Layanan Jasa Konsultasi.

Kami dapat memberikan JASA Nasehat Kebijakan terhadap Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan; Pengadaan Barang/Jasa Konstruksi (Perencanaan - Persiapan - Pelaksanaan - Kontrak); dan Pemenangan Tender. Kami juga membantu membuat Kebijakan Perusahaan (Peraturan Direksi dan Dokumen Tender). Hubungi bonatua.766hi@gmail.com

Translate

Tampilkan postingan dengan label KAJIAN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label KAJIAN. Tampilkan semua postingan

14 Juli 2023

Pengawasan Penyelenggaraan Jasa Konstruksi berikut Sanksi-nya.

    Pengawasan penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah harus dilaksanakan mengikuti ketentuan dalam PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT NOMOR 1 TAHUN 2023 TENTANG PEDOMAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN JASA KONSTRUKSI YANG DILAKSANAKAN PEMERINTAH DAERAH PROVINSI, KABUPATEN, DAN KOTA paling lambat tanggal 30 Juli 2023. Pemberian waktu persiapan bagi PEMDA menurut saya sudah sangat cukup mengingat Peraturan ini telah diundangkan sejak 13 Januari 2023 dan dapat di download di https://jdih.pu.go.id/detail-dokumen/2983/1#div_cari_detail. Kebijakan ini juga telah saya analisis dan hasilnya menyimpulkan bahwa Aturan ini berkekuatan hukum mengikat, jabaran analisisnya dapat dibaca di link berikut https://www.kebijakanpublikpengadaanbarangjasapemerintah.com/2023/07/peraturan-menteri-pekerjaan-umum-dan.html.


Adapun lingkup kewenangan adalah:
  1. kegiatan konstruksi yang dibiayai dengan dana APBD/bukan pada kewenangan Pemerintah Pusat; dan
  2. kegiatan yang dibiayai dengan dana masyarakat, swasta atau badan usaha.

Dalam Pedoman ini, Gubernur ataupun bupati/walikota dapat mengenakan sanksi administratif kepada:
A. Penyedia Jasa;
B. Tenaga Kerja Konstruksi (TKK);
C. Pengguna Jasa; dan/atau
D. Pemilik/pengelola bangunan.
A. Untuk Penyedia Jasa dapat dikenakan sanksi administratif dalam hal:
  1. tidak memiliki Perizinan Berusaha yang meliputi Nomor Induk Berusaha dan sertifikat standar;
  2. tidak memenuhi Standar K4;
  3. tidak memenuhi ketentuan pengesahan atau persetujuan;
  4. tidak memiliki SBU di wilayah masing-masing;
  5. tidak memenuhi ketentuan pemberian pekerjaan utama kepada subpenyedia jasa;
  6. tidak memenuhi kewajiban untuk mengganti atau memperbaiki kegagalan bangunan; dan/atau
  7. mempekerjakan TKK yang tidak memiliki SKK Konstruksi.
B. Untuk TKK dapat dikenakan sanksi administratif dalam hal:
  1. tidak memiliki SKK Konstruksi; dan/atau
  2. tidak melaksanakan pekerjaan sesuai dengan SKK Konstruksi yang dimiliki.
C. Untuk Pengguna Jasa dapat dikenakan sanksi administratif dalam hal:
  1. tidak memenuhi Standar K4;
  2. tidak memberikan pekerjaan konstruksi untuk kepentingan umum melalui proses tender, seleksi, atau katalog elektronik;
  3. tidak memenuhi ketentuan pengesahan atau persetujuan;
  4. tidak menggunakan layanan profesional TKK pada kualifikasi jenjang jabatan ahli dengan memperhatikan remunerasi minimal; dan/atau
  5. mempekerjakan TKK yang tidak memiliki SKK Konstruksi.
D. Untuk Pemilik/pengelola bangunan dapat dikenakan sanksi administratif atas pelanggaran kewajiban sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Adapun Jenis sanksi administratif yang dapat dikenakan oleh gubernur dan bupati/walikota berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda administratif;
c. penghentian sementara layanan kegiatan; dan
d. pemberhentian dari tempat kerja.
Selain sanksi administratif diatas, gubernur dan bupati/walikota dapat memberikan rekomendasi pengenaan sanksi administratif berupa:
a. pencantuman dalam daftar hitam;
b. pembekuan Perizinan Berusaha;
c. pencabutan Perizinan Berusaha;
d. pencabutan SBU;
e. pembekuan SKK Konstruksi;
f. pencabutan SKK Konstruksi; dan/atau
g. pemberhentian sementara layanan usaha jasa konstruksi.
Pengenaan sanksi administratif kelanjutan rekomendasi gubernur dan bupati/walikota diberikan dilakukan oleh pejabat berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Besaran denda administrasi dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan setelah Penyedia Jasa, TKK, dan Pengguna Jasa  mendapatkan ketetapan dari gubernur atau bupati/walikota.

13 Juli 2023

ANALISIS PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM & PERUMAHAN RAKYAT NOMOR 1 TAHUN 2023 TENTANG PEDOMAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN JASA KONSTRUKSI YANG DILAKSANAKAN PEMERINTAH DAERAH PROVINSI, KABUPATEN, DAN KOTA.

    Menteri PEKERJAAN UMUM & PERUMAHAN RAKYAT (PUPR) pada tanggal 9 Januari 2023 telah mengeluarkan Peraturan Menteri PUPR NOMOR 1 TAHUN 2023 TENTANG PEDOMAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN JASA KONSTRUKSI YANG DILAKSANAKAN PEMERINTAH DAERAH PROVINSI, KABUPATEN, DAN KOTA (PMPUPR1/13) dan telah diundangkan oleh MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA pertanggal 13 Januari 2023. Pada ketentuan Penutupnya disebutkan bahwa Pengawasan penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah harus dilaksanakan mengikuti ketentuan dalam Peraturan Menteri ini paling lambat akhir bulan Juli tahun 2023.

    Kebijakan ini sangat menarik untuk dianalisis mengingat muatan materi yang diatur beririsan antara 2 (dua) Regulator yang berwenang yaitu antara Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah (Pemda). Pemerintahan Pusat dalam hal ini diwakili Kementerian PUPR merupakan pelaksana dari Undang-Undang nomor 02 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (UU2/17sedangkan Pemda dalam hal ini Pemerintahan Provinsi dan Pemerintahan Kabupaten/Kota merupakan pelaksana dari Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU23/14). Kedua Undang-Undang tersebut memiliki kesamaan yaitu terakhir kali dirubah oleh Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang tentang Cipta Kerja yang telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 06 tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU6/23).

I. POLICY MAPPING

Jika dilihat dari Peta Kebijakan terkait Konstruksi (lihat di link berikut: https://www.kebijakanpublikpengadaanbarangjasapemerintah.com/search/label/PETA%20KEBIJAKAN), maka posisi kebijakan PMPUPR1/23 dapat dipetakan pada gambar olahan VOSviewer sebagai berikut: 


II. BATANG TUBUH

BAB I KETENTUAN UMUM (Pasal 1 sampai dengan Pasal 2)
BAB II KEWENANGAN (Pasal 3 sampai dengan Pasal 10)
Bagian Kesatu Kewenangan Provinsi
Bagian Kedua Kewenangan Kabupaten/Kota
BAB III JENIS PENGAWASAN (Pasal 11 sampai dengan Pasal 19)
BAB IV PELAKSANA PENGAWASAN (Pasal 20)
BAB V TATA CARA PENGAWASAN (Pasal 21 sampai dengan Pasal 61)
Bagian Kesatu Umum
Paragraf 1 Tata Cara Pengawasan Rutin
Paragraf 2 Tata Cara Pengawasan Insidental
Bagian Kedua Tata Cara Pengawasan Tertib Usaha Jasa Konstruksi
Bagian Ketiga Tertib Penyelenggaraan Jasa Konstruksi
Paragraf 1 Umum
Paragraf 2 Tata Cara Pengawasan Rutin Tertib Penyelengaraan Jasa Konstruksi
Paragraf 3 Tata Cara Pengawasan Insidental Tertib Penyelengaraan Jasa Konstruksi
Bagian Keempat Tata Cara Pengawasan Tertib Pemanfaatan Produk Jasa Konstruksi
Bagian Kelima Instrumen Pemeriksaan
BAB VI PELAPORAN DAN TINDAK LANJUT REKOMENDASI PENGAWASAN
(Pasal 62 sampai dengan Pasal 67)
Bagian Kesatu Pelaporan Pengawasan
Bagian Kedua Tindak Lanjut Rekomendasi Pengawasan
BAB VII PEMBINAAN PENGAWASAN (Pasal 68 sampai dengan Pasal 69)
Bagian Kesatu Pembinaan
Bagian Kedua Pemantauan dan Evaluasi
BAB VIII PENDANAAN (Pasal 70)
BAB IX SANKSI ADMINISTRATIF DAN TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF (Pasal 71 sampai dengan Pasal 73)
Bagian Kesatu Sanksi Administratif
Bagian Kedua Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif
BAB X KETENTUAN PERALIHAN (Pasal 74)
BAB XI KETENTUAN PENUTUP (Pasal 75)

Untuk mendapatkan isi peraturan secara lengkap, bisa dilihat di link berikut : https://www.kebijakanpublikpengadaanbarangjasapemerintah.com/2023/07/peraturan-menteri-pekerjaan-umum-dan_13.html

III. PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN.

A. Uji Kekuatan Hukum Mengikat :

Berdasarkan  Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2020 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2020 tentang Peraturan Pelaksanaan UU 2/17 maka Menteri PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT selaku Regulator hanya ditugaskan untuk membuat:
  1. Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan Kualifikasi usaha sebagaimana dimaksud pada Pasal 11 ayat (1) huruf b.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai subklasifikasi dan kriteria subklasifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 sampai dengan Pasal 19.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai optimalisasi penggunaan sumber daya material dan peralatan Konstruksi dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan registrasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 26 ayat (2).
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pencatatan sumber daya material Konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26B dan pencatatan sumber daya peralatan Konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26C diatur
  5. Ketentuan lebih lanjut mengenai penyetaraan sebagaimana dimaksud pada Pasal 28 ayat (4).
  6. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian rekomendasi dan registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6).
  7. Ketentuan lebih lanjut mengenai sumber daya Konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 sampai dengan Pasal 32.
  8. Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman penilaian kriteria risiko, kriteria teknologi, dan kriteria besaran biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) sampai dengan ayat (4).
  9. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan lembaga sertifikasi badan usaha yang dibentuk oleh asosiasi badan usaha terakreditasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) dan besaran biaya sertifikasi badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3).
  10. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan Pekerjaan Konstruksi yang dilakukan Penyedia Jasa Konsultansi Konstruksi.
  11. Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan usaha Pekerjaan Konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1).
  12. Ketentuan lebih lanjut mengenai kinerja Penyedia Jasa (dihapus).
  13. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemilihan Penyedia Jasa untuk: a. pengadaan Pekerjaan Konstruksi dan jasa Konsultansi Konstruksi; dan b. pengadaan Pekerjaan Konstruksi Terintegrasi,
  14. Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan dokumen terstandar sebagaimana dimaksud pada Pasal 77 ayat (1) huruf a.
  15. Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk, syarat, dan dokumen terstandar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 sampai dengan Pasal 82.
  16. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan petunjuk teknis Dewan Sengketa dalam kontrak kerja Konstruksi yang dananya bersumber dari keuangan negara sebagaimana dimaksud pada Pasal 96 ayat (4).
  17. Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme penyelesaian pengaduan masyarakat dalam Penyelenggaraan Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 dan Pasal 142.
  18. Ketentuan lebih lanjut mengenai Forum Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 sampai dengan Pasal 149.
Berdasarkan PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2021 TENTANG PENYELENGGARAAN PERIZINAN BERUSAHA BERBASIS RISIKO maka Menteri PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT hanya ditugaskan untuk membuat:
  1. Standar kegiatan usaha dan/atau standar produk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d pada masing-masing sektor.
  2. Ketentuan mengenai evaluasi kesesuaian dan rekomendasi teknis sebagaimana dimaksud pada Pasal 106 ayat (3). 
Berdasarkan PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2020 TENTANG KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT maka Menteri PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT memiliki kewenangan dalam bentuk tugas & fungsi sebagai berikut:

Pasal 4
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara.

Pasal 5
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menyelenggarakan fungsi:
    1. Perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengelolaan sumber daya air, penyelenggaraan jalan, penyelenggaraan sistem penyediaan air minum, pengelolaan air limbah domestik, pengelolaan drainase lingkungan, dan pengelolaan persampahan, penataan bangunan gedung, pengembangan kawasan permukiman, pengembangan sarana prasarana strategis, penyelenggaraan perumahan, pelaksanaan pembiayaan infrastruktur pekerjaan umum dan perumahan, serta pembinaan jasa konstruksi;
    2. Koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan administrasi kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat;
    3. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat;
    4. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat;
    5. Pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat di daerah;
    6. Pelaksanaan penyusunan kebijakan teknis dan rencana terpadu program pembangunan infrastruktur pekerjaan umum dan perumahan rakyat berdasarkan pendekatan pengembangan wilayah;
    7. Pelaksanaan pengembangan sumber daya manusia di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat;
    8. Pelaksanaan dukungan yang bersifat substantif kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat; dan
    9. Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Presiden.
Dapat saya nyatakan bahwa PMPUPR1/23 dibentuk bukan atas perintah Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi namun karena dibentuk berdasarkan kewenangan Presiden yang diberikan kepada Menteri PUPR dalam menjalankan fungsi Pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat di daerah, dengan begitu Kebijakan ini memiliki kekuatan hukum mengikat.

B. Uji Tumpang Tindih Kewenangan.

Berdasarkan UU23/14 sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan  UU6/23, maka Kewenangn Pemerintah Daerah (Pasal 12) adalah antara lain Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar meliputi: a. pendidikan; b. kesehatan; c. pekerjaan umum dan penataan ruang; d. perumahan rakyat dan kawasan permukiman; e. ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat; dan f. sosial

Namun berdasarkan perubahan pasal 16 (hasil perubahan) disebutkan bahwa Pemerintah Pusat dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan konkuren berwenang untuk:

  1. menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria dalam rangka penyelenggaraan Urusan Pemerintahan; dan
  2. melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.

Norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana dimaksud berbentuk ketentuan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat sebagai aturan pelaksanaan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat dan yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah. Kewenangan Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dibantu oleh kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian.


Dapat saya nyatakan bahwa meskipun Urusan Pekerjaan umum dan penataan ruang; serta Urusan perumahan rakyat dan kawasan permukiman tergolong Urusan Pemerintahan yang Konkuren yang norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelenggaraannya dapat dibuat sendiri oleh Pemda, namun karena Pemerintah Pusat dalam hal ini Kementerian PUPR telah menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria dalam bentuk PMPUPR1/23 maka berdasarkan UU6/23 sangat jelas tumpang tindih kebijakan pengawasan dapat dihindari, jikapun sudah terjadi dimana terdapat Peraturan Daerah mengatur hal yang sama dan pengaturannya terjadi pertentangan maka kedudukan PMPUPR1/23 lebih tinggi.


Kesimpulan.
  1. Dari analisis uji apakah PMPUPR1/23 memiliki Kekuatan Hukum Mengikat diperoleh fakta bahwa kebijakan ini dibuat atas dasar kewenangan Menteri PUPR yang bersumber dari Presiden dengan begitu jelas berkekuatan Hukum Mengikat. 
  2. Dari analisis uji apakah ada tumpang tindih kepentingan maka diperoleh fakta Pemda pada awalnya menurut UU23/14 memiliki kewenangan, namun oleh karena UU6/23 menurunkan PMPUPR1/23, ini menjadikan kewenangan Pusat lebih kuat.   




18 Februari 2023

SWAKELOLA, MENGHAMBAT UMK MASUK PASAR BELANJA NEGARA!

——————————   ◆   ——————————

1. PENDAHULUAN                                                                     
Pengadaan Barang/Jasa (PBJ) Pemerintah adalah kegiatan Pengadaan Barang/Jasa oleh Kementerian/Lembaga/ Perangkat Daerah (K/L/PD) yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang prosesnya sejak identifikasi kebutuhan, sampai dengan serah terima hasil pekerjaan yang terdiri dari belanja Barang/Jasa (Barjas) serta Belanja Modal. Kebijakan Pengadaan di Indonesia saat ini diatur oleh Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2021 tentang Perubahan Peraturan Presiden Nomor 16 tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perpres 16/18'). Pengadaan Barang/Jasa dalam Perpres ini meliputi: Barang; Pekerjaan Konstruksi; Jasa Konsultansi; dan Jasa Lainnya. 

PBJ sendiri dilaksanakan dengan dua cara yaitu Swakelola; dan/atau Penyedia. Swakelola adalah cara memperoleh barjas yang dikerjakan sendiri oleh K/L/PD, K/L/PD lain, organisasi masyarakat (Ormas), atau kelompok masyarakat (Pokmas) sedangkan Penyedia adalah badan usaha atau perseorangan yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu yang menyediakan barjas berdasarkan kontrak.

Penelitian ini dilakukan dalam rangka menjawab keluhan Penyedia golongan Usaha Mikro Kecil (UMK). Mereka mempertanyakan maraknya Pengadaan yang dibiayai oleh Belanja Negara/Daerah yang dilakukan tanpa diketahui publik secara meluas, pengadaan ini juga dilaksanakan tanpa melalui Proses Tender karena langsung dikerjakan oleh Aparat Sipil Negara (ASN), Ormas dan Pokmas. Pengadaan tersebut antara lain pekerjaan pembangunan, rehab maupun  pemeliharaan gedung, pengadaan pakaian, tenaga cleaning services/keamanan dan lainnya. Terjadi kecemburuan sosial dan Ekonomi antara UMK yang merupakan Badan Usaha yang mengeluarkan modal kerja (Peralatan, Tenaga Kerja dan Perizinan berusaha) terhadap ASN, Ormas dan Pokmas yang bukanlah Badan Usaha sama sekali namun mendapat perhatian khusus dari Negara dengan porsi yang sangat besar. Kecemburuan tersebut diperparah Pandemi Covid-19 yang membuat ekonomi UMK semakin terpuruk karena sektor Swasta harapan terakhir pengguna barang/jasa-nya ternyata berhenti total, disisi lain alokasi Belanja Negara/Daerah untuk porsi Penyedia ternyata juga banyak yang stop maupun dialihkan ke Penanganan Covid. Dengan kajian ini, besar harapan dapat memberikan jawaban atas permasalahan yang dialami mereka.

Berdasarkan Laporan Kinerja Pelaksanaan PBJ K/L/PD tahun 2022 data end year 2022 (https://monev.lkpp.go.id/flipbookkl/) yang dikeluarkan oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), total Rencana Umum Pengadaan (RUP) Belanja Barang/Jasa Pemerintah tahun 2022 yang diumumkan di Sistem RUP  sebesar Rp. 1.204,97 Triliun (T). Dari Total RUP barjas tersebut, Rp. 410,37 T(34,10%) direncanakan dikerjakan melalui swakelola murni tanpa penyedia dan selebihnya dikerjakan melalui Penyedia Rp. 794,6  T (65,9%). Dari total alokasi penyedia, hanya Rp. 181,25 T (22,8%) diperuntukkan bagi UMK. Berdasarkan olahan data dari Overview RUP 2022 LKPP (https://lookerstudio.google.com/embed/u/0/reporting/4482ff4e-f62b-4454-98eb-7ebae94e3401/page/IjAmC), total jumlah paket dialokasikan untuk Swakelola adalah sebanyak 1.790.215 (35,8%)  dengan rata-rata nominal per paket swakelola adalah sebesar Rp. 229.229.450,-(diolah).

Berdasarkan Undang-Undang nomor 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, KecilL, dan Menengah maka ambang batas nilai hasil penjualan tahunan paket pengadaan barang jasa yang bisa dikerjakan UMK adalah paling banyak Rp. 2.500.000.000, -(Dua Milyar Lima Ratus Juta Rupiah), namun oleh Pasal 85 Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja tentang perubahan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, nilai tersebut telah dinaikkan menjadi Rp. 15.000.000.000, -(Lima Belas Milyar Rupiah) yang diberlakukan sejak tanggal 20 November 2020. Rata-rata Nominal Paket Swakelola masih berada dibawah ambang batas nilai hasil penjualan tahunan paket pengadaan barang jasa yang bisa dikerjakan UMK.

Berdasarkan data resmi Rencana Strategis Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah tahun 2020-2024 (https://kemenkopukm.go.id/uploads/laporan/1600168483_RENSTRA%202020-2024%20OK.pdf) bahwa pada tahun 2018 terdapat jumlah UMK sebanyak 64.283.132 Unit (olahan data). Berdasarkan LKPP dalam surat jawaban permohonan Informasi publik nomor 21327/Ses.3/10/2021 bahwa pertanggal 28 September 2021 terdapat sebanyak 429.868 Penyedia yang terdaftar di LPSE. Dengan asumsi bahwa Penyedia seluruhnya adalah UMK maka dapat dikatakan hanya 0,27% saja UMK yang ikut berpartisipasi langsung pada pasar PBJ. Untuk dapat mengikuti kegiatan Pengadaan Pemerintah, setiap penyedia diwajibkan memiliki Akun Elektronik dengan cara mendaftar di LPSE tentunya setelah memenuhi persyaratan dasar seperti Perizinan dan Legalitas badan usaha, tanpa akun LPSE maka UMK hanya dapat berpartisipasi sebagai subpenyedia.

Di level Internasional terdapat Dua Pedoman Pengadaan yaitu World Trade Organization (WTO) dengan pedoman Agreement on Government Procurement (GPA 2012) dan United Nations (UN) dengan pedoman UNCITRAL Model Law on Public Procurement of Goods, Construction and Services (2011). Meskipun begitu, kebijakan PBJ Indonesia sampai saat ini belum meratifikasi satupun pedoman tersebut dan menggunakan Peraturan Presiden sebagai kebijakan tertinggi dalam mengatur PBJ-nya.

Indonesia resmi memperkenalkan Swakelola sebagai Metode/Sistem Pengadaan Barang/Jasa Pemborongan dan Jasa lainnya melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan masih tetap dipakai hingga saat ini, di European Union (EU), Swakelola (In-House) pertama sekali diperkenalkan pada kebijakan Directive 2004/18/EC, namun aturan ini telah dicabut oleh Directive 2014/24/EU dan dinyatakan sebagai pengadaan pengecualian yang dilaksanakan secara sangat ketat.

PBJ di Indonesia yang tunduk kepada Perpres 16/18' dilaksanakan sesuai prinsip Efisien; Efektif; Transparan; Terbuka; Bersaing; Adil; dan Akuntabel. PBJ menurut GPA 2012 hanya berdasarkan prinsip Non-discrimination, Transparency and Procedural fairness. PBJ menurut Model Law (2011) mengacu kepada prinsip Objectivity, Fairness, Participation, Competition, and Integrity. Terkait Swakelola, baik GPA 2012 maupun Model Law (2011) tidak menyarankan dilakukan pada PBJ yang nilainya berada diatas Nilai Ambang Batas namun untuk yang nilainya dibawah ambang batas maka kebijakannya diserahkan kepada negara masing-masing. Sebagai perbandingan, kami mengacu ke Jerman mengingat 90% dari total jumlah PBJ-nya (75% dari total nilai pagu) berada di bawah ambang batas EU (2018), disamping itu Negara ini juga terkenal memiliki sistem pengadaan yang cepat, fleksibel, efisien, dan rendah birokrasi. PBJ yang dibawah Ambang batas EU harus mematuhi kebijakan Unterschwellen-vergabeordnung Edisi 2017. Prinsip mereka adalah Transparansi, Persaingan, non diskriminasi, Perlakuan yang sama, Kepentingan untuk usaha kecil dan menengah, Keberlanjutan dan e-Procurement. Swakelola di Jerman adalah prosedur yang dikecualikan dan pengawasannya sangat ketat yang tidak boleh melanggar prinsip Kepentingan untuk Usaha Kecil dan Menengah, meskipun tidak ada larangan namun pada prakteknya Swakelola hampir mustahil ditemukan. 


Tata cara swakelola di Indonesia diatur Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 3 Tahun 2021 Tentang Pedoman Swakelola (PLKPP 03/21). Swakelola dilaksanakan manakala barjas yang dibutuhkan tidak dapat disediakan atau tidak diminati oleh pelaku usaha atau lebih efektif dan/atau efisien dilakukan oleh Pelaksana Swakelola. Swakelola dapat juga digunakan dalam rangka mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya/kemampuan teknis yang dimiliki pemerintah, barjas yang bersifat rahasia dan mampu dilaksanakan oleh K/L/PD yang bersangkutan, serta dalam rangka peningkatan peran serta/pemberdayaan Ormas dan Pokmas. Swakelola dilaksanakan oleh Penyelenggara Swakelola yang terdiri dari: Tim Persiapan, Tim Pelaksana, dan Tim Pengawas. Untuk Jenis Tipe Swakelola dan penetapan Penyelenggaranya sendiri adalah sebagai berikut:  
a. tipe I yaitu Swakelola yang direncanakan, dilaksanakan, dan diawasi oleh K/L/PD penanggung jawab anggaran; Penyelenggara Swakelola ditetapkan oleh Pengguna Anggaran (PA)/Kuasa Pengguna Anggaran (KPA).
b. tipe II yaitu Swakelola yang direncanakan, dan diawasi oleh K/L/PD penanggung jawab anggaran dan dilaksanakan oleh K/L/PD lain pelaksana Swakelola; Tim Persiapan dan Pengawas ditetapkan oleh PA/KPA, dan Tim Pelaksana ditetapkan oleh K/L/PD pelaksana Swakelola. Tim Pelaksana pada K/L/PD pelaksana Swakelola dapat ditetapkan oleh Pejabat sesuai dengan kewenangan yang dimiliki.
c. tipe III yaitu Swakelola yang direncanakan dan diawasi oleh K/L/PD penanggung jawab anggaran dan dilaksanakan oleh Ormas pelaksana Swakelola; Tim Persiapan dan Tim Pengawas ditetapkan oleh PA/KPA, dan Tim Pelaksana ditetapkan oleh pimpinan calon pelaksana Swakelola. 
d. tipe IV yaitu Swakelola yang direncanakan oleh K/L/PD penanggung jawab anggaran dan/atau berdasarkan usulan Pokmas, dan dilaksanakan serta diawasi oleh Pokmas pelaksana Swakelola. Tim Persiapan, Tim Pelaksana, dan Tim Pengawas ditetapkan oleh pimpinan Pokmas pelaksana Swakelola. 

Dalam menganalisa Implementasi Kebijakan terkait Swakelola maka kami mencoba mengukur apakah ketujuh prinsip PBJ yang diatur di Perpres 16/18' tidak dilanggar, sebagai pembanding hasil pengukuran maka di bagian akhir kami juga akan menampilkan hasil penelitian yang mendukung kajian kami ini. Pada bagian pembahasan akan dijabarkan pengukuran kepatuhan Swakelola terhadap tujuh prinsip PBJ di Indonesia, sebagai catatan mengingat pada Perpres 16/18' tidak memiliki bagian penjelasan maka definisi setiap prinsip diambil dari Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang meskipun telah dicabut namun masih dianggap valid karena ketentuan tentang prinsip PBJ tidak mengalami perubahan sebagai berikut:
1) Efisien yaitu Harus diusahakan dengan menggunakan dana dan daya yang minimum untuk mencapai kualitas dan sasaran dalam waktu yang ditetapkan atau menggunakan dana yang telah ditetapkan untuk mencapai hasil dan sasaran dengan kualitas yang maksimum. 
2) Efektif yaitu Harus sesuai dengan kebutuhan dan sasaran yang telah ditetapkan serta memberikan manfaat yang sebesar-besarnya. 
3) Transparan yaitu semua ketentuan dan informasi mengenai PBJ bersifat jelas dan dapat diketahui secara luas oleh Penyedia Barjas yang berminat serta oleh masyarakat pada umumnya. 
4) Terbuka, yaitu Pengadaan dapat diikuti oleh semua Penyedia Barjas yang memenuhi persyaratan/kriteria tertentu berdasarkan ketentuan dan prosedur yang jelas. 
5) Bersaing, berarti PBJ harus dilakukan melalui persaingan yang sehat diantara sebanyak mungkin Penyedia Barjas yang setara dan memenuhi persyaratan, sehingga dapat diperoleh Barjas yang ditawarkan secara kompetitif dan tidak ada intervensi yang mengganggu terciptanya mekanisme pasar dalam PBJ. 
6) Adil/tidak diskriminatif, berarti memberikan perlakuan yang sama bagi semua calon Penyedia Barjas dan tidak mengarah untuk memberi keuntungan kepada pihak tertentu, dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional. 
7) Akuntabel yaitu Harus sesuai dengan aturan dan ketentuan yang terkait dengan PBJ sehingga dapat dipertanggungjawabkan.

2. METODE RISET/KAJIAN
Penelitian ini dilakukan dengan Metode Kualitatif yaitu dengan melakukan studi literatur terhadap kebijakan Nasional dan Internasional di bidang Pengadaan. Pendekatan dilakukan dengan Pendekatan Deskriptif Normatif yaitu Norma Kebijakan dideskripsikan lalu dibandingkan terhadap Implementasi di lapangan baik terhadap Peraturan Petunjuk Teknis Pelaksanaan maupun Praktek yang terjadi dilapangan.

3. PEMBAHASAN
Terhadap implementasi tujuh prinsip PBJ pada swakelola di Indonesia, kami menemukan bahwa:
1) Terhadap Prinsip Efisien: Berdasarkan ketentuan Kontrak swakelola pada PLKPP 03/21, ternyata untuk Type I tidak ada Negosiasi harga dan untuk Type II sampai IV dilakukan Negosiasi Harga antara PPK dan Tim Pelaksana. Prosedur Negosiasi yang dilakukan keduanya akan kental bernuansa Korupsi Kolusi Nepotisme karena prosesnya diadakan tertutup, seleksi Tim Pelaksanaanya tidak transparan dan para pihak berada pada kendali satu Pimpinan/berafiliasi. Kehadiran Ormas/Pokmas juga disinyalir atas dasar pertemanan dan hubungan tidak profesional yang cenderung terjadi barter kepentingan. Hal ini sangat berbeda apabila pengadaan tersebut dilakukan melalui penyedia yang melakukan penawaran harga yang sangat kompetitif dan transparan melalui LPSE.
2) Terhadap Prinsip Efektif: Pelaksanaan dan Pengawas berada pada kendali satu Pimpinan/berafiliasi yang berpotensi membuat capaian sasaran kualitas barjas tidak sesuai harapan, hal ini disinyalir menjadi transaksional yang saling menguntungkan akibat tidak efektifnya pengawasan. Berbeda jika dilakukan melalui penyedia karena pengawasannya dilakukan oleh penyedia yang lain.
3) Terhadap Prinsip Transparan: Pada deskripsi transparan jelas menyebutkan kata Penyedia, jadi sedari awal memang PBJ diperuntukkan hanya untuk Penyedia. Swakelola bisa saja menggunakan jasa penyedia namun pelaksanaan PBJ-nya sudah mengacu ke Peraturan LKPP Nomor 12 tahun 2021 tentang Pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah melalui penyedia. 
a. Sebagai masyarakat, ketersediaan Informasi tentang Swakelola ini sangat minim, dengan mengambil penyajian informasi terkait swakelola pada LPSE (gambar 1), terlihat tidak ada informasi Spesifikasi, Kualitas dan Kuantitas barjas yang diadakan, tidak pula tercantum siapa Penyelenggara swakelolanya dan berapa efisiensi harga yang ditawarkannya terhadap Nilai Pagu. 
b. Pada tahun anggaran 2020, dari realisasi Belanja sebesar 390,08 T, terdapat 328,8 T diadakan melalui Penyedia dan sisanya 61,70 T dilakukan secara Swakelola dan hanya 4 T yang dilaporkan di LPSE sedangkan sisanya 57,70 T tidak jelas Informasinya, ini terjadi karena Pimpinan K/L/PD tidak mencatatkan realisasi belanja Swakelolanya di LPSE. Dalam hal ini LKPP hanya mensyaratkan kepada PA/KPA melakukan pencatatan saja namun meskipun hanya begitu tetap laporan pencatatannya tidak Transparan.

Gambar 1. Contoh screenshoot informasi paket 
swakelola yang ditayangkan di LPSE

4) Terhadap Prinsip Terbuka, Bersaing dan Adil: Tidak dapat diukur mengingat 3 prinsip ini sudah pasti tidak terpenuhi karena tidak melibatkan Penyedia.
5) Terhadap Prinsip Akuntabel:
a. Pekerjaan Konstruksi yang dikerjakan secara swakelola bertentangan dengan Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja Pasal 52 tentang perubahan Undang-Undang nomor 02 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi juncto Peraturan Pemerintah Nomor 05 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko juncto Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor 06 tahun 2021 tentang  Standar Kegiatan Usaha dan Produk pada Penyelenggaraan Perizinan berusaha berbasis Risiko sektor PUPR. Seharusnya pekerjaan Konstruksi dikerjakan oleh Badan Usaha yang memiliki Sertifikat Badan Usaha Konstruksi (SBU) karena Jasa Konstruksi merupakan pekerjaan beresiko Menengah Tinggi, dan untuk memperoleh SBU, Menteri mewajibkan pelaksanaanya memiliki Nomor Induk Berusaha dan Sertifikat Keterampilan Kerja Konstruksi. Penyelenggara Swakelola jelas tidak bisa memenuhi perizinan seperti ini dan tindakannya yang mengerjakan pekerjaan konstruksi tanpa memiliki perizinan standar jelas tidak akuntabel.
b. Pemberdayaan UMK pada pasar PBJ belum maksimal sebagaimana yang diperintahkan Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja Pasal 85 tentang perubahan Undang-Undang nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah juncto Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 2021 tentang Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah junto Instruksi Presiden Nomor 2 tahun 2022 tentang Percepatan Peningkatan Penggunaan Produk dalam Negeri dan Produk Usaha Mikro Kecil dan Koperasi dalam rangka menyukseskan Gerakan Nasional Bangga buatan Indonesia pada pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Paket-paket pekerjaan Swakelola rata-rata dibawah Lima Belas Milyar rupiah adalah lahan yang dapat disediakan dan sangat diminati UMK. Belanja Negara/Daerah semestinya berfungsi sebagai perangsang pasar dari produk UMK sehingga Pemberdayaannya haruslah semaksimal mungkin. Dengan memberdayakan ASN/Ormas/Pokmas melalui Swakelola maka secara otomatis akan mengucilkan partisipasi UMK pada penggunaan Dana Publik dan Pelaksanaan PBJ menjadi tidak akuntabel terhadap PPU diatas. Untuk tahun 2022 saja Pemerintah mengalokasikan 415,00 T untuk Swakelola sedangkan UMK hanya 265,19 T. Ratio Swakelola yang 1,65 kali lebih besar dari UMK, ini menandakan bahwa PBJ kita sebenarnya lebih memberdayakan ASN/ormas/pokmas ketimbang UMK, padahal PPU memerintahkan yang diberdayakan semaksimal mungkin harusnya adalah UMK.

Terhadap implementasi prinsip Pengadaan negara lain pada swakelola telah pula diteliti oleh Virginijus Kanapinskas dan kawan-kawan (dkk) pada artikelnya berjudul In-House Procurement exception: threat for sustainable procedure of public procurement? karena Negara Lithuania adalah anggota EU maka sistem PBJ-nya terikat pada Directive 2014/24/EU. Statement mereka menunjukkan bagaimana Swakelola harusnya dijadikan pengecualian dari sistem PBJ serta diawasi secara ketat karena dampaknya terhadap moral hazard dan tidak ekonomis. Mereka menekankan bahwa setiap Penerapan "pengecualian" pada pengadaan publik patut dipertanyakan karena setiap penyimpangan dari aturan umum sering menciptakan prasyarat untuk pelanggaran prinsip pengadaan seperti transparansi, akuntabilitas, keterbukaan, dan kesetaraan hak pemasok. Hal tersebut juga berlaku untuk pengecualian Swakelola karena penggunaannya dapat menimbulkan korupsi, pembelian yang tidak transparan, serta mengancam efisiensi pengadaan dan persaingan yang sehat. Swakelola pada dasarnya menghilangkan persaingan yang merupakan sifat dasar dari Undang-Undang pengadaan publik EU. Kebutuhan dan manfaat persaingan untuk pengadaan publik tidak diragukan lagi karena hanya persaingan yang memungkinkan pemasok untuk meniru kekuatan satu sama lain dan untuk memperebutkan pasar, yang berarti harga barjas yang lebih rendah dan kualitas yang lebih tinggi. Pada dasarnya, hanya persaingan dalam pengadaan publik yang dapat memastikan penggunaan dana publik secara efektif.

4. PENUTUP
Keberadaan Swakelola pada PBJ sejak awal telah melanggar prinsip Transparan, Terbuka, Bersaing dan Adil karena memang prinsip-prinsip ini didesain hanya untuk PBJ melalui Penyedia. Meskipun tetap dipaksakan, pada pelaksanaannya juga masih melanggar prinsip Efisien, Efektif dan Akuntabel sehingga pada akhirnya Swakelola telah melanggar keseluruhan prinsip PBJ. Indonesia tidak seperti negara Jerman yang telah meratifikasi GPA 2012 sehingga para UMK-nya terlindungi bahkan menjadi prioritas sebagai Penyedia pengadaan negaranya.

Pembiaran Swakelola tanpa pengawasan yang ketat akan membuat PA/KPA semakin leluasa menghindari Penyedia karena sesungguhnya prinsip tersebut mengekang PA/KPA dalam "mengendalikan" Anggaran secara makna sempit, dengan memilih Swakelola mereka terbebas dari kewajiban yang mengekang, swakelola justru jalan melegalkan pelanggaran prinsip PBJ seperti tanpa perlu mempertimbangkan asas efisiensi penggunaan Dana Publik yang tentunya berakibat terjadinya pemborosan Belanja Negara/Daerah. 

Sistem Belanja Negara/Daerah yang seharusnya diharapkan sebagai tools pemerataan kesejahteraan ekonomi rasanya tidak berlaku dikalangan UMK. Keberadaan Swakelola di pasar PBJ justru menjadi saingan yang tak seimbang bagi mereka, meskipun para PA/KPA selalu berdalih tidak seperti itu namun dengan kewenangan dan fasilitas yang diberikan negara terbukti telah berhasil menyingkirkan produk UMK, tercatat Partisipasi para UMK terhadap Pasar PBJ sangatlah rendah yaitu hanya 0,27%. Pemerintah seharusnya mengedepankan Pembinaan terhadap Penyedia agar berminat dan tertarik bukan sebaliknya malah menjadi saingan berusaha dalam menyediakan barjas, akibat selanjutnya para penyedia tidak berminat memasuki pasar Belanja Negara/Daerah karena paket yang disediakan sangat sedikit.

REFERENSI
  1. Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. 
  2. Undang-Undang nomor 02 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi.
  3. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. 
  4. Undang-Undang nomor 01 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
  5. Undang-Undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
  6. Peraturan Pemerintah nomor 07 tahun 2021 tentang Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
  7. Peraturan Pemerintah nomor 05 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
  8. Instruksi Presiden nomor 02 tahun 2022 tentang Percepatan Peningkatan Penggunaan Produk dalam Negeri dan Produk Usaha Mikro Kecil dan Koperasi dalam rangka menyukseskan Gerakan Nasional Bangga buatan Indonesia pada pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
  9. Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2021 tentang Perubahan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
  10. Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
  11. Keputusan Presiden Nomor 18 tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
  12. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat nomor 06 tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Produk pada Penyelenggaraan Perizinan berusaha berbasis Risiko sektor PUPR.
  13. Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 03 tahun 2021 Tentang Pedoman Swakelola.
  14. Laporan Kinerja Pelaksanaan Pengadaan Barjas K/L/PD tahun 2020 yang dirilis tanggal 28 Desember 2020.
  15. Laporan Kinerja Pelaksanaan Pengadaan Barjas K/L/PD tahun 2022 yang dirilis tanggal 11 April 2022.
  16. UNCITRAL Model Law on Public Procurement of Goods, Construction and Services (2011).
  17. WTO Agreement on Government Procurement (GPA 2012).
  18. Directive 2014/24/EU of the European Parliament and of The Council of 26 February 2014 on public procurement and repealing Directive 2004/18/EC.
  19. Federal ministry for business and energy, the rules of procedure for the award public supply and service contracts below the EU thresholds (Unterschwellenvergabeordnung - UVgO) – Edition 2017.
  20. Silalahi, B., Rustam, R., Siagian, V., 2021, "Implementation Analysis of Government Procurement Policy to Increase Value for Money", SSRN Indexing., diakses pada 31 Januari 2023 melalui http://dx.doi.org/10.2139/ssrn.3988798.
  21. Ionel PREDA., 2019, "Comparative Analysis of the Characteristics of Public Procurement Systems in Germany, France and Romania. Review of International Comparative Management Volume 20.
  22. Virginijus Kanapinskas, Žydrūnas Plytnikas, Agnė tvaronavičienė., 2014, "in-House Procurement exception: threat for Sustainable Procedure of Public Procurement?" journal of Security and Sustainability Issues ISSN 2029-7017/ISSN 2029-7025 online 2014 Volume 4(2): 147–158 http://dx.doi.org/10.9770/jssi.2014.4.2(4).

Informasi Tambahan:









26 Desember 2022

SWAKELOLA, masih perlukah dipertahankan?



I. PENDAHULUAN


Anggaran Pendapatan & Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan & Belanja Daerah (APBD) merupakan perwujudan dari pengelolaan keuangan Negara/Daerah secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan (PUU), efisien, ekonomis, efektif, transparan & bertanggungjawab. Secara garis besar, Anggaran memiliki komponen Pendapatan & Hibah, Belanja Negara, & Pembiayaan. 

Belanja barang adalah pembelian barang & jasa (barjas) yang habis pakai untuk memproduksi barjas yang dipasarkan maupun yang tidak dipasarkan serta pengadaan barang yang dimaksudkan untuk diserahkan atau dijual kepada masyarakat & belanja perjalanan. Belanja barang ini terdiri dari belanja pengadaan barjas, belanja pemeliharaan, & belanja perjalanan. Belanja pengadaan barjas merupakan pengeluaran yang antara lain Alat Tulis Kantor, biaya pelatihan & penelitian. Belanja pemeliharaan adalah pengeluaran yang dimaksudkan untuk mempertahankan aset tetap atau aset lainnya yang sudah ada ke dalam kondisi normal tanpa memperhatikan besar kecilnya jumlah belanja seperti pemeliharaan gedung & bangunan kantor. Belanja perjalanan merupakan pengeluaran yang dilakukan untuk membiayai perjalanan dinas dalam rangka pelaksanaan tugas, fungsi & jabatan Belanja modal adalah pengeluaran anggaran yang digunakan dalam rangka memperoleh atau menambah aset tetap & aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi serta melebihi batasan minimal kapitalisasi aset tetap atau aset lainnya yang ditetapkan pemerintah seperti Belanja modal tanah, peralatan & mesin, gedung & bangunan. 

Pengadaan Barjas Pemerintah yang selanjutnya disebut Pengadaan Barang/Jasa (PBJ) adalah kegiatan Pengadaan Barang/Jasa oleh Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah (K/L/PD) yang dibiayai oleh APBN/APBD yang prosesnya sejak identifikasi kebutuhan, sampai dengan serah terima hasil pekerjaan yang terdiri dari Belanja Barjas serta Belanja Modal pada APBN/APBD. Kebijakan Publik Pengadaan di Indonesia saat ini diatur Perpres No. 12 Tahun 2021 tentang Perubahan Perpres No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PS 16/18'). Pengadaan Barang/Jasa dalam Perpres ini meliputi: Barang; Pekerjaan Konstruksi; Jasa Konsultansi; & Jasa Lainnya. Selain tunduk pada PS 16/18', PBJ di Indonesia juga tunduk pada beberapa PUU lain yang diistilahkan sebagai Pengadaan yang dikecualikan misalnya pengadaan alat peralatan pertahanan & keamanan yang tunduk pada UU no. 16 tahun 2012 tentang Industri Pertahanan. PBJ sendiri dilaksanakan dengan 2 cara yaitu Swakelola; dan/atau Penyedia. Swakelola adalah cara memperoleh barjas yang dikerjakan sendiri oleh K/L/PD, K/L/PD lain, organisasi masyarakat (ormas), atau kelompok masyarakat (pokmas) sedangkan Penyedia adalah badan usaha atau perseorangan yang rnelakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu yang menyediakan barjas berdasarkan kontrak.

Di level Internasional terdapat 2 Pedoman Pengadaan yaitu World Trade Organization (WTO) dengan Agreement on Government Procurement (GPA 2012) & United Nations (UN) dengan UNCITRAL Model Law on Public Procurement of Goods, Construction and Services (2011). Meskipun begitu, kebijakan PBJ Indonesia sampai saat ini belum menyepakati satupun pedoman itu sehingga bebas membuat standar sisitim PBJ tersendiri. Sebagai informasi tambahan, dikawasan Asia Tenggara tercatat hanya Negara Singapura yang telah menandatangani GPA 2012.

Berdasarkan Laporan Kinerja Pelaksanaan Pengadaan Barjas K/L/PD tahun 2022 (LKPPBJ 2022), total Rencana Umum Pengadaan (RUP) Belanja Barang/Jasa Pemerintah tahun 2022 sebesar 1.039,74 Triliun rupiah (T), namun yang diumumkan di Sistim RUP (SiRUP) hanya sebesar 971,60 T. Berdasarkan data Kementrian Koperasi & UKM tahun 2018 terdapat Usaha Mikro & Kecil (UMK) sebanyak 64.283.132 Unit, namun sangat disayangkan hanya 0,27 % ikut berpartisipasi pada pasar PBJ dengan cara mendaftar di Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE). Dari Total RUP barjas tersebut, 415,00 T (39,91%) direncanakan dikerjakan melalui swakelola murni tanpa penyedia & 556,6 T (53,53%) direncanakan dikerjakan melalui Penyedia & sisanya 68,14 T (6,56%) tanpa keterangan. 


II. ANALISA


Indonesia resmi memperkenalkan Swakelola sebagai Metode/Sistem Pengadaan Barang/Jasa Pemborongan & Jasa lainnya melalui Kerpres No. 18 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah & masih tetap dipakai hingga saat ini, di Eropen Union (EU), Swakelola (In-House) pertamasekali diperkenalkan pada kebijakan Directive 2004/18/EC, namun aturan ini telah dicabut oleh Directive 2014/24/EU & dinyatakan sebagai pengadaan pengecualian yang dilaksanakan secara sangat ketat.

PBJ di Indonesia yang tunduk kepada PS 16/18' dilaksanakan sesuai prinsip Efisien; Efektif; Transparan; Terbuka; Bersaing; Adil; & Akuntabel. PBJ menurut GPA 2012 hanya berdasarkan prinsip Non-discrimination, Transparency and Procedural fairness. PBJ menurut Model Law (2011) mengacu kepada prinsip Objectivity, Fairness, Participation, Competition, and Integrity. Terkait Swakelola, baik GPA 2012 maupun Model Law (2011) tidak menyarankan dilakukan pada PBJ yang nilainya berada diatas Nilai Ambang Batas namun untuk yang nilainya dibawah ambang batas maka kebijakannya diserahkan kepada negara masing-masing. Sebagai perbandingan, kami mengacu ke Jerman mengingat 90% dari total jumlah PBJ-nya (75% dari total nilai pagu) berada di bawah ambang batas UE(2018), disamping itu Negara ini juga terkenal memiliki sistem pengadaan yang cepat, fleksibel, efisien, & rendah birokrasi. PBJ yang dibawah Ambang batas EU harus mematuhi kebijakan Unterschwellenvergabeordnung (UVgO) Edisi 2017. Prinsip mereka adalah Transparansi, Persaingan, Non diskriminasi, Perlakuan yang sama, Kepentingan untuk usaha kecil & menengah, Keberlanjutan & e-Procurement. Swakelola di Jerman adalah prosedur yang dikecualikan & pengawasannya sangat ketat yang tidak boleh melanggar prinsip Kepentingan untuk Usaha Kecil & Menengah, meskipun tidak ada larangan namun pada prakteknya Swakelola hampir mustahil ditemukan.

Tata cara swakelola di Indonesia diatur Peraturan LKPP No. 3 Tahun 2021 Tentang Pedoman Swakelola (PLKPP 03/21). Swakelola dilaksanakan manakala barjas yang dibutuhkan tidak dapat disediakan atau tidak diminati oleh pelaku usaha atau lebih efektif dan/atau efisien dilakukan oleh Pelaksana Swakelola. Swakelola dapat juga digunakan dalam rangka mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya/kemampuan teknis yang dimiliki pemerintah, barjas yang bersifat rahasia & mampu dilaksanakan oleh K/L/PD yang bersangkutan, serta dalam rangka peningkatan peran serta/pemberdayaan Ormas & Pokmas. Swakelola dilaksanakan oleh Penyelenggara Swakelola yang terdiri dari: Tim Persiapan,Tim Pelaksana, & Tim Pengawas. Untuk Jenis Tipe Swakelola & penetapan Penyelenggaranya sendiri adalah sebagai berikut:  

  1. tipe I yaitu Swakelola yang direncanakan, dilaksanakan, & diawasi oleh K/L/PD penanggung jawab anggaran; Penyelenggara Swakelola ditetapkan oleh PA/KPA

  2. tipe II yaitu Swakelola yang direncanakan, & diawasi oleh K/L/PD penanggung jawab anggaran & dilaksanakan oleh K/L/PD lain pelaksana Swakelola; Tim Persiapan & Pengawas ditetapkan oleh PA/KPA, & Tim Pelaksana ditetapkan oleh K/L/PD pelaksana Swakelola. Tim Pelaksana pada K/L/PD pelaksana Swakelola dapat ditetapkan oleh Pejabat sesuai dengan kewenangan yang dimiliki.

  3. tipe III yaitu Swakelola yang direncanakan & diawasi oleh K/L/PD penanggung jawab anggaran & dilaksanakan oleh Ormas pelaksana Swakelola; Tim Persiapan & Tim Pengawas ditetapkan oleh PA/KPA, & Tim Pelaksana ditetapkan oleh pimpinan calon pelaksana Swakelola. 

  4. tipe IV yaitu Swakelola yang direncanakan oleh K/L/PD penanggung jawab anggaran dan/atau berdasarkan usulan Pokmas, & dilaksanakan serta diawasi oleh Pokmas pelaksana Swakelola. Tim Persiapan, Tim Pelaksana, & Tim Pengawas ditetapkan oleh pimpinan Pokmas pelaksana Swakelola. 

Dalam menganalisa Implementasi Kebijakan terkait Swakelola maka kami mencoba mengukur apakah ketujuh prinsip PBJ yang diatur di PS 16/18' tidak dilanggar, sebagai pembanding hasil pengukuran maka dibagian akhir kami juga akan menampilkan hasil penelitian yang mendukung kajian kami ini. Berikut adalah pengukuran beserta pembahasan kepatuhan Swakelola terhadap tujuh prinsip PBJ di Indonesia, sebagai catatan mengingat pada PS 16/18' tidak memiliki bagian penjelasan maka Definisi setiap prinsip diambil dari Perpres no. 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang meskipun telah dicabut namun masih dianggap valid karena ketentuan tentang prinsip PBJ tidak mengalami perubahan. 

  1. Prinsip Efisien yaitu Harus diusahakan dengan menggunakan dana & daya yang minimum untuk mencapai kualitas & sasaran dalam waktu yang ditetapkan atau menggunakan dana yang telah ditetapkan untuk mencapai hasil & sasaran dengan kualitas yang maksimum. 

Pembahasan: Berdasarkan ketentuan Kontrak swakelola pada PLKPP 03/21, ternyata untuk Type I tidak ada Negosiasi harga & untuk Type II sampai IV dilakuan Negosiasi Harga antara PPK & Tim Pelaksana. Prosedur Negosiasi yang dilakukan keduanya akan kental bernuansa Korupsi Kolusi Nepotisme karena prosesnya diadakan tertutup, seleksi TIM Pelaksananya tidak transparan & para pihak berada pada kendali satu Pimpinan/berafiliasi. Kehadiran Ormas/Pokmas juga disinyalir atas dasar pertemanan & hubungan tidak profesional yang cenderung terjadi barter kepentingan. Hal ini sangat berbeda apabila pengaadaan tersebut dilakukan melalui penyedia yang melakukan penawaran harga yang sangat kompetitif & transparan secara elektronik.

  1. Prinsip Efektif yaitu Harus sesuai dengan kebutuhan & sasaran yang telah ditetapkan serta memberikan manfaat yang sebesar-besarnya. 

Pembahasan: Pelaksanaan & Pengawas berada pada kendali satu Pimpinan/berafiliasi yang berpotensi capaian sasaran kualitas barjas tidak sesuai harapan, hal ini disinyalir menjadi transaksional yang saling menguntungkan akibat tidak efektifnya pengawasan. Berbeda jika dilakukan melalui penyedia karena pengawasannya dilakukan oleh penyedia yang berbeda.

  1. Prinsip Transparan yaitu Semua ketentuan & informasi mengenai Pengadaan Barang/Jasa bersifat jelas & dapat diketahui secara luas oleh Penyedia Barjas yang berminat serta oleh masyarakat pada umumnya. 

Pembahasan: 

1). Pada deskripsi transparan jelas menyebutkan kata Penyedia, jadi sedari awal memang PBJ diperuntukkan hanya untuk Penyedia. Swakelola bisa saja menggunakan jasa penyedia namun pelaksanaan PBJ-nya sudah mengacu ke Peraturan LKPP no. 12 tahun 2021 tentang Pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah melalui penyedia. Sebagai masyarakat, ketersediaan Informasi tentang Swakelola ini sangat minim, dengan mengambil informasi swakelola (gambar 1), terlihat tidak ada informasi Spesifikasi, Kualitas & Kuantitas barjas yang diadakan, tidak pula tercantum siapa Penyelenggara swakelolanya & berapa efisiensi harga yang ditawarkannya terhadap Nilai Pagu. 





Gambar 1. Contoh screenshoot informasi paket swakeloal yang ditayangkan di LPSE 

2) Pada tahun anggaran 2020, dari realisasi Belanja Barjas sebesar 390,08 T, terdapat 328,8 T diadakan melalui Penyedia & sisanya 61,70 T dilakukan secara Swakelola & hanya 4 T yang dilaporkan di LPSE sedangkan sisanya 57,70 T tidak jelas Informasinya, ini terjadi karena Pimpinan K/L/PD tidak mencatatkan realisasi belanja Swakelolanya di LPSE. Meskipun dalam hal ini LKPP hanya mensyaratkan cukup pencatatan saja namun tetap Pengguna Anggaran bertindak tidak Transparan.

  1. Untuk Prinsip Terbuka, Bersaing & Adil tidak dapat diukur mengingat 3 prinsip ini sudah pasti tidak terpenuhi karena tidak melibatkan Penyedia.

  2. Akuntabel yaitu Harus sesuai dengan aturan & ketentuan yang terkait dengan Pengadaan Barang/Jasa sehingga dapat dipertanggungjawabkan. 

Pembahasan: 

  1. Pekerjaan Konstruksi yang dikerjakan secara swakelola bertentangan dengan UU no. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja Pasal 52 tentang perubahan UU no. 02 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi jo. PP no. 05 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Resiko jo. Peraturan Menteri PUPR no. 06 tahun 2021 tentang  Standar Kegiatan Usaha & Produk pada Penyelenggaraan Perizinan berusaha berbasis Risiko sektor PUPR. Seharusnya pekerjaan Konstruksi dikerjakan oleh Badan Usaha yang memiliki Sertifikat Badan Usaha Konstruksi (SBU) karena Jasa Konstruksi merupakan pekerjaan beresiko Menengah Tinggi, & untuk memeperoleh SBU, Menteri mewajibkan pelaksananya memiliki Nomor Induk Berusaha & Sertifikat Keterampilan Kerja Konstruksi (SKK). Penyelenggara Swakelola jelas tidak bisa memenuhi perizinan seperti ini & tindakannya yang mengerjakan pekerjaan konstruksi jelas tidak akuntabel.

  2. Pemberdayaan UMK pada pasar PBJ belum maksimal sebagaimana yang diperintahkan UU no. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja Pasal 85 tentang perubahan UU No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, & Menengah jo. PP no. 7 tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, & Pemberdayaan Koperasi & Usaha Mikro, Kecil, & Menengah jo. Instruksi Presiden no. 2 tahun 2022 tentang Percepatan Peningkatan Penggunaan Produk dalam Negeri & Produk Usaha Mikro Kecil & Koperasi dalam rangka menyukseskan Gerakan Nasional Bangga buatan Indonesia pada pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Paket-paket pekerjaan Swakelola rata-rata adalah lahan yang dapat disediakan & sangat diminati UMK. Belanja Negara semestinya berfungsi sebagai perangsang pasar dari produk UMK sehingga Pemberdayaannya semaksimal mungkin. Dengan memberdayakan Aparat Sipil Negara (ASN)/Ormas/Pokmas melalui Swakelola maka secara otomatis akan mengucilkan partisipasi UMK pada penggunaan Dana Publik & Pelaksanaan PBJ menjadi tidak akuntabel terhadap PUU diatas. Untuk tahun 2022 saja Pemerintah mengalokasikan 415,00 T untuk Swakelola sedangkan UMK hanya 265,19 T. Ratio Swakelola yang 1,65 kali lebih besar dari UMK, ini menandakan bahwa yang diberdayakan PBJ kita sebenarnya lebih memberdayakan ASN/ormas/pokmas, padahal PUU memerintahkan yang diberdayakan semaksimal mungkin harusnya adalah UMK.

Dari hasil pengukuran kepatuhan prinsip diatas jelas bahwa Swakelola melanggar prinsip PBJ di Indonesia, ini sesuai dengan hasil penelitian Virginijus Kanapinskas dkk pada artikelnya berjudul In-House Procurement exception: threat for sustainable procedure of Public procurement? Negara Lituania sebagai anggota EU maka sistim PBJ-nya terikat pada Directive 2014/24/EU. Statemen mereka menunjukkan bagaimana Swakelola harusnya dijadikan pengecualian dari sistim PBJ, diawasi secara ketat karena dampaknya terhadap moral hazard & tidak ekonomis. Mereka menekankan bahwa setiap Penerapan "pengecualian" pada pengadaan publik patut dipertanyakan karena setiap penyimpangan dari aturan umum sering menciptakan prasyarat untuk pelanggaran prinsip pengadaan seperti transparansi, akuntabilitas, keterbukaan, & kesetaraan hak pemasok. Hal tersebut juga berlaku untuk pengecualian Swakelola karena penggunaannya dapat menimbulkan korupsi, pembelian yang tidak transparan, serta mengancam efisiensi pengadaan & persaingan yang sehat. Swakelola pada dasarnya menghilangkan persaingan yang merupakan sifat dasar dari UU pengadaan publik EU. Kebutuhan & manfaat persaingan untuk pengadaan publik tidak diragukan lagi karena hanya persaingan yang memungkinkan pemasok untuk meniru kekuatan satu sama lain & untuk memperebutkan pasar, yang berarti harga barjas yang lebih rendah & kualitas yang lebih tinggi. Pada dasarnya, hanya persaingan dalam pengadaan publik yang dapat memastikan penggunaan dana publik secara efektif.

 

 

III. KESIMPULAN & SARAN


III.1. Kesimpulan.

  1. Keberadaan Swakelola pada PBJ sejak awal telah melanggar prinsip Transparan, Terbuka, Bersaing & Adil karena memang prinsip-prinsip ini didesain hanya untuk PBJ melalui Penyedia. Meskipun tetap dipaksakan, pada pelaksanaannya juga masih melanggar prinsip Efisien, Efektif & Akuntabel sehingga pada akhirnya Swakelola telah melanggar keseluruhan prinsip PBJ

  2. Pembiaran Swakelola tanpa pengawasan yang ketat akan membuat Pengguna Anggaran semakin leluasa menghindari Penyedia karena sesungguhnya prinsip tersebut mengekang Pengguna Anggaran dalam "mengendalikan Anggaran" secara makna sempit, dengan memilih Swakelola mereka terbebas dari kewajiban malah dapat dilegalkan melanggar implementasi prinsip PBJ bahkan tanpa mempertimbangkan azas efisiensi penggunanaan Dana Publik. 

  3. Sistim Belanja Negara yang seharusnya diharapakan sebagai tools pemerataan kesejahteraan ekonomi rasanya tidak berlaku dikalangan UMK. Keberadaan Swakelola dipasar PBJ justru menjadi saingan yang tak seimbang bagi mereka, meskipun para Pengguna Anggaran selalu berdalih tidak seperti itu namun dengan kewenangan & fasilitas yang diberikan negara terbukti telah berhasil menyingkirkan produk UMK, tercatat Partisipasi para UMK terhadap Pasar PBJ sangatlah rendah yaitu hanya 0,27%. Pemerintah seharusnya mengedepankan Pembinaan terhadap Penyedia agar berminat & tertarik bukan sebaliknya malah menjadi saingan dalam memenuhi PBJ sehingga para penyedia tidak berminat memasuki pasar PBJ.


III.2. Saran.

  • Untuk Jangka Pendek : 

Swakelola di Indonesia sudah seharusnya digolongkan Pengadaan yang dikecualikan & Pelaksanaanya harus diawasi secara ketat & transparan karena dapat mempengaruhi pertumbuhan Ekonomi pelaku usaha khususnya UMK. Pengawasnya juga harus dari unsur pelaku Usaha guna menghindari konflik kepentingan apabila dilakukan sesama unsur pemerintah.

  • Untuk Jangka Menengah: 

Kualitas Penyedia sering menjadi alasan untuk meninggalkan penyedia & memilih swakelola, menjadi pertanyaan besar bagaimana mengukur kualitas yang dimaksud mengingat PBJ kita pada kenyataanya tidak menjalankan prinsip persaingan yang sehat, diluar itu bukankan ini menandakan kegagalan Pemerintah dalam melakukan Pembinaan yang terhadap pelaku usaha khususnya UMK. Sebaiknya Pengguna Anggaran jangan terburu-buru memilih swakelola namun mengedepankan Pemberdayaan Penyedia bila perlu diadakan pembinaan simultan dari Kementrian Koperasi & UMK, Kementrian Perdagangan, Kementrian Perindustrian, LKPP & Pemerintahan Daerah. Diberdayakan pula peran serta Asosiasi dalam pembinaan anggotanya. Diterapkan Punishment and Reward Management sehingga progress pembinaan memiliki target & batasan, kalo tidak bisa dibina ya sebaiknya dibinasakan.

  • Untuk Jangka Panjang: 

PBJ Indonesia sebaiknya mengikuti GPA 2012 ataupun Model law (2011) & merubah PLKPP 03/21. Penelitian Virginijus Kanapinskas dkk pada tahun 2014 telah berhasil merubah UU Pengadaan Lituania pada tahun 2018 dengan memasukan Swakelola sebagai PBJ yang dikecualikan serta pelaksanaannya diawasi secara ketat. Kajian kami pada tulisan ini seharusnya dapat dijadikan sebagai Research Base untuk merubah kebijakan sistim PBJ di Indonesia menjadi setara negara maju. 



IV. REFERENSI


  1. Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja 

  2. Undang-Undang nomor 02 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi 

  3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah 

  4. Undang-Undang nomor 01 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

  5. Undang-Undang nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

  6. Peraturan Pemerintah nomor 17 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.

  7. Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, & Pemberdayaan Koperasi & Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.

  8. Peraturan Pemerintah nomor 05 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Resiko

  9. Instruksi Presiden nomor 2 tahun 2022 tentang Percepatan Peningkatan Penggunaan Produk dalam Negeri dan Produk Usaha Mikro Kecil dan Koperasi dalam rangka menyukseskan Gerakan Nasional Bangga buatan Indonesia pada pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah 

  10. Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

  11. Penjelasan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

  12. Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

  13. Peraturan Menteri PUPR nomor 06 tahun 2021 tentang  Standar Kegiatan Usaha & Produk pada Penyelenggaraan Perizinan berusaha berbasis Risiko sektor PUPR.

  14. Peraturan LKPP Nomor 03 Tahun 2021 Tentang Pedoman Swakelola.

  15. Laporan Kinerja Pelaksanaan Pengadaan Barjas K/L/PD tahun 2020 yang dirilis tanggal 28 Desember 2020.

  16. Laporan Kinerja Pelaksanaan Pengadaan Barjas K/L/PD tahun 2022 yang dirilis tanggal 11 April 2022.

  17. UNCITRAL Model Law on Public Procurement of Goods, Construction and Services (2011).

  18. WTO Agreement on Government Procurement (GPA 2012).

  19. DIRECTIVE 2014/24/EU OF THE EUROPEAN PARLIAMENT AND OF THE COUNCIL of 26 February 2014 on public procurement and repealing Directive 2004/18/EC.

  20. Federal ministry for business and energy, the rules of procedure for the award public supply and service contracts below the EU thresholds (Unterschwellenvergabeordnung - UVgO) – Edition 2017 –.

  21. Silalahi, B., Rustam, R., Siagian, V., (2021). Analisis Implementasi Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa untuk Meningkatkan Value for Money. Elsevier. https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=3988798&fbclid=IwAR306AjLhVBER32QvsFeEfnrnAQ0RV5hjcq8Nhgt9_qjJVhxnBqFyUcV_RQ (diakses tanggal 27 Januari 2022).

  22. Ionel PREDA.,(2019). Comparative Analysis of the Characteristics of Public Procurement Systems in Germany, France and Romania. Review of International Comparative Management Volume 20.

  23. Virginijus Kanapinskas, Žydrūnas Plytnikas, Agnė tvaronavičienė., (2014). in-House Procurement exception: threat for Sustainable Procedure of Public Procurement? journal of Security and Sustainability Issues ISSN 2029-7017/ISSN 2029-7025 online 2014 Volume 4(2): 147–158 http://dx.doi.org/10.9770/jssi.2014.4.2(4)


catt:

Artikel Paper ini dibuat dalam rangka tugas mata kuliah Regulasi dan Politik Ekonomi padaProgram Doktor Kebijakan Publik, Fakultas Ekonomi dan Bisnis pada salah satu Universitas di Jakarta , mohon bijak apabila hendak mengutip seluruh atau sebagian dari isinya.

POSTINGAN TERBARU

KONFERENSI PERS DUGAAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KETENAGA KERJAAN DAN TRANSMIGRASI

Jakarta, 25 Januari 2024. KPK menetapkan 3 orang sebagai tersangka korupsi pengadaan sistem proteksi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) pada Kemen...

POSTINGAN POPULER