Layanan Jasa Konsultasi.

Kami dapat memberikan JASA Nasehat Kebijakan terhadap Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan; Pengadaan Barang/Jasa Konstruksi (Perencanaan - Persiapan - Pelaksanaan - Kontrak); dan Pemenangan Tender. Kami juga membantu membuat Kebijakan Perusahaan (Peraturan Direksi dan Dokumen Tender). Hubungi bonatua.766hi@gmail.com

Translate

Tampilkan postingan dengan label ATURAN TERKAIT PENGADAAN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ATURAN TERKAIT PENGADAAN. Tampilkan semua postingan

13 Juli 2023

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2023 TENTANG PEDOMAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN JASA KONSTRUKSI YANG DILAKSANAKAN PEMERINTAH DAERAH PROVINSI, KABUPATEN, DAN KOTA (PMPUPR1/23)



PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2023 
TENTANG
PEDOMAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN JASA KONSTRUKSI YANG DILAKSANAKAN PEMERINTAH DAERAH PROVINSI, KABUPATEN, DAN KOTA




Menimbang : 
a. bahwa untuk mengefektifkan dan mengoptimalkan pengawasan penyelenggaraan jasa konstruksi secara terpadu dan terkoordinasi yang dilaksanakan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota perlu disusun pedoman pengawasan penyelenggaraan jasa konstruksi;

b. bahwa pedoman sebagaimana dimaksud dalam huruf a, disusun sesuai dengan asas umum pemerintahan yang baik, tertib secara administratif, akuntabel, terstruktur, dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 129 sampai dengan Pasal 135 Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2020 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, perlu menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat tentang Pedoman Pengawasan Penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang Dilaksanakan Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota;

Mengingat : 
  1. Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916)
  3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6018) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2020 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 107, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6494) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2020 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6626);
  5. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6617);
  6. Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2020 tentang Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 40);
  7. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 13 Tahun 2020 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 473) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 11 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 13 Tahun 2020 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 1382);



MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT TENTANG PEDOMAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN JASA KONSTRUKSI YANG DILAKSANAKAN PEMERINTAH DAERAH PROVINSI, KABUPATEN, DAN KOTA.


BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

  1. Jasa Konstruksi adalah layanan jasa konsultansi konstruksi dan/atau pekerjaan konstruksi.
  2. Konsultansi Konstruksi adalah layanan keseluruhan atau sebagian kegiatan yang meliputi pengkajian, perencanaan, perancangan, pengawasan, dan penyelenggaraan konstruksi suatu bangunan.
  3. Pekerjaan Konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian kegiatan yang meliputi pembangunan, pengoperasian, pemeliharaan, pembongkaran, dan pembangunan kembali suatu bangunan.
  4. Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi yang selanjutnya disingkat LPJK adalah lembaga yang dibentuk Menteri untuk menyelenggarakan sebagian kewenangan Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi.
  5. Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya.
  6. Sertifikat Badan Usaha yang selanjutnya disingkat SBU adalah tanda bukti pengakuan terhadap klasifikasi dan Kualifikasi atas kemampuan badan usaha jasa konstruksi termasuk hasil penyetaraan kemampuan badan usaha jasa konstruksi asing.
  7. Sertifikat Kompetensi Kerja Konstruksi yang selanjutnya disebut SKK Konstruksi adalah tanda bukti pengakuan kompetensi tenaga kerja konstruksi.
  8. Penyedia Jasa adalah pemberi layanan Jasa Konstruksi.
  9. Pengguna Jasa adalah pemilik atau pemberi pekerjaan yang menggunakan layanan Jasa Konstruksi.
  10. Badan Usaha Jasa Konstruksi yang selanjutnya disingkat BUJK adalah badan usaha yang berbentuk badan hukum atau tidak berbadan hukum yang kegiatan usahanya bergerak di bidang Jasa Konstruksi.
  11. Tenaga Kerja Konstruksi yang selanjutnya disingkat TKK adalah setiap orang yang memiliki keterampilan atau pengetahuan dan pengalaman dalam melaksanakan Pekerjaan Konstruksi yang dibuktikan dengan Sertifikat Kompetensi Kerja Konstruksi.
  12. Kontrak Kerja Konstruksi adalah keseluruhan dokumen kontrak yang mengatur hubungan hukum antara Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi.
  13. Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan Konstruksi yang selanjutnya disebut dengan Standar K4 adalah pedoman teknis keamanan, keselamatan, kesehatan tempat kerja Konstruksi, dan perlindungan sosial tenaga kerja, serta tata lingkungan setempat dan pengelolaan lingkungan hidup dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi.
  14. Klasifikasi adalah penetapan kelompok usaha Jasa Konstruksi berdasarkan jenis Bangunan Konstruksi, bagian Pekerjaan Konstruksi, bidang keilmuan, dan keahlian terkait.
  15. Kualifikasi adalah penetapan kelompok usaha Jasa Konstruksi berdasarkan kemampuan usaha dan kelompok tenaga kerja berdasarkan kompetensi kerja.
  16. Tingkat Komponen Dalam Negeri yang selanjutnya disingkat TKDN adalah besaran kandungan dalam negeri pada barang, jasa, serta gabungan barang dan jasa.
  17. Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (Online Single Submission) yang selanjutnya disebut Sistem OSS adalah sistem elektronik terintegrasi yang dikelola dan diselenggarakan oleh Lembaga OSS untuk penyelenggararn Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
  18. Sistem Informasi Jasa Konstruksi yang selanjutnya disebut SIJK adalah penyelenggaraan penyediaan data dan informasi Jasa Konstruksi yang didukung oleh teknologi informasi dan telekomunikasi.
  19. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  20. 20. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
  21. 21. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintah negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
  22. 22. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan dengan peraturan daerah.
  23. 23. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat.

Pasal 2

(1) Peraturan Menteri ini merupakan pedoman pelaksanaan pengawasan penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah provinsi, kabupaten, dan kota di wilayah kewenangannya.

(2) Ruang lingkup pedoman pengawasan penyelenggaraan Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. kewenangan;

b. jenis pengawasan;

c. pelaksana pengawasan;

d. tata cara pengawasan;

e. pelaporan dan tindak lanjut rekomendasi pengawasan;

f. pembinaan pengawasan;

g. pendanaan; dan

h. sanksi administratif dan tata cara pengenaan sanksi administratif.


BAB II KEWENANGAN

Pasal 3

Pemerintah Daerah provinsi, kabupaten, dan kota mempunyai kewenangan melakukan pengawasan penyelenggaraan Jasa Konstruksi.

Bagian Kesatu Kewenangan Provinsi

Pasal 4

(1) Pengawasan penyelenggaraan Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah provinsi meliputi:

a. kegiatan konstruksi yang dibiayai dengan dana APBD provinsi; dan

b. kegiatan konstruksi lintas kabupaten/kota dalam satu provinsi.

(2) Kegiatan konstruksi lintas kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:

a. kegiatan yang bukan pada kewenangan Pemerintah Pusat; dan

b. kegiatan yang dibiayai dengan dana masyarakat, swasta atau badan usaha.

Bagian Kedua Kewenangan Kabupaten/Kota

Pasal 5

(1) Pengawasan penyelenggaraan Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah kabupaten/kota meliputi:

a. kegiatan konstruksi yang dibiayai dengan dana APBD kabupaten/kota;

b. kegiatan konstruksi yang dibiayai dengan dana non APBN/APBD kecuali yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah provinsi; dan

c. pengawasan tertib usaha Jasa Konstruksi dalam rangka Pembinaan Jasa Konstruksi terhadap segmentasi pasar yang:

1) berisiko sedang, berteknologi madya, dan/atau berbiaya sedang; dan

2) berisiko kecil, berteknologi sederhana, dan/atau berbiaya kecil.

(2) Kegiatan konstruksi yang dibiayai dengan dana non APBN/APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan kegiatan konstruksi yang dibiayai dengan dana dari masyarakat, swasta, atau badan usaha yang bukan menjadi kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah provinsi.

(3) Pengawasan tertib usaha Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan terhadap BUJK kualifikasi menengah, BUJK kualifikasi kecil, dan usaha orang perseorangan.

Pasal 6

Pengawasan penyelenggaraan Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 merupakan pengawasan teknis terhadap:

a. tertib usaha Jasa Konstruksi;

b. tertib penyelenggaraan Jasa Konstruksi; dan/atau

c. tertib pemanfaatan produk Jasa Konstruksi.

Pasal 7

Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota berwenang melakukan pengawasan tertib usaha Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a yang mencakup pengawasan terhadap:

a. pemenuhan persyaratan usaha rantai pasok sumber daya konstruksi;

b. kesesuaian jenis, sifat, Klasifikasi, dan layanan dengan kegiatan usaha Jasa Konstruksi;

c. kesesuaian bentuk dan Kualifikasi usaha dengan kegiatan usaha Jasa Konstruksi dan segmentasi pasar Jasa Konstruksi;

d. pemenuhan persyaratan usaha Jasa Konstruksi; dan

e. pelaksanaan pengembangan usaha berkelanjutan.

Pasal 8

Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota berwenang melakukan pengawasan tertib penyelenggaraan Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b yang mencakup pengawasan terhadap:

a. proses pemilihan Penyedia Jasa;

b. penyusunan dan pelaksanaan Kontrak Kerja Konstruksi;

c. penerapan Standar K4;

d. penerapan manajemen mutu konstruksi; dan

e. pengelolaan dan penggunaan material, peralatan, dan teknologi konstruksi.

Pasal 9

Selain melakukan cakupan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pemerintah Daerah kabupaten/kota juga melakukan cakupan pengawasan pengelolaan dan pemanfaatan sumber material konstruksi.

Pasal 10

Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota berwenang melakukan pengawasan tertib pemanfaatan produk Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c yang harus memperhatikan kesesuaian terhadap:

a. fungsi peruntukan konstruksi;

b. rencana umur konstruksi;

c. pelaksanaan kapasitas dan beban; dan

d. pemeliharaan produk Jasa Konstruksi.


BAB III JENIS PENGAWASAN

Pasal 11

Jenis pengawasan penyelenggaraan Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 terdiri atas:

a. pengawasan rutin; dan

b. pengawasan insidental.

Pasal 12

(1) Pengawasan rutin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a dilakukan dengan pemeriksaan terhadap laporan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup:

a. laporan kegiatan usaha tahunan;

b. laporan kegiatan penyelenggaraan konstruksi; dan

c. laporan kegiatan pemanfaatan produk konstruksi.

(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan sebagai dasar pengisian daftar simak.

(4) Daftar simak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


Pasal 13

(1) Laporan kegiatan usaha tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf a disusun oleh BUJK yang diunggah pada SIJK yang terintegrasi paling lambat 1 (satu) bulan setelah tahun anggaran berakhir.

(2) Laporan kegiatan usaha tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk pengawasan tertib usaha Jasa Konstruksi.

(3) SIJK yang terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola oleh pimpinan unit organisasi yang membidangi Jasa Konstruksi.

Pasal 14

(1) Laporan kegiatan penyelenggaraan konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf b disusun oleh pejabat pembuat komitmen, masyarakat, swasta, atau badan usaha sebagai Pengguna Jasa.

(2) Laporan kegiatan penyelenggaraan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dan disampaikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Laporan kegiatan penyelenggaraan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) minimal memuat:

a. berita acara hasil pemilihan Penyedia Jasa; dan

b. laporan pengendalian kontrak yang memuat:

1) penerapan standar kontrak; dan

2) penerapan sistem manajemen keselamatan konstruksi yang meliputi Standar K4, manajemen mutu konstruksi, pengelolaaan dan pengunaan material, peralatan, dan teknologi konstruksi, dan pengelolaan dan pemanfaatan sumber material konstruksi.

Pasal 15

(1) Laporan kegiatan pemanfaatan produk konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf c disusun oleh pemilik/pengelola bangunan.

(2) Laporan kegiatan pemanfaatan produk konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dan disampaikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Laporan kegiatan pemanfaatan produk konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) minimal memuat:

a. fungsi peruntukan konstruksi;

b. rencana umur konstruksi;

c. pelaksanaan kapasitas dan beban; dan

d. pemeliharaan produk Jasa Konstruksi.

Pasal 16

(1) Pengawasan insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf b dilakukan dalam hal terdapat:

a. hal-hal yang bersifat khusus atau kondisi tertentu;

b. pengaduan masyarakat; dan/atau

c. rekomendasi dari hasil pengawasan rutin.

(2) Hal-hal yang bersifat khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, mencakup terjadinya:

a. kecelakaan konstruksi;

b. kegagalan bangunan; dan/atau

c. masalah sosial dan/atau lingkungan di lokasi kegiatan konstruksi dan lokasi bangunan.

Pasal 17

(1) Pengaduan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b dilakukan dalam rangka:

a. peningkatan pelayanan publik; dan/atau

b. acuan pelaksanaan pengawasan insidental yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah.

(2) Pengaduan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tentang pelayanan publik.

Pasal 18

(1) Organisasi perangkat daerah yang membidangi Jasa Konstruksi menerima pengaduan masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tentang pelayanan publik.

(2) Organisasi perangkat daerah yang membidangi Jasa Konstruksi melakukan validasi substansi pengaduan masyarakat.

(3) Validasi substansi pengaduan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:

a. tertib usaha Jasa Konstruksi;

b. tertib penyelenggaraan Jasa Konstruksi; dan/atau

c. tertib pemanfaatan produk Jasa Konstruksi.

(4) Validasi substansi pengaduan masyarakat mengenai tertib usaha Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a meliputi substansi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.

(5) Validasi substansi pengaduan masyarakat mengenai tertib penyelenggaraan Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b meliputi substansi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 9.

(6) Validasi substansi pengaduan masyarakat mengenai tertib pemanfaatan produk Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c meliputi substansi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.

Pasal 19

(1) Hasil validasi pengaduan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) berupa kategori: a. dapat ditindaklanjuti; atau b. tidak dapat ditindaklanjuti.

(2) Pengaduan masyarakat yang dapat ditindaklanjuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan melalui pengawasan insidental.

(3) Pengaduan masyarakat yang tidak dapat ditindaklanjuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diinformasikan kepada pelapor sesuai dengan ketentuan ketentuan peraturan perundang-undangan tentang pelayanan publik.


BAB IV PELAKSANA PENGAWASAN

Pasal 20

(1) Pelaksana pengawasan terdiri atas:

a. pelaksana pengawasan rutin; dan

b. pelaksana pengawasan insidental.

(2) Pelaksana pengawasan rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berasal dari Aparatur Sipil Negara di lingkungan organisasi perangkat daerah yang membidangi Jasa Konstruksi.

(3) Pelaksana pengawasan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berbentuk tim pengawas insidental berasal dari Aparatur Sipil Negara di lingkungan organisasi perangkat daerah yang membidangi Jasa Konstruksi.

(4) Dalam hal diperlukan, tim pengawas insidental dapat melibatkan Aparatur Sipil Negara dari organisasi perangkat daerah lain yang terkait Jasa Konstruksi.

(5) Aparatur Sipil Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diutamakan Pejabat Fungsional Pembina Jasa Konstruksi.

(6) Pelaksana pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bekerjasama dengan pakar, tenaga ahli, dan/atau akademisi.

(7) Pelaksana pengawasan dalam melaksanakan tugasnya mengikuti ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri ini.


BAB V TATA CARA PENGAWASAN

Bagian Kesatu Umum

Paragraf 1 Tata Cara Pengawasan Rutin

Pasal 21

(1) Pengawasan rutin dilakukan terhadap penyelenggaraan Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.

(2) Pengawasan rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan permintaan pengisian daftar simak sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

(3) Daftar simak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilengkapi dengan:

a. surat pernyataan; dan/atau

b. salinan dokumen bukti dukung.

(4) Permintaan pengisian daftar simak sebagimana dimaksud pada ayat (2) ditujukan kepada BUJK, badan usaha rantai pasok, Pengguna Jasa, dan/atau pemilik/pengelola bangunan.

(5) Dalam hal BUJK, badan usaha rantai pasok, Pengguna Jasa, dan/atau pemilik/pengelola bangunan tidak menyampaikan daftar simak dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja, pelaksana pengawasan dapat memberikan rekomendasi untuk dilakukan pengawasan insidental.

(6) Dalam hal BUJK, badan usaha rantai pasok, Pengguna Jasa, dan/atau pemilik/pengelola bangunan menyampaikan daftar simak yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam pengisian daftar simak dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja, akan diberikan waktu 5 (lima) hari kerja untuk melakukan perbaikan.

Paragraf 2 Tata Cara Pengawasan Insidental

Pasal 22

Tahapan pelaksanaan pengawasan insidental terdiri atas:

a. perencanaan pengawasan;

b. persiapan pelaksanaan pengawasan;

c. pelaksanaan pengawasan; dan

d. pelaporan pengawasan insidental.

Pasal 23

Perencanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf a, mencakup penyusunan atau penetapan:

a. waktu pelaksanaan pengawasan;

b. anggaran pengawasan;

c. sumber daya manusia pelaksana pengawasan; dan

d. metode pengawasan.

Pasal 24

(1) Persiapan pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf b, meliputi kegiatan:

a. penetapan tim pengawas insidental;

b. pengumpulan data awal; dan

c. penyiapan dokumen administratif.

(2) Tim pengawas insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan oleh gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangannya.

(3) Pengumpulan data awal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dapat bersumber dari:

a. Sistem OSS;

b. SIJK yang terintegrasi; dan

c. instansi terkait.

(4) Penyiapan dokumen administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan oleh tim pengawas yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Pasal 25

(1) Pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf c, meliputi kegiatan:

a. pengambilan data dan pengisian borang-borang/formulir isian;

b. pengolahan data;

c. inspeksi lapangan;

d. pembahasan;

e. penandatanganan berita acara; dan

f. penyiapan laporan pengawasan insidental dan rekomendasi hasil pengawasan insidental.

(2) Pengambilan data dan pengisian borang-borang/formulir isian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan:

a. pemeriksaan administratif dan/atau fisik atas pemenuhan standar kegiatan usaha dan/atau standar produk/jasa;

b. pengujian; dan/atau

c. pengisian borang-borang/formulir isian.

(3) Pengolahan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan mengelompokkan, menstrukturkan, dan mengolah data.

(4) Inspeksi lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan melalui kunjungan fisik dan/atau melalui daring untuk memastikan hasil pengolahan data yang dimaksud pada ayat (3) sesuai dengan kondisi lapangan.

(5) Pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan dengan membandingkan antara hasil pengolahan data dan inspeksi lapangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(6) Penandatanganan berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dilakukan berdasarkan hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) antara tim pengawas dengan penanggung jawab objek pengawasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(7) Penyiapan laporan pengawasan insidental dan rekomendasi hasil pengawasan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dilakukan oleh tim pengawas insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2).

Pasal 26

Pelaporan pengawasan insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf d merupakan penyampaian laporan dari pimpinan organisasi perangkat daerah yang membidangi Jasa Konstruksi kepada gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangannya dan penanggung jawab objek pengawasan.

Bagian Kedua Tata Cara Pengawasan Tertib Usaha Jasa Konstruksi

Pasal 27

(1) Pengawasan tertib usaha terhadap pemenuhan persyaratan usaha rantai pasok sumber daya konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a dilakukan untuk memastikan kecukupan dan keberlanjutan pasokan sumber daya konstruksi yang berkualitas sesuai dengan Standar Nasional Indonesia atau standar lain yang berlaku dan pemenuhan terhadap tingkat komponen dalam negeri.

(2) Pengawasan terhadap pemenuhan persyaratan usaha rantai pasok sumber daya konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan kepada badan usaha rantai pasok yang terdiri atas:

a. material konstruksi;

b. peralatan konstruksi; dan

c. teknologi konstruksi.

Pasal 28

(1) Badan usaha rantai pasok material konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) huruf a terdiri atas:

a. produsen; dan/atau

b. distributor.

(2) Pengawasan terhadap pemenuhan persyaratan usaha badan usaha rantai pasok sumber daya material konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pemeriksaan:

a. kepemilikan dan keabsahan Perizinan Berusaha; dan

b. kepemilikan bukti pencatatan material konstruksi pada sistem informasi material dan peralatan konstruksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tentang pencatatan sumber daya material dan peralatan konstruksi; atau

c. pencantuman pada sistem informasi material dan peralatan konstruksi.

Pasal 29

(1) Badan usaha rantai pasok peralatan konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) huruf b terdiri atas:

a. pemilik;

b. penyewaan; dan/atau

c. distributor atau agen tunggal.

(2) Pengawasan terhadap pemenuhan persyaratan usaha badan usaha rantai pasok sumber daya peralatan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pemeriksaan:

a. kepemilikan dan keabsahan Perizinan Berusaha; dan

b. kepemilikan bukti pencatatan peralatan konstruksi pada sistem informasi material dan peralatan konstruksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tentang pencatatan sumber daya material dan peralatan konstruksi; atau

c. pencantuman pada sistem informasi material dan peralatan konstruksi.

Pasal 30

(1) Badan usaha rantai pasok teknologi konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) huruf c merupakan badan usaha yang menyediakan teknologi yang terdaftar dalam Hak Atas Kekayaan Intelektual sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Pengawasan terhadap pemenuhan persyaratan usaha badan usaha rantai pasok teknologi konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pemeriksaan:

a. kepemilikan dan keabsahan Perizinan Berusaha; dan

b. ketersediaan teknologi konstruksi yang terdaftar dalam Hak Atas Kekayaan Intelektual sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Dalam hal ketersediaan teknologi konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b tidak dapat dipenuhi oleh badan usaha rantai pasok teknologi konstruksi, dapat bekerjasama dengan pemegang Hak Atas Kekayaan Intelektual sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 31

(1) Pengawasan terhadap kesesuaian jenis, sifat, Klasifikasi, dan layanan usaha dengan kegiatan usaha Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b dilakukan untuk memastikan kegiatan usaha Jasa Konstruksi yang telah dilaksanakan sesuai dengan jenis, sifat, Klasifikasi, dan layanan usaha yang tertera dalam SBU.

(2) Pengawasan terhadap kesesuaian jenis, sifat, Klasifikasi, dan layanan usaha dengan kegiatan usaha Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan kepada BUJK Nasional yang menyelenggarakan layanan usaha:

a. jasa Konsultansi Konstruksi;

b. Pekerjaan Konstruksi; dan

c. Pekerjaan Konstruksi terintegrasi.

(3) Pengawasan terhadap kesesuaian jenis, sifat, Klasifikasi, dan layanan usaha dengan kegiatan usaha Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pemeriksaan:

a. SBU; dan

b. laporan tahunan BUJK.

Pasal 32

(1) Pengawasan terhadap kesesuaian bentuk dan Kualifikasi usaha dengan kegiatan usaha Jasa Konstruksi dan segmentasi pasar Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c dilakukan untuk memastikan kegiatan usaha Jasa Konstruksi yang telah dilaksanakan BUJK sesuai bentuk dan Kualifikasi usaha yang tertera dalam SBU.

(2) Pengawasan terhadap kesesuaian bentuk dan kualifikasi kegiatan usaha Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan kepada BUJK Nasional yang menyelenggarakan layanan usaha:

a. jasa Konsultansi Konstruksi;

b. Pekerjaan Konstruksi; dan

c. Pekerjaan Konstruksi terintegrasi.

(3) Pengawasan terhadap kesesuaian bentuk dan kualifikasi kegiatan usaha Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pemeriksaan:

a. SBU; dan

b. laporan tahunan BUJK.

Pasal 33

(1) Pengawasan terhadap pemenuhan persyaratan usaha Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf d dilakukan untuk memastikan kepemilikan dan keabsahan dokumen Perizinan Berusaha.

(2) Pengawasan terhadap pemenuhan persyaratan usaha Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan kepada:

a. BUJK Nasional yang menyelenggarakan layanan usaha:

1) jasa Konsultansi Konstruksi;

2) Pekerjaan Konstruksi;

3) Pekerjaan Konstruksi terintegrasi.

b. usaha orang perseorangan yang menyelenggarakan layanan usaha:

1) jasa Konsultansi Konstruksi;

2) Pekerjaan Konstruksi.

(3) Pengawasan terhadap pemenuhan persyaratan usaha Jasa Konstruksi kepada BUJK Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan melalui pemeriksaan:

a. kepemilikan dan keabsahan dokumen Nomor Induk Berusaha; dan

b. kepemilikan dan keabsahan dokumen SBU.

(4) Pengawasan terhadap pemenuhan persyaratan usaha Jasa Konstruksi kepada usaha orang perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan dengan cara memeriksa:

a. kepemilikan dan keabsahan Nomor Induk Berusaha; dan

b. kepemilikan dan keabsahan dokumen SKK Konstruksi. (5) Nomor Induk Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan ayat (4) huruf a merupakan bukti registrasi pendaftaran pelaku usaha untuk melakukan kegiatan usaha dan sebagai identitas bagi pelaku usaha dalam pelaksanaan kegiatan usahanya.

Pasal 34

(1) Pengawasan terhadap pelaksanaan pengembangan usaha berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf e dilakukan untuk memastikan BUJK dapat melaksanakan kegiatan pengembangan usaha secara berkelanjutan dalam rangka meningkatkan daya saing.

(2) Pengawasan terhadap pelaksanaan pengembangan usaha berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan kepada BUJK Nasional yang menyelenggarakan layanan usaha:

a. jasa Konsultansi Konstruksi;

b. Pekerjaan Konstruksi; dan

c. Pekerjaan Konstruksi terintegrasi.

(3) Kegiatan pengembangan usaha berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. peningkatan kapasitas sumber daya manusia badan usaha;

b. peningkatan peralatan;

c. peningkatan teknologi;

d. peningkatan kualitas pengelolaan keuangan; dan/atau

e. peningkatan manajemen usaha.

(4) Pengawasan terhadap pengembangan usaha berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui pemeriksaan:

a. laporantahunanBUJK;

b. laporan pengembangan usaha berkelanjutan dari asosiasi badan usaha; dan/atau

c. laporan keuangan BUJK.

Pasal 35

Tata cara pengawasan tertib usaha Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 dilaksanakan untuk pengawasan rutin dan insidental.

Bagian Ketiga Tertib Penyelenggaraan Jasa Konstruksi

Paragraf 1 Umum

Pasal 36

(1) Pengawasan terhadap proses pemilihan Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dilakukan untuk mendorong terlaksananya pemilihan Penyedia Jasa Konstruksi dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Pengawasan terhadap proses pemilihan Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan konstruksi yang dibiayai dengan dana dari:

a. APBD; dan/atau

b. masyarakat, swasta, atau badan usaha.

(3) Pengawasan terhadap proses pemilihan Penyedia Jasa untuk kegiatan konstruksi yang dibiayai dengan dana dari APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan kepada Pengguna Jasa Pemerintah Daerah.

(4) Pengawasan terhadap proses pemilihan Penyedia Jasa untuk kegiatan konstruksi yang dibiayai dengan dana dari masyarakat, swasta, atau badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan kepada masyarakat, swasta, atau badan usaha sebagai Pengguna Jasa.

Pasal 37

(1) Pengawasan terhadap penyusunan dan pelaksanaan Kontrak Kerja Konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dilakukan untuk memastikan bahwa penyusunan dan penerapan Kontrak Kerja Konstruksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2) Pengawasan terhadap penyusunan dan pelaksanaan Kontrak Kerja Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan konstruksi yang dibiayai dengan dana dari:

a. APBD; dan/atau

b. masyarakat, swasta, atau badan usaha.

(3) Pengawasan terhadap penyusunan dan pelaksanaan Kontrak Kerja Konstruksi untuk kegiatan yang dibiayai dengan dana dari APBD sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) huruf a mencakup:

a. penggunaan standar kontrak;

b. penggunaan TKK bersertifikat;

c. pemberian pekerjaan utama dan/atau penunjang kepada subpenyedia jasa;

d. kepemilikan Hak Atas Kekayaan Intelektual;

e. kewajiban alih teknologi untuk kontrak dengan pihak asing;

f. penggunaan produk dalam negeri; dan

g. kewajiban pembayaran asuransi TKK.

(4) Pengawasan terhadap penyusunan dan pelaksanaan Kontrak Kerja Konstruksi untuk kegiatan yang dibiayai dengan dana dari masyarakat, swasta, atau badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b mencakup:

a. penggunaan dokumen kontrak yang disepakati oleh kedua pihak yang substansinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

b. penggunaan TKK bersertifikat;

c. pemberian pekerjaan utama dan/atau penunjang kepada subpenyedia jasa;

d. kepemilikan Hak Atas Kekayaan Intelektual;

e. kewajiban alih teknologi untuk kontrak dengan pihak asing;

f. penggunaan produk dalam negeri;

g. jaminan terhadap ketersediaan anggaran; dan

h. kewajiban pembayaran asuransi TKK.

Pasal 38

(1) Pengawasan terhadap penerapan Standar K4 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c dilakukan untuk memastikan penerapan Standar K4 dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan.

(2) Pengawasan terhadap penerapan Standar K4 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan konstruksi yang dibiayai dengan dana dari:

a. APBD; dan/atau

b. masyarakat, swasta, atau badan usaha.

(3) Penerapan Standar K4 dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. jasa Konsultansi Konstruksi;

b. Pekerjaan Konstruksi; dan

c. Pekerjaan Konstruksi terintegrasi.

(4) Pengawasan terhadap penerapan Standar K4 untuk kegiatan konstruksi yang dibiayai dengan dana dari masyarakat, swasta, atau badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota hanya untuk usaha orang perorangan.

Pasal 39

(1) Pengawasan terhadap Penerapan Standar K4 yang dibiayai dengan dana dari APBD atau masyarakat, swasta, atau badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) dilakukan melalui pemeriksaan:

a. dokumen Standar K4;

b. dokumen penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi (SMKK), dan

c. dokumen (bukti) antisipasi kecelakaan konstruksi;

(2) Dokumen Standar K4 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mencakup:

a. standar mutu bahan;

b. standar mutu peralatan;

c. standar keselamatan kesehatan kerja;

d. standar prosedur pelaksanaan Jasa Konstruksi;

e. standar mutu hasil pelaksanaan Jasa Konstruksi;

f. standar operasi dan pemeliharaan;

g. pedoman perlindungan sosial tenaga kerja sesuai

ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

h. standar pengelolaan hidup sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan

(3) Dokumen penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi (SMKK) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi;

a. rancangan konseptual Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi (SMKK);

b. Rencana Keselamatan Kontruksi (RKK);

c. Rencana Mutu Pekerjaan Konstruksi (RMPK);

d. program mutu;

e. Rencana Kerja Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan (RKPPL); dan

f. Rencana Manajemen Lalu Lintas Pekerjaan (RMLLP).

(4) Dokumen (bukti) antisipasi kecelakaan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:

a. dokumen rencana program sosialisasi Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi (SMKK) di proyek konstruksi;

b. laporan penerapan Rencana Keselamatan Kontruksi (RKK);

c. bukti pembayaran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan; dan

d. bukti pembayaran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan atau bukti pembayaran asuransi kesehatan.

Pasal 40

(1) Pengawasan terhadap penerapan manajemen mutu konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf d secara rutin dilakukan untuk mendorong terwujudnya hasil konstruksi yang berkualitas.

(2) Pengawasan penerapan manajemen mutu konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tentang sistem manajemen keselamatan konstruksi.

(3) Pengawasan terhadap penerapan manajemen mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan konstruksi yang dibiayai dengan dana dari:

a. APBD; dan/atau

b. masyarakat, swasta, atau badan usaha.

Pasal 41

(1) Pengawasan terhadap pengelolaan dan penggunaan material, peralatan, dan teknologi konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf e dilakukan untuk memastikan material, peralatan, dan teknologi konstruksi yang digunakan dalam Pekerjaan Konstruksi telah lulus uji, mengoptimalkan penggunaan produk dalam negeri, dan tepat guna serta tercatat dalam sistem informasi material dan peralatan konstruksi.

(2) Pengawasan terhadap pengelolaan dan penggunaan material, peralatan, dan teknologi konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Pengawasan terhadap pengelolaan dan penggunaan material, peralatan, dan teknologi konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan konstruksi yang dibiayai dengan dana dari:

a. APBD; dan/atau

b. masyarakat, swasta, atau badan usaha.

(4) Pengelolaan dan penggunaan material, peralatan, dan teknologi konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. pemenuhan penyediaan material, peralatan, dan teknologi konstruksi dalam pelaksanaan proyek konstruksi;

b. penggunaan material, peralatan, dan teknologi konstruksi sesuai dengan SNI atau standar lain yang berlaku, dan teknologi konstruksi tepat guna yang mengutamakan penerapan teknologi dengan platform digital; dan

c. penggunaan produk dalam negeri untuk material, peralatan, dan teknologi konstruksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan tentang pemberdayaan industri nasional.

Pasal 42

(1) Pengawasan terhadap pengelolaan dan pemanfaatan sumber material konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dilakukan untuk memastikan kecukupan pemenuhan penyediaan material dalam pelaksanaan proyek konstruksi.

(2) Pengawasan terhadap pengelolaan dan pemanfaatan sumber material konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan.

(3) Pengawasan terhadap pengelolaan dan pemanfaatan sumber material konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan konstruksi yang dibiayai dengan dana dari:

a. APBD; dan/atau

b. masyarakat, swasta, atau badan usaha.

(4) Pengawasan terhadap pengelolaan dan pemanfaatan sumber material konstruksi merupakan pemenuhan terhadap standar teknis lingkungan.

Paragraf 2 Tata Cara Pengawasan Rutin Tertib Penyelengaraan Jasa Konstruksi

Pasal 43

(1) Pengawasan terhadap proses pemilihan Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (3) dilakukan melalui pemeriksaan surat pernyataan kuasa pengguna anggaran/pejabat pembuat komitmen tentang proses pemilihan Penyedia Jasa telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan berdasarkan laporan hasil pemilihan penyedia dari kepala unit kerja pengadaan barang dan jasa.

(2) Pengawasan terhadap proses pemilihan Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (4) dilakukan melalui pemeriksaan surat pernyataan dari masyarakat, swasta, atau badan usaha sebagai Pengguna Jasa tentang proses pemilihan Penyedia Jasa telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 44

(1) Pengawasan terhadap penyusunan dan pelaksanaan Kontrak Kerja Konstruksi untuk kegiatan yang dibiayai dengan dana dari APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (3) dilakukan melalui pemeriksaan surat pernyataan dari kuasa pengguna anggaran/pejabat pembuat komitmen tentang penyusunan dan pelaksanaan Kontrak Kerja Konstruksi telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Pengawasan terhadap penyusunan dan pelaksanaan Kontrak Kerja Konstruksi untuk yang dibiayai dengan dana dari masyarakat, swasta, atau badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (4) dilakukan dengan cara memeriksa surat pernyataan dari masyarakat, swasta, atau badan usaha sebagai Pengguna Jasa tentang penyusunan dan pelaksanaan Kontrak Kerja Konstruksi telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 45

(1) Pengawasan terhadap penerapan Standar K4 untuk kegiatan konstruksi yang dibiayai dengan dana dari APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) huruf a dilakukan dengan cara memeriksa surat pernyataan dari kuasa pengguna anggaran/pejabat pembuat komitmen tentang penerapan Standar K4 telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Pengawasan terhadap Penerapan Standar K4 untuk kegiatan konstruksi yang dibiayai dengan dana dari masyarakat, swasta, atau badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) huruf b dilakukan dengan cara memeriksa surat pernyataan dari masyarakat, swasta, atau badan usaha sebagai Pengguna Jasa tentang penerapan Standar K4 telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 46

(1) Pengawasan penerapan manajemen mutu untuk kegiatan konstruksi yang dibiayai dengan dana dari APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) huruf a dilakukan melalui pemeriksaan surat pernyataan dari kuasa pengguna anggaran/pejabat pembuat komitmen tentang penerapan manajemen mutu telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Pengawasan penerapan manajemen mutu untuk kegiatan konstruksi yang dibiayai dengan dana dari masyarakat, swasta, atau badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) huruf b dilakukan melalui pemeriksaan surat pernyataan dari masyarakat, swasta, atau badan usaha sebagai Pengguna Jasa tentang penerapan manajemen mutu telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 47

(1) Pengawasan pengelolaan dan penggunaan material, peralatan dan teknologi konstruksi pada kegiatan konstruksi yang dibiayai dengan dana dari APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf a dilakukan melalui pemeriksaan surat pernyataan dari kuasa pengguna anggaran/pejabat pembuat komitmen tentang pengelolaan dan penggunaan material, peralatan dan teknologi konstruksi telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan berdasarkan surat pernyataan dari pimpinan BUJK.

(2) Pengawasan pengelolaan dan penggunaan material, peralatan, dan teknologi konstruksi pada kegiatan konstruksi yang dibiayai dengan dana dari masyarakat, swasta, badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf b dilakukan melalui pemeriksaan surat pernyataan dari masyarakat, swasta, atau badan usaha sebagai Pengguna Jasa tentang pengelolaan dan penggunaan material, peralatan dan teknologi konstruksi telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan berdasarkan surat pernyataan dari pimpinan BUJK.

Pasal 48

(1) Pengawasan terhadap pengelolaan dan pemanfaatan sumber material konstruksi pada kegiatan konstruksi yang dibiayai dengan dana dari APBD sebagaimana dimaksud dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3) huruf a melalui pemeriksaan surat pernyataan dari kuasa pengguna anggaran/pejabat pembuat komitmen tentang pengelolaan dan pemanfaatan sumber material konstrusi telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan berdasarkan surat pernyataan dari pimpinan BUJK.

(2) Pengawasan terhadap pengelolaan dan pemanfaatan sumber material konstruksi pada kegiatan konstruksi yang dibiayai dengan dana dari masyarakat, swasta, atau badan usaha sebagaimana dimaksud dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3) huruf b melalui pemeriksaan surat pernyataan dari masyarakat, swasta, atau badan usaha sebagai Pengguna Jasa tentang pengelolaan dan pemanfaatan sumber material konstrusi telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undang berdasarkan surat pernyataan dari pimpinan BUJK.

Paragraf 3 Tata Cara Pengawasan Insidental Tertib Penyelengaraan Jasa Konstruksi

Pasal 49

(1) Pengawasan terhadap proses pemilihan Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (3) dilakukan melalui pemeriksaan kelengkapan dokumen pengadaan/pemilihan Penyedia Jasa dan/atau dokumen swakelola.

(2) Pengawasan terhadap proses pemilihan Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam pasal 36 ayat (4) dilakukan terhadap:

a. penyelenggaraan Jasa Konstruksi untuk kepentingan umum; dan

b. penyelenggaraan Jasa Konstruksi tidak untuk kepentingan umum.

(3) Pengawasan proses pemilihan Penyedia Jasa terhadap  penyelenggaraan Jasa Konstruksi untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan melalui pemeriksaan kelengkapan dokumen tender/seleksi atau katalog elektronik.

(4) Pengawasan proses pemilihan Penyedia Jasa terhadap penyelenggaraan Jasa Konstruksi tidak untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan melalui pemeriksaan kelengkapan:

a. dokumen tender/seleksi/katalog elektronik/ pengadaan langsung/penunjukan langsung; atau

b. dokumen swakelola

Pasal 50

(1) Pengawasan terhadap penggunaan standar kontrak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (3) huruf a dilakukan untuk memastikan Kontrak Kerja Konstruksi sesuai dengan standar kontrak.

(2) Pengawasan terhadap penggunaan TKK bersertifikat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (3) huruf b dilakukan melalui pemeriksaan:

a. kepemilikan dan keabsahan SKK, TKK yang terdaftar dalam Kontrak Kerja Konstruksi; dan

b. dokumen remunerasi tenaga kerja pada kualifikasi jenjang jabatan ahli dibandingkan dengan standar remunerasi.

(3) Pengawasan terhadap pemberian pekerjaan utama dan/atau penunjang kepada subpenyedia jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (3) huruf c dilakukan melalui pemeriksaan dokumen penunjukan subpenyedia jasa.

(4) Pengawasan terhadap kepemilikan HAKI sebagaimana dimaksud pada dalam Pasal 37 ayat (3) huruf d untuk memastikan klausul HAKI sudah dicantumkan dalam Kontrak Kerja Konstruksi untuk jenis usaha jasa Konsultansi Konstruksi.

(5) Pengawasan terhadap kewajiban alih teknologi untuk Kontrak Kerja Konstruksi dengan pihak asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (3) huruf e dengan memastikan klausul kewajiban alih teknologi dari pihak asing kepada Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa nasional sudah dicantumkan dalam Kontrak Kerja Konstruksi.

(6) Pengawasan terhadap penggunaan produk dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (3) huruf f dilakukan untuk memastikan klausul kewajiban penggunaan produk dalam negeri dengan nilai tingkat komponen dalam negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan sudah dicantumkan dalam Kontrak Kerja Konstruksi.

(7) Pengawasan terhadap kewajiban pembayaran asuransi TKK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (3) huruf g dilakukan untuk memastikan klausul kewajiban membayar asuransi TKK sudah dicantumkan dalam Kontrak Kerja Konstruksi.

(8) Asuransi TKK sebagaimana dimaksud pada ayat (7) meliputi:

a. asuransi kesehatan; dan b. asuransi tenaga kerja.

Pasal 51

(1) Pengawasan terhadap penggunaan dokumen kontrak yang disepakati oleh kedua pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (4) huruf a dilakukan untuk memastikan Kontrak Kerja Konstruksi sudah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Pengawasan terhadap penggunaan TKK bersertifikat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (4) huruf b dilakukan untuk memastikan TKK telah memiliki SKK.

(3) Pengawasan terhadap pemberian pekerjaan utama dan/atau penunjang kepada subpenyedia jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (4) huruf c dilakukan untuk memastikan pemberian pekerjaan kepada subpenyedia jasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Pengawasan terhadap kepemilikan HAKI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (4) huruf d dilakukan untuk memastikan klausul HAKI sudah dicantumkan dalam Kontrak Kerja Konstruksi untuk jenis usaha jasa Konsultansi Konstruksi.

(5) Pengawasan terhadap kewajiban alih teknologi untuk Kontrak Kerja Konstruksi dengan pihak asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (4) huruf e dengan memastikan klausul kewajiban alih teknologi dari pihak asing kepada Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa nasional sudah dicantumkan dalam Kontrak Kerja Konstruksi.

(6) Pengawasan terhadap penggunaan produk dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (4) huruf f dilakukan untuk memastikan terdapat klausul mengutamakan penggunaan produk dalam negeri sudah dicantumkan dalam Kontrak Kerja Konstruksi.

(7) Pengawasan terhadap jaminan ketersediaan anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (4) huruf g dilakukan melalui pemeriksaan ketersediaan dokumen keterangan/referensi bank, perjanjian kredit, hibah, dan/atau perjanjian investasi.

(8) Pengawasan terhadap kewajiban pembayaran asuransi TKK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (4) huruf h dilakukan untuk memastikan klausul kewajiban membayar asuransi TKK sudah dicantumkan dalam Kontrak Kerja Konstruksi.

(9) Asuransi TKK sebagaimana dimaksud pada ayat (8) meliputi:

a. asuransi kesehatan; dan b. asuransi tenaga kerja.

Pasal 52

(1) Pengawasan Penerapan Standar K4 terhadap kegiatan konstruksi yang dibiayai dengan dana dari APBD atau masyarakat, swasta, atau badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) diwujudkan melalui pemeriksaan:

a. dokumen Standar K4;

b. dokumen Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi (SMKK); dan

c. dokumen (bukti) antisipasi kecelakaan konstruksi.

(2) Pemeriksaan terhadap dokumen Standar K4 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:

a. ketersediaan dokumen Standar K4; dan

b. pengesahan dan persetujuan dokumen Standar K4.

(3) Ketersediaan dokumen Standar K4 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a mencakup:

a. standar mutu bahan;

b. standar mutu peralatan;

c. standar keselamatan kesehatan kerja;

d. standar prosedur pelaksanaan Jasa Konstruksi;

e. standar mutu hasil pelaksanaan Jasa Konstruksi;

f. standar operasi dan pemeliharaan;

g. pedoman perlindungan sosial tenaga kerja sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

h. standar pengelolaan hidup sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Pengesahan dan persetujuan dokumen standar K4 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b mencakup:

a. hasil pengkajian, perencanaan, dan/atau perancangan;

b. rencana teknis proses pembangunan, pemeliharaan, pembongkaran, dan/atau pembangunan kembali;

c. pelaksanaan suatu proses pembangunan, pemeliharaan, pembongkaran, dan/atau pembangunan kembali;

d. penggunaan material, peralatan dan/atau teknologi; dan/atau

e. hasil layanan Jasa Konstruksi.

(5) Dokumen penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi (SMKK) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi:

a. rancangan konseptual SMKK;

b. Rencana Keselamatan Kontruksi (RKK);

c. Rencana Mutu Pekerjaan Konstruksi (RMPK);

d. program mutu;

e. Rencana Kerja Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan (RKPPL); dan

f. Rencana Manajemen Lalu Lintas Pekerjaan (RMLLP).

(6) Pengawasan dokumen (bukti) antisipasi kecelakaan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:

a. dokumen rencana program sosialisasi SMKK di proyek konstruksi;

b. laporan penerapan Rencana Keselamatan Kontruksi (RKK);

c. bukti pembayaran BPJS Ketenagakerjaan; dan

d. bukti pembayaran BPJS Kesehatan atau bukti pembayaran asuransi kesehatan.

Pasal 53

Pengawasan terhadap penerapan manajemen mutu konstruksi pada kegiatan konstruksi yang dibiayai dengan dana dari APBD atau masyarakat, swasta, atau badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) dilakukan melalui pemeriksaan:

a. dokumen Rencana Mutu Pekerjaan Konstruksi (RMPK);

b. dokumen program mutu konsultan; dan

c. dokumen laporan pelaksanaan.

Pasal 54

(1) Pengawasan terhadap pengelolaan dan penggunaan material, peralatan, dan teknologi konstruksi untuk kegiatan konstruksi yang dibiayai dengan dana dari APBD atau masyarakat, swasta, atau badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) dilakukan melalui pemeriksaan:

a. dokumen rencana kebutuhan material, peralatan, dan teknologi konstruksi;

b. dokumen pelaksanaan penyediaan material dan peralatan konstruksi;

c. dokumen penggunaan material dasar utama dan material olahan utama yang memiliki Standar Nasional Indonesia/standar lain yang berlaku;

d. dokumen penggunaan peralatan konstruksi utama yang memiliki surat keterangan memenuhi syarat keselamatan dan kesehatan kerja dari dinas yang membidangi ketenagakerjaan;

e. dokumen penggunaan tenaga operator yang memiliki surat izin operator dari dinas yang membidangi ketenagakerjaan;

f. dokumen kesesuaian teknologi konstruksi yang digunakan dengan spesifikasi teknis yang dipersyaratkan; dan

g. dokumen perhitungan TKDN yang memenuhi batasan minimum capaian TKDN sesuai persyaratan tender.

(2) Dalam hal kegiatan konstruksi yang dibiayai dengan dana dari APBD, dokumen perhitungan TKDN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g perlu dilengkapi dengan:

a. sertifikat TKDN material dan peralatan konstruksi

b. sertifikat bobot manfaat perusahaan produsen material dan peralatan konstruksi yang masih berlaku; dan/atau

c. dokumen persetujuan penggunaan produk impor yang ditandatangani pejabat berwenang.

Pasal 55

Pengawasan terhadap pemenuhan standar teknis lingkungan yang dibiayai dengan dana dari APBD atau masyarakat, swasta, atau badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (4) dilakukan melalui pemeriksaan:

a. ketersediaan surat persetujuan pencantuman logo Ekolabel Indonesia atau sertifikat yang diterbitkan oleh instansi terkait yang berwenang; dan/atau

b. ketersediaan surat izin penambangan;

Bagian Keempat Tata Cara Pengawasan Tertib Pemanfaatan Produk Jasa Konstruksi

Pasal 56

(1) Pengawasan terhadap fungsi peruntukan konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a dilakukan untuk memastikan bangunan konstruksi sesuai antara rencana tujuan dengan pemanfaatan.

(2) Pengawasan terhadap fungsi peruntukan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan konstruksi yang dibiayai dengan dana dari:

a. APBD; dan/atau

b. masyarakat, swasta, atau badan usaha.

(3) Pengawasan terhadap fungsi peruntukan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:

a. kesesuaian rencana fungsi dengan pemanfaatannya; dan

b. kesesuaian rencana peruntukan dengan pemanfaatannya.

(4) Pengawasan kesesuaian rencana fungsi dengan pemanfaatannya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dilakukan melalui pemeriksaan kesesuaian pemanfaatan bangunan konstruksi dengan fungsi yang direncanakan.

(5) Pengawasan kesesuaian rencana peruntukan dengan pemanfaatannya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dilakukan melalui pemeriksaan kesesuaian lokasi bangunan dengan:

a. peruntukan yang diatur dalam rencana detail tata ruang; atau

b. Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR), dengan memeriksa dokumen resmi dari instansi berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 57

(1) Pengawasan rencana umur konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b, dilakukan untuk memastikan bangunan tetap laik fungsi selama umur rencana konstruksi.

(2) Pengawasan rencana umur konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan konstruksi yang dibiayai dengan dana dari:

a. APBD; dan/atau

b. masyarakat, swasta, atau badan usaha.

(3) Pengawasan rencana umur konstruksi baik untuk kegiatan konstruksi yang dibiayai dengan dana dari APBD atau masyarakat, swasta, atau badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pemeriksaan ketersediaan dokumen laik fungsi atau dokumen sejenis yang diterbitkan oleh instansi berwenang.

Pasal 58

(1) Pengawasan kapasitas dan beban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf c dilakukan untuk memastikan pemanfaatan bangunan tidak melebihi kapasitas dan beban rencana.

(2) Pengawasan kapasitas dan beban pada bangunan mencakup upaya pembatasan kapasitas dan beban.

(3) Pengawasan kapasitas dan beban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi kegiatan konstruksi yang dibiayai dengan dana dari:

a. APBD; dan/atau

b. masyarakat, swasta, atau badan usaha.

(4) Pengawasan kapasitas dan beban baik untuk kegiatan konstruksi yang dibiayai dengan dana dari APBD atau masyarakat, swasta, atau badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan cara:

a. memeriksa ketersediaan surat keterangan dari instansi yang memiliki kewenangan atau laporan dari pemilik/pengelola bangunan; atau

b. melakukan konfirmasi kepada instansi yang memiliki kewenangan atau pemilik/pengelola bangunan.

Pasal 59

(1) Pengawasan terhadap pemeliharaan produk Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf d dilakukan untuk mendorong terlaksananya pemeliharaan bangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Pengawasan terhadap pemeliharaan produk Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan konstruksi yang dibiayai dengan dana dari:

a. APBD; dan/atau

b. masyarakat, swasta, atau badan usaha.

(3) Pengawasan terhadap pemeliharaan produk Jasa Konstruksi baik untuk kegiatan konstruksi yang dibiayai dengan dana dari APBD, masyarakat, swasta, atau badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui pemeriksaan ketersediaan surat pernyataan pemilik/pengelola bangunan dengan lampiran:

a. dokumen program pemeliharaan dan perawatan bangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tentang standar pemeliharaan dan perawatan; dan

b. laporan pelaksanaan program pemeliharaan dan perawatan bangunan.

Pasal 60

Tata cara pengawasan tertib pemanfaatan produk Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 sampai dengan Pasal 59 dilaksanakan untuk pengawasan rutin dan insidental.

Bagian Kelima Instrumen Pemeriksaan

Pasal 61

(1) Format surat pernyataan pengawasan rutin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48, dan Pasal 59 ayat (3) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

(2) Daftar simak pemeriksaan:

a. tertib usaha Jasa Konstruksi secara rutin dan insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34;

b. tertib penyelenggaraan Jasa Konstruksi secara rutin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 sampai dengan Pasal 48;

c. tertib penyelenggaraan Jasa Konstruksi secara insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 sampai dengan Pasal 55; dan

d. tertib pemanfaatan produk Jasa Konstruksi secara rutin dan insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 sampai dengan Pasal 59, tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


BAB VI PELAPORAN DAN TINDAK LANJUT REKOMENDASI PENGAWASAN

Bagian Kesatu Pelaporan Pengawasan

Pasal 62

(1) Jenis pelaporan pengawasan meliputi:

a. laporan pengawasan rutin;

b. laporan pengawasan insidental; dan

c. laporan pengawasan tahunan;

(2) Pelaporan pengawasan rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. pelaksanaan pengawasan;

b. temuan dari hasil pengawasan; dan

c. rekomendasi untuk tindakan perbaikan; dan/atau

d. rekomendasi untuk dilanjutkan dengan pengawasan insidental.

(3) Pelaporan pengawasan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. pelaksanaan pengawasan;

b. hasil telaahan terhadap permasalahan yang dilaporkan dalam permintaan pengawasan insidental;

c. rekomendasi tindakan perbaikan; dan

d. rekomendasi sanksi administratif.

Pasal 63

(1) Laporan pengawasan rutin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) huruf a meliputi:

a. pengawasan terhadap BUJK Nasional dan usaha orang perseorangan;

b. pengawasan terhadap kegiatan konstruksi; dan

c. pengawasan terhadap bangunan konstruksi.

(2) Laporan pengawasan rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis atau elektronik kepada pimpinan organisasi perangkat daerah yang membidangi Jasa Konstruksi.

Pasal 64

(1) Laporan pengawasan insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) huruf b merupakan laporan pengawasan insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (3).

(2) Laporan pengawasan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat pengawasan dalam hal terdapat kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16.

(3) Laporan pengawasan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis atau elektronik kepada pimpinan organisasi perangkat daerah yang membidangi Jasa Konstruksi paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah pengawasan insidental selesai dilaksanakan.

Pasal 65

(1) Laporan pengawasan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) huruf c merupakan rekapitulasi dari laporan pengawasan rutin dan laporan pengawasan insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) huruf a dan huruf b.

(2) Laporan pengawasan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara berjenjang meliputi:

a. Pemerintah Daerah kabupaten/kota melaporkan kepada Pemerintah Daerah provinsi.

b. Pemerintah Daerah provinsi melaporkan kepada Menteri, tembusan kepada Menteri Dalam Negeri.

(3) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat 1 (satu) bulan setelah tahun anggaran berakhir.

(4) Pelaporan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat

(3) dilakukan secara elektronik melalui SIJK yang terintegrasi.

(5) Format laporan pengawasan minimal memuat sistematika sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Bagian Kedua Tindak Lanjut Rekomendasi Pengawasan

Pasal 66

(1) Pimpinan organisasi perangkat daerah yang membidangi Jasa Konstruksi menyampaikan rekomendasi tindakan perbaikan kepada Penyedia Jasa, TKK, Pengguna Jasa, dan/atau pemilik/pengelola bangunan berdasarkan laporan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1).

(2) Penyedia Jasa, TKK, Pengguna Jasa, dan/atau pemilik/pengelola bangunan harus melakukan tindak lanjut hasil pengawasan sesuai dengan rekomendasi tindakan perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Tindak lanjut hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak melebihi batas waktu yang ditentukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Hasil pelaksanaan tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaporkan kepada pimpinan organisasi perangkat daerah yang membidangi Jasa Konstruksi.

Pasal 67

(1) Pimpinan organisasi perangkat daerah yang membidangi Jasa Konstruksi menyampaikan rekomendasi sanksi administratif kepada gubernur atau bupati/walikota berdasarkan laporan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1).

(2) Gubernur atau bupati/walikota dapat mengenakan sanksi administratif berdasarkan rekomendasi dalam laporan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai kewenangannya.


BAB VII PEMBINAAN PENGAWASAN

Bagian Kesatu Pembinaan

Pasal 68

(1) Pembinaan pengawasan penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang dilaksanakan Pemerintah Daerah Provinsi dilakukan oleh Menteri.

(2) Pembinaan pengawasan penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang dilaksanakan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dilakukan oleh Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Pembinaan pengawasan penyelenggaraan Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dalam rangka meningkatkan kinerja pengawasan Pemerintah Daerah.

(4) Pembinaan pengawasan penyelenggaraan Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dalam bentuk:

a. fasilitasi;

b. konsultasi; dan

c. pendidikan dan pelatihan, dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

Bagian Kedua Pemantauan dan Evaluasi

Pasal 69

(1) Organisasi perangkat daerah yang membidangi Jasa Konstruksi melaksanakan monitoring terhadap:

a. pelaksanaan pengawasan;

b. tindakan perbaikan; dan

c. pengenaan sanksi administratif dan tindak lanjut penyelesaian sanksi administratif.

(2) Pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan pegawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan pengawasan.

(3) Pemantauan dan evaluasi terhadap tindakan perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dimaksudkan untuk mengetahui status pelaksanaan tindakan perbaikan yang dilakukan oleh Penyedia jasa, TKK, Pengguna Jasa, dan/atau pemilik/pengelola bangunan.

(4) Pemantauan dan evaluasi terhadap pengenaan sanksi administratif dan tindak lanjut penyelesaian sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dimaksudkan untuk mengetahui status pengenaan sanksi administratif yang diberikan kepada Penyedia jasa, TKK, Pengguna Jasa, dan/atau pemilik/pengelola bangunan.


BAB VIII PENDANAAN

Pasal 70

Pendanaan pengawasan penyelengaraan Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri ini dibiayai dari dana:

a. APBD provinsi untuk pengawasan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah provinsi.

b. APBD kabupaten/kota untuk pengawasan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota.


BAB IX SANKSI ADMINISTRATIF DAN TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF

Bagian Kesatu Sanksi Administratif

Pasal 71

(1) Gubernur atau bupati/walikota dapat mengenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2) kepada:

a. Penyedia Jasa;

b. TKK;

c. Pengguna Jasa; dan/atau

d. pemilik/pengelola bangunan.

(2) Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat dikenakan sanksi administratif dalam hal:

a. tidak memiliki Perizinan Berusaha yang meliputi Nomor Induk Berusaha dan sertifikat standar;

b. tidak memenuhi Standar K4;

c. tidak memenuhi ketentuan pengesahan atau persetujuan;

d. tidak memiliki SBU di wilayah masing-masing;

e. tidak memenuhi ketentuan pemberian pekerjaan utama kepada subpenyedia jasa;

f. tidak memenuhi kewajiban untuk mengganti atau memperbaiki kegagalan bangunan; dan/atau

g. mempekerjakan TKK yang tidak memiliki SKK Konstruksi.

(3) TKK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan sanksi administratif dalam hal:

a. tidak memiliki SKK Konstruksi; dan/atau

b. tidak melaksanakan pekerjaan sesuai dengan SKK Konstruksi yang dimiliki.

(4) Pengguna Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat dikenakan sanksi administratif dalam hal:

a. tidak memenuhi Standar K4;

b. tidak memberikan pekerjaan konstruksi untuk kepentingan umum melalui proses tender, seleksi, atau katalog elektronik;

c. tidak memenuhi ketentuan pengesahan atau persetujuan;

d. tidak menggunakan layanan profesional TKK pada kualifikasi jenjang jabatan ahli dengan memperhatikan remunerasi minimal; dan/atau

e. mempekerjakan TKK yang tidak memiliki SKK Konstruksi.

(5) Pemilik/pengelola bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dapat dikenakan sanksi administratif atas pelanggaran kewajiban sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(6) Penyedia jasa, TKK, Pengguna Jasa, dan/atau pemilik/pengelola bangunan harus menyelesaikan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5).

(7) Penyelesaian sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak melebihi batas waktu yang ditentukan.

(8) Penyelesaian sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilaporkan kepada pimpinan organisasi perangkat daerah yang membidangi Jasa Konstruksi.

Pasal 72

(1) Jenis sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) yang dapat dikenakan oleh gubernur dan bupati/walikota berupa:

a. peringatan tertulis;

b. denda administratif;

c. penghentian sementara layanan kegiatan; dan

d. pemberhentian dari tempat kerja.

(2) Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), gubernur dan bupati/walikota dapat memberikan rekomendasi pengenaan sanksi administratif berupa:

a. pencantuman dalam daftar hitam;

b. pembekuan Perizinan Berusaha;

c. pencabutan Perizinan Berusaha;

d. pencabutan SBU;

e. pembekuan SKK Konstruksi;

f. pencabutan SKK Konstruksi; dan/atau

g. pemberhentian sementara layanan usaha jasa konstruksi.

(3) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh pejabat berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Besaran denda administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(5) Penyedia Jasa, TKK, dan Pengguna Jasa akan membayar denda administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) setelah mendapatkan ketetapan dari gubernur atau bupati/walikota.

(6) Pembayaran denda administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak melebihi batas waktu yang ditentukan.

Bagian Kedua Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif

Pasal 73

(1) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada Pasal 72 ayat (1) dan rekomendasi pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada Pasal 72 ayat (2) dilakukan berdasarkan laporan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (3).

(2) Alur mekanisme pemberian sanksi administratif tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


BAB X KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 74

(1) Dalam hal SIJK yang terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), ayat (3), dan Pasal 24 ayat (3) huruf b belum beroperasi, organisasi perangkat daerah yang membidangi Jasa Konstruksi dapat menggunakan isian daftar simak secara manual sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

(2) Dalam hal SIJK yang terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (4) belum operasional dan belum dapat digunakan, pelaporan pengawasan dilakukan secara manual mengikuti format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


BAB XI KETENTUAN PENUTUP

Pasal 75

Pengawasan penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah harus dilaksanakan mengikuti ketentuan dalam Peraturan Menteri ini paling lambat akhir bulan Juli tahun 2023.

Pasal 76

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.


Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.


Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 13 Januari 2023

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

ttd YASONNA H. LAOLY

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2023 NOMOR 59



Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 9 Januari 2023

MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

ttd

M. BASUKI HADIMULJONO


Catt: 

Untuk mendapatkan Dokumen PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2023 secara lengkap silahkan di download di link berikut https://jdih.pu.go.id/detail-dokumen/2983/1#div_cari_detail

25 Agustus 2022

SYARAT PENERBITAN SBU : 2. KEMAMPUAN KEUANGAN

KAJIAN DASAR
KEMAMPUAN KEUANGAN

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (PP 05/21), Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya. Perizinan Berusaha pada sektor pekerjaan umum dan perumahan rakyat terdiri atas subsektor: a. jasa konstruksi; b. sumber daya air; dan c. bina marga. Perizinan Berusaha pada subsektor jasa konstruksi ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas: a. jasa konsultansi konstruksi; b. pekerjaan konstruksi; dan c. pekerjaan konstruksi terintegrasi. Kualifikasi badan usaha subsektor jasa konstruksi untuk jasa konsultansi konstruksi dan pekerjaan konstruksi meliputi kualifikasi: a. kecil; b. menengah; dan c. besar. Kualifikasi badan usaha subsektor jasa konstruksi untuk usaha pekerjaan konstruksi terintegrasi hanya kualifikasi besar saja.

Masih menurut PP 05/21, Penetapan kualifikasi badan usaha dilakukan berdasarkan penilaian kelayakan terhadap dokumen: a. penjualan tahunan; b. kemampuan keuangan; c. ketersediaan tenaga kerja konstruksi; dan d. kemampuan dalam penyediaan peralatan konstruksi, dalam artikel ini khusus dibahas adalah pada poin B tentang kemampuan keuangan. Penetapan kualifikasi badan usaha dilakukan terhadap setiap subklasifikasi yang diusulkan dikecualikan untuk kegiatan usaha jasa konsultansi konstruksi bersifat spesialis dan pekerjaan konstruksi bersifat spesialis. Dalam hal Badan Usaha Jasa Konstruksi (BUJK) memiliki beberapa subklasifikasi, penyebutan entitas BUJK mengacu pada kualifikasi tertinggi pada subklasifikasi yang dimiliki. Peraturan ini tidak memiliki ketentuan umum apa yang dimaksud dengan kemampuan keuangan namun memberikan ciri-ciri sebagai berikut:

  1. Kemampuan keuangan diperoleh dari nilai total ekuitas pada: a. neraca keuangan BUJK, untuk BUJK kualifikasi kecil; dan b. neraca keuangan BUJK hasil audit kantor akuntan publik yang teregistrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, untuk BUJK kualifikasi menengah dan besar.
  2. Penilaian kemampuan keuangan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

Menurut Peraturan pemerintah nomor 7 tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (PP 07/21) sebagai pelaksana UU 11/20, bahwa Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dikelompokkan berdasarkan kriteria modal usaha atau hasil penjualan tahunan. 

Kriteria modal usaha terdiri atas:

  1. Usaha Mikro memiliki modal usaha sampai dengan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha;
  2. Usaha Kecil memiliki modal usaha lebih dari Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) sampai dengan paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; dan
  3. Usaha Menengah memiliki modal usaha lebih dari Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) sampai dengan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.

Untuk kepentingan tertentu, selain kriteria modal usaha dan hasil penjualan tahunan, kementerian/lembaga dapat menggunakan kriteria omzet, kekayaan bersih, nilai investasi, jumlah tenaga kerja, insentif dan disinsentif, kandungan lokal, dan/atau penerapan teknologi ramah lingkungan sesuai dengan kriteria setiap sektor usaha. Untuk pemberian kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan UMKM selain mensyaratkan kriteria modal usaha yang ditetapkan Lembaga Online Single Submission (OSS), demi kepentingan Penyelenggaraan Sertifikasi BUJK maka Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) juga telah memasukkan kriteria Penjualan tahunan, kekayaan bersih dan jumlah tenaga kerja sebagai kriteria tambahan dalam penilaian dokumen.

Menurut Peraturan Menteri PUPR Nomor 6 Tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Produk pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PMPUPR 06/21), pada Lampiran I, untuk persyaratan khusus Standar kegiatan usaha jasa konstruksi harus memenuhi kelayakan kualifikasi usaha jasa konstruksi sebagaimana diatur dalam PP 05/21 Pasal 85 sampai dengan Pasal 95 menjelaskan bahwa Kemampuan keuangan diperoleh dari nilai total ekuitas. Ekuitas dihitung dari selisih antara aktiva dengan total kewajiban.

Selama berlakunya PP 05/21 dan PP 07/21 terutama sejak diundangkannya PMPUR 06/21 per tanggal 01 April 2021, menteri PUPR merasa perlu melakukan diskresi sebagaimana yang diatur pada pasal 561 PP 05/21 terkait terjadinya stagnasi penyelenggaraan sertifikasi khususnya terkait susahnya pemenuhan persyaratan Penjualan tahunan, diskresi tersebut tertuang pada Peraturan Menteri PUPR nomor 08 tahun 2022 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemenuhan Sertifikat Standar Jasa Konstruksi Dalam Rangka Mendukung Kemudahan Perizinan Berusaha bagi Pelaku Usaha Jasa Konstruksi (PMPUPR 08/22). Prosedur Pembentukan Peraturan Perundang-undangannya telah pula sesuai ketentuan ayat 10 pasal 6 PP 05/21, dimana penetapannya telah mendapat persetujuan Presiden melalui Surat Persetujuan Presiden No. EODB-196/SES.M.EKON/04/2022 Tgl 13 Juli 2022 dan berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian melalui surat Kemenko Perekonomian No. EODB-196/SES.M.EKON/04/2022 Tgl 1 April 2022.

Terkait sertifikasi BUJK, PMPUPR 08/22 menetapkan bahwa Permohonan SBU disampaikan kepada Menteri melalui Lembaga Sertifikasi Badan Usaha (LSBU). Permohonan tersebut meliputi: a. permohonan baru; b. permohonan perpanjangan; dan c. permohonan perubahan data. Dalam hal Permohonan dilakukan dengan cara antara lain (menyampaikan) data dan dokumen persyaratan sertifikasi badan usaha memuat salah satunya Data Kemampuan keuangan/nilai aset. Peraturan ini juga tidak memiliki ketentuan umum apa yang dimaksud dengan Data Kemampuan keuangan/nilai aset namun memberikan ciri-ciri sebagai berikut:

  1. Telah tercatat dalam SIJK terintegrasi dalam hal ini portal Sistem Informasi Pengalaman (https://simpan.pu.go.id).
  2. Penetapan kualifikasi BUJK yang bersifat umum dilakukan berdasarkan penilaian kelayakan terhadap dokumen Kemampuan keuangan.
  3. Penetapan kemampuan BUJK yang bersifat spesialis dilakukan berdasarkan penilaian kelayakan terhadap dokumen Nilai Aset.
  4. Pemenuhan persyaratan terhadap kemampuan keuangan dipenuhi berdasarkan kualifikasi usaha.
  5. Pemenuhan persyaratan terhadap kemampuan keuangan untuk BUJK kualifikasi kecil diperoleh dari nilai total ekuitas pada neraca keuangan BUJK.
  6. Pemenuhan persyaratan terhadap kemampuan keuangan untuk BUJK kualifikasi menengah dan besar diperoleh dari nilai total ekuitas pada neraca keuangan BUJK hasil audit kantor akuntan publik yang teregistrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  7. Nilai total ekuitas dihitung dari selisih aktiva dengan total kewajiban
  8. Penilaian terhadap nilai aset merupakan total aset yang dimiliki BUJK pada neraca keuangan BUJK hasil audit kantor akuntan publik yang teregistrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  9. Nilai aset yang harus dipenuhi untuk dilakukan penilaian terhadap BUJK yang bersifat spesialis tercantum dalam tabel berikut:

10. Untuk KP-BUJKA yang bersifat spesialis, nilai aset yang harus dipenuhi untuk dilakukan penilaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

POSTINGAN TERBARU

KONFERENSI PERS DUGAAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KETENAGA KERJAAN DAN TRANSMIGRASI

Jakarta, 25 Januari 2024. KPK menetapkan 3 orang sebagai tersangka korupsi pengadaan sistem proteksi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) pada Kemen...

POSTINGAN POPULER