Layanan Jasa Konsultasi.

Kami dapat memberikan JASA Nasehat Kebijakan terhadap Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan; Pengadaan Barang/Jasa Konstruksi (Perencanaan - Persiapan - Pelaksanaan - Kontrak); dan Pemenangan Tender. Kami juga membantu membuat Kebijakan Perusahaan (Peraturan Direksi dan Dokumen Tender). Hubungi bonatua.766hi@gmail.com

Translate

05 Desember 2022

KONPERS TERSANGKA PEMBANGUNAN JALAN LINGKAR BARAT, DURI BENGKALIS



Diduga melanggar ketentuan Pasal 118 ayat (1) dan (6) Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/jasa Pemerintah dan perubahannya yang berbunyi:

(1) Perbuatan atau tindakan Penyedia Barang/Jasa yang dikenakan sanksi adalah:

  1. berusaha mempengaruhi Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan/ pihak lain yang berwenang dalam bentuk dan cara apapun, baik langsung maupun tidak langsung guna memenuhi keinginannya yang bertentangan dengan ketentuan dan prosedur yang telah ditetapkan dalam Dokumen Pengadaan/Kontrak, dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan;

  2. melakukan persekongkolan dengan Penyedia Barang/Jasa lain untuk mengatur Harga Penawaran diluar prosedur pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa, sehingga mengurangi/menghambat/ memperkecil dan/atau meniadakan persaingan yang sehat dan/atau merugikan orang lain;

  3. membuat dan/atau menyampaikan dokumen dan/atau keterangan lain yang tidak benar untuk memenuhi persyaratan Pengadaan Barang/Jasa yang ditentukan dalam Dokumen Pengadaan;

  1. mengundurkan diri setelah batas akhir pemasukan penawaran atau mengundurkan diri dari pelaksanaan Kontrak dengan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan dan/atau tidak dapat diterima oleh Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan;

  2. tidak dapat menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan Kontrak secara bertanggung jawab; dan/atau

  3. berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (3), ditemukan adanya ketidaksesuaian dalam penggunaan Barang/Jasa produksi dalam negeri.

(6)  Apabila ditemukan penipuan/pemalsuan atas informasi yang disampaikan Penyedia Barang/Jasa, dikenakan sanksi pembatalan sebagai calon pemenang, dimasukkan dalam Daftar Hitam, dan jaminan Pengadaan Barang/Jasa dicairkan dan disetorkan ke kas Negara/ daerah. 

28 November 2022

UJI MATERIIL Undang-Undang nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan



Update: 
Permohonan ini telah kami cabut secara resmi per tanggal 19 desember 2022 pukul 11:00 dengan beberapa alasan diantaranya "Menyampaikan Saran/kritik kepada Pemerintah dan DPR bahwa ada pemikiran dari rakyat terhadap suatu permasalahan Kebijakan Dasar yang disusun oleh Bapak Pendiri Bangsa kita dalam bentuk UUD 1945, dan pesan dan makna Filosofis keberatan Rakyat dianggap sudah tersampaikan". Pencabutan tersebut telah ditetapkan Mahkamah pada tanggal 31 januari 2023 (https://inforadar.disway.id/amp/649576/permohonan-pencabutan-uji-uu-p3-dikabulkan-mk).

Akhirnya permohonan Uji Materiil kami terhadap Pasal 1 angka 6; Pasal 7 ayat 1; Pasal 13 dan penjelasan Pasal 13 dari Undang-Undang nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah diterima dan akan menghadapi persidangan minggu depan sebagaimana panggilan sidang berikut:


    
    Sejak memulai penyusunan permohonan sampai mendapatkan Akta Pengajuan Permohonan hingga akhirnya mendapatkan panggilan sidang memang sudah terasa kelas Pelayanan Publik Mahkamah Konstitusi melebihi standar, tak salah kalo Lembaga ini sangat memperhatikan Hak/Kewenangan Konstitusi Masyarakat pencari keadilan. Sistem Pelayanan Berbasis Elektronik, pelayanan cepat, tersedia Kantor Pos yang melakukan leges gratis, parkiran gratis, dan terpenting security/pegawai bermental melayani. Semoga Hak hak Konstitusional Masyarakat tetap Prioritas utama di Lembaga ini.
    
    Kata orang, Hakim memutuskan perkara berdasarkan keyakinan, dan semoga keyakinan kami sama yaitu :
  1. UUD 45 hanya menyebutkan Ketetapan MPR, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah sebagai sumber hukum konstitusional kita.
  2. Jikapun ada peraturan lain seperti Peraturan Presiden, Peraturan Kementerian/Lembaga, Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota maka peraturan itu harus memiliki hubungan langsung dan jelas diperintahkan oleh salah satu sumber hukum konstitusional diatas.
  3. Kekuasaan Pembentukan Perundang-Undangan merupakan hak/kewajiban konstitusional bersama antara Presiden dan DPR, dengan begitu segala peraturan selain bersumber dari hukum konstitusional kita maka dapat dikatakan tidak sah dan tidak berkekuatan hukum yang mengikat.
  4. Dalam hal pembentukan Peraturan Presiden, maka apabila bukan dibentuk atas dasar hukum dan perintah yang jelas dari Undang-Undang dan atau Peraturan Pemerintah maka dapat dikatakan Peraturan Presiden tersebut dibentuk :
    • oleh Presiden diluar hak/kewenangan konstitusi yang dimilikinya.
    • tanpa Persetujuan DPR.
    • tidak bersumber dari UUD 45
tentunya keyakinan itu bukanlah muncul tanpa Alasan, Bukti dan Dasar Hukum dan semoga teman-teman pembaca memiliki keyakinan yang sama juga setelah membaca permohonan kami, untuk itu kami sampaikan isi permohonan kami selengkapnya:


Kepada yang terhormat,
    Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia 
    Jl. Medan Merdeka Barat No. 6
    Jakarta Pusat 10110



PERMOHONAN UJI MATERIIL 
Undang-Undang nomor 12 tahun 2011 
tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan


Dengan hormat,

Kami yang bertanda tangan dibawah ini, bermaksud mengajukan permohonan pengujian Materiil yang berkenaan dengan Materi muatan dalam Pasal 1 angka 6; Pasal 7 ayat 1; Pasal 13 dan penjelasan Pasal 13 dari Undang-Undang nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut UU 12/11) (bukti P-1) yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 45) (bukti P-2).

Adapun kami para pemohon sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1 pasal 4 pada Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (selanjutnya disebut PMK 02/21) yang menganggap Hak Konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya UU 12/11 adalah sebagai berikut:

a. 
Nama : Bonatua Silalahi
N.I.K : xxxxxxxxxxxxxx
Pekerjaan : Mahasiswa Program Doktor (S-3) Kebijakan Publik.
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat Rumah : xxxxxxxxxxxxxxx
Alamat Email : Bonatua.766hi@gmail.com
Sebagai orang perorangan warga negara Indonesia----------------------Pemohon I;

b. 
Nama : xxxxxxxxxxxxxxxxx
N.P.W.P : xxxxxxxxxxxxxxx
Bidang Usaha : Konsultan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
AlamatKantor : xxxxxxxxxxxxxxxx
Alamat Email : xxxxxxxxxxxx@gmail.com
Sebagai orang badan hukum Privat--------------------------------------- Pemohon II

Adapun Hak Konstitusional Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya UU 12/11 sebagaimana yang dimaksud pada ayat 2 pasal 4 pada PMK 02/21 adalah kami jabarkan sebagai berikut:

A. Ada hak konstitusional pemohon yang diberikan UUD 45.

1) Bahwa Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 berbunyi: Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.


B. 
Hak dirugikan oleh berlakunya UU 12/11 yang dimohonkan pengujian.

2) Bahwa para pemohon merasa dirugikan atas berlakunya UU12/11 khusunya Pasal 1 angka 6; Pasal 7 ayat 1; Pasal 13 dan penjelasan Pasal 13. Kerugian tersebut adalah tidak diperolehnya kepastian hukum yang adil atas berlakunya Peraturan Presiden yang bukan merupakan salah satu dari jenis Peraturan yang disebut didalam UUD 45.


C. Kerugian konstitusional bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.

C.1. Bersifat spesifik (khusus) dan Aktual

a. Pemohon I.

3)  Bahwa Pemohon I adalah penyandang gelar Master Ekonomi Konsentrasi Kebijakan Publik berijazah (bukti P-12) dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Trisakti.

4) Bahwa pemohon I dalam meraih gelar tersebut telah melakukan Penelitian dalam bentuk Tesis (bukti P-9) yang berfokus pada Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (selanjutnya disebut PBJ).

5) Bahwa saat ini Pemohon I sedang menjalani Studi Pendidikan Doktor (S-3) Kebijakan Publik di Fakultas Ilmu Ekonomi dan Bisnis Program Studi Universitas Trisakti dengan Nomor Induk Mahasiswa (NIM) 221022106004 (bukti P-8) dan telah melakukan sidang kolokium yang tetap konsisten melakukan penelitian dalam bentuk Disertasi yang berfokus tetap pada Kebijakan PBJ.

6) Menurut buku HANDBOOK of PUBLIC POLICY yang diedit oleh B.GUYPETERS and JON PIERRE, menyebutkan bahwa Konstitusi adalah hukum dasar yang menetapkan 'aturan main' untuk proses politik. UUD 45 adalah hukum dasar untuk menetapkan aturan main bagaimana Proses Politik antara Dewan Perwakilan Rakyat (selanjutnya disebut DPR) dan Pemerintah khususnya dalam kerjasama membuat Peraturan Perundang-Undangan (selanjutnya disebut PPU).

7)  Bahwa pada saat menjalani penelitian (Tesis dan Disertasi) terkait Kebijakan PBJ, pemohon I menemukan fakta bahwa jenis hierarki PPU paling tinggi dibidang PBJ adalah Jenis Peraturan Presiden (selanjutnya disebut PS) yaitu PS Nomor 16 Tahun 2018 tentang PBJ (selanjutnya disebut PS 16/18) (bukti P-4).

8)  Bahwa menurut kajian Pemohon I, pertimbangan pembentukan PS 16/18 bukanlah untuk menjalankan perintah PPU yang lebih tinggi sebagaimana yang diatur pada Pasal 1 angka 6 dan Pasal 13 UU 12/11 dengan alasan sebagai berikut:

  1. a)  Pada bagian Menimbang PS 16/18 sama sekali tidak menyatakan bahwa aturan tersebut dibentuk atas pelaksanaan PPU yang lebih tinggi.

  2. b)  Pada bagian Mengingat, PS16/18 menyebutkan Undang-Undang Nomor 01 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (selanjutnya disebut UU 01/04) (bukti P-5) dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (selanjutnya disebut UU 30/14) (bukti P-6) sebagai Dasar hukumnya, pada kedua UU tersebut ditemukan fakta bahwa:

    • UU 01/04 hanya mengandung 1 frasa/kalimat yang materi muatannya terkait PBJ yaitu pada pasal 16 ayat 4 berbunyi "Penerimaan berupa komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh negara/daerah adalah hak negara/daerah". Begitu pula pada Peraturan Pemerintah (selanjutnya disebut PP) sebagai aturan pelaksana/turunan, pemohon sama sekali tidak menemukan aturan yang memuat materi PBJ maupun adanya perintah pembentukan PS untuk mengatur PBJ.

    • UU 30/14 sama sekali tidak menyebutkan adanya frasa/kalimat yang mengatur materi terkait PBJ.

9)  Bahwa pertimbangan pembentukan PS 16/18 patut diduga dibentuk dalam rangka menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan sebagaimana yang diatur pada Pasal 1 angka 6 dan Pasal 13 UU 12/11 namun tidak dapat dipastikan kekuasaan yang mana dari sekian banyak (11 jenis) kekuasaan pemerintah yang diatur pada BAB III UUD 45. 

10) Bahwa Pemohon I juga menyimpulkan berdasarkan kajian yaitu:
  1. a)  Lingkup pengaturan PBJ yang diatur pada PS 16/18 sangatlah luas sebagaimana yang dimaksud Pasal 1 angka 1 PS/16 berbunyi: Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut Pengadaan Barang/Jasa adalah kegiatan Pengadaan Barang/Jasa oleh Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan Belanja Negara (selanjutnya disebut APBN)/Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (selanjutnya disebut APBD) yang prosesnya sejak identifikasi kebutuhan, sampai dengan serah terima hasil pekerjaan.

  2. b)  Pengaturan PBJ yang dibiayai APBN oleh PS mengakibatkan adanya Intervensi Kebijakan yang dilakukan oleh Presiden terhadap pemegang Kekuasaan Negara lainya (Eksekutif, Legislatif, Yudikatif & Eksaminatif) yaitu Majelis Permusyaratan Rakyat (selanjutnya disebut MPR), DPR, Mahkamah Agung (selanjutnya disebut M.A), Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut M.K) dan Badan Pemeriksa Keuangan (selanjutnya disebut BPK). Secara Aktual, seluruh lembaga tersebut telah menyelenggarakan PBJ berpedoman pada PS 16/18.

  3. c)  Pengaturan PBJ yang dibiayai APBD oleh PS mengakibatkan adanya Intervensi Kebijakan yang dilakukan oleh Presiden terhadap Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut PEMDA) yang memiliki hak/kewenangan konstitusi menetapkan Peraturan Daerah (selanjutnya disebut PERDA) dan peraturan- peraturan lain dalam melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Secara Aktual, seluruh PEMDA saat ini telah melaksanakan PS 16/18 meskipun penyelenggaraannya dalam rangka pelaksanaan otonomi dan tugas perbantuan.

  4. d)  Ketidakjelasan penerapan pengaturan materi muatan yang dapat diatur PS juga telah menimbulkan multi tafsir terhadap Undang-Undang (selanjutnya disebut UU) yang materi muatannya telah disetujui DPR seperti:

    • Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang PEMDA dimana seharusnya Daerah memiliki Hak Konstitusi mengatur keuangan daerahnya sendiri termasuk tata cara belanja Modal maupun belanja barang/jasa sebagai urusan yang bersifat otonom sebagaimana diatur pada pasal 18 ayat 6 UUD 45.
    • Undang-Undang nomor 02 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (selanjutnya disebut UU 02/17) yang mana seharusnya Ketentuan Pengadaan Jasa Konstruksi diatur dalam bentuk PP yang merupakan aturan pelaksanaanya.
    • Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang mana Badan Usaha Milik Negara (selanjutnya disebut BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (selanjutnya disebut BUMD) selaku usaha yang modalnya bersumber dari kekayaan Negara seharusnya aturan PBJ-nya mengikuti PS 16/18, pada Aktualnya mereka mengacu pada aturan sendiri.
11)Bahwa sebagai Peneliti, Pemohon I mengalami kebingungan menguraikan benang merah keterkaitan PS 16/18 (khususnya yang dibentuk dalam rangka untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan) terhadap UUD 45.
b. Pemohon II

12)Bahwa Pemohon II adalah Badan Usaha berbadan Hukum yang kegiatannya memberikan Jasa Nasehat (konsultan) terkait penyelenggaraan PBJ pada Kementerian, Lembaga, Pemerintah Daerah, BUMN dan BUMD.

13) Bahwa dalam pemberian nasehat kepada klien-nya, Pemohon II sering dihadapkan dengan multi tafsir kebijakan atas keberadaan PS 16/18 antara lain:

  1. PBJ didaerah memiliki standar ganda dimana sebagian mengacu ke PS 16/18 dan sebagian lagi mengacu ke PERDA-nya, bahkan ada beberapa daerah yang membuat PERDA khusus terkait PBJ meskipun isinya hanya suatu pernyataan bahwa kebijakan PBJ didaerah tersebut berpedoman kepada PS 16/18.

  2. PBJ konstruksi mengalami 2(dua) polarisasi pedoman pelaksanaan PBJ, dimana ada yang mengacu ke Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah nomor 09 tahun 2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Melalui Penyedia sebagai turunan PS 16/18 namun ada juga yang mengacu kepada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat nomor 14 tahun 2020 tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi Melalui Penyedia sebagai pelaksanaan UU 02/17.

  3. Kebijakan PBJ di BUMN/BUMD, anak BUMN/BUMD maupun teravialiasi BUMN/BUMD juga menjadi sangat bervariasi, dimulai dari perusahaan membuat kebijakan sendiri, mengikuti kebijakan menteri BUMN, mengikuti PS 16/18 beserta turunannya sampai hanya mengikuti PS 16/18 namun tidak mengikuti Peraturan turunannya.

14)  Bahwa multitafsir yang disebut pada angka 13) diatas sering dipakai sepihak oleh Badan Publik, Pengguna Anggaran, Pejabat Pembuat Komitmen, Pejabat Pengadaan dan Kelompok kerja pemilihan dengan mengambil tafsiran yang menguntungkan pihaknya dan merugikan pihak lain termasuk para klien pemohon II. Kondisi ini sangat berpotensi terjadi transaksi kepentingan agar dapat memperkaya diri sendiri dan orang lain.

15)  Sebagai kelanjutannya, pihak II pada akhirnya dirugikan secara bisnis seperti tidak mendapatkan pembayaran yang sesuai karena hasil pekerjaannya tidak maksimal akibat kualitas nasehat yang diberikan penuh ketidakpastian.

16)  Pemohon II secara spesifik mengalami kerugian tidak terdapatnya kepastian hukum akibat multitafsir pada Jasa Nasehat PBJ dan terjadi secara aktual sampai saat ini.

C.2. Kerugian bersifat Potensial

17)Bahwa ketidakjelasan pembentukan PS akan bisa berpotensi terjadinya intervensi bahkan barter kekuasan antara Kekuasaan Pemerintah terhadap kekuasaan lainnya, dalam hal ini pemohon mencontohkan potensi kerugian yang dimaksud terhadap pembentukan PS 16/18 sebagai berikut:
    a) Melalui PS 16/18 maka Pemerintah Pusat akan bermain di eksekusi Anggaran Belanja Barang/Jasa di Lembaga MPR, DPR, BPK, M.A & M.K dengan cara membuat aturan sedemikian rupa sehingga pelaksanaan PBJ menjadi tidak value for money (ekonomis, efektif, efisien). Barter kekuasan akan terjadi dalam bentuk kompensasi anggaran dengan cara melonggarkan/mengetatkan kebijakan tata cara PBJ sehingga masing-masing kepentingan tercapai. Dalam hal ini bisa saja DPR tidak mempermasalahkan isi Materi PS walaupun sebenarnya tidak layak disetujui karena UU pembentuknya belum ada atau bahkan bertentangan dengan UU yang telah disetujui bersama, sepanjang barter kepentingan berlangsung maka ketertiban dan kepastian materi menjadi bukan hal yang penting. Kekuasaan Pemerintah dalam membentuk PS bisa disetting sehingga tata cara PBJ nya menjadi rentang pelanggaran, minim pengawasan bahkan hanya pencatatan saja, setidaknya menurut kami settingan ini sudah terjadi seperti Pelaksanaan Swakelola yang dibolehkan cukup transparansi dengan hanya pencatatan saja atapun menutup informasi dokumen penawaran pemenang tender sebagai Informasi yang dikecualikan.
    b)  PEMDA juga tidak bisa menjalankan Hak Konstitusi dalam menjalankan kekuasaan Otonomi Daerah-nya mengingat PS 16/18 turut melakukan intervensi mengatur PBJ yang bersumber dari APBD. Kekuasaan mengelola anggaran sendiri adalah salah satu hak otonomi daerah sebagai wujud desentralisasi fiskal, kami berpandangan Presiden tidak berwenang mengatur urusan-urusan yang telah diserahkan ke daerah.
    c)  Materi PS 16/18 sering menjadi bahan bongkar pasang, terbukti sejak dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sampai yang berlaku saat ini yaitu Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, tercatat sudah 16 kali perubahan dan jika dirata-ratakan 0,88 kali perubahan setiap tahunnya. Sangat gampangnya merubah Materi muatan mengindikasikan dasar hukum pembentukannya tidak kuat karena memang bukan dibentuk atas dasar materi pada UU yang disepakati DPR dan terkesan tidak ada kontrol. Akibat lebih lanjut anggaran yang dikeluarkan dalam Pembentukan PS 16/18 tidak efektif dan efisien seperti biaya serap pendapat, biaya penyusunan naskah akademik, akomodasi rapat dan sebagainya, belum lagi anggaran untuk sosialisasi perubahan aturan, pembentukan dan sosialisasi aturan turunan. Khusus untuk perubahan tertentu ternyata diperlukan adanya pelatihan karena melibatkan pedoman tata cara penggunaan aplikasi seperti Sistim Pengadaan Secara Elektronik (SPSE).


18) Bahwa pembentukan PS bisa menjadi celah bagi Presiden untuk mengatur materi muatan tertentu tanpa perlu mendapat persetujuan DPR. Dengan diakuinya PS sebagai salah satu PPU maka pembentukan dan materi muatannya akan mengacu ke UU 12/11 dan dengan dalil/alasan:

  1. untuk menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan dan atau
  2. mengatur materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan dan atau
  3. untuk menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut perintah UU atau PP secara tidak tegas diperintahkan pembentukannya.
Maka Presiden dengan kekuasaanya yang dibatasi UUD 45 akan dapat membuat PS yang materi muatannya tanpa melalui persetujuan DPR dan dasar pembentukannya memakai metode cocokologi terhadap beberapa UU/PP yang dianggap bisa memberikan justifikasi menyalurkan kepentingannya.

19) Bahwa setiap kebijakan yang muncul termasuk PS berimplikasi langsung terhadap alokasi anggaran, hal ini berpotensi dan bahkan telah terjadi dimana banyak Lembaga yang dibentuk berdasarkan PS telah membebani APBN. Kedudukan Lembaga tersebut menjadi permasalahan serius terhadap bentuk pengawasan DPR mengingat Lembaga dan materi muatan yang diselenggarakan bukanlah dari UU/PP yang disepakati bersama. Menjadi pertanyaan besar berikutnya bagaimana hak/kewenangan Budgeting lembaga yang tidak memiliki hak/kewenangan konstitusional bahkan tanpa persetujuan DPR melalui UU yang disepakati. Sebagai contoh adalah pembentukan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 106 Tahun 2007.


D. Ada hubungan sebab-akibat antara kerugian konstitusional dan berlakunya UU 12/11 yang 
dimohonkan pengujian.

20)  Bahwa berlakunya UU 12/11 adalah bentuk diskresi proses pembentukan PPU yang diatur oleh UUD 45 yang diberikan DPR kepada Presiden sehingga bisa membuat aturan tanpa secara jelas diperintahkan UU/PP dan dapat dengan bebas memilih UU/PP mana yang dijadikan konsideran maupun dasar hukum pembentukannya.

21)  Diskresi selanjutnya adalah terkait materi muatan, dimana pada aturan PS dapat dibuat tanpa persetujuan DPR dengan dalih materinya untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan tanpa harus ada kejelasan dalam rangka pelaksanaan kekuasaan pemerintah mana yang dimaksud.

22)  Muncul PS yang bukan dibuat berdasarkan konstitusional, maka akibat selanjutnya menimbulkan ketidakpastian akan jenis dan hierarkinya dan menimbulkan multi tafsir tak kala berhadapan dengan PPU lain yang pada akhirnya menimbulkan ketidaktertiban hukum.

23)Bahwa akhirnya berlakunya UU 12/11 tersebut telah menimbulkan kerugian konstitusional para pemohon karena tidak mendapatkan hak/kewajiban berupa kepastian hukum yang adil yang dijamin oleh UUD 45.


    
Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat 2 huruf b PMK 02/21 maka izinkan kami menguraikan secara jelas mengenai hal-hal sebagai berikut:

I. KEWENANGAN M.K.

24)  Bahwa Pasal 24 ayat (2) Perubahan Keempat UUD 1945 menyatakan: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah M.K”.

25)  Bahwa selanjutnya Pasal 24C ayat (1) Perubahan Keempat UUD 1945 menyatakan: “M.K berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang (selanjutnya disebut UU) terhadap Undang-Undang Dasar (selanjutnya disebut UUD), memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum”.

26)  Bahwa berdasarkan ketentuan di atas, M.K mempunyai kewenangan untuk melakukan pengujian UU terhadap UUD 1945 yang juga didasarkan pada Pasal 10 ayat (1) Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang M.K sebagaimana telah diubah terakhirkali oleh Undang-Undang Nomor 07 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU 24/03) (bukti P-3) yang menyatakan: “M.K berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: (a) menguji UU terhadap UUD 45”;

27)  Bahwa Pasal 9 ayat 1 UU 12/11 berbunyi : "Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh M.K." 

28)  Bahwa melalui permohonan ini, para Pemohon mengajukan pengujian Pasal 1 angka 6; Pasal 7; Pasal 13 dan penjelasan Pasal 13 pada UU 12/11 yang ditujukan terhadap UUD 45;

29)  Bahwa secara kelembagaan, M.K memiliki kewenangan melakukan Pengujian dan UU 12/11 juga mengatur bahwa pengujian UU dilakukan oleh M.K.

30)  Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka M.K berwenang untuk memeriksa dan mengadili permohonan a quo;

II. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PARA PEMOHON

31)Bahwa Pasal 51 ayat (1) UU 24/03 yang menyatakan: “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya UU, yaitu:
  1. perorangan WNI,
  2. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI yang diatur dalam UU; (c) badan hukum publik dan privat, atau 
  3. lembaga negara”;
32)Bahwa Putusan M.K Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 11/PUU-V/2007, juga menyebutkan tentang kapasitas Pemohon dalam mengajukan permohonan pengujian UU terhadap UUD, yaitu :
  1. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 45.
  2. bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh para Pemohon
    telah dirugikan oleh suatu UU yang diuji.
  3. bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik atau
    khusus dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran
    yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.
  4. adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dan berlakunya UU yang
    dimohonkan untuk diuji.
  5. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
    kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
33) Bahwa kelima syarat sebagaimana dimaksud di atas dijelaskan lagi oleh M.K melalui Putusan Nomor 27/PUU-VII/2009 dalam pengujian formil Perubahan Kedua UU tentang M.K (halaman 59), yang menyebutkan sebagai berikut: “Dari praktik Mahkamah (2003-2009), perorangan WNI, terutama pembayar pajak (tax payer; vide Putusan Nomor 003/PUU-I/2003) berbagai asosiasi dan NGO/LSM yang concern terhadap suatu UU demi kepentingan publik, badan hukum, Pemerintah daerah, lembaga negara, dan lain-lain, oleh Mahkamah dianggap memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan pengujian, baik formil maupun materiil, UU terhadap UUD 1945 (lihat juga Lee Bridges, dkk. Dalam “Judicial Review in Perspective, 1995).”

34)Bahwa Pemohon I merupakan orang perseorangan warga negara Indonesia yang bernama Bonatua Silalahi, xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx(bukti P-7).

35)Bahwa Pemohon II merupakan orang berbentuk Badan Hukum Private berbentuk Perseroan terbatas (bukti P-10) yang dibentuk pada tahun 2017 dan secara sah pendiriannya berdasarkan Akta Pendirian Perseroan Terbatas oleh Notaris Bliamto Silitonga, S.H., Nomor 2 tahun 2017, dan kemudian mendapatkan Pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM Nomor AHU-0016375.AH.01.01.TAHUN 2017 (bukti P- 11) pada tanggal 6 April 2017.

36)  Bahwa Pemohon II merupakan Badan usaha yang menjalankan usaha dalam bidang jasa pada umumnya yaitu Jasa Konsultan bidang manajemen dan administrasi PBJ. Sehingga Pemohon II haruslah dipandang sebagai perwujudan upaya, baik secara sendiri-sendiri maupun secara kolektif dalam membangun masyarakat, bangsa dan Negaranya dalam penegakan nilai-nilai konstitusionalisme;

37)  Bahwa para Pemohon memiliki kepentingan konstitusional atas diberlakukannya Pasal 1 angka 6; Pasal 7; Pasal 13 dan penjelasan Pasal 13 UU 12/11 karena pemberlakukan ketentuan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dan dapat berpotensi dirugikannya hak konstitusional Pemohon maupun warga negara Indonesia yang telah dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;

38)  Bahwa oleh sebab itu para Pemohon merupakan pihak yang dimaksudkan Pasal 51 ayat (1) huruf (a) UU 24/03, serta seperti yang dimaksudkan huruf c Putusan M.K Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 11/PUU-V/2007, serta Putusan Nomor 27/PUU-VII/2009 telah terpenuhi;


III. ALASAN PEMOHON.

    Adapun alasan Pemohon yang memuat penjelasan mengenai materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian dari UU 12/11 yang diduga bertentangan dengan UUD 45 sebagaimana yang dimaksud pada angka 3 huruf b ayat (2) pasal 10 pada PMK 02/21 adalah sebagi berikut: 

39) Bahwa Pasal 1 ayat (3) UUD 45 menyatakan “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.

40) Bahwa dalam rangka menjadikan Negara Hukum, UUD 45 telah menetapkan 6 (enam) jenis PPU yang diakui secara Konstitusional yaitu:

  1. UUD (pasal 1 ayat 2 UUD 45).
  2. PutusanMajelisPermusyawaratanRakyat(pasal2ayat3UUD45).
  3. UU (pasal 5 ayat 1 UUD 45)
  4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (selanjutnya disebut PPPUU) (Pasal 22 ayat 1 UUD 45)
  5. PP (pasal 5 ayat 2 UUD 45)
  6. PERDA dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan (pasal 18 ayat 6).

41) Bahwa UU 12/11 telah memperkenalkan Jenis baru PPU yaitu "PS" yang terdapat pada:

  1. a)  Pasal 1 angka 6 berbunyi: "PS adalah PPU yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah PPU yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan".
    b)  Pasal 7 ayat 1 berbunyi: "Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
    1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
    2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
    3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
    4. Peraturan Pemerintah;
    5. Peraturan Presiden;
    6. PERDA Provinsi; dan
    7. PERDA Kabupaten/Kota.
  2. c) Pasal 13 berbunyi: Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh UU, materi untuk melaksanakan PP, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.
  3. d) Penjelasan Pasal 13 berbunyi: "PS dibentuk untuk menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut perintah UU atau PP secara tegas maupun tidak tegas diperintahkan pembentukannya".


42)Bahwa selanjutnya pada BAB III UUD 45, terdapat 11 (sebelas) jenis kekuasaan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada pasal 4 ayat (1) UUD 45 adalah meliputi:

  1. membentuk UU dengan persetujuan DPR.
  2. menetapkan PP untuk menjalankan UU sebagaimana mestinya.
  3. memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara.
  4. atas persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
  5. membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan UU harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
  6. menyatakan keadaan bahaya.
  7. mengangkat duta dan konsul.
  8. menerima duta negara lain.
  9. memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan M.A.
  10. memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR.
  11. memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan UU.

43)  Bahwa ayat 6 pasal 18 UUD 45 berbunyi: PEMDA berhak menetapkan PERDA dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

44)  Bahwa UUD 45 sama sekali tidak menyebut jenis PPU yang disebut, diistilahkan atau hal lain yang bermakna seperti "Peraturan Presiden". Hal ini menandakan bahwa PS sama sekali bukanlah PPU yang diatur dalam konstitusi kita dan bisa dipastikan keberadaannya secara langsung bukanlah berdasar pada UUD 45.

45)  Bahwa munculnya Jenis PS sebagai salah satu PPU pada UU 12/11 telah menyebabkan para pemohon tidak mendapatkan hak memperoleh kepastian hukum yang adil mengingat:

  1. a)  Menurut kami PS tidak memiliki kekuatan Hukum mengikat karena Presiden tidak memiliki Hak/kewenangan Konstitusional membentuk PS dimana UUD 45 hanya menentukan 6 (enam) jenis PPU sebagaimana yang disebutkan pada angka 40) diatas.

  2. b)  PS adalah PPU yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan

    1. perintah PPU yang lebih tinggi atau
    2. dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan
  3. sebagaimana yang disebutkan pada angka 41) huruf a), terhadap menjalankan perintah PPU yang lebih tinggi, pemohon menganggap jelas terdapat kepastian hukum mengingat PS tersebut diperintahkan oleh UU yang disetujui oleh DPR atau oleh PP yang dibentuk atas dasar persetujuan oleh DPR pula, namun yang menimbulkan ketidakpastian hukum adalah apabila PS ditetapkan dalam rangka menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan, dalam hal ini tidak ada kepastian kekuasaan mana diantar 11 jenis kekuasaan sebagaimana yang disebut pada angka 42) diatas.

  4. c) Hierarki PS sebagaimana yang disebutkan pada angka 41) huruf b) ternyata kedudukannya dibuat lebih tinggi diatas PERDA, menjadi timbul ketidakpastian hukum yang sangat mendasar mengingat Presiden dalam membentuk PS bukanlah karena Hak/Kewenangan Konstitusinya bersama DPR, sebaliknya PERDA dibentuk oleh PEMDA yang memang bersumber dari Hak/kewenangan konstitusionalnya. Dalam hal ini PS dianggap dibentuk untuk menjalankan dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan sebagaimana disebut pada angka 41) huruf a dan PERDA dibentuk untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan sebagaimana yang dimaksud pada angka 40) huruf f diatas, akan sangat berbeda hierarkinya jikaPS dibentuk atas dasar perintah UU/PP.
  5. d)  Materi muatan Peraturan Presiden sebagaimana disebut pada angka 41) huruf c adalah berisi:
    • materi yang diperintahkan oleh Undang- Undang,
    • materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau
    • materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan
  1. Dalam hal materi muatan pada huruf a dan huruf b diatas, kami memandang masih ada kepastian hukum mengingat materi tersebut telah disetujui Presiden bersama DPR, namun dalam hal materi muatan pada huruf c menjadi timbul ketidakpastian dalam rangka materi muatan mana atau untuk melaksanakan kekuasaan pemerintah yang mana diantara kekuasaan pemerintah yang dimaksud pada angka 42).
  1. e)  Ketidakpastian pada angka 45) huruf d) diatas semakin jelas terjadi mengingat pada penjelasan pasal 13 sebagaimana yang disebut pada angka 41) huruf d yang menyebutkan bahwa PS dibentuk untuk menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut perintah UU atau PP secara

      1. tegas maupun
      2. tidak tegas
  2. diperintahkan pembentukannya.
  3. Terhadap perintah UU atau PP secara "tegas diperintahkan pembentukannya", kami pandang masih mengandung kepastian hukum bahwa PS tersebut dibentuk telah disetujui Presiden bersama DPR, namun dalam hal "tidak tegas diperintahkan pembentukannya" maka sangat mengandung ketidakpastian hukum apakah DPR atas persetujuan pembentukan PS tersebut, dalam hal ini jika Pembentukan PS saja tidak pasti disetujui maka bisa dipastikan "materi muatannya" juga sudah pasti tanpa persetujuan.

46) Seluruh Ketidakpastian yang timbul akibat diberlakunnya UU 12/11 khususnya pasal 1 angka 6, pasal 7 dan pasal 13 beserta penjelasannya nyata telah merugikan hak konstitusional para pemohon dan menjadi alasan agar dilakukan pengujian.


IV. PETITUM.

    Adapun Petitum yang memuat hal-hal yang dimohonkan untuk diputus dalam permohonan pengujian Materiil sebagaimana yang dimaksud pada huruf d ayat (2) pasal 10 pada PMK 02/21 adalah sebagai berikut:

Kami memohon agar kiranya Majelis Hakim Konstitusi yang mulia mengabulkan permohonan kami yaitu:
1). Menyatakan bahwa:
  • frasa pada materi muatan pada pasal 1 angka 6 UU 12/11 yang berbunyi "atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan" dan atau.
  • materi muatan pada huruf e, ayat 1, pasal 7 pada UU 12/11 dan atau
  • Isi Pasal 13 dan penjelasannya
yang dimohonkan pengujian adalah bertentangan dengan UUD 45 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
2). Memerintahkan pemuatan putusan dalam berita Negara Republik Indonesia.
atau dalam hal mahkamah berpendapat lain, mohon Putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).


    V. PENUTUP

    Demikianlah permohonan Uji Material (Judicial Review) ini kami sampaikan, atas perhatian dan kearifan Majelis Hakim yang mulia kami ucapkan terimakasih. 

    03 September 2022

    SYARAT PENERBITAN SBU : 4. Kemampuan Dalam Penyediaan Peralatan Konstruksi


    KAJIAN DASAR
    Kemampuan Dalam Penyediaan Peralatan Konstruksi (KDPPK)


        Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (PP 05/21), Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya. Perizinan Berusaha pada sektor pekerjaan umum dan perumahan rakyat terdiri atas subsektor: a. jasa konstruksi; b. sumber daya air; dan c. bina marga. Perizinan Berusaha pada subsektor jasa konstruksi ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas: a. jasa konsultansi konstruksi; b. pekerjaan konstruksi; dan c. pekerjaan konstruksi terintegrasi. Kualifikasi badan usaha subsektor jasa konstruksi untuk jasa konsultansi konstruksi dan pekerjaan konstruksi meliputi kualifikasi: a. kecil; b. menengah; dan c. besar. Kualifikasi badan usaha subsektor jasa konstruksi untuk usaha pekerjaan konstruksi terintegrasi hanya kualifikasi besar saja.
    Masih menurut PP 05/21, Penetapan kualifikasi badan usaha dilakukan berdasarkan penilaian kelayakan terhadap dokumen: a. penjualan tahunan; b. kemampuan keuangan; c. ketersediaan tenaga kerja konstruksi; dan d. kemampuan dalam penyediaan peralatan konstruksi, dalam artikel ini khusus dibahas adalah pada poin d yaitu kemampuan dalam penyediaan peralatan konstruksi (KDPPK). Penetapan kualifikasi badan usaha dilakukan terhadap setiap subklasifikasi yang diusulkan dikecualikan untuk kegiatan usaha jasa konsultansi konstruksi bersifat spesialis dan pekerjaan konstruksi bersifat spesialis. Dalam hal Badan Usaha Jasa Konstruksi (BUJK) memiliki beberapa subklasifikasi, penyebutan entitas BUJK mengacu pada kualifikasi tertinggi pada subklasifikasi yang dimiliki. Peraturan ini tidak memiliki ketentuan umum apa yang dimaksud dengan KDPPK namun memberikan ciri-ciri sebagai berikut:
    1. KDPPK harus memenuhi persyaratan paling sedikit jumlah peralatan utama untuk setiap subklasifikasi. 
    2. KDPPK wajib disediakan Pelaku Usaha paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender sejak SBU konstruksi diterbitkan.
    3. KDPPK dikecualikan untuk jasa konsultansi konstruksi bersifat umum.
    4. Penilaian KDPPK untuk kegiatan usaha pekerjaan konstruksi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
    5. Jenis kegiatan usaha pekerjaan konstruksi yang bersifat spesialis serta klasifikasi dan subklasifikasi meliputi : a.persiapan; b.konstruksi khusus; c.konstruksi prapabrikasi; d.penyewaan peralatan; e.instalasi; dan f. penyelesaian bangunan.
    6. Setiap Pelaku Usaha dapat dikenai sanksi administratif atas pelanggaran terhadap kewajiban memenuhi persyaratan minimal jumlah peralatan utama untuk setiap subklasifikasi;
    7. Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum mengenakan sanksi administratif berupa peringatan tertulis dan pengenaan denda administratif bagi BUJK yang terlambat melakukan pemenuhan persyaratan minimal jumlah peralatan utama untuk setiap subklasifikasi.

    Menurut Peraturan Menteri PUPR Nomor 6 Tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Produk pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PMPUPR 06/21), pada Lampiran I, untuk persyaratan khusus Standar kegiatan usaha jasa konstruksi harus memenuhi kelayakan kualifikasi usaha jasa konstruksi sebagaimana diatur dalam PP 05/21 Pasal 85 sampai dengan Pasal 95 dengan penjelasan terkait KDPPK sebagai berikut:
    • Penyediaan peralatan konstruksi dinilai berdasarkan jenis peralatan yang berbeda untuk masing-masing subklasifikasi yang diambil; 
    • Pemenuhan komitmen penyediaan peralatan konstruksi dilakukan dengan menyampaikan bukti kepemilikan kepada LSBU yang melakukan penilaian kelayakan atas SBU Konstruksi dimaksud paling lama 30 hari kalender setelah diterbitkannya SBU Konstruksi; 
    • LSBU menyampaikan laporan hasil verifikasi terhadap pemenuhan komitmen penyediaan peralatan konstruksi kepada menteri melalui Aplikasi Usaha Jasa Konstruksi.
    Terkait Standar Sarana, persyaratan jumlah penyediaan peralatan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 Pasal 95, Jenis peralatan utama untuk setiap subklasifikasi adalah sebagai berikut (contoh):
    Untuk Peralatan utama Subklasifikasi selain BG001 dan GT001 bisa dilihat langsung di PMPUPR 06/21.
    Selama berlakunya PP 05/21 dan PP 07/21 terutama sejak diundangkannya PMPUR 06/21 per tanggal 01 April 2021, menteri PUPR merasa perlu melakukan diskresi sebagaimana yang diatur pada pasal 561 PP 05/21 terkait terjadinya stagnasi penyelenggaraan sertifikasi khususnya terkait susahnya pemenuhan persyaratan Penjualan tahunan, diskresi tersebut tertuang pada Peraturan Menteri PUPR nomor 08 tahun 2022 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemenuhan Sertifikat Standar Jasa Konstruksi Dalam Rangka Mendukung Kemudahan Perizinan Berusaha bagi Pelaku Usaha Jasa Konstruksi (PMPUPR 08/22). Prosedur Pembentukan Peraturan Perundang-undangannya telah pula sesuai ketentuan ayat 10 pasal 6 PP 05/21, dimana penetapannya telah mendapat persetujuan Presiden melalui Surat Persetujuan Presiden No. EODB-196/SES.M.EKON/04/2022 Tgl 13 Juli 2022 dan berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian melalui surat Kemenko Perekonomian No. EODB-196/SES.M.EKON/04/2022 Tgl 1 April 2022.
    Menteri PUPR juga mengeluarkan SURAT EDARAN NOMOR: 21/SE/M/2021 TENTANG TATA CARA PEMENUHAN PERSYARATAN PERIZINAN BERUSAHA, PELAKSANAAN SERTIFIKASI KOMPETENSI KERJA KONSTRUKSI, DAN PEMBERLAKUAN SERTIFIKAT BADAN USAHA SERTA SERTIFIKAT KOMPETENSI KERJA KONSTRUKSI pada tanggal 25/11/2021 yang menerangkan bahwa Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2020 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, persyaratan perizinan berusaha untuk badan usaha Jasa Konstruksi meliputi NIB dan sertifikat standar yang dalam hal ini yaitu SBU. Khusus terkait peralatan pada Proses Permohonan SBU ditetapkanantara lain:
    1. Data dan dokumen persyaratan sertifikasi badan usaha memuat Data kemampuan dalam menyediakan Peralatan konstruksi.
    2. Pemohon menetapkan data kemampuan dalam menyediakan Peralatan konstruksi yang telah tercatat dalam SIJK Terintegrasi untuk pemenuhan persyaratan sertifikasi badan usaha.
    3. LSBU memproses permohonan SBU pelaku usaha yang belum dapat memenuhi persyaratan peralatan konstruksi berdasarkan surat pernyataan pemenuhan komitmen sesuai format pada standar skema sertifikasi badan usaha yang disampaikan pelaku usaha kepada LSBU menggunakan akses Single Sign On (SSO) pada Sistem OSS yang terhubung dengan SIJK Terintegrasi.
    4. Pelaku usaha menyampaikan pemenuhan komitmen sebagaimana diatas. Penyediaan peralatan konstruksi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak SBU diterbitkan;

    Terkait sertifikasi BUJK, PMPUPR 08/22 menetapkan bahwa Permohonan SBU disampaikan kepada Menteri melalui Lembaga Sertifikasi Badan Usaha (LSBU). Permohonan tersebut meliputi: a. permohonan baru; b. permohonan perpanjangan; dan c. permohonan perubahan data. Dalam hal Permohonan dilakukan dengan cara antara lain (menyampaikan) data dan dokumen persyaratan sertifikasi badan usaha memuat salah satunya data data kemampuan dalam menyediakan Peralatan konstruksi. Peraturan ini juga tidak memiliki ketentuan umum apa yang dimaksud dengan KDPPK namun memberikan ciri-ciri sebagai berikut:
    1. Telah tercatat dalam SIJK terintegrasi dalam hal ini portal Sistem Informasi Pengalaman (https://simpk.pu.go.id/).
    2. Penetapan kualifikasi BUJK yang bersifat umum dilakukan berdasarkan penilaian kelayakan salah satunya terhadap dokumen kemampuan dalam penyediaan peralatan, termasuk untuk Penetapan kemampuan BUJK yang bersifat spesialis. 
    3. Penilaian terhadap KDPPK dilakukan untuk: a. BUJK pekerjaan konstruksi bersifat umum; b. BUJK pekerjaan konstruksi terintegrasi; dan c. BUJK pekerjaan konstruksi bersifat spesialis.
    4. Penyediaan peralatan konstruksi oleh BUJK harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
    5. Kemampuan dalam penyediaan peralatan konstruksi dapat berupa: 
      • a. milik sendiri yang dibuktikan dengan adanya bukti hak milik; atau 
      • b. sewa yang dibuktikan dengan adanya bukti perjanjian sewa paling sedikit selama 1 (satu) tahun.
    6. Bukti hak milik peralatan konstruksi sebagaimana dimaksud pada huruf a diatas dapat dibuktikan melalui: a. faktur penjualan; b. akta jual beli; c. kuitansi; d. surat hibah; e. perjanjian sewa; atau f. laporan neraca aset BUJK, atau neraca konsolidasi pada satu holding.
    7. Penyediaan peralatan konstruksi harus memenuhi persyaratan paling sedikit jumlah peralatan utama untuk setiap Subklasifikasi.
    8. Penyediaan peralatan konstruksi untuk jenis yang sama dapat digunakan untuk memenuhi peralatan utama pada Subklasifikasi lain dalam 1 (satu) Klasifikasi yang sama.
    9. Rincian jenis peralatan utama tercantum dalam Lampiran (dibawah) yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini .
    10. Penyediaan peralatan konstruksi harus tercatat pada SIJK terintegrasi.
    11. Peralatan konstruksi dilakukan pengujian oleh instansi yang membidangi ketenagakerjaan di pemerintah daerah provinsi untuk memenuhi tahap dalam pencatatan peralatan konstruksi.
    12. Dalam hal pengujian peralatan konstruksi belum dapat dilakukan oleh instansi yang membidangi ketenagakerjaan di pemerintah daerah provinsi, BUJK dapat menggunakan surat pernyataan kelayakan.
    13. SIJK terintegrasi untuk mendukung pelaksanaan perizinan berusaha sektor Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat terkait KDPPK adalah sistem informasi material dan peralatan konstruksi (SIMPK) yang memuat data material dan peralatan konstruksi. 


    Lampiran PMPUPR 08/22 huruf C 
    tentang 
    KETENTUAN JENIS PERALATAN UTAMA 1. KUALIFIKASI KECIL 




    27 Agustus 2022

    SYARAT PENERBITAN SBU : 3. KETERSEDIAAN TENAGA KERJA KONSTRUKSI

    KAJIAN DASAR
    KETERSEDIAAN TKK (TENAGA KERJA KONSTRUKSI)

    Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (PP 05/21), Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya. Pengaturan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko berupa Analisis Risiko pelaksanaan kegiatan usaha terdiri dari tahap: a. persiapan; dan b. operasional dan/atau komersial. Terkhusus tahap persiapan, terdiri dari kegiatan diantaranya adalah pengadaan sumber daya manusia dalam hal ini termasuk TKK. Perizinan Berusaha pada sektor pekerjaan umum dan perumahan rakyat terdiri atas subsektor: a. jasa konstruksi; b. sumber daya air; dan c. bina marga. Perizinan Berusaha pada subsektor jasa konstruksi ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas: a. jasa konsultansi konstruksi; b. pekerjaan konstruksi; dan c. pekerjaan konstruksi terintegrasi. Kualifikasi badan usaha subsektor jasa konstruksi untuk jasa konsultansi konstruksi dan pekerjaan konstruksi meliputi kualifikasi: a. kecil; b. menengah; dan c. besar. Kualifikasi badan usaha subsektor jasa konstruksi untuk usaha pekerjaan konstruksi terintegrasi hanya kualifikasi besar saja.

    Masih menurut PP 05/21, Penetapan kualifikasi badan usaha dilakukan berdasarkan penilaian kelayakan terhadap dokumen: a. penjualan tahunan; b. kemampuan keuangan; c. ketersediaan TKK; dan d. kemampuan dalam penyediaan peralatan konstruksi, dalam artikel ini khusus dibahas adalah pada poin c tentang ketersediaan TKK. Penetapan kualifikasi badan usaha dilakukan terhadap setiap subklasifikasi yang diusulkan dikecualikan untuk kegiatan usaha jasa konsultansi konstruksi bersifat spesialis dan pekerjaan konstruksi bersifat spesialis. Dalam hal Badan Usaha Jasa Konstruksi (BUJK) memiliki beberapa subklasifikasi, penyebutan entitas BUJK mengacu pada kualifikasi tertinggi pada subklasifikasi yang dimiliki. 

    PP 05/21 tidak memuat ketentuan umum apa yang dimaksud dengan Ketersediaan TKK namun menurut Peraturan Pemerintah nomor 14 tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah nomor 22 tahun 2020 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang nomor 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (PP 14/21), yang dimaksud dengan TKK adalah setiap orang yang memiliki keterampilan atau pengetahuan dan pengalaman dalam melaksanakan Pekerjaan Konstruksi yang dibuktikan dengan SKK (Sertifikat Kompetensi Kerja Konstruksi), yang dimaksud dengan SKK sendiri adalah tanda bukti pengakuan kompetensi tenaga kerja konstruksi. PP 14/21 adalah pelaksanaan dari Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja Pasal 52 tentang perubahan Undang-Undang nomor 02 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi. Meskipun tidak memuat ketentuan umum namum PP 05/21 menjelaskan ciri-ciri yang dimaksud dengan Ketersediaan KTT sebagai berikut:

    1. Ketersediaan TKK harus memenuhi persyaratan minimal yang terdiri atas:

    a. jumlah tenaga kerja; 

    b. kualifikasi tenaga kerja; dan 

    c. jenjang tenaga kerja,

    yang dibuktikan dengan kepemilikan sertifikat kompetensi kerja konstruksi (SKKK) untuk setiap subklasifikasi.

    2. TKK meliputi: 

    a. Penanggung Jawab Badan Usaha (PJBU); 

    b. Penanggung Jawab Teknis Badan Usaha (PJTBU); dan/atau 

    c. Penanggung Jawab Subklasifikasi Badan Usaha (PJSKBU).

    3. TKK merupakan tenaga tetap badan usaha yang tidak boleh merangkap jabatan pada badan usaha lain. 

    4. Jumlah TKK PJSKBU adalah sesuai dengan jumlah dan kualifikasi subklasifikasi yang dimiliki ==>relaksasi

    5. Dalam hal tenaga kerja konstruksi mengundurkan diri, BUJK harus melakukan penggantian tenaga kerja konstruksi dengan kualifikasi Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) minimal sama dengan yang diganti, paling lama 7 (tujuh) Hari sejak tenaga kerja konstruksi mengundurkan diri. 

    6. Setiap penggantian tenaga kerja konstruksi, BUJK wajib melaporkan kepada Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK).

    7. Penilaian ketersediaan tenaga kerja konstruksi untuk setiap kegiatan usaha jasa konsultansi konstruksi bersifat umum harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

    8. Penilaian ketersediaan tenaga kerja konstruksi untuk kegiatan usaha pekerjaan konstruksi bersifat umum harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

    9. Penilaian ketersediaan tenaga kerja konstruksi untuk kegiatan usaha pekerjaan konstruksi terintegrasi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

    10. Penilaian BUJK untuk jasa konsultansi konstruksi dengan sifat usaha spesialis didasarkan pada ketersediaan aset dan ketersediaan tenaga kerja konstruksi sebagai berikut:

    11. Penilaian BUJK untuk pekerjaan konstruksi dengan sifat usaha spesialis didasarkan pada ketersediaan tenaga kerja konstruksi sebagai berikut:

    12. SKK konstruksi wajib dimiliki tenaga kerja konstruksi, lebih lanjut terkait SKK bisa diklik pada link berikut https://www.kebijakanpublikpengadaanbarangjasapemerintah.com/2022/01/ketentuan-perizinan-sertifikat.html.

    13. Terkait Tata cara pengawasan perizinan berusaha berbasis risiko menyangkut TKK di sub sektor jasa konstruksi diwajibkan membuat Laporan kegiatan usaha tahunan untuk usaha orang perseorangan, BUJK kualifikasi kecil, menengah, besar, dan BUJK spesialis dilengkapi dengan daftar penggunaan tenaga kerja konstruksi dan tenaga kerja konstruksi bersertifikat.

    14. Terkait Sanksi bagi pelaku usaha menyangkut TKK di sub sektor jasa konstruksi adalah sebagai berikut:

    a. Setiap Pelaku Usaha dapat dikenai sanksi administratif atas pelanggaran terhadap kewajiban melaporkan setiap penggantian tenaga kerja konstruksi serta memiliki dan memperpanjang SKK konstruksi bagi tenaga kerja konstruksi;

    b. Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum mengenakan sanksi administratif berupa peringatan tertulis dan pengenaan denda administratif bagi 

    • BUJK yang terlambat melakukan pelaporan penggantian tenaga kerja konstruksi.
    • Usaha orang perseorangan dan tenaga kerja konstruksi yang tidak memenuhi kewajiban memiliki SKK konstruksi.

    Menurut Peraturan pemerintah nomor 7 tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (PP 07/21) sebagai pelaksana UU 11/20, bahwa Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dikelompokkan berdasarkan kriteria modal usaha atau hasil penjualan tahunan. Untuk kepentingan tertentu, selain kriteria modal usaha dan hasil penjualan tahunan, kementerian/lembaga dapat menggunakan kriteria omzet, kekayaan bersih, nilai investasi, jumlah tenaga kerja, insentif dan disinsentif, kandungan lokal, dan/atau penerapan teknologi ramah lingkungan sesuai dengan kriteria setiap sektor usaha. Untuk pemberian kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan UMKM selain mensyaratkan kriteria modal usaha yang ditetapkan Lembaga Online Single Submission (OSS), demi kepentingan Penyelenggaraan Sertifikasi BUJK maka Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) juga telah memasukkan kriteria Penjualan tahunan, kekayaan bersih dan jumlah tenaga kerja sebagai kriteria tambahan dalam penilaian dokumen.

    Menurut Peraturan Menteri PUPR Nomor 6 Tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Produk pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PMPUPR 06/21), pada Lampiran I, untuk persyaratan khusus Standar kegiatan usaha jasa konstruksi harus memenuhi kelayakan kualifikasi usaha jasa konstruksi sebagaimana diatur dalam PP 05/21 Pasal 85 sampai dengan Pasal 95 salahsatunya adalah Ketersediaan Tenaga kerja konstruksi. Untuk Struktur Organisasi SDM dan SDM, Susunan tenaga kerja konstruksi Badan Usaha Jasa Konstruksi meliputi:

    a. Penanggung Jawab Badan Usaha (PJBU);

    b. Penanggung Jawab Teknis Badan (PJTBU); dan

    c. Penanggung Jawab Subklasifikasi Usaha (PJSKBU)

    Tenaga kerja konstruksi untuk subklasifikasi usaha harus memenuhi syarat teknis Tenaga kerja konstruksi berdasarkan kualifikasinya sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 Pasal 93 dan Pasal 94. Tenaga kerja konstruksi untuk setiap subklasifikasi harus sesuai dengan bidang keahlian tenaga kerja konstruksi, sebagai contoh untuk KBLI (Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia) nomor 41011 KONSTRUKSI GEDUNG HUNIAN berlaku standar sebagai berikut:

    a. BG001

    1) Bidang keahlian PJTBU:

    Klasifikasi sipil atau klasifikasi arsitektur dan subklasifikasi gedung atau subklasifikasi arsitektural atau memiliki sertifikat ASEAN Architect atau ASEAN Chartered Professional Engineer sesuai dengan klasifikasi sipil atau klasifikasi arsitektur dan subklasifikasi gedung atau subklasifikasi arsitektural.

    2) Bidang keahlian PJSKBU:

    Klasifikasi sipil atau klasifikasi arsitektur dan subklasifikasi gedung atau subklasifikasi arsitektural atau memiliki sertifikat ASEAN Architect atau ASEAN Chartered Professional Engineer sesuai dengan klasifikasi sipil atau klasifikasi arsitektur dan subklasifikasi gedung atau subklasifikasi arsitektural.

    b. GT001

    1) Bidang keahlian PJTBU:

    Klasifikasi sipil atau klasifikasi arsitektur dan subklasifikasi gedung atau subklasifikasi arsitektural atau memiliki sertifikat ASEAN Architect atau ASEAN Chartered Professional Engineer sesuai dengan klasifikasi sipil atau klasifikasi arsitektur dan subklasifikasi gedung atau subklasifikasi arsitektural.

    2) Bidang keahlian PJSKBU:

    Klasifikasi sipil atau klasifikasi arsitektur dan subklasifikasi gedung atau subklasifikasi arsitektural atau memiliki sertifikat ASEAN Architect atau ASEAN Chartered Professional Engineer sesuai dengan klasifikasi sipil atau klasifikasi arsitektur dan subklasifikasi gedung atau subklasifikasi arsitektural.

    Dalam hal pengawasan, terhadap laporan penggantian tenaga kerja konstruksi (PJBU, PJTBU, atau PJSKBU) mengacu sebagaimana yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 Pasal 417.

    Selama berlakunya PP 05/21 dan PP 07/21 terutama sejak diundangkannya PMPUR 06/21 per tanggal 01 April 2021, menteri PUPR merasa perlu melakukan diskresi sebagaimana yang diatur pada pasal 561 PP 05/21 terkait terjadinya stagnasi penyelenggaraan sertifikasi khususnya terkait susahnya pemenuhan persyaratan Penjualan tahunan, diskresi tersebut tertuang pada Peraturan Menteri PUPR nomor 08 tahun 2022 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemenuhan Sertifikat Standar Jasa Konstruksi Dalam Rangka Mendukung Kemudahan Perizinan Berusaha bagi Pelaku Usaha Jasa Konstruksi (PMPUPR 08/22). Prosedur Pembentukan Peraturan Perundang-undangannya telah pula sesuai ketentuan ayat 10 pasal 6 PP 05/21, dimana penetapannya telah mendapat persetujuan Presiden melalui Surat Persetujuan Presiden No. EODB-196/SES.M.EKON/04/2022 Tgl 13 Juli 2022 dan berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian melalui surat Kemenko Perekonomian No. EODB-196/SES.M.EKON/04/2022 Tgl 1 April 2022.

        Menurut PMPUPR 08/22, Pelaku Usaha Subsektor Jasa Konstruksi meliputi: a.BUJK; b. TKK; dan c. lembaga sertifikasi Jasa Konstruksi, dan setiap Pelaku Usaha Subsektor Jasa Konstruksi wajib memiliki Sertifikat Standar Jasa Konstruksi. Terkait sertifikasi BUJK, PMPUPR 08/22 menetapkan bahwa Permohonan SBU disampaikan kepada Menteri melalui Lembaga Sertifikasi Badan Usaha (LSBU). Permohonan tersebut meliputi: a. permohonan baru; b. permohonan perpanjangan; dan c. permohonan perubahan data. Dalam hal Permohonan dilakukan dengan cara antara lain (menyampaikan) data dan dokumen persyaratan sertifikasi badan usaha memuat antara lain data Ketersediaan TKK dan data penjualan tahunan, data ketersediaan TKK, dan data kemampuan dalam menyediakan peralatan Konstruksi sebagaimana dimaksud dalam huruf c angka 1, angka 3, dan angka 4 menggunakan data yang telah tercatat dalam SIJK terintegrasi. 

    Penetapan kualifikasi BUJK yang bersifat umum maupun spesialis dilakukan berdasarkan penilaian kelayakan terhadap dokumen salah satunya adalah ketersediaan TKK. Penilaian terhadap ketersediaan TKK meliputi penilaian atas ketersediaan:

    a. Penanggung Jawab Badan Usaha (PJBU);

    b. Penanggung Jawab Teknis Badan Usaha (PJTBU); dan/atau

    c. Penanggung Jawab Subklasifikasi Badan Usaha (PJSKBU).

    Ketersediaan TKK dinilai berdasarkan tenaga tetap BUJK yang tidak boleh merangkap jabatan pada BUJK lain. 

    a. Ketentuan terhadap PJBU dan PJTBU:

    Penilaian terhadap ketersediaan PJBU dan PJTBU sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    b. Ketentuan terhadap PJSKBU:

    1. Jumlah TKK yang menjabat sebagai PJSKBU dinilai sesuai dengan jumlah dan kualifikasi Subklasifikasi yang dimiliki. 
    2. TKK yang menjabat sebagai PJSKBU dapat merangkap paling banyak 5 (lima) Subklasifikasi dalam 1 (satu) Klasifikasi atas 1 (satu) BUJK. 
    3. PJSKBU memiliki bidang keilmuan untuk masing-masing Subklasifikasi usaha Jasa Konstruksi sebagaimana tercantum dalam PM 08/21, Lampiran huruf B tentang BIDANG KEILMUAN PJSKBU UNTUK MASING-MASING SUBKLASIFIKASI USAHA JASA KONSTRUKSI (hal 51).
    4. Dalam hal persyaratan jenjang PJKSBU untuk BUJK kualifikasi kecil belum dapat dipenuhi, PJSKBU dapat dijabat oleh TKK lulusan sekolah menengah atas dengan pengalaman paling sedikit 4 (empat) tahun atau sekolah menengah kejuruan dengan pengalaman paling sedikit 3 (tiga) tahun di bidang Jasa Konstruksi. Pemenuhan persyaratan jenjang PJSKBU hanya berlaku untuk 1 (satu) kali permohonan SBU.

    c. Ketentuan kepemilikan SKK Konstruksi bagi setiap TKK terdiri atas:

    1. untuk kualifikasi jabatan operator, memiliki paling banyak 5 (lima) SKK Konstruksi pada paling banyak 3 (tiga) Klasifikasi yang berbeda;
    2. untuk kualifikasi jabatan teknisi atau analis, memiliki paling banyak 5 (lima) SKK Konstruksi pada paling banyak 2 (dua) Klasifikasi yang berbeda; dan
    3. untuk kualifikasi jabatan ahli, memiliki paling banyak 5 SKK Konstruksi pada 2 (dua) Klasifikasi yang berbeda dimana salah satunya merupakan Klasifikasi manajemen pelaksanaan.
    4. Sertifikat keahlian dan sertifikat keterampilan kerja yang menggunakan kualifikasi, Klasifikasi, dan Subklasifikasi berdasarkan Peraturan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional Nomor 5 Tahun 2017 tentang Sertifikasi dan Registrasi Tenaga Ahli dan Peraturan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional Nomor 6 Tahun 2017 tentang Sertifikasi dan Registrasi Tenaga Terampil, yang telah diterbitkan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional dan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Provinsi serta Tim Penyelenggara Sertifikasi Kompetensi Kerja, tetap berlaku sampai berakhir masa berlakunya.
    5. TKK yang memiliki sertifikat keahlian kerja dan sertifikat keterampilan kerja bidang Jasa Konstruksi dan sertifikat keahlian kerja arsitek mengajukan permohonan pencatatan kepada LPJK. 


    POSTINGAN TERBARU

    KONFERENSI PERS DUGAAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KETENAGA KERJAAN DAN TRANSMIGRASI

    Jakarta, 25 Januari 2024. KPK menetapkan 3 orang sebagai tersangka korupsi pengadaan sistem proteksi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) pada Kemen...

    POSTINGAN POPULER