Layanan Konsultasi.

Kami dapat memberikan JASA Nasehat Kebijakan terhadap Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan; Pengadaan Barang/Jasa Konstruksi (Perencanaan - Persiapan - Pelaksanaan - Kontrak); dan Pemenangan Tender. Kami juga membantu membuat Kebijakan Perusahaan (Dokumen Tender & Peraturan Direksi terkait Pengadaan). Hubungi bonatua.766hi@gmail.com

Translate

CARI DI BLOG INI

30 Oktober 2025

WHOOSH, SALAH FORMULASI KEBIJAKAN?

(Analisis Tahapan Thomas R. Dye dan Evaluasi dengan Pendekatan William N. Dunn dalam Perspektif UU/25/2009) 

oleh: Dr. Bonatua Silalahi (Peneliti Independen)


Pendahuluan Pada 27 Oktober 2025, Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) atau Whoosh bukan ditujukan untuk mencari laba, melainkan sebagai investasi sosial bagi masyarakat.¹

“Prinsip dasar transportasi massal itu layanan publik, bukan mencari laba. Jadi, transportasi umum tidak diukur dari keuntungan finansial, tetapi dari keuntungan sosial.”²



Pernyataan ini menggambarkan semangat sosial negara, tetapi dalam praktik kebijakan, Whoosh tidak diformulasikan sebagai pelayanan publik sebagaimana Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (UU/25/2009), melainkan sebagai proyek investasi bisnis antar-BUMN dengan mitra Tiongkok.

Artikel sebelumnya: Whoosh dalam Perspektif UU Pelayanan Publik: Antara Misi Negara dan Pengecualian Pengadaan

Artikel ini menelusuri salah formulasi kebijakan (policy misformulation) Whoosh dengan menggunakan tahapan kebijakan publik menurut Thomas R. Dye, serta menguraikan solusi kebijakan melalui pendekatan William N. Dunn dalam kerangka Monitoring dan Evaluasi Kebijakan Publik.

  1. Identifikasi Masalah 
Pemerintah mendefinisikan masalah utama sebagai kemacetan Jabodetabek–Bandung yang menyebabkan kerugian ekonomi hingga Rp64 triliun per tahun.³ Namun, masalah tersebut dikonstruksi secara teknokratis, bukan sosial: kemacetan dianggap hanya persoalan kecepatan dan kapasitas moda, bukan ketimpangan akses terhadap transportasi publik.

Padahal UU/25/2009 menekankan bahwa pelayanan publik harus memenuhi asas keterjangkauan, pemerataan, dan akuntabilitas.⁴ Masalah publik seharusnya didefinisikan sebagai kesenjangan akses dan pelayanan, bukan sekadar lambatnya mobilitas antarwilayah.

    1. Penyusunan Agenda 
    2.1. Landasan Awal: Perpres/38/2015 Pada 20 Maret 2015, Presiden menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur (Perpres/38/2015) sebagai dasar hukum public–private partnership (KPBU).⁵ Regulasi ini seharusnya menjadi payung proyek Whoosh karena membuka peluang investasi badan usaha dengan tetap menjamin prinsip keterbukaan, kompetisi, dan akuntabilitas.

    2.2. Kronologi Agenda Politik 25 September 2015: Pemerintah memilih proposal Tiongkok dengan skema business to business (B2B) tanpa jaminan pemerintah.⁶

    6 Oktober 2015: Terbit Peraturan Presiden Nomor 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat antara Jakarta dan Bandung (Perpres/107/2015).⁷

    Keputusan ini mendahului Perpres/107/2015, menjadikannya legitimasi ex post facto, bukan hasil formulasi kebijakan yang mengikuti prinsip pelayanan publik sebagaimana Pasal 5 ayat (4) huruf a UU/25/2009.⁸

      1. Perumusan Kebijakan 
      Perpres/107/2015 menetapkan penugasan kepada konsorsium BUMN yang dipimpin PT Kereta Api Indonesia (Persero) dengan dukungan PMN dan opsi penjaminan pemerintah (Pasal 3A).⁹ Namun perumusan ini tidak berlandaskan penugasan pelayanan publik, melainkan pada logika investasi.

      Bila mengacu pada Perpres/38/2015, proyek seperti Whoosh semestinya dikategorikan KPBU sektor transportasi dengan kontrak berbasis kinerja dan pembagian risiko yang jelas. Namun pemerintah justru menempatkannya di luar mekanisme KPBU dan PBJ, menjadikannya proyek komersial berwajah publik.

        1. Legitimasi Kebijakan 
        Legitimasi hukum diperoleh melalui Perpres/107/2015, bukan melalui UU/25/2009. Padahal asas pelayanan publik—kepentingan umum, keterjangkauan, keterbukaan, dan akuntabilitas—harus melekat pada setiap kebijakan yang menyangkut kepentingan publik.¹⁰

        Tarif Whoosh sebesar Rp250–350 ribu per penumpang tidak memenuhi asas keterjangkauan, sementara restrukturisasi dan PMN justru memperluas beban fiskal negara.

        Dengan demikian, legitimasi Whoosh bersifat politik, bukan administratif pelayanan publik.

          1. Implementasi Kebijakan 
          Pelaksanaan proyek dilakukan oleh PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) dengan komposisi PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (60%) dan Beijing Yawan HSR Co. Ltd. (40%).¹¹ Pembiayaan berasal dari pinjaman China Development Bank (CDB) sebesar ±US$4,55 miliar (75%) dan ekuitas Indonesia–Tiongkok ±US$1,52 miliar (25%), ditambah PMN 2021 sebesar Rp4,3 triliun ke PT KAI.¹²

          Namun proyek ini dikecualikan dari sistem PBJ nasional sebagaimana Perlem LKPP/5/2021 tentang pengadaan yang dikecualikan, sehingga prinsip transparansi dan akuntabilitas publik tidak berlaku penuh.¹³ Dalam perspektif pelayanan publik, kondisi ini membuat negara kehilangan mekanisme kontrol sosial yang melekat pada setiap penyelenggaraan layanan publik.

          baca juga PBJ yg tidak tunduk pada PS 16/18 

            1. Evaluasi Kebijakan 

            Evaluasi menunjukkan bahwa Whoosh menghadapi restrukturisasi tenor pinjaman menjadi 60 tahun (PMK/89/2023)—indikasi debt stress dan lemahnya proyeksi fiskal.¹⁴ Selain itu, indikator “keuntungan sosial” yang dijadikan justifikasi kebijakan tidak pernah didefinisikan secara terukur, sehingga evaluasi kebijakan tidak dapat dilakukan secara obyektif.
            1. Analisis Monitoring dan Evaluasi (Pendekatan William N. Dunn) 

            7.1. Posisi dalam Siklus Kebijakan Menurut William N. Dunn, siklus kebijakan publik terdiri atas: agenda setting → policy formulation → policy adoption → implementation → evaluation → termination.¹⁵ Berdasarkan tahapan ini, proyek Whoosh kini telah memasuki tahap evaluasi, karena kebijakan sudah diimplementasikan, tetapi efektivitas dan dampaknya kini dipertanyakan.

            7.2. Kerangka Analisis Dunn dalam Monev Dunn memandang monitoring dan evaluation sebagai fase analisis kebijakan yang mencakup lima aspek:

                1. Effectiveness – sejauh mana kebijakan mencapai tujuan;
                2. Efficiency – perbandingan antara manfaat dan biaya;
                3. Adequacy – kecukupan kebijakan menjawab masalah;
                4. Equity – keadilan sosial dalam distribusi manfaat;
                5. Responsiveness – daya tanggap terhadap kebutuhan masyarakat.¹⁶

              7.3. Evaluasi Terhadap Whoosh 

              KriteriaTemuanImplikasi
              EffectivenessDampak terhadap penurunan kemacetan belum signifikan; load factor rendah.Tujuan sosial belum tercapai.
              EfficiencyBiaya tinggi, restrukturisasi utang menunjukkan ketidakefisienan.Menambah beban fiskal antar-generasi.
              AdequacyTidak menjawab kebutuhan mobilitas berbiaya terjangkau.Kebijakan kurang relevan bagi masyarakat luas.
              EquityTarif Rp250–350 ribu membuat akses terbatas bagi kelas menengah ke bawah.Tidak sejalan dengan asas keterjangkauan (UU/25/2009).
              ResponsivenessPartisipasi publik dalam perumusan dan evaluasi minim.Kurang memenuhi asas partisipatif dan keterbukaan.

              7.4. Rekomendasi Solusi Dunn 

                1. Restrukturisasi Kebijakan (Restructuring): Kembalikan Whoosh dalam kerangka penugasan pelayanan publik sesuai Pasal 5 ayat (4) huruf a UU/25/2009.
                2. Redesain Kebijakan (Redesign): Terapkan Public Service Obligation (PSO) agar tarif sosial dan subsidi negara memiliki dasar hukum.
                3. Redefinisi Tujuan (Redefinition): Ubah indikator “keuntungan sosial” menjadi parameter terukur—misalnya jumlah pengguna, penghematan waktu, penurunan emisi, dan dampak kesejahteraan.
                4. Integrasi dan Diversifikasi: Gabungkan Whoosh dengan moda KRL–MRT–LRT, serta kembangkan pendapatan non-tiket (TOD, logistik, dan iklan) agar berkelanjutan.
                5. Audit dan Keterbukaan: Laksanakan policy audit oleh BPK dan publikasi laporan kinerja serta risiko fiskal secara terbuka.

              1. Kesimpulan Kronologi kebijakan menunjukkan bahwa pemerintah menyimpang dari kerangka KPBU (Perpres/38/2015) ketika menetapkan proyek Whoosh sebagai investasi BUMN–Tiongkok melalui Perpres/107/2015. Akibatnya, proyek ini kehilangan karakter pelayanan publik sebagaimana amanat UU/25/2009.

              Dalam kerangka Thomas R. Dye, kesalahan terjadi pada tahap agenda setting dan formulasi kebijakan. Sedangkan dalam pendekatan William N. Dunn, reformasi kebijakan harus dilakukan melalui restructuring, redesign, dan redefinition agar proyek kembali ke jalur layanan publik nasional yang adil, transparan, dan berkelanjutan.

              Catatan 

              1. Tribun-Video.com, “Presiden Jokowi: Transportasi Umum Diukur dari Keuntungan Sosial, Bukan Finansial,” 27 Oktober 2025.
              2. Ibid.
              3. Sekretariat Kabinet RI, “Pemerintah Evaluasi Dua Proposal Kereta Cepat,” 21 Agustus 2015.
              4. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (UU/25/2009), Pasal 3–4.
              5. Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur (Perpres/38/2015).
              6. Sekretariat Kabinet RI, “Pemerintah Evaluasi Dua Proposal Kereta Cepat.”
              7. Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat antara Jakarta dan Bandung (Perpres/107/2015).
              8. UU/25/2009, Pasal 5 ayat (4) huruf a.
              9. Perpres/107/2015, Pasal 1, 3A, dan 4.
              10. UU/25/2009, Pasal 4.
              11. PT KCIC, Struktur Kepemilikan, 2023.
              12. PwC Indonesia, Infrastructure News, Oktober 2021.
              13. Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Peraturan Lembaga Nomor 5 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa yang Dikecualikan (Perlem LKPP/5/2021).
              14. Republik Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 89 Tahun 2023 tentang Penjaminan Pemerintah atas Kewajiban PT KAI (Persero) (PMK/89/2023).
              15. William N. Dunn, Public Policy Analysis: An Integrated Approach, 6th ed. (New York: Routledge, 2018), 50–52.
              16. Ibid., 221–225.

              Info: 
              Artikel ini adalah bagian Working Paper Penelitian saya berjudul "WHOOSH IN THE PERSPECTIVE OF PUBLIC SERVICE: Between State Mission and Policy Misformulation" yang sedang dalam tahap UNDER REVIEW (30/10/2025) by SSRN (Social Science Research Network) dan dapat didownload dengan mengklik judul artikelnya (huruf biru).

              28 Oktober 2025

              Whoosh dalam Perspektif UU Pelayanan Publik: Antara Misi Negara dan Pengecualian Pengadaan

              Oleh: Dr. Bonatua Silalahi, M.E. (Konsultan Kebijakan Publik/Peneliti Independen)



              A. Pendahuluan 
              Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) atau Whoosh (Waktu Hemat, Operasi Optimal, Sistem Hebat) adalah proyek transportasi publik terbesar dalam sejarah Indonesia modern. Dengan kecepatan operasi hingga 350 km/jam dan waktu tempuh sekitar 40 menit, Whoosh dirancang sebagai katalis mobilitas, pertumbuhan ekonomi, dan percontohan layanan publik modern berbasis kerja sama BUMN dengan mitra asing. Sebagai kebijakan publik, proyek ini wajib dibaca melalui Undang-Undang nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (UU/25/2009) dan rezim Peraturan Presiden Nomor 16 tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perpres/16/2018), karena menyentuh kepentingan, dana, dan aset publik.¹

              Menurut UU/25/2009, Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Dalam hal Pelayanan perkeretaan, ruang lingkup masuk sebagai Pelayanan Jasa.

              baca juga artikel: WHOOSH, SALAH FORMULASI KEBIJAKAN?

              B. Latar Belakang, Nilai Proyek, dan Skala terhadap Pasar PBJ 
              Nilai investasi awal (2016) sekitar US$ 6,07 miliar (≈ Rp 82 triliun pada kurs saat itu), kemudian direvisi menjadi sekitar US$ 7,3 miliar (≈ Rp 111 triliun) sejalan perubahan desain, bunga, dan keterlambatan. Struktur pembiayaan ±75% pinjaman luar negeri dan ±25% ekuitas. Sebagai pembanding skala fiskal, total PBJ nasional tahun 2021 tercatat Rp 418,94 triliun (melalui Penyedia), sehingga nilai proyek Whoosh setara ±26% dari total PBJ setahun itu — menandakan bobot fiskal dan tata kelola yang sangat besar.¹⁰

              Pada awalnya, Pelayanan Publik ini masuk pada skema kebijakan penyediaan jasa publik yang pembiayaannya tidak bersumber dari APBN atau badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan negara yang dipisahkan, tetapi ketersediaannya menjadi misi negara yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan (huruf d ayat 4 Pasal 5 UU/25/2009) namun ditengah jalan berubah menjadi penyediaan jasa publik oleh suatu badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan negara yang dipisahkan (huruf c ayat 4 Pasal 5 UU/25/2009).

              C. Kronologi & Dasar Hukum Pelaksanaan 

              C.1 Kompetisi Awal (Jepang vs Tiongkok) 

              Kompetisi penawaran berlangsung sepanjang 2015 antara Jepang (JICA) dan Tiongkok (China Railway). Pemerintah menilai berbagai opsi pembiayaan, teknologi, dan risiko fiskal.

              C.2 Kronologi Pemilihan dan Penetapan Perpres 107/2015 

                1. 25 September 2015: Pemerintah memilih proposal Tiongkok karena skema business-to-business tanpa jaminan pemerintah.¹⁴ Saat keputusan ini diambil belum ada lex specialis untuk proyek kereta cepat; karenanya Perpres 54/2010 (beserta Perpres 70/2012, 172/2014, 4/2015) adalah satu-satunya rezim PBJ yang berlaku.
                2. Implikasi normatif: Pemilihan penyedia (konsorsium BUMN Indonesia + China Railway) secara prinsip semestinya tunduk pada Perpres 54/2010, khususnya prinsip Pasal 5 (efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil/tidak diskriminatif, akuntabel) dan etika Pasal 6 huruf a–b (efisiensi, persaingan sehat, keterbukaan informasi).¹⁵ ¹⁶
                3. 6 Oktober 2015: Presiden menandatangani Perpres 107/2015 — berfungsi sebagai legitimasi ex post facto atas penugasan dan pengaturan kelembagaan/fiskal, bukan instrumen kompetisi.²

              C.3 Isi Pasal Kunci Perpres 107/2015 

                1. Pasal 1 ayat (1): “Pemerintah menugaskan kepada konsorsium Badan Usaha Milik Negara yang dipimpin oleh PT Kereta Api Indonesia (Persero)…”²
                2. Pasal 3A ayat (1)–(2) huruf b: Pembentukan Komite KCIC dan tugas **menetapkan bentuk dukungan Pemerintah… termasuk rencana PMN dan/atau penjaminan Pemerintah … termasuk apabila terjadi cost overrun.”²
                3. Pasal 4 ayat (1): “Pendanaan… bersumber dari penerbitan obligasi, pinjaman, dan/atau pendanaan lainnya.”²

              C.4 Kerangka PBJ yang Mengatur Pengecualian 

                1. Perpres 54/2010 Pasal 129 ayat (1): pengadaan melalui pola kerja sama Pemerintah dan Badan Usaha Swasta “diatur dengan Peraturan Presiden tersendiri.”³
                2. Dengan terbitnya Perpres 107/2015, proyek Whoosh memperoleh kedudukan “pengadaan dikecualikan (lex specialis)” terhadap rezim PBJ reguler.
                3. Setelah era Perpres 16/2018, Perlem LKPP 5/2021 menegaskan kembali kategori pengadaan yang dikecualikan (diatur oleh peraturan lain/khusus).

              D. Kebijakan yang Menaungi Proyek Whoosh 

              1. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
              2. Perpres 54/2010 PBJ (jo. Perpres 70/2012; 172/2014; 4/2015): prinsip & etika PBJ; Pasal 129(1) tentang KPBU diatur Perpres tersendiri.³ ¹⁵ ¹⁶
              3. Perpres 107/2015: penugasan resmi ke konsorsium BUMN dipimpin PT KAI; Komite KCIC; opsi PMN/penjaminan untuk cost overrun; sumber pendanaan.²
              4. Kepmenhub KP 160/2016 (izin prasarana) dan regulasi keselamatan perkeretaapian (mis. Permenhub 7/2022 untuk operasi).
              5. Perpres 16/2018 (jo. Perpres 12/2021): rezim PBJ baru (proyek Whoosh sudah terlanjur diatur Perpres 107/2015 → lex specialis).
              6. Perlem LKPP 5/2021: pengadaan dikecualikan dari Perpres 16/2018 jika diatur regulasi khusus.
              7. PMK 89/2023: penjaminan Pemerintah untuk pendanaan cost overrun; asas kemampuan keuangan negara, kesinambungan fiskal, pengelolaan risiko fiskal.⁶


              E. Struktur Kelembagaan, Aktor Kunci, dan Status Operasi 
              E.1 Badan Usaha Pelaksana 
                1. PT KCIC: PSBI (60%) + Beijing Yawan HSR Co. Ltd. (40%).⁴
                2. PSBI: WIKA 38%, KAI 25%, PTPN VIII 12%, Jasa Marga 25%.
                3. PMN 2021: Rp 4,3 triliun ke PT KAI → memperkuat posisi KAI (dominan) pada PSBI.⁵

              E.2 Aktor Kebijakan Kunci 

                1. Presiden Joko Widodo – menetapkan Perpres 107/2015; peresmian & dukungan politik.
                2. Rini M. Soemarno (Menteri BUMN, 2014–2019) – desain konsorsium PSBI.
                3. Ignasius Jonan (Menhub, 2014–2016) – perizinan awal (KP 160/2016).
                4. Budi Karya Sumadi (Menhub sejak 2016) – regulasi operasi & keselamatan (mis. Permenhub 7/2022).
                5. Luhut B. Pandjaitan (Menko Marves sejak Agustus 2015) – koordinasi RI–Tiongkok, restrukturisasi pembiayaan.
                6. Sri Mulyani Indrawati (Menkeu) – kebijakan fiskal & PMK 89/2023.

              E.3 Status Operasi & Tarif 

                1. Operasi komersial resmi dimulai Oktober 2023.
                2. Kisaran tarif penumpang (info publik 2024–2025): ± Rp 250.000 – Rp 350.000 bergantung kelas & periode. 


              F. Struktur Pembiayaan (USD + Rupiah) 
              1. Pinjaman: CDB ≈ US$ 4,55 miliar (±75%).
              2. Ekuitas: gabungan Indonesia–Tiongkok ≈ US$ 1,52 miliar (±25%).
              3. Total Investasi Revisi: ≈ US$ 7,3 miliar (≈ Rp 111 triliun pada kurs rata-rata periode revisi).
              4. PMN: Rp 4,3 triliun ke PT KAI (2021) untuk memperkuat ekuitas PSBI.⁵

              Catatan kurs: angka rupiah bersifat estimasi historis (berdasarkan kurs berjalan pada saat dihitung dalam dokumen/diskursus kebijakan tahun bersangkutan).


              G. Prinsip/Azas Pelayanan Publik (UU 25/2009) & Prinsip PBJ 
              G.1 Asas UU 25/2009
              “Penyelenggaraan pelayanan publik berasaskan kepentingan umum; kepastian hukum; kesamaan hak; keseimbangan hak dan kewajiban; keprofesionalan; partisipatif; persamaan perlakuan/tidak diskriminatif; keterbukaan; akuntabilitas; fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan; ketepatan waktu; kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.”⁷ 
              Pasal 20: kerja sama dengan pihak lain diperbolehkan, tanggung jawab tetap pada penyelenggara.⁸

              G.2 Prinsip PBJ (Perpres 54/2010 Pasal 5) 

              “Efisien; efektif; transparan; terbuka; bersaing; adil/tidak diskriminatif; akuntabel.”³

              G.3 Pengadaan Dikecualikan & Efeknya ke Prinsip 

                1. Dasar: Perpres 54/2010 Pasal 129(1) + Perpres 107/2015 → lex specialis.
                2. Konsekuensi: kompetisi terbuka tidak dijalankan; namun standar tata kelola (transparansi, akuntabilitas, keadilan) tetap harus dipenuhi karena proyek adalah pelayanan publik (UU 25/2009).
              G.4. Praktik saat ini yang tidak memenuhi Azas Pelayanan Publik (temuan kebijakan & opini publik) adalah:

                  • Keterbukaan: detail skema restrukturisasi (suku bunga efektif, jadwal pembayaran, risiko fiskal) belum sepenuhnya dipublikasikan.
                  • Keterjangkauan: tarif Rp 250–350 ribu relatif lebih tinggi dibanding KA ekonomi (± Rp 70–100 ribu) dan bus (± Rp 80–150 ribu), sehingga inklusivitas terbatas.
                  • Partisipatif: konsultasi publik terbuka pada tahap formulasi/implementasi terbatas.
                  • Akuntabilitas fiskal: adanya PMN dan penjaminan (PMK 89/2023) menandakan eksposur keuangan publik yang perlu diaudit berkala.


              H. Restrukturisasi Utang 60 Tahun & Isu Gagal Bayar (Debt Stress) 
              • Sebelum restrukturisasi: tenor pinjaman ≈ 40 tahun, bunga ±2%, grace period ±5 tahun.
              • 11 Oktober 2025: Pemerintah mengumumkan restrukturisasi menjadi 60 tahun untuk menurunkan beban pembayaran tahunan.⁹
              • Implikasi fiskal: mengurangi tekanan kas jangka pendek, namun meningkatkan total beban bunga jangka panjang → risiko antar-generasi.
              • Kebijakan payung: PMK 89/2023 Pasal 2–3 (penjaminan untuk cost overrun, dengan prinsip kemampuan keuangan negara; kesinambungan fiskal; pengelolaan risiko fiskal).⁶
              • Temuan monitoring: restrukturisasi dan penjaminan mengindikasikan debt stress/gagal bayar parsial di level proyek (ketidakmampuan memenuhi jadwal pembayaran tanpa pengaturan ulang).

              I. Posisi Whoosh pada Siklus Kebijakan Publik (Dye & Dunn) 
              1. Thomas R. Dye mendefinisikan kebijakan publik sebagai “whatever governments choose to do or not to do.”¹⁷ Keputusan memilih Tiongkok, menerbitkan Perpres 107/2015, memberi PMN, serta merestrukturisasi utang adalah pilihan pemerintah—produk otoritas politik.
              2. William N. Dunn menguraikan siklus kebijakan: agenda setting → formulation → adoption → implementation → evaluation.¹⁸ Saat ini Whoosh telah memasuki tahap Evaluasi, karena:
                • Output (operasi & layanan) sudah berjalan;
                • Outcome (manfaat, beban fiskal) mulai terukur;
                • Monitoring menemukan masalah serius: debt stress/gagal bayar → memaksa restrukturisasi 60 tahun.
              Konsekuensi kebijakan: Pemerintah perlu memilih opsi kebijakan korektif (penyesuaian tarif & integrasi moda, optimalisasi pendapatan non-kereta/TOD, liability management, dan audit transparan periodik) untuk menjaga keadilan sosial dan keberlanjutan fiskal.

               

              J. Solusi Kebijakan
              • Optimasi pendapatan non-kereta (TOD, komersial, logistik cepat).
              • Rekalibrasi tarif dengan skema farebox + non-farebox agar inklusif.
              • Diversifikasi pembiayaan (investor sekunder, obligasi hijau berbasis aset).
              • Audit dan keterbukaan (publikasi laporan kinerja & fiskal; independent review).
              • Penguatan integrasi antarmoda untuk menaikkan load factor (kinerja sosial-ekonomi).

              K. Kesimpulan 
              Secara hukum, Whoosh adalah penugasan langsung (lex specialis) yang dilegalkan melalui Perpres 107/2015, setelah Pemerintah memilih Tiongkok sebagai mitra—sebelum terdapat dasar lex specialis (sehingga bertentangan dengan semangat kompetisi Perpres 54/2010 pada saat keputusan diambil). Sebagai pelayanan publik, proyek wajib menegakkan asas UU 25/2009: keterbukaan, keadilan/keterjangkauan, partisipasi, akuntabilitas.

              Kini kebijakan Whoosh berada pada tahap Evaluasi (Dunn); tahap monitoring telah mengungkap masalah serius (debt stress/gagal bayar) yang memaksa restrukturisasi 60 tahun. Ke depan, kebijakan korektif harus menyeimbangkan kecepatan pelayanan dengan transparansi, keadilan sosial, dan keberlanjutan fiskal.

              “Tantangan bukan sekadar mempercepat kereta, tetapi memastikan kecepatan tersebut sebanding dengan transparansi, keadilan sosial, dan keberlanjutan fiskal.”¹³


              Endnotes

              1. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, Lembaran Negara RI Tahun 2009 No.112.
              2. Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat antara Jakarta dan Bandung, Pasal 1(1); Pasal 3A(1)–(2) huruf b; Pasal 4(1).
              3. Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Pasal 5; Pasal 129(1).
              4. China AidData Project #61320, “Jakarta–Bandung High-Speed Railway Project Loan and Equity Structure,” 2021.
              5. PwC Indonesia, Infrastructure News, Oktober 2021 (PMN Rp 4,3 triliun untuk PT KAI).
              6. Republik Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 89 Tahun 2023 tentang Penjaminan Pemerintah atas Kewajiban PT KAI (Persero) dalam Rangka Proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung, Pasal 2–3.
              7. Republik Indonesia, UU/25/2009, Pasal 4.
              8. Ibid., Pasal 20.
              9. Luhut B. Panjaitan (pernyataan publik), restrukturisasi tenor 60 tahun (11 Oktober 2025).
              10. Bonatua Silalahi, Pasar Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Jakarta: Pusat Studi Kebijakan Publik, 2025), 8–12.
              11. Ibid., 3–10.
              12. Ibid., 25–30.
              13. Ibid., 347.
              14. Sekretariat Kabinet RI, “Pemerintah Evaluasi Dua Proposal Kereta Cepat,” 21 Agustus 2015 (kronologi kompetisi & penajaman opsi pemerintah).
              15. Republik Indonesia, Perpres/54/2010, Pasal 5 (prinsip PBJ).
              16. Ibid., Pasal 6 huruf a–b (etika PBJ: efisiensi, persaingan sehat, keterbukaan informasi).

              Bibliografi 

              Peraturan Perundang-Undangan

              • Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Lembaran Negara RI Tahun 2009 No.112.
              • Republik Indonesia. Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
              • Republik Indonesia. Peraturan Presiden Nomor 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat antara Jakarta dan Bandung.
              • Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Peraturan Lembaga Nomor 5 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa yang Dikecualikan dari Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018.
              • Republik Indonesia. PMK Nomor 89 Tahun 2023 tentang Penjaminan Pemerintah atas Kewajiban PT KAI (Persero) dalam Rangka Proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung.
              Buku & Sumber Akademik
              • Dunn, William N. Public Policy Analysis: An Integrated Approach. 6th ed. New York: Routledge, 2018.
              • Dye, Thomas R. Understanding Public Policy. 14th ed. Boston: Pearson, 2013.
              • Silalahi, Bonatua. Pasar Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Jakarta: Pusat Studi Kebijakan Publik, 2025.

              Sumber Sekunder/Institusional

              • PwC Indonesia. “Government Invests Rp4.3 Trillion in PT KAI for Jakarta–Bandung HSR Project.” Infrastructure News, Oktober 2021.
              • China AidData Project #61320. “Jakarta–Bandung High-Speed Railway Project Loan and Equity Structure.” 2021.
              • Sekretariat Kabinet RI. “Pemerintah Evaluasi Dua Proposal Kereta Cepat.” 21 Agustus 2015.
              Info: 
              Artikel ini adalah bagian Working Paper Penelitian saya berjudul "WHOOSH IN THE PERSPECTIVE OF PUBLIC SERVICE: Between State Mission and Policy Misformulation" yang sedang dalam tahap UNDER REVIEW (30/10/2025) by SSRN (Social Science Research Network) dan dapat didownload dengan mengklik judul artikelnya (huruf biru).

              22 Oktober 2025

              KONPERS PENAHANAN TSK DUGAAN TPK TERKAIT PERJANJIAN JUAL-BELI GAS DI PT PGN TAHUN 2017-2021

              01 Oktober 2025

              KONPERS PENAHANAN TSK DUGAAN TPK TRANSAKSI JUAL BELI GAS ANTARA PT PGN DAN PT IAE TA 2017-2021

              28 September 2025

              Hak Anda untuk Tahu

              Hak Anda untuk Tahu

              Oleh: Dr. Bonatua Silalahi
              (Pegiat Keterbukaan Informasi Publik, pernah bersidang di Komisi Informasi beberapa tahun lalu)


              Latar Belakang

              Pada hari Jumat, 26 September 2025, saya kembali hadir di ruang sidang Komisi Informasi Provinsi DKI Jakarta. Kali ini, saya mengajukan Sengketa Informasi terkait permohonan salinan dokumen duplikat ijazah beserta informasi yang terkandung di dalamnya. Di dinding ruang sidang terpampang slogan besar: “Hak Anda untuk Tahu.”

              Slogan ini sederhana, tetapi sarat makna. Ia mengingatkan kita semua bahwa keterbukaan informasi adalah hak dasar warga negara. Pengalaman saya yang pernah bersidang di tempat ini beberapa tahun lalu membuat saya semakin yakin, perjuangan memperoleh informasi publik adalah jalan panjang untuk memastikan negara bekerja transparan. Dari titik inilah kita perlu memahami lebih jauh apa yang dimaksud dengan hak, publik, dokumen, informasi, dan keterbukaan itu sendiri.


              Apa yang Dimaksud Hak, Publik, Informasi, Dokumen, dan Keterbukaan Informasi?

              Keterbukaan informasi tidak bisa dilepaskan dari definisi dasar konsep-konsep ini:

              1. Hak: hak memperoleh informasi dijamin sebagai hak asasi manusia, ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP).

              2. Publik: menunjuk kepentingan bersama seluruh warga negara, bukan kepentingan pribadi.

              3. Informasi: segala data, keterangan, atau pesan dalam bentuk tulisan, suara, atau visual.

              4. Dokumen: bentuk fisik dari informasi—arsip, ijazah, laporan, atau data elektronik—yang dikelola Badan Publik.

              5. Keterbukaan Informasi: prinsip bahwa semua informasi publik pada dasarnya terbuka, kecuali yang secara hukum dinyatakan dikecualikan.

              Namun, hak atas informasi ini tidak berhenti pada level undang-undang. Ia memperoleh kekuatan tertinggi dari konstitusi negara.


              Hak atas Informasi sebagai Hak Konstitusional

              UUD NRI 1945 menegaskan bahwa hak memperoleh informasi adalah hak konstitusional.

              • Pasal 28F UUD 1945:

                “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”

              Jaminan ini memberi dasar kuat bahwa negara wajib menyediakan akses informasi kepada publik. Meski begitu, UUD juga memberi batasan melalui Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, bahwa hak dan kebebasan hanya dapat dibatasi dengan undang-undang untuk melindungi kepentingan umum, keamanan, moral, dan hak orang lain.

              Dengan demikian, keterbukaan informasi bukan sekadar prosedur administratif, melainkan prinsip konstitusional yang meneguhkan kedudukan rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Untuk memahami lebih jauh siapa yang dimaksud “rakyat” atau “publik” dalam konteks republik, kita perlu meninjau teorinya.


              Teori tentang Publik di dalam Negara Republik

              Publik dalam Perspektif Konstitusional

              Dalam konteks Negara Republik Indonesia, publik berarti seluruh warga negara dan penduduk yang memiliki hak dan kewajiban sebagaimana dijamin dalam UUD NRI 1945.

              • Pasal 1 ayat (2) UUD 1945: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”
                Artinya, publik adalah pemegang kedaulatan. Negara ada untuk melayani, bukan sebaliknya.

              Publik sebagai Pemilik Kedaulatan

              Konsep republik (res publica, dari bahasa Latin: “kepentingan umum”) menegaskan bahwa kekuasaan bukan milik raja, bangsawan, atau elite, melainkan milik rakyat sebagai publik.

              Publik dalam Perspektif UU KIP dan Pelayanan Publik

              • UU KIP: Pemohon informasi adalah warga negara dan/atau badan hukum Indonesia.

              • Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (PP 96/2012): Publik adalah masyarakat, baik perseorangan, kelompok, maupun badan hukum.

              Publik sebagai Pengawas Negara

              Publik tidak pasif. Ia memiliki fungsi kontrol terhadap penyelenggaraan negara melalui hak politik, hak hukum, dan hak sosial.

              Perspektif Filosofis

              Jean-Jacques Rousseau dalam The Social Contract (1762):

              “Sovereignty, being nothing but the exercise of the general will, can never be alienated, and the sovereign, which is only a collective being, can be represented only by itself.”

              📌 Artinya, dalam republik, publiklah yang memegang kedaulatan, bukan raja atau elite tertentu.


              Kedudukan Dokumen Duplikat Ijazah

              Ijazah adalah contoh konkret bagaimana dokumen pribadi bisa berubah status ketika masuk ke ranah publik.

              • Ijazah Asli → milik pribadi, bersifat privat, dilindungi Pasal 17 huruf h UU KIP (rahasia pribadi).

              • Duplikat Ijazah Asli → diserahkan ke Badan Publik (misalnya Komisi Pemilihan Umum), berubah status menjadi dokumen publik. Pasal 8 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 (PP 61/2010) menegaskan informasi pribadi dapat dibuka jika berkaitan dengan jabatan publik.

              Dalam penelitian saya, fokus utamanya bukanlah subjek orangnya (pejabat yang bersangkutan), melainkan objek informasinya, yakni dokumen duplikat ijazah yang disimpan oleh Badan Publik. Penekanan ini penting agar jelas bahwa permohonan informasi tidak ada kaitannya dengan urusan personal, melainkan murni untuk kepentingan publik dan transparansi penyelenggaraan negara.

              📊 Tabel Perbandingan

              AspekIjazah Asli (Private)Duplikat Ijazah Asli (Publik)
              KepemilikanDimiliki langsung oleh individu lulusanDiserahkan kepada Badan Publik
              Sifat DokumenDokumen pribadiDokumen publik
              Dasar HukumPasal 17 huruf h UU KIP (rahasia pribadi)Pasal 2 UU KIP & Pasal 8 ayat (3) PP 61/2010
              Akses PublikTidak bisa diminta tanpa izin pemilikDapat diminta karena syarat jabatan publik
              FungsiBukti sah pendidikan pribadiBukti sah persyaratan jabatan publik
              Perlindungan DataPenuh sebagai rahasia pribadiTerbuka, dengan redaction untuk bagian sensitif

              Contoh Informasi dan Dokumentasi yang Pernah Diminta

              Sebagai peneliti dan pegiat keterbukaan informasi, saya telah mengajukan berbagai permintaan informasi publik. Beberapa di antaranya:

              • Duplikat ijazah Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang disimpan oleh KPU, KPUD Provinsi DKI Jakarta, dan KPUD Kota Surakarta, karena dipakai sebagai syarat pencalonan jabatan publik.

              • Dokumen ijazah Gibran Rakabuming Raka (GRR) yang disimpan KPUD Kota Surakarta dan KPU, karena digunakan sebagai syarat pencalonan jabatan publik.

              • Dokumen ijazah Prof. Dr. Paiman Raharjo, M.Si, baik yang tercatat di PT. Perusahaan Gas Negara (PGN), Tbk. maupun di Universitas Padjajaran, beserta informasi akademik terkait. Permintaan ini diajukan karena dokumen tersebut digunakan untuk menduduki jabatan publik sekaligus menerima fasilitas dan kekayaan negara.

              • Dokumen arsip pendidikan pejabat publik yang seharusnya diserahkan ke Lembaga Kearsipan Daerah (LKD) yaitu Pemerintah Kota Surakarta, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, serta Kementerian Sekretariat Negara, tetapi dalam praktiknya sering masih tertahan di lembaga asal.

              • Dokumen penawaran dari pemenang tender pengadaan barang/jasa pemerintah, karena terkait transparansi anggaran dan akuntabilitas proses lelang.

              • Dokumen Data Profil Pengadaan Barang/Jasa di Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), karena memuat informasi strategis terkait kebijakan dan praktik PBJ yang wajib terbuka untuk publik.

              • Arsip buku, peta kuno, serta peraturan lama di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), yang penting untuk penelitian sejarah, hukum, dan kebijakan publik di Indonesia.

              • Data keuangan di Kementerian Keuangan, yang menyangkut penggunaan APBN serta alokasi anggaran negara, sebagai bentuk transparansi fiskal untuk kepentingan publik.

              Contoh-contoh ini menegaskan bahwa fokus penelitian saya adalah pada objek dokumen dan informasi yang sudah masuk ranah publik, bukan pada privasi pribadi subjek pejabat.


              Sengketa Informasi di Komisi Informasi

              Sengketa informasi terjadi ketika permohonan informasi tidak dipenuhi sebagaimana mestinya. UU KIP memberi jalan penyelesaiannya di Komisi Informasi melalui mediasi atau ajudikasi non-litigasi.

              Perbedaannya dengan pengadilan umum sangat jelas:

              • Pengadilan Negeri → perkara pidana & perdata.

              • Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) → sengketa keputusan tata usaha negara.

              • Komisi Informasi → khusus sengketa keterbukaan informasi publik (quasi peradilan).

              Jika pihak tidak puas, putusan Komisi Informasi dapat dilanjutkan ke PTUN atau Pengadilan Negeri sesuai objeknya.


              Jumlah Majelis dan Sistem Keputusan

              Setiap perkara di Komisi Informasi diputus oleh Majelis Komisioner yang terdiri dari tiga orang: satu ketua majelis dan dua anggota. Komposisi ini dirancang untuk menjaga objektivitas serta memastikan keputusan diambil melalui mekanisme kolektif, bukan kehendak sepihak.

              Dalam sidang, para komisioner tidak hanya bertindak sebagai hakim, tetapi juga mediator. Mereka memimpin jalannya persidangan, mendengarkan argumen para pihak, menilai bukti, dan berupaya mendorong kesepakatan damai. Jika musyawarah tidak membuahkan mufakat, maka keputusan akan ditentukan melalui pemungutan suara, dengan suara terbanyak sebagai penentu hasil.

              Putusan Majelis Komisioner bersifat final dan mengikat bagi para pihak. Artinya, badan publik yang diperintahkan membuka informasi wajib melaksanakannya. Meski begitu, pihak yang tidak puas tetap memiliki ruang hukum untuk melanjutkan sengketa ke pengadilan, baik ke PTUN maupun ke Pengadilan Negeri.

              Dengan mekanisme seperti ini, Komisi Informasi berfungsi sebagai penjaga pertama hak publik atas informasi—memberikan akses keadilan yang cepat, sederhana, dan murah, sekaligus memastikan hak konstitusional warga negara tetap dihormati.


              Penutup

              “Hak Anda untuk Tahu” bukan sekadar slogan di dinding ruang sidang, tetapi janji konstitusional negara. Publik adalah pemilik kedaulatan, dan dokumen publik—termasuk duplikat ijazah pejabat—adalah bagian dari hak rakyat untuk mengawasi negara.

              Hak itu saya ibaratkan semua Manusia tercipta memiliki Otak, Anda berhak menggunakannya meskipun lebih berhak lagi untuk tidak menggunakannya. 

              Setiap sengketa informasi, sekecil apa pun, adalah bagian dari perjuangan besar menuju pemerintahan yang transparan, akuntabel, dan berpihak pada kepentingan rakyat.

              👉 Untuk memahami lebih jauh, saya sarankan Anda membaca langsung pengalaman aktivitas saya dalam memperjuangkan Hak untuk Tahu di blog berikut:
              https://www.kebijakanpublikpengadaanbarangjasapemerintah.com/search/label/INFORMASI%20PUBLIK

              POSTINGAN TERBARU

              WHOOSH, SALAH FORMULASI KEBIJAKAN?

              (Analisis Tahapan Thomas R. Dye dan Evaluasi dengan Pendekatan William N. Dunn dalam Perspektif UU/25/2009)  oleh: Dr. Bonatua Silalahi (Pen...