Musrenbang, e-Audit, e-Performance, dan berbagai sistem penunjang secara terintegrasi. PBJ di kota Surabaya telah tersentuh teknologi Informasi, dari pengumuman paket tender di media elektronik menjadi di website bahkan tahapan prosesnya up to date, dari pengambilan dokumen tender yang awalnya hard copy "berbayar" menjadi Softcopy gratis bahkan bisa didownload melalui internet, dari peserta yang memasukkan dokumen penawaran Hardcopy menjadi softcopy bahkan bisa diupload melalui web portal dari kantor/rumah. Modernisasi ini secara pasti telah mengatasi permasalahan Jarak, Waktu bahkan Biaya tender, penasaran bagaimana pelaksanaan e-Proc perdana tersebut! silahkan baca Keputusan Walikota Surabaya nomor 50 tahun 2004 tentang Pedoman Pelaksanaan Proses Pemilihan Penyedia Barang/Jasa Pemerintah Daerah dengan Sistem e-Procurement.

Pada tahun 2005, Menteri Pekerjaan Umum mengeluarkan Peraturan Nomor 207 tahun 2005 tentang Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi Pemerintah secara Elektronik. Dasar hukum dikeluarkannya kebijakan tersebut adalah Undang-Undang nomor 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi dan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan E-Government. Menteri saat itu dijabat Bapak Djoko Kirmanto, telah mengembangkan SPSE secara meluas ke berbagai tahapan meskipun terbatas hanya untuk PBJ Konstruksi saja. 

Pada tahun 2006, pertama kalinya ketentuan tentang SPSE baru diamanatkan pada Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2006 tentang Perubahan Keempat Keppres 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yang memuat ketentuan pengembangan e-Proc dilakukan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dibawah Pusat Pengembangan Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Publik yang dikepalai Bapak Agus Rahardjo. Namun setelah dibentuk Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) melalui Peraturan Presiden Nomor 106 Tahun 2007 tentang Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang mengatur salah satu fungsi lembaga ini yaitu pengembangan sistem informasi serta pengawasan penyelenggaraan PBJ secara elektronik (electronic procurement) maka Pengembangan SPSE beralih dari Bappenas ke LKPP yang kebetulan juga dikepalai Bapak Agus Rahardjo

Pada tahun 2010, akhirnya melalui Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, LKPP menjadi lembaga yang dominan mengembangkan Sistem Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah secara elektronik. SPSE yang dikembangkan LKPP saat ini dipakai 672 LPSE  aktif diseluruh K/L/PD di Indonesia termasuk yang di Kementrian Pekerjaan Umum (saat ini bernama Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat) yang awalnya telah mengembangkan SPSE sendiri. Namun masih terdapat juga beberapa lembaga yang tidak menggunakan SPSE hasil pengembangan LKPP seperti Otoritas Jasa Keuangan dan Badan Usaha Milik Negara maupun Daerah. Kita berharap kedepannya ada standarisasi SPSE dibawah LKPP agar para penyedia tidak pusing dan bingung, disamping itu pastilah terjadi efisiensi penggunaan uang rakyat.
    
Jadi jelaslah jika dilihat runtutan sejarah kebijakan diatas, terdapat empat institusi yang berperan dalam pengembangan SPSE dimulai dari Pemerintah Daerah Kota Surabaya yang dilakukan Ibu Tri Rismaharini (Kabag Bina Pembangunan, 2002) dan Pemerintah Pusat yang dilakukan Bapak Djoko Kirmanto (KemenPU, 2005), Bapak Agus Raharjo (Kepala Pusat Pengembangan Kebijakan PBJ-Bappenas, 2006) dan (LKPP, 2007), dengan asumsi kebijakan yang dimaksud memuat ketentuan penggunaan sarana elektronik berbasis internet seperti email, websites ataupun aplikasi lainnya. Kajian ini terbatas pada studi kebijakan terkait e-proc yang pernah dikeluarkan secara resmi, dan sangat dimungkinkan terjadi perubahan apabila ditemukan fakta baru dikemudian hari.


Perhatian : 
Seluruh atau sebagian dari artikel ini sangat memungkinkan menjadi bagian dari Makalah ataupun Disertasi saya terkait Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, mohon mengkomunikasikan apabila hendak dipakai di forum resmi demi menghindari Praktek Plagiatisme. Terimakasih

02 Juni 2022

Masukan Perubahan kedua PS 16/18

    Presiden kembali akan merubah peraturannya untuk yang kedua kalinya yaitu Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PS 16/18). Meskipun perubahan pertamanya yaitu Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 ((PS 16/18') baru diundangkan tanggal  2 Februari 202, namun sepertinya Regulator masih kurang puas dan memandang perlu tuk segera melakukan perubahan. 
    Yang patut kita apresiasi bahwa ternyata Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) telah membudayakan kegiatan Serap Aspirasi Publik terhadap segala pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (PPU) terkait Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PBJ). Sepanjang ingatan saya, kegiatan ini telah dibudayakan oleh Pemerintah sejak pembentukan PUU turunan dari Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, LKPP sendiri telah melakukan kegiatan ini untuk perubahan pertama PS 16/18 dan pergantian Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah nomor 09 tahun 2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Melalui Penyedia dan saat ini melakukannya lagi.   
    Sebagai warga negara yang baik saya rasa kita perlu ikut berperan serta berkontribusi memberi masukan, meskipun sebagai orang kebijakan publik saya meyakini bahwa Kebijakan adalah kepentingan dan kepentingan tertinggi pengaturan PBJ adalah APBN/APBD yang volumenya mencapai 1.000 T pertahun. Namun kita harus yakin bahwa masih banyak regulator yang kepentingannya adalah untuk kemakmuran rakyat dan mencegah bocornya Anggaran PBJ yang ditaksir 10% pertahun. Saya merasa perlu menyampaikan saran saya ini demi memperbaiki Sistim PBJ Indonesia yang banyak celahnya, semoga saja didengar.
Berikut adalah salah satu sumbangsih saya demi masa depan indonesia, demi generasi berikutnya. Salam.

Update 03/06/2022: 
Saran sudah kami sampaikan langsung secara Live via zoom dalam acara Serap Aspirasi dalam rangka Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Rekamannya bisa ditonton pada link berikut: https://www.youtube.com/watch?v=ygKhGwj5cgE  


























14 Mei 2022

SBU terancam Sanksi dan Solusi dari LPJK


    Masih hangat dalam pembicaraan dikalangan masyarakat konstruksi terkait keluarnya Surat Peringatan terhadap 26.629 Badan Usaha Konstruksi (BU) yang terancam diberi sanksi karena Sertifikat BU (SBU) yang dimiliki-nya saat ini sudah tidak memiliki Tenaga Kerja (TK) lagi yang bekerja sebagai Penanggung Jawab Badan Usaha (PJBU); Penanggung Jawab Teknis Badan Usaha (PJTBU); dan/atau Penanggung Jawab Subklasifikasi Badan Usaha (PJSKBU) sebagaimana yang ditur pada Peraturan Pemerintah nomor 05 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Resiko (PP 05/21). Adapun ketentuan TK tersebut dapat dibaca pada artikel Ketentuan perizinan SBU (klik kursor aktif untuk langsung ke artikel).

    Para TK tersebut dapat menjadi PJSKBU sepanjang telah memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja (SKK) minimal jenjang 5 (teknisi/analis) untuk Kualifikasi Kecil, jenjang 6 (teknisi/analis) untuk Kualifikasi Menengah dan jenjang 7 (Ahli Muda) untuk Kualifikasi Besar. Sedangkan untuk menjadi PJTBU, TK harus memiliki SKK minimal jenjang jenjang 6 (teknisi/analis) untuk Kualifikasi Kecil dan jenjang 7 (Ahli Muda) untuk Kualifikasi menengah dan  jenjang 8 (Ahli Madya) untuk Kualifikasi Besar. Untuk lebih jelasnya tentang jenjang dan konversi kualifikasi dapat dibaca diartikel Ketentuan perizinan SKK (klik kursor aktif untuk langsung ke artikel).

Berdasarkan kajian kami, TK tersebut sudah tidak menjadi penanggungjawab BU lagi disebabkan oleh beberapa hal utamanya dikarenakan:

  1. SKK nya sudah habis masa berlakunya.
  2. TK (orang) tersebut bekerja sebagai penanggungjawab di beberapa BU secara bersamaan.
  3. TK tersebut telah pindah ke BU lain.
Untuk mengetahui secara pasti penyebab diatas dapat ditempuh dengan langkah berikut:
  1. Download (file) Excell Daftar nama-nama perusahaan.
  2. Cari apakah nama BU yang dicari ada dalam daftar.
  3. Jika ternyata terdapat, maka masuk ke https://siki.pu.go.id/search/search_badan_usaha, ketik nama BU tersebut.
  4. Jika menemukan hasil maka klik menu Detail (lambang printer warna biru).
  5. Setelah muncul tampilan Detail Badan Usaha, klik menu (tulisan) Tenaga Kerja maka akan tampil nama-nama TK perusahaan tersebut.
  6. Klik satu persatu TK tersebut untuk mengetahui apakah masa berlakunya telah habis atau tidak.
  7. Buka link https://lpjk.pu.go.id/bank-data/Data/pengecekan_tenaga_kerja_dibadan_usaha.
  8. Pada Kolom Search, checklist bagian Nama lalu isikan satu nama TK yang terdaftar pada angka 5 lalu tekan tombol Search.
  9. Akan muncul Nama Badan Usaha tempat TK tersebut dipakai termasuk jabatannya PJT;PJK; PJSK untuk KBLI 2017 atau PJBU; PJTBU; PJSKBU untuk KBLI 2020.

Lantas bagaimana solusinya jika TK bermasalah ? Kementrian Pekerjaan Umum & Perumahan Rakyat selaku Pembina Konstruksi melalui Lembaga Kebijakan Jasa Konstruksi (LPJK) memberikan relaksasi (tempo) bagi BU untuk mengganti TK nya sampai tanggal 9 Juni 2022. Apabila tidak dilakukan perbaikan maka BU bisa dikenakan sanksi sesuai pasal 415 PP 05/21 yaitu berupa:

    1. peringatan tertulis;

    2. pengenaan denda administratif;

    3. penghentian sementara kegiatan berusaha;

    4. daftar hitam; dan/atau

    5. pencabutan Perizinan Berusaha. 

Langkah ini harus kita  apresiasi dan harus dukung demi memperbaiki wajah konstruksi kita yang kembali tercoreng oleh robohnya Gedung Manusia Purbakala di Kabupaten Brebes (12 Mei 2022) padahal baru selesai dibangung, sebelumnya ada juga kejadian serupa dimana Ruko tiga lantai yang digunakan toko ritel modern Alfamart di Kabupaten Banjar ambruk dan memakan banyak korban (19 April 2022).

    Untuk terhindar dari sanksi dan dalam rangka pembinaan Pekerjaan Konstruksi, LPJK telah mengeluarkan surat nomor BK0401-Lk/614 pertanggal 09 Mei 2022  tentang Permohonan Penghapusan/Pencabutan/Penggantian*) Tenaga Kerja yang isinya sebagai berikut:

  1. Permohonan Penghapusan/Pencabutan/Penggantian*) Tenaga Kerja Konstruksi bagi badan usaha dengan SBU KBLI 2017 disampaikan kepada LPJK menggunakan format sebagaimana terlampir.

  2. Permohonan Penghapusan/Pencabutan/Penggantian*) Tenaga Kerja Konstruksi bagi badan usaha dengan SBU KBLI 2020 disampaikan kepada OSS (Kementerian BKPM), dan Portal Perizinan (Pusdatin PUPR) serta ditembuskan kepada LPJK dan LSBU, dapat menggunakan format sebagaimana terlampir dan disertakan pembaharuan Surat Tanggung Jawab Mutlak.

  3. Dalam hal telah tersedia menu penyampaian perubahan data SBU KBLI 2020 pada aplikasi OSS, maka Permohonan Penghapusan/Pencabutan/Penggantian*) Tenaga Kerja Konstruksi sebagaimana dimaksud pada angka 2 mengikuti mekanisme di OSS dan Portal Perizinan PUPR.

  4. Untuk layanan pencabutan/penghapusan/penggantian PJBU/PJT/PJK/PJSK/Tenaga Ahli Tetap tidak dipungut biaya. 

dengan lampiran-lampiran sebagai berikut:


Selamat mencoba dan semoga BU anda tidak termasuk didalamnya. Tentunya kita juga berharap dengan langkah ini maka kedepannya Potret Konstruksi kita semakin baik.


 

08 Mei 2022

PRAKTEK KOLUSI PADA TENDER


 

   Salah satu bentuk tindakan yang dapat mengakibatkan persaingan tidak sehat adalah persekongkolan dalam tender, yang merupakan salah satu bentuk kegiatan yang dilarang oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 (UU 05/99) tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha sebagaimana telah diubah pertama kali oleh Pasal 118 Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Prinsip-prinsip umum yang perlu diperhatikan dalam tender adalah transparansi, penghargaan atas uang, kompetisi yang efektif dan terbuka, negosiasi yang adil, akuntabilitas dan proses penilaian, dan non-diskriminatif. Sejalan dengan hal tersebut, UU 05/99 juga mengatur tentang larangan persekongkolan dalam tender sebagaimana digariskan pada Pasal 22.

Pasal 22

Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. 

    Persekongkolan dalam tender tersebut dapat terjadi melalui kesepakatan- kesepakatan, baik tertulis maupun tidak tertulis. Persekongkolan ini mencakup manipulasi lelang atau kolusi dalam tender (collusive tender) yang dapat terjadi melalui kesepakatan antar pelaku usaha, antar pemilik pekerjaan maupun antar kedua pihak tersebut. Kolusi atau persekongkolan dalam tender ini bertujuan untuk membatasi pesaing lain yang potensial untuk berusaha dalam pasar bersangkutan dengan cara menentukan pemenang tender. Persekongkolan tersebut dapat terjadi di setiap tahapan proses tender, mulai dari perencanaan dan pembuatan persyaratan oleh pelaksana atau panitia tender, penyesuaian dokumen tender antara peserta tender, hingga pengumuman tender.

    Praktek persekongkolan dalam tender ini dilarang karena dapat menimbulkan persaingan tidak sehat dan bertentangan dengan tujuan dilaksanakannya tender tersebut, yaitu untuk memberikan kesempatan yang sama kepada pelaku usaha agar dapat ikut menawarkan harga dan kualitas yang bersaing. Sehingga pada akhirnya dalam pelaksanaan proses tender tersebut akan didapatkan harga yang termurah dengan kualitas yang terbaik.

Pengaturan pemenang tender tersebut banyak ditemukan pada pelaksanaan pengadaan barang dan atau jasa yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah (government procurement), BUMN, dan perusahaan swasta. Untuk itu Pasal 22 UU No. 5/1999 tidak hanya mencakup kegiatan pengadaan yang dilakukan oleh Pemerintah, tetapi juga kegiatan pengadaan yang dilakukan oleh perusahaan negara (BUMN/BUMD) dan perusahaan swasta.

    Tender adalah tawaran mengajukan harga untuk memborong suatu pekerjaan, untuk mengadakan barang-barang atau untuk menyediakan jasa. Dalam hal ini tidak disebut jumlah yang mengajukan penawaran (oleh beberapa atau oleh satu pelaku usaha dalam hal penunjukan/pemilihan langsung). Pengertian tender tersebut mencakup tawaran mengajukan harga untuk:

  1. Memborong atau melaksanakan suatu pekerjaan.

  2. Mengadakan barang dan atau jasa.

  3. Membeli suatu barang dan atau jasa.

  4. Menjual suatu barang dan atau jasa.

Berdasarkan definisi tersebut, maka cakupan dasar penerapan pasal 22 UU No. 5/1999 adalah tender atau tawaran mengajukan harga yang dapat dilakukan melalui;

  1. Tender terbuka,

  2. Tender terbatas,

  3. Pelelangan umum, dan

  4. Pelelangan terbatas.

Berdasarkan cakupan dasar penerapan ini, maka pemilihan langsung dan penunjukan langsung yang merupakan bagian dari proses tender/lelang juga tercakup dalam penerapan pasal 22 UU No. 5/1999. 

Indikasi Persekongkolan dalam Tender

Tender yang berpotensi menciptakan persaingan usaha tidak sehat atau menghambat persaingan usaha adalah:

  1. Tender yang bersifat tertutup atau tidak transparan dan tidak diumumkan secara luas, sehingga mengakibatkan para pelaku usaha yang berminat dan memenuhi kualifikasi tidak dapat mengikutinya;

  2. Tender bersifat diskriminatif dan tidak dapat diikuti oleh semua pelaku usaha dengan kompetensi yang sama;

  3. Tender dengan persyaratan dan spesifikasi teknis atau merek yang mengarah kepada pelaku usaha tertentu sehingga menghambat pelaku usaha lain untuk ikut.

Untuk mengetahui telah terjadi tidaknya suatu persekongkolan dalam tender, berikut dijelaskan berbagai indikasi persekongkolan yang sering dijumpai pada pelaksanaan tender. Perlu diperhatikan bahwa, hal- hal berikut ini merupakan indikasi persekongkolan, sedangkan bentuk atau perilaku persekongkolan maupun ada tidaknya persekongkolan tersebut harus dibuktikan melalui pemeriksaan oleh Tim Pemeriksa atau Majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).

1. Indikasi persekongkolan pada saat perencanaan, antara lain meliputi:

  1. Pemilihan metode pengadaan yang menghindari pelaksanaan tender/lelang secara terbuka.

  2. Pencantuman spesifikasi teknik, jumlah, mutu, dan/atau waktu penyerahan barang yang akan ditawarkan atau dijual atau dilelang yang hanya dapat disuplai oleh satu pelaku usaha tertentu.

  3. Tender/lelang dibuat dalam paket yang hanya satu atau dua peserta tertentu yang dapat mengikuti/melaksanakannya.

  4. Ada keterkaitan antara sumber pendanaan dan asal barang/ jasa

  1. Nilai uang jaminan lelang ditetapkan jauh lebih tinggi dari pada nilai dasar lelang.

  2. Penetapan tempat dan waktu lelang yang sulit dicapai dan diikuti.

2. Indikasi persekongkolan pada saat pembentukan Panitia, antara lain meliputi:

  1. Panitia yang dipilih tidak memiliki kualifikasi yang dibutuhkan sehingga mudah dipengaruhi.

  2. Panitia terafiliasi dengan pelaku usaha tertentu.

  3. Susunan dan kinerja Panitia tidak diumumkan atau cenderung ditutup-tutupi.

3. Indikasi persekongkolan pada saat prakualifikasi perusahaan atau pra lelang, antara lain meliputi:

  1. Persyaratan untuk mengikuti prakualififasi membatasi dan/ atau mengarah kepada pelaku usaha tertentu.

  2. Adanya kesepakatan dengan pelaku usaha tertentu mengenai spesifikasi, merek, jumlah, tempat, dan/atau waktu penyerahan barang dan jasa yang akan ditender atau dilelangkan.

  3. Adanya kesepakatan mengenai cara, tempat, dan/atau waktu pengumuman tender/lelang.

  4. Adanya pelaku usaha yang diluluskan dalam prakualifikasi walaupun tidak atau kurang memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan.

  5. Panitia memberikan perlakukan khusus/istimewa kepada pelaku usaha tertentu.

  6. Adanya persyaratan tambahan yang dibuat setelah pra- kualifikasi dan tidak diberitahukan kepada semua peserta.

  7. Adanya pemegang saham yang sama diantara peserta atau Panitia atau pemberi pekerjaan maupun pihak lain yang terkait langsung dengan tender/lelang (benturan kepentingan).

4. Indikasi persekongkolan pada saat pembuatan persyaratan untuk mengikuti tender/lelang maupun pada saat penyusunan dokumen tender/lelang, antara lain meliputi adanya persyaratan tender/ lelang yang mengarah kepada pelaku usaha tertentu terkait dengan sertifikasi barang, mutu, kapasitas dan waktu penyerahan yang harus dipenuhi.

5. Indikasi persekongkolan pada saat pengumuman tender atau lelang, antara lain meliputi:

  1. Jangka waktu pengumuman tender/lelang yang sangat terbatas.

  2. Informasi dalam pengumuman tender/lelang dengan sengaja dibuat tidak lengkap dan tidak memadai. Sementara, informasi yang lebih lengkap diberikan hanya kepada pelaku usaha tertentu.

  3. Pengumuman tender/lelang dilakukan melalui media dengan jangkauan yang sangat terbatas, misalnya pada surat kabar yang tidak dikenal ataupun pada papan pengumuman yang jarang dilihat publik atau pada surat kabar dengan jumlah eksemplar yang tidak menjangkau sebagian besar target yang diinginkan.

  4. Pengumuman tender/lelang dimuat pada surat kabar dengan ukuran iklan yang sangat kecil atau pada bagian/lay-out surat kabar yang seringkali dilewatkan oleh pembaca yang menjadi target tender/lelang.

6. Indikasi persekongkolan pada saat pengambilan dokumen tender/ lelang, antara lain meliputi:

a. Dokumen tender/lelang yang diberikan tidak sama bagi seluruh calon peserta tender/lelang.

  1. Waktu pengambilan dokumen tender/lelang yang diberikan sangat terbatas.

  2. Alamat atau tempat pengambilan dokumen tender/lelang sulit ditemukan oleh calon peserta tender/lelang.

  3. Panitia memindahkan tempat pengambilan dokumen tender/lelang secara tiba-tiba menjelang penutupan waktu pengambilan dan perubahan tersebut tidak diumumkan secara terbuka.

7.Indikasi persekongkolan pada saat penentuan Harga Perkiraan Sendiri atau harga dasar lelang, antara lain meliputi:

  1. Adanya dua atau lebih harga perkiraan sendiri atau harga dasar atas satu produk atau jasa yang ditender/dilelangkan.

  2. Harga perkiraan sendiri atau harga dasar hanya diberikan kepada pelaku usaha tertentu.

  3. Harga perkiraan sendiri atau harga dasar ditentukan berdasarkan pertimbangan yang tidak jelas dan tidak wajar.


8. Indikasi persekongkolan pada saat penjelasan tender atau open house lelang, antara lain meliputi:

  1. Informasi atas barang/jasa yang ditender atau dilelang tidak jelas dan cenderung ditutupi.

  2. Penjelasan tender/lelang dapat diterima oleh pelaku usaha yang terbatas sementara sebagian besar calon peserta lainnya tidak dapat menyetujuinya.

  3. Panitia bekerja secara tertutup dan tidak memberi layanan atau informasi yang seharusnya diberikan secara terbuka.

  4. Salah satu calon peserta tender/lelang melakukan pertemuan tertutup dengan Panitia.

9. Indikasi persekongkolan pada saat penyerahan dan pembukaan dokumen atau kotak penawaran tender/lelang, antara lain meliputi:

  1. Adanya dokumen penawaran yang diterima setelah batas waktu.

  2. Adanya dokumen yang dimasukkan dalam satu amplop bersama-sama dengan penawaran peserta tender/lelang yang lain.

  3. Adanya penawaran yang diterima oleh Panitia dari pelaku usaha yang tidak mengikuti atau tidak lulus dalam proses kualifikasi atau proses administrasi.

  4. Terdapat penyesuaian harga penawaran pada saat-saat akhir sebelum memasukkan penawaran.

  5. Adanya pemindahan lokasi/tempat penyerahan dokumen penawaran secara tiba-tiba tanpa pengumuman secara terbuka.

10. Indikasi persekongkolan pada saat evaluasi dan penetapan pemenang tender/lelang, antara lain meliputi:

  1. Jumlah peserta tender/lelang yang lebih sedikit dari jumlah peserta tender/lelang dalam tender atau lelang sebelumnya.

  2. Harga yang dimenangkan jauh lebih tinggi atau lebih rendah dari harga tender/lelang sebelumnya oleh perusahaan atau pelaku usaha yang sama.

  3. Para peserta tender/lelang memasukkan harga penawaran yang hampir sama.

  4. Peserta tender/lelang yang sama, dalam tender atau lelang yang berbeda mengajukan harga yang berbeda untuk barang yang sama, tanpa alasan yang logis untuk menjelaskan perbedaan tersebut.

  5. Panitia cenderung untuk memberi keistimewaan pada peserta tender/lelang tertentu.

  6. Adanya beberapa dokumen penawaran tender/lelang yang mirip.

  7. Adanya dokumen penawaran yang ditukar atau dimodifikasi oleh Panitia.

  1. Proses evaluasi dilakukan ditempat yang terpencil dan tersembunyi.

  2. Perilaku dan penawaran para peserta tender/lelang dalam memasukkan penawaran mengikuti pola yang sama dengan beberapa tender atau lelang sebelumnya.

  1. Indikasi persekongkolan pada saat pengumuman calon pemenang, antara lain meliputi:

    1. Pengumuman diumumkan secara terbatas sehingga pengumuman tersebut tidak diketahui secara optimal oleh pelaku usaha yang memenuhi persyaratan, misalnya diumumkan pada media massa yang tidak jelas atau diumumkan melalui faksimili dengan nama pengirim yang kurang jelas.

    2. Tanggal pengumuan tender/lelang ditunda dengan alasan yang tidak jelas.

    3. Peserta tender/lelang memenangkan tender atau lelang cenderung berdasarkan giliran yang tetap.

    4. Ada peserta tender/lelang yang memenangkan tender atau lelang secara terus menerus di wilayah tertentu.

    5. Ada selisih harga yang besar antara harga yang diajukan pemenang tender/lelang dengan harga penawaran peserta lainnya, dengan alasan yang tidak wajar atau tidak dapat dijelaskan.

  2. Indikasi persekongkolan pada saat pengajuan sanggahan, antara lain meliputi:

    1. Panitia tidak menanggapi sanggahan peserta tender/lelang.

    2. Panitia cenderung menutup-nutupi proses dan hasil evaluasi.

  3. Indikasi persekongkolan pada saat penunjukan pemenang tender/ lelang dan penandatanganan kontrak, antara lain meliputi:

  1. Surat penunjukan pemenang tender/lelang telah dikeluarkan sebelum proses sanggahan diselesaikan.

  2. Penerbitan surat penunjukan pemenang tender/ lelang mengalami penundaan tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.

  3. Surat penunjukan pemenang tender/lelang tidak lengkap.

  4. Konsep kontrak dibuat dengan menghilangkan hal- hal penting yang seharusnya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kontrak.

  5. Penandatanganan kontrak dilakukan secara tertutup.

  6. Penandatanganan kontrak mengalami penundaan tanpa alasan yang tidak dapat dijelaskan.

14. Indikasi persekongkolan pada saat pelaksanaan dan evaluasi pelaksanaan, antara lain meliputi:

  1. Pemenang tender/lelang mensub-contractkan pekerjaan kepada perusahaan lain atau peserta tender/lelang yang kalah dalam tender atau lelang tersebut;

  2. Volume atau nilai proyek yang diserahkan tidak sesuai dengan ketentuan awal, tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.

  3. Hasil pengerjaan tidak sesuai atau lebih rendah dibandingkan dengan ketentuan yang diatur dalam spesifikasi teknis, tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. 

Referensi : 
  • Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha sebagaimana telah diubah pertama kali oleh Pasal 118 Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
  • Peraturan KPPU Nomor 2 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pasal 22 Tentang Larangan Persekongkolan dalam Tender.

POSTINGAN TERBARU

KONFERENSI PERS DUGAAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KETENAGA KERJAAN DAN TRANSMIGRASI

Jakarta, 25 Januari 2024. KPK menetapkan 3 orang sebagai tersangka korupsi pengadaan sistem proteksi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) pada Kemen...

POSTINGAN POPULER