Layanan Konsultasi.

Kami dapat memberikan JASA Nasehat Kebijakan terhadap Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan; Pengadaan Barang/Jasa Konstruksi (Perencanaan - Persiapan - Pelaksanaan - Kontrak); dan Pemenangan Tender. Kami juga membantu membuat Kebijakan Perusahaan (Dokumen Tender & Peraturan Direksi terkait Pengadaan). Hubungi bonatua.766hi@gmail.com

Translate

CARI DI BLOG INI

POSTINGAN TERBARU

KONFERENSI PERS PENAHANAN TERSANGKA Tindak Pidana Korupsi PENGADAAN Alat Perlindungan Diri DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KESEHATAN

Berita selanjutnya bisa dilihat di  https://news.detik.com/berita/d-7570649/kpk-tetapkan-3-tersangka-baru-di-kasus-korupsi-apd-kemenkes

Tampilkan postingan dengan label USAHA MIKRO & KECIL. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label USAHA MIKRO & KECIL. Tampilkan semua postingan

18 Februari 2023

SWAKELOLA, MENGHAMBAT UMK MASUK PASAR BELANJA NEGARA!

——————————   ◆   ——————————

1. PENDAHULUAN                                                                     
Pengadaan Barang/Jasa (PBJ) Pemerintah adalah kegiatan Pengadaan Barang/Jasa oleh Kementerian/Lembaga/ Perangkat Daerah (K/L/PD) yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang prosesnya sejak identifikasi kebutuhan, sampai dengan serah terima hasil pekerjaan yang terdiri dari belanja Barang/Jasa (Barjas) serta Belanja Modal. Kebijakan Pengadaan di Indonesia saat ini diatur oleh Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2021 tentang Perubahan Peraturan Presiden Nomor 16 tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perpres 16/18'). Pengadaan Barang/Jasa dalam Perpres ini meliputi: Barang; Pekerjaan Konstruksi; Jasa Konsultansi; dan Jasa Lainnya. 

PBJ sendiri dilaksanakan dengan dua cara yaitu Swakelola; dan/atau Penyedia. Swakelola adalah cara memperoleh barjas yang dikerjakan sendiri oleh K/L/PD, K/L/PD lain, organisasi masyarakat (Ormas), atau kelompok masyarakat (Pokmas) sedangkan Penyedia adalah badan usaha atau perseorangan yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu yang menyediakan barjas berdasarkan kontrak.

Penelitian ini dilakukan dalam rangka menjawab keluhan Penyedia golongan Usaha Mikro Kecil (UMK). Mereka mempertanyakan maraknya Pengadaan yang dibiayai oleh Belanja Negara/Daerah yang dilakukan tanpa diketahui publik secara meluas, pengadaan ini juga dilaksanakan tanpa melalui Proses Tender karena langsung dikerjakan oleh Aparat Sipil Negara (ASN), Ormas dan Pokmas. Pengadaan tersebut antara lain pekerjaan pembangunan, rehab maupun  pemeliharaan gedung, pengadaan pakaian, tenaga cleaning services/keamanan dan lainnya. Terjadi kecemburuan sosial dan Ekonomi antara UMK yang merupakan Badan Usaha yang mengeluarkan modal kerja (Peralatan, Tenaga Kerja dan Perizinan berusaha) terhadap ASN, Ormas dan Pokmas yang bukanlah Badan Usaha sama sekali namun mendapat perhatian khusus dari Negara dengan porsi yang sangat besar. Kecemburuan tersebut diperparah Pandemi Covid-19 yang membuat ekonomi UMK semakin terpuruk karena sektor Swasta harapan terakhir pengguna barang/jasa-nya ternyata berhenti total, disisi lain alokasi Belanja Negara/Daerah untuk porsi Penyedia ternyata juga banyak yang stop maupun dialihkan ke Penanganan Covid. Dengan kajian ini, besar harapan dapat memberikan jawaban atas permasalahan yang dialami mereka.

Berdasarkan Laporan Kinerja Pelaksanaan PBJ K/L/PD tahun 2022 data end year 2022 (https://monev.lkpp.go.id/flipbookkl/) yang dikeluarkan oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), total Rencana Umum Pengadaan (RUP) Belanja Barang/Jasa Pemerintah tahun 2022 yang diumumkan di Sistem RUP  sebesar Rp. 1.204,97 Triliun (T). Dari Total RUP barjas tersebut, Rp. 410,37 T(34,10%) direncanakan dikerjakan melalui swakelola murni tanpa penyedia dan selebihnya dikerjakan melalui Penyedia Rp. 794,6  T (65,9%). Dari total alokasi penyedia, hanya Rp. 181,25 T (22,8%) diperuntukkan bagi UMK. Berdasarkan olahan data dari Overview RUP 2022 LKPP (https://lookerstudio.google.com/embed/u/0/reporting/4482ff4e-f62b-4454-98eb-7ebae94e3401/page/IjAmC), total jumlah paket dialokasikan untuk Swakelola adalah sebanyak 1.790.215 (35,8%)  dengan rata-rata nominal per paket swakelola adalah sebesar Rp. 229.229.450,-(diolah).

Berdasarkan Undang-Undang nomor 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, KecilL, dan Menengah maka ambang batas nilai hasil penjualan tahunan paket pengadaan barang jasa yang bisa dikerjakan UMK adalah paling banyak Rp. 2.500.000.000, -(Dua Milyar Lima Ratus Juta Rupiah), namun oleh Pasal 85 Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja tentang perubahan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, nilai tersebut telah dinaikkan menjadi Rp. 15.000.000.000, -(Lima Belas Milyar Rupiah) yang diberlakukan sejak tanggal 20 November 2020. Rata-rata Nominal Paket Swakelola masih berada dibawah ambang batas nilai hasil penjualan tahunan paket pengadaan barang jasa yang bisa dikerjakan UMK.

Berdasarkan data resmi Rencana Strategis Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah tahun 2020-2024 (https://kemenkopukm.go.id/uploads/laporan/1600168483_RENSTRA%202020-2024%20OK.pdf) bahwa pada tahun 2018 terdapat jumlah UMK sebanyak 64.283.132 Unit (olahan data). Berdasarkan LKPP dalam surat jawaban permohonan Informasi publik nomor 21327/Ses.3/10/2021 bahwa pertanggal 28 September 2021 terdapat sebanyak 429.868 Penyedia yang terdaftar di LPSE. Dengan asumsi bahwa Penyedia seluruhnya adalah UMK maka dapat dikatakan hanya 0,27% saja UMK yang ikut berpartisipasi langsung pada pasar PBJ. Untuk dapat mengikuti kegiatan Pengadaan Pemerintah, setiap penyedia diwajibkan memiliki Akun Elektronik dengan cara mendaftar di LPSE tentunya setelah memenuhi persyaratan dasar seperti Perizinan dan Legalitas badan usaha, tanpa akun LPSE maka UMK hanya dapat berpartisipasi sebagai subpenyedia.

Di level Internasional terdapat Dua Pedoman Pengadaan yaitu World Trade Organization (WTO) dengan pedoman Agreement on Government Procurement (GPA 2012) dan United Nations (UN) dengan pedoman UNCITRAL Model Law on Public Procurement of Goods, Construction and Services (2011). Meskipun begitu, kebijakan PBJ Indonesia sampai saat ini belum meratifikasi satupun pedoman tersebut dan menggunakan Peraturan Presiden sebagai kebijakan tertinggi dalam mengatur PBJ-nya.

Indonesia resmi memperkenalkan Swakelola sebagai Metode/Sistem Pengadaan Barang/Jasa Pemborongan dan Jasa lainnya melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan masih tetap dipakai hingga saat ini, di European Union (EU), Swakelola (In-House) pertama sekali diperkenalkan pada kebijakan Directive 2004/18/EC, namun aturan ini telah dicabut oleh Directive 2014/24/EU dan dinyatakan sebagai pengadaan pengecualian yang dilaksanakan secara sangat ketat.

PBJ di Indonesia yang tunduk kepada Perpres 16/18' dilaksanakan sesuai prinsip Efisien; Efektif; Transparan; Terbuka; Bersaing; Adil; dan Akuntabel. PBJ menurut GPA 2012 hanya berdasarkan prinsip Non-discrimination, Transparency and Procedural fairness. PBJ menurut Model Law (2011) mengacu kepada prinsip Objectivity, Fairness, Participation, Competition, and Integrity. Terkait Swakelola, baik GPA 2012 maupun Model Law (2011) tidak menyarankan dilakukan pada PBJ yang nilainya berada diatas Nilai Ambang Batas namun untuk yang nilainya dibawah ambang batas maka kebijakannya diserahkan kepada negara masing-masing. Sebagai perbandingan, kami mengacu ke Jerman mengingat 90% dari total jumlah PBJ-nya (75% dari total nilai pagu) berada di bawah ambang batas EU (2018), disamping itu Negara ini juga terkenal memiliki sistem pengadaan yang cepat, fleksibel, efisien, dan rendah birokrasi. PBJ yang dibawah Ambang batas EU harus mematuhi kebijakan Unterschwellen-vergabeordnung Edisi 2017. Prinsip mereka adalah Transparansi, Persaingan, non diskriminasi, Perlakuan yang sama, Kepentingan untuk usaha kecil dan menengah, Keberlanjutan dan e-Procurement. Swakelola di Jerman adalah prosedur yang dikecualikan dan pengawasannya sangat ketat yang tidak boleh melanggar prinsip Kepentingan untuk Usaha Kecil dan Menengah, meskipun tidak ada larangan namun pada prakteknya Swakelola hampir mustahil ditemukan. 


Tata cara swakelola di Indonesia diatur Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 3 Tahun 2021 Tentang Pedoman Swakelola (PLKPP 03/21). Swakelola dilaksanakan manakala barjas yang dibutuhkan tidak dapat disediakan atau tidak diminati oleh pelaku usaha atau lebih efektif dan/atau efisien dilakukan oleh Pelaksana Swakelola. Swakelola dapat juga digunakan dalam rangka mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya/kemampuan teknis yang dimiliki pemerintah, barjas yang bersifat rahasia dan mampu dilaksanakan oleh K/L/PD yang bersangkutan, serta dalam rangka peningkatan peran serta/pemberdayaan Ormas dan Pokmas. Swakelola dilaksanakan oleh Penyelenggara Swakelola yang terdiri dari: Tim Persiapan, Tim Pelaksana, dan Tim Pengawas. Untuk Jenis Tipe Swakelola dan penetapan Penyelenggaranya sendiri adalah sebagai berikut:  
a. tipe I yaitu Swakelola yang direncanakan, dilaksanakan, dan diawasi oleh K/L/PD penanggung jawab anggaran; Penyelenggara Swakelola ditetapkan oleh Pengguna Anggaran (PA)/Kuasa Pengguna Anggaran (KPA).
b. tipe II yaitu Swakelola yang direncanakan, dan diawasi oleh K/L/PD penanggung jawab anggaran dan dilaksanakan oleh K/L/PD lain pelaksana Swakelola; Tim Persiapan dan Pengawas ditetapkan oleh PA/KPA, dan Tim Pelaksana ditetapkan oleh K/L/PD pelaksana Swakelola. Tim Pelaksana pada K/L/PD pelaksana Swakelola dapat ditetapkan oleh Pejabat sesuai dengan kewenangan yang dimiliki.
c. tipe III yaitu Swakelola yang direncanakan dan diawasi oleh K/L/PD penanggung jawab anggaran dan dilaksanakan oleh Ormas pelaksana Swakelola; Tim Persiapan dan Tim Pengawas ditetapkan oleh PA/KPA, dan Tim Pelaksana ditetapkan oleh pimpinan calon pelaksana Swakelola. 
d. tipe IV yaitu Swakelola yang direncanakan oleh K/L/PD penanggung jawab anggaran dan/atau berdasarkan usulan Pokmas, dan dilaksanakan serta diawasi oleh Pokmas pelaksana Swakelola. Tim Persiapan, Tim Pelaksana, dan Tim Pengawas ditetapkan oleh pimpinan Pokmas pelaksana Swakelola. 

Dalam menganalisa Implementasi Kebijakan terkait Swakelola maka kami mencoba mengukur apakah ketujuh prinsip PBJ yang diatur di Perpres 16/18' tidak dilanggar, sebagai pembanding hasil pengukuran maka di bagian akhir kami juga akan menampilkan hasil penelitian yang mendukung kajian kami ini. Pada bagian pembahasan akan dijabarkan pengukuran kepatuhan Swakelola terhadap tujuh prinsip PBJ di Indonesia, sebagai catatan mengingat pada Perpres 16/18' tidak memiliki bagian penjelasan maka definisi setiap prinsip diambil dari Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang meskipun telah dicabut namun masih dianggap valid karena ketentuan tentang prinsip PBJ tidak mengalami perubahan sebagai berikut:
1) Efisien yaitu Harus diusahakan dengan menggunakan dana dan daya yang minimum untuk mencapai kualitas dan sasaran dalam waktu yang ditetapkan atau menggunakan dana yang telah ditetapkan untuk mencapai hasil dan sasaran dengan kualitas yang maksimum. 
2) Efektif yaitu Harus sesuai dengan kebutuhan dan sasaran yang telah ditetapkan serta memberikan manfaat yang sebesar-besarnya. 
3) Transparan yaitu semua ketentuan dan informasi mengenai PBJ bersifat jelas dan dapat diketahui secara luas oleh Penyedia Barjas yang berminat serta oleh masyarakat pada umumnya. 
4) Terbuka, yaitu Pengadaan dapat diikuti oleh semua Penyedia Barjas yang memenuhi persyaratan/kriteria tertentu berdasarkan ketentuan dan prosedur yang jelas. 
5) Bersaing, berarti PBJ harus dilakukan melalui persaingan yang sehat diantara sebanyak mungkin Penyedia Barjas yang setara dan memenuhi persyaratan, sehingga dapat diperoleh Barjas yang ditawarkan secara kompetitif dan tidak ada intervensi yang mengganggu terciptanya mekanisme pasar dalam PBJ. 
6) Adil/tidak diskriminatif, berarti memberikan perlakuan yang sama bagi semua calon Penyedia Barjas dan tidak mengarah untuk memberi keuntungan kepada pihak tertentu, dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional. 
7) Akuntabel yaitu Harus sesuai dengan aturan dan ketentuan yang terkait dengan PBJ sehingga dapat dipertanggungjawabkan.

2. METODE RISET/KAJIAN
Penelitian ini dilakukan dengan Metode Kualitatif yaitu dengan melakukan studi literatur terhadap kebijakan Nasional dan Internasional di bidang Pengadaan. Pendekatan dilakukan dengan Pendekatan Deskriptif Normatif yaitu Norma Kebijakan dideskripsikan lalu dibandingkan terhadap Implementasi di lapangan baik terhadap Peraturan Petunjuk Teknis Pelaksanaan maupun Praktek yang terjadi dilapangan.

3. PEMBAHASAN
Terhadap implementasi tujuh prinsip PBJ pada swakelola di Indonesia, kami menemukan bahwa:
1) Terhadap Prinsip Efisien: Berdasarkan ketentuan Kontrak swakelola pada PLKPP 03/21, ternyata untuk Type I tidak ada Negosiasi harga dan untuk Type II sampai IV dilakukan Negosiasi Harga antara PPK dan Tim Pelaksana. Prosedur Negosiasi yang dilakukan keduanya akan kental bernuansa Korupsi Kolusi Nepotisme karena prosesnya diadakan tertutup, seleksi Tim Pelaksanaanya tidak transparan dan para pihak berada pada kendali satu Pimpinan/berafiliasi. Kehadiran Ormas/Pokmas juga disinyalir atas dasar pertemanan dan hubungan tidak profesional yang cenderung terjadi barter kepentingan. Hal ini sangat berbeda apabila pengadaan tersebut dilakukan melalui penyedia yang melakukan penawaran harga yang sangat kompetitif dan transparan melalui LPSE.
2) Terhadap Prinsip Efektif: Pelaksanaan dan Pengawas berada pada kendali satu Pimpinan/berafiliasi yang berpotensi membuat capaian sasaran kualitas barjas tidak sesuai harapan, hal ini disinyalir menjadi transaksional yang saling menguntungkan akibat tidak efektifnya pengawasan. Berbeda jika dilakukan melalui penyedia karena pengawasannya dilakukan oleh penyedia yang lain.
3) Terhadap Prinsip Transparan: Pada deskripsi transparan jelas menyebutkan kata Penyedia, jadi sedari awal memang PBJ diperuntukkan hanya untuk Penyedia. Swakelola bisa saja menggunakan jasa penyedia namun pelaksanaan PBJ-nya sudah mengacu ke Peraturan LKPP Nomor 12 tahun 2021 tentang Pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah melalui penyedia. 
a. Sebagai masyarakat, ketersediaan Informasi tentang Swakelola ini sangat minim, dengan mengambil penyajian informasi terkait swakelola pada LPSE (gambar 1), terlihat tidak ada informasi Spesifikasi, Kualitas dan Kuantitas barjas yang diadakan, tidak pula tercantum siapa Penyelenggara swakelolanya dan berapa efisiensi harga yang ditawarkannya terhadap Nilai Pagu. 
b. Pada tahun anggaran 2020, dari realisasi Belanja sebesar 390,08 T, terdapat 328,8 T diadakan melalui Penyedia dan sisanya 61,70 T dilakukan secara Swakelola dan hanya 4 T yang dilaporkan di LPSE sedangkan sisanya 57,70 T tidak jelas Informasinya, ini terjadi karena Pimpinan K/L/PD tidak mencatatkan realisasi belanja Swakelolanya di LPSE. Dalam hal ini LKPP hanya mensyaratkan kepada PA/KPA melakukan pencatatan saja namun meskipun hanya begitu tetap laporan pencatatannya tidak Transparan.

Gambar 1. Contoh screenshoot informasi paket 
swakelola yang ditayangkan di LPSE

4) Terhadap Prinsip Terbuka, Bersaing dan Adil: Tidak dapat diukur mengingat 3 prinsip ini sudah pasti tidak terpenuhi karena tidak melibatkan Penyedia.
5) Terhadap Prinsip Akuntabel:
a. Pekerjaan Konstruksi yang dikerjakan secara swakelola bertentangan dengan Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja Pasal 52 tentang perubahan Undang-Undang nomor 02 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi juncto Peraturan Pemerintah Nomor 05 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko juncto Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor 06 tahun 2021 tentang  Standar Kegiatan Usaha dan Produk pada Penyelenggaraan Perizinan berusaha berbasis Risiko sektor PUPR. Seharusnya pekerjaan Konstruksi dikerjakan oleh Badan Usaha yang memiliki Sertifikat Badan Usaha Konstruksi (SBU) karena Jasa Konstruksi merupakan pekerjaan beresiko Menengah Tinggi, dan untuk memperoleh SBU, Menteri mewajibkan pelaksanaanya memiliki Nomor Induk Berusaha dan Sertifikat Keterampilan Kerja Konstruksi. Penyelenggara Swakelola jelas tidak bisa memenuhi perizinan seperti ini dan tindakannya yang mengerjakan pekerjaan konstruksi tanpa memiliki perizinan standar jelas tidak akuntabel.
b. Pemberdayaan UMK pada pasar PBJ belum maksimal sebagaimana yang diperintahkan Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja Pasal 85 tentang perubahan Undang-Undang nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah juncto Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 2021 tentang Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah junto Instruksi Presiden Nomor 2 tahun 2022 tentang Percepatan Peningkatan Penggunaan Produk dalam Negeri dan Produk Usaha Mikro Kecil dan Koperasi dalam rangka menyukseskan Gerakan Nasional Bangga buatan Indonesia pada pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Paket-paket pekerjaan Swakelola rata-rata dibawah Lima Belas Milyar rupiah adalah lahan yang dapat disediakan dan sangat diminati UMK. Belanja Negara/Daerah semestinya berfungsi sebagai perangsang pasar dari produk UMK sehingga Pemberdayaannya haruslah semaksimal mungkin. Dengan memberdayakan ASN/Ormas/Pokmas melalui Swakelola maka secara otomatis akan mengucilkan partisipasi UMK pada penggunaan Dana Publik dan Pelaksanaan PBJ menjadi tidak akuntabel terhadap PPU diatas. Untuk tahun 2022 saja Pemerintah mengalokasikan 415,00 T untuk Swakelola sedangkan UMK hanya 265,19 T. Ratio Swakelola yang 1,65 kali lebih besar dari UMK, ini menandakan bahwa PBJ kita sebenarnya lebih memberdayakan ASN/ormas/pokmas ketimbang UMK, padahal PPU memerintahkan yang diberdayakan semaksimal mungkin harusnya adalah UMK.

Terhadap implementasi prinsip Pengadaan negara lain pada swakelola telah pula diteliti oleh Virginijus Kanapinskas dan kawan-kawan (dkk) pada artikelnya berjudul In-House Procurement exception: threat for sustainable procedure of public procurement? karena Negara Lithuania adalah anggota EU maka sistem PBJ-nya terikat pada Directive 2014/24/EU. Statement mereka menunjukkan bagaimana Swakelola harusnya dijadikan pengecualian dari sistem PBJ serta diawasi secara ketat karena dampaknya terhadap moral hazard dan tidak ekonomis. Mereka menekankan bahwa setiap Penerapan "pengecualian" pada pengadaan publik patut dipertanyakan karena setiap penyimpangan dari aturan umum sering menciptakan prasyarat untuk pelanggaran prinsip pengadaan seperti transparansi, akuntabilitas, keterbukaan, dan kesetaraan hak pemasok. Hal tersebut juga berlaku untuk pengecualian Swakelola karena penggunaannya dapat menimbulkan korupsi, pembelian yang tidak transparan, serta mengancam efisiensi pengadaan dan persaingan yang sehat. Swakelola pada dasarnya menghilangkan persaingan yang merupakan sifat dasar dari Undang-Undang pengadaan publik EU. Kebutuhan dan manfaat persaingan untuk pengadaan publik tidak diragukan lagi karena hanya persaingan yang memungkinkan pemasok untuk meniru kekuatan satu sama lain dan untuk memperebutkan pasar, yang berarti harga barjas yang lebih rendah dan kualitas yang lebih tinggi. Pada dasarnya, hanya persaingan dalam pengadaan publik yang dapat memastikan penggunaan dana publik secara efektif.

4. PENUTUP
Keberadaan Swakelola pada PBJ sejak awal telah melanggar prinsip Transparan, Terbuka, Bersaing dan Adil karena memang prinsip-prinsip ini didesain hanya untuk PBJ melalui Penyedia. Meskipun tetap dipaksakan, pada pelaksanaannya juga masih melanggar prinsip Efisien, Efektif dan Akuntabel sehingga pada akhirnya Swakelola telah melanggar keseluruhan prinsip PBJ. Indonesia tidak seperti negara Jerman yang telah meratifikasi GPA 2012 sehingga para UMK-nya terlindungi bahkan menjadi prioritas sebagai Penyedia pengadaan negaranya.

Pembiaran Swakelola tanpa pengawasan yang ketat akan membuat PA/KPA semakin leluasa menghindari Penyedia karena sesungguhnya prinsip tersebut mengekang PA/KPA dalam "mengendalikan" Anggaran secara makna sempit, dengan memilih Swakelola mereka terbebas dari kewajiban yang mengekang, swakelola justru jalan melegalkan pelanggaran prinsip PBJ seperti tanpa perlu mempertimbangkan asas efisiensi penggunaan Dana Publik yang tentunya berakibat terjadinya pemborosan Belanja Negara/Daerah. 

Sistem Belanja Negara/Daerah yang seharusnya diharapkan sebagai tools pemerataan kesejahteraan ekonomi rasanya tidak berlaku dikalangan UMK. Keberadaan Swakelola di pasar PBJ justru menjadi saingan yang tak seimbang bagi mereka, meskipun para PA/KPA selalu berdalih tidak seperti itu namun dengan kewenangan dan fasilitas yang diberikan negara terbukti telah berhasil menyingkirkan produk UMK, tercatat Partisipasi para UMK terhadap Pasar PBJ sangatlah rendah yaitu hanya 0,27%. Pemerintah seharusnya mengedepankan Pembinaan terhadap Penyedia agar berminat dan tertarik bukan sebaliknya malah menjadi saingan berusaha dalam menyediakan barjas, akibat selanjutnya para penyedia tidak berminat memasuki pasar Belanja Negara/Daerah karena paket yang disediakan sangat sedikit.

REFERENSI
  1. Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. 
  2. Undang-Undang nomor 02 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi.
  3. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. 
  4. Undang-Undang nomor 01 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
  5. Undang-Undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
  6. Peraturan Pemerintah nomor 07 tahun 2021 tentang Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
  7. Peraturan Pemerintah nomor 05 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
  8. Instruksi Presiden nomor 02 tahun 2022 tentang Percepatan Peningkatan Penggunaan Produk dalam Negeri dan Produk Usaha Mikro Kecil dan Koperasi dalam rangka menyukseskan Gerakan Nasional Bangga buatan Indonesia pada pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
  9. Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2021 tentang Perubahan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
  10. Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
  11. Keputusan Presiden Nomor 18 tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
  12. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat nomor 06 tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Produk pada Penyelenggaraan Perizinan berusaha berbasis Risiko sektor PUPR.
  13. Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 03 tahun 2021 Tentang Pedoman Swakelola.
  14. Laporan Kinerja Pelaksanaan Pengadaan Barjas K/L/PD tahun 2020 yang dirilis tanggal 28 Desember 2020.
  15. Laporan Kinerja Pelaksanaan Pengadaan Barjas K/L/PD tahun 2022 yang dirilis tanggal 11 April 2022.
  16. UNCITRAL Model Law on Public Procurement of Goods, Construction and Services (2011).
  17. WTO Agreement on Government Procurement (GPA 2012).
  18. Directive 2014/24/EU of the European Parliament and of The Council of 26 February 2014 on public procurement and repealing Directive 2004/18/EC.
  19. Federal ministry for business and energy, the rules of procedure for the award public supply and service contracts below the EU thresholds (Unterschwellenvergabeordnung - UVgO) – Edition 2017.
  20. Silalahi, B., Rustam, R., Siagian, V., 2021, "Implementation Analysis of Government Procurement Policy to Increase Value for Money", SSRN Indexing., diakses pada 31 Januari 2023 melalui http://dx.doi.org/10.2139/ssrn.3988798.
  21. Ionel PREDA., 2019, "Comparative Analysis of the Characteristics of Public Procurement Systems in Germany, France and Romania. Review of International Comparative Management Volume 20.
  22. Virginijus Kanapinskas, Žydrūnas Plytnikas, Agnė tvaronavičienė., 2014, "in-House Procurement exception: threat for Sustainable Procedure of Public Procurement?" journal of Security and Sustainability Issues ISSN 2029-7017/ISSN 2029-7025 online 2014 Volume 4(2): 147–158 http://dx.doi.org/10.9770/jssi.2014.4.2(4).

Informasi Tambahan:









23 April 2022

UMK Di Anaktirikan ???

22 April 2022

Kemudahan Usaha Mikro Kecil dalam Pengupahan

    


    Masih terkait tentang Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan 
Usaha Mikro Kecil (UMK) sebagaimana pernah saya bahas di artikel Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan UMK dalam PBJ-P dan KAJIAN INPRES 02/2021 : PERCEPATAN PENINGKATAN PENGGUNAAN PRODUK DALAM NEGERI DAN PRODUK UMK DAN KOPERASI DALAM RANGKA MENYUKSESKAN GERAKAN NASIONAL BANGGA BUATAN INDONESIA PADA PELAKSANAAN PBJ-P, maka kali ini saya akan kupas bagaimana Kemudahan UMK dalam hal Upah Pekerja sebagai salah satu urusan yang masuk di Undang-Undang (UU) Cipta Kerja.

    Upah Kerja secara khusus diatur pada Peraturan Pemerintah (PP) nomor 36 tahun tentang Pengupahan yang menggantikan peraturan sebelumnya yaitu PP nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan. PP 36 merupakan aturan pelaksanaan dari UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah oleh pasal 81 pada UU nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. 

    Upah adalah hak Pekerja/Buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari Pengusaha atau pemberi kerja kepada Pekerja/Buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu Perjanjian Kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi Pekerja/Buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.     Pemerintah dalam merencanakan Pagu ataupun Harga Perkiraan Sendiri (HPS) belanja Barang/Jasa-nya membutuhkan besaran Upah sebagai salah satu komponen selain Harga Material/barang, transportasi dan lain-lain. Penyedia dalam hal menyusun Harga juga memakai besaran Upah dalam memberikan harga penawaran. 

    Standar upah yang dipakai Penyedia Konstruksi lebih fleksible karena tergantung kesepakatan dengan calon pekerja, pimpinan pekerja atau bahkan pemborong upah. Kesepakatan itu biasanya membicarakan biaya transportasi, tempat tinggal, makanan, lembur, safety tools seperti baju, helm, sepatu, sarung tangan. Dalam banyak hal, pengupahan pada Jasa Konstruksi tidak bisa disamaratakan dengan pengupahan Buruh di Industri lain seperti Pabrik, Kantor dan lainnya mengingat durasi pekerjaan Industri Konstruksi yang pendek. Mungkin bisa saja proyek berlangsung 2 tahun atau lebih, namun setiap tahapan pekerjaan sudah harus selesai untuk masuk ke tahap berikutnya. Sebagai contoh Tahapan Struktur akan bisa dilakukan jika tahapan pekerjaan tanah telah rampung, dalam hal ini pekerja tanah akan diputus karena keahliannya tidak dapat dipakai di pekerjaan struktur. Oleh karena itu sangat penting membicarakan dan menyepakati segala hal terkait Upah yang diberikan kepada pekerja.

    Sebagai pemerhati nasib UMK di Pasar Pengadaan barang/Jasa Pemerintah (PBJ), ternyata filosofi kebijakan pemberian Kemudahan bagi UMK tetap tercermin di Peraturan ini bahkan sangking khususnya dimuat pada satu bab khusus yaitu Bab VI yang terdiri dari pasal 36, 37 dan 38 yang berbunyi sebagai berikut: 

  1. BAB VI
    UPAH TERENDAH PADA USAHA MIKRO DAN USAHA KECIL

    Pasal 36

  1. (1)  Ketentuan Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 sampai dengan Pasal 35 dikecualikan bagi usaha mikro dan usaha kecil.

  2. (2)  Upah pada usaha mikro dan usaha kecil ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Pengusaha dengan Pekerja/Buruh di Perusahaan dengan ketentuan:

    1. paling sedikit sebesar 50% (lima puluh persen) dari rata-rata konsumsi masyarakat di tingkat provinsi; dan

    2. nilai Upah yang disepakati paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) di atas garis kemiskinan di tingkat provinsi.

  3. (3)  Rata-rata konsumsi masyarakat dan garis kemiskinan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b menggunakan data yang bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik.

  4. Pasal 37

  5. Usaha mikro dan usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) harus memenuhi kriteria tertentu yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  6. Pasal 38

  7. Usaha mikro dan usaha kecil yang dikecualikan dari ketentuan Upah minimum wajib mempertimbangkan faktor sebagai berikut:

  8. a. mengandalkan sumber daya tradisional; dan/atau

  9. b. tidak bergerak pada usaha berteknologi tinggi dan tidak padat modal. 

  10. Bagaimana penjelasan atas pasal tersebut diatas ternyata pada Penjelasan atas PP 36 dinyatakan "Cukup Jelas" sehingga seharusnya tidak perlu ditafsirkan kembali.

Lantas bagaimana kaitannya pada PBJ ? 

 Dalam hal penyusunan harga pemerintah pada PBJ, selalu mengacu kepada standar upah minimum dimana selanjutnya setelah memasuki tahap pemilihan penyedia seperti tender, maka salah satu komponen yang dievaluasi adalah upah pekerja yang ditawarkan. Berbeda dengan penyedia, upah yang dipakai justru memakai harga yang disepakati dengan para pekerjanya, kesepakatan ini biasanya cenderung jauh lebih murah karena adanya sistem borongan upah/mandoran atau bahkan ada  yang malahan dikerjakan langsung oleh pemilik/keluarga pengusaha tersebut.

Khusus untuk Jasa konstruksi, sifat pekerjaannya adalah Padat Karya sehingga apabila pekerjaannya dilakukan oleh UMK maka pengecualian pada Bab VI PP 36 memenuhi syarat sehingga tidak harus mengikuti ketentuan tentang upah minimum provinsi. Ini berdampak kepada penerapan prosedur analisa harga satuan pekerjaan pada penawaran yang diajukan oleh UMK tidak dapat diterapkan. Tentunya ini demi kepastian hukum tentang pemberian pemberian kemudahan dalam berusaha khususnya penggunaan produk dalam negeri yang dikerjakan oleh pengusaha mikro dan kecil.

05 April 2022

SURAT TERBUKA Kemudahan, perlindungan dan pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil

 



SURAT TERBUKA 

Kemudahan, perlindungan dan pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil


Kepada Yth.

Presiden Republik Indonesia : Bapak Joko Widodo
Assalamualaikum, Salam Sejahtera, Shalom, Om Swastyastu, Namo Buddhaya, dan Salam Kebajikan

Pertama sekali kami mengucapkan selamat menjalankan Ibadah Puasa bagi Bapak Presiden dan Keluarga serta bagi seluruh rakyat Indonesia yang menjalankannya.

Kami sangat berterimakasih atas telah dikeluarkannya Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU 11/20) yang digagas oleh Pemerintah. Begitu banyak Kebijakan yang berorientasi dalam penciptaan Lapangan kerja khususnya terkait Kebijakan Kemudahan, perlindungan dan pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil. Ini adalah gagasan yang sangat luar biasa apalagi ditengah situasi ekonomi terdampak pandemi Covid-19 yang sampai surat ini dibuat belum ada kepastian kapan pandemi akan berakhir.

Sampai saat ini begitu banyak aturan pelaksanaan dari UU 11/20 yang telah dikeluarkan dan yang terbaru adalah dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden nomor 2 tahun 2022 tentang Percepatan Peningkatan Penggunaan Produk dalam Negeri dan Produk UMK dan KOPERASI dalam rangka menyukseskan Gerakan Nasional Bangga buatan Indonesia pada pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Inpres 02/22) pada tanggal 30 Maret 2022. Tanpa bermaksud menggurui melainkan mencoba mengingatkan bahwa sebaik apapun suatu kebijakan, itu barulah langkah awal yang implementasinya harus dibuktikan apakah mampu dilaksanakan para stake holder apalagi jika terdapat kepentingan yang berbeda dari Visi Misi Presiden.

Mengutip tulisan William N. Dunn pada bukunya berjudul Public Policy Analysis: An Integrated Approach (2017) menyebutkan "The consequences of policies are never fully known in advance. For this reason, the policy- analytic procedure of monitoring is essential to policy analysis. Indeed, much of the work of policy analysis is carried out after policies have been prescribed and adopted". Maka kami sebagai bagian dari UMK yang tersebar di banyak Provinsi di Indonesia yang merupakan pemanfaat langsung kebijakan ini merasa terpanggil untuk turut mensukseskan Instruksi Presiden diatas, oleh karena itu bersamaan dengan surat ini kami berusaha memberikan masukan kepada Pemerintah dalam bentuk kajian kondisi UMK pada Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PBJ) (lampiran 1). Adapun analisanya didasarkan pada Monitoring apa yang dialami dan terjadi pada UMK khususnya yang menggantungkan nasib pada Belanja Barang/Jasa Pemerintah. Dengan begitu tujuan dari Surat terbuka kami ini adalah agar Instruksi Presiden dijalankan dengan mempertimbangkan masukan langsung dari kami para Pelaku PBJ sehingga besar harapan program Kemudahan, Perlindungan dan Pemberdayaan UMK berhasil mensejahterakan masyarakat khususnya UMK.

Demikianlah surat ini kami sampaikan, disamping itu kami juga berharap untuk diikut sertakan minimal dalam bentuk pengawasan secara aktif Implementasi Inpres 02/22 di seluruh Indonesia dan kami juga bersedia melakukan diskusi terbuka apabila ada yang harus diselaraskan antara Pemerintah dan UMK Penyedia PBJ. Atas perhatiannya kami mengucapkan terimakasih dan mohon maaf apabila terjadi suatu kesalahan.


Hormat Kami,

TTD (Lampiran 2)

UMK Penyedia PBJ Nasional


Tembusan

  1. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi

  2. Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah

  3. Menteri Keuangan

  4. Menteri Dalam Negeri

  5. Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

  1. Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia

  2. Asosiasi Pemerintahan Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI).

  3. Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI)


Notes:

Untuk mempermudah surat menyurat/komunikasi, untuk sementara bisa menghubungi sdr. Bonatua Silalahi, Unit 12 lantai 16 Tower A, The Light, Signature Park Grande Apartment, Jl. M.T. Haryono Kav. 20 Cawang Jakarta Timur, HP/WA: 08 211 211 8611/087883523473; email: Bonatua.766hi@gmail.com.






Lampiran 1.

Kajian kondisi UMK pada PBJ

Kajian ini terkait Implementasi kebijakan Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan UMK dalam PBJ dalam rangka kontrol sosial, menguatkan dan memberi masukan terhadap Instruksi Presiden nomor 2 tahun 2022 tentang Percepatan Peningkatan Penggunaan Produk dalam Negeri dan Produk UMK dan KOPERASI dalam rangka menyukseskan Gerakan Nasional Bangga buatan Indonesia pada pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Inpres 02/21).

Berikut adalah hasil kajian dari kami disertai dengan data dan asumsi terhadap keterbatasan data yang disajikan langsung pertiap instruksi beserta pembahasannya:

1) Pada Instruksi Pertama nomor 1 disebutkan: Menetapkan dan/atau mengubah kebijakan dan/atau peraturan perundang-undangan untuk mempercepat peningkatan penggunaan produk dalam negeri dan pemberdayaan UMK dan Koperasi.

Pembahasan:

Menurut catatan kami, dalam kurun tahun 2019 sampai 2022 pada Rencana Umum Pengadaan terdapat (rata-rata) 1,39 juta Paket/tahun dengan nilai nominal (rata-rata) Rp. 322 Triliun (T) per tahun dikerjakan secara Swakelola (Monev LKPP, Update). Mayoritas paket tersebut bisa dan sangat diminati para Penyedia UMK yang terdaftar di LPSE. Menurut pandangan kami, adanya Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 3 Tahun 2021 Tentang Pedoman Swakelola (PLKPP 03/21) yang tidak melarang Paket yang bisa diadakan dan sangat diminati para Penyedia UMK dikerjakan secara swakelola oleh Pengguna Anggaran. Kami mohon kebijakan ini agar memberdayakan UMK semaksimal mungkin, sangat tidak tepat terlebih lagi pada situasi Pemulihan Ekonomi saat ini Pengguna Anggaran ngotot memberdayakan Aparat Sipil Negara (ASN) mengerjakan PBJ-P, perlu pemerataan Ekonomi mengingat mereka sudah memperoleh penghasilan tetap. Pemberdayaan maksimal para UMK bisa mempekerjakan dan menekan jumlah pengangguran yang telah mencapai 9,1 juta orang (BPS, Agustus 2021)

2)  Pada Instruksi Pertama nomor 3 disebutkan: Merencanakan, mengalokasikan, dan merealisasikan paling sedikit 40% (empat puluh persen) nilai anggaran belanja barang/jasa untuk menggunakan produk Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Koperasi dari hasil produksi dalam negeri.

Pembahasan:
Pada tahun 2021, dari Rp. 1.141,8 T Pagu Belanja barang/jasa Nasional (Data SiRUP), hanya Rp. 349,6 T (30,6%) yang diperuntukkan bagi UMK dan Usaha Menengah (LKPP, Flip 2021). Oleh karena keterbatasan Data yang tidak memisahkan berapa jumlah UMK dan berapa jumlah Usaha menengah maka kami menduga untuk UMK peruntukannya direncanakan jauh dibawah 30,6 %.

3)  Pada Instruksi Pertama nomor 10 disebutkan: Menghapuskan persyaratan yang menghambat penggunaan produk dalam negeri dan produk UMK, dan Koperasi dalam Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah.
Pembahasan:

Pada faktanya, UMK dalam mengikuti tender khususnya untuk pekerjaan konstruksi selalu dihadapkan pada persyaratan diluar Sertifikasi Standar. Adapun Alasan penambahan tersebut adalah dalam rangka penjaminan Kualitas Output. Sebagai Informasi, UMK dalam mendapatkan Sertifikat Standar (SBU) saja sudah menjalani banyak tahapan di 7 Organisasi yaitu Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemenPUPR), Online Single Submission (OSS), Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK), Lisensi Lembaga Sertifikasi Badan Usaha (LSBU), Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP), Asosiasi Profesi Pekerja Konstruksi dan Asosiasi Perusahaan Konstruksi. Secara formal mestinya syarat- syarat tambahan tersebut tidak diperlukan lagi karena menurut Peraturan Pemerintah nomor 05 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (PP 05/21)dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat nomor 06 tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Produk pada Penyelenggaraan Perizinan berusaha berbasis Risiko sektor Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PMPUPR 06/21) mestinya sudah cukup menjamin Kualifikasi UMK dalam bekerja.

Uniknya Penambahan syarat-syarat ini berbanding terbalik apabila dikerjakan secara swakelola, contohnya dalam pekerjaan Penambahan Ruang Kelas Baru dimana apabila dilakukan melalui penyedia maka persyaratan SBU, Peralatan, Tenaga Terampil, Dukungan Supplier/Vendor Alat dan Material, Saldo Bank dan Jaminan Penawaran, jika menang harus memberikan Jaminan Pelaksanaan/Uang Muka/Pembayaran dan dibebani tanggungjawab Struktur sampai 10 tahun dan pastinya para Penyedia harus fight banting-bantingan Harga. Coba kita lihat dan bandingkan persyaratan jika dikerjakan secara Swakelola, praktis tidak ada, negosiasi hargapun dirasa tidak transparan dan seakan-akan tidak tunduk pada Undang-undang Jasa Konstruksi. Tidak ada jaminan bahwa Output yang dipekerjakan ASN/Organisasi Masyarakat (Ormas)/Kelompok Masyarakat (Pokmas) akan lebih baik ketimbang dikerjakan Penyedia yang telah diregisterasi/verifikasi/validasi/sertifikasi oleh 7 organisasi Pemerintah, swasta dan Ormas.

4)  Pada Instruksi Kedua, Khusus kepada (5) Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi untuk: (a). meningkatkan penggunaan produk dalam negeri dan/atau produk Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Koperasi termasuk belanja yang dialokasikan melalui transfer daerah.

Pembahasan:
Dana Alokasi Khusus (DAK) pekerjaan konstruksi pada sekolah faktanya banyak yang tidak menggunakan produk UMK. Adanya pilihan DAK bisa diadakan secara Swakelola menjadi favorit choice meskipun tidak memiliki persyaratan kualifikasi dalam mengerjakan kegiatan beresiko Menengah Tinggi (kajiannya bisa dibaca pada artikel Pekerjaan Konstruksi tidak boleh dilakukansecara Swakelola). Para ASN/Ormas/Pokmas sama sekali tidak perlu melewati 7 organisasi yang membina Penyedia dalam menjamin Pelaksanaan Pekerjaan Konstruksi.

5)  Pada Instruksi Kedua, Khusus kepada (11) Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah untuk: memfasilitasi kemudahan penerbitan perizinan berusaha bagi Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Koperasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pembahasan:

Prosedur pengurusan SBU untuk UMK saat ini melibatkan 1 Kementrian teknis (KemenPUPR), 2 Lembaga Negara (LPJK & OSS), 2 Badan Usaha Swasta (LSBU & LSP) dan 2 Ormas (Asosiasi Kontraktor & Asosiasi Profesi), ini justru berbeda dan jauh dari kemudahan mengingat dahulu sebelum ada UU 11/20 hanya melibatkan 3 Ormas saja yaitu LPJKN/D, Asosiasi Kontraktor & Asosiasi Profesi. Kami menghimbau agar Kemudahan perizinan SBU difasilitasi dan diberikan keringan pembiayaan, tidak adil UMK harus menghidupi Lembaga Negara melalui skema Penghasilan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan Pajak lainnya, menghidupi swasta melalui skema lisensi dan menghidupi Ormas melalui skema Kartu Tanda Anggota (KTA).

Dalam hal pengurusan Sertifikat Standar (SBU) kami juga menemukan adanya persyaratan OSS yang mewajibkan UMK memiliki Sertifikat ISO Manajemen Mutu dan Anti Penyuapan, meskipun saat ini diberi keringanan karena bagi yang belum memiliki sertifikat tersebut dapat menggantikannya dengan surat pernyataan yang sudah harus dipenuhi pada saat berkontrak maupun setahun kemudian. Persyaratan ini jelas melanggar PP 05/21 dimana disebutkan bahwa perizinan sub sektor jasa konstruksi yang tergolong kategori Risiko Menengah Tinggi hanya berupa Nomor Induk Berusaha dan Sertifikat Standar. Menurut PM 06/21 bahwa yang dimaksud dengan sertifikat standar adalah SBU. Disisi lain, jumlah karyawan UMK yang tidak lebih dari 10 (sepuluh) menandakan managemen dalam UMK tergolong sederhana dan bisa dijadikan pertimbangan kemudahan berusaha.

6) Pada Instruksi Kedua, Khusus kepada (17) Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah untuk: (c). melakukan penyempurnaan peraturan perundang-undangan dan sistem Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dalam rangka percepatan peningkatan penggunaan produk dalam negeri dan produk Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Koperasi untuk menyukseskan Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia pada pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

Pembahasan:

Terkait PLKPP 03/21, diharapkan Swakelola diperketat hanya untuk pekerjaan yang tidak bisa diadakan/diminati Penyedia saja. Sebagai data pendukung, untuk tahun ini saja (2022) kami melihat terdapat total 3,19 juta paket yang direncanakan diadakan secara swakelola dan melalui penyedia, apabila 3 juta paket saja diserahkan ke UMK sebanyak 373.778 (Profile Pengadaan 2019) maka masing-masing Penyedia bisa mendapat 8 Paket (asumsi seluruh penyedia yang terdaftar di LPSE adalah UMK meskipun pada kenyataannya ini adalah total Penyedia dan hanya 134.564 yang menang dari 195.264 penyedia yang aktif lelang), kalo sudah begini kami rasa tidak perlu dilakukan Tender toh masing- masing Penyedia UMK dapat paket melebih Sisa Kemampuan Paket-nya, sesekali Pemerintah berbagi Proyek ke UMK ditengah Pandemi mengingat Swakelola bisa juga dilakukan tanpa harus tender, cukup Negosiasi Harga saja. Kami menyarankan pemilihan penyedianya dengan melibatkan organisasi pembinaan (K/L/PD) yang serta diawasi secara transparan oleh masyarakat.

7) Pada Instruksi Ketiga menyebutkan: Pendanaan untuk percepatan peningkatan penggunaan produk dalam negeri dan produk Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Koperasi dalam rangka menyukseskan Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia pada pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, dan/atau sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pembahasan:
Ketentuan Pemberian Uang Muka (UM) sudah diatur pada Peraturan pemerintah nomor 7 tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (PP 07/21) namun pada Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PS 16/18') ketentuannya masih belum dirubah karena masih memuat kata "dapat" sehingga bukanlah suatu keharusan. Sebagai catatan, ketentuan UM ini sebenarnya sudah disebutkan pada Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, namun karena adanya kalimat "dapat" membuat K/L/PD beramai-ramai memilih tidak mau memberikannya, lebih uniknya lagi justru kelas Usaha Besar termasuk BUMN yang justru diberikan Uang Muka. Mohon K/L/PD merealisasikan pendanaan APBN/APBD untuk UMK sebagai mana yang diatur oleh PP 07/21. 




catt: 
  1. Baru dapat klarifikasi resmi dari Lembaga Negara bahwa Data yang ada di https://monev.lkpp.go.id/ tidak dapat dipertanggungjawabkan (bisa benar bisa salah), harap publik bijak mempercayai data yang dikeluarkan Lembaga Publik (08/04/22) .
  2. Swakelola sudah dievaluasi di Uni Eropa, salah satunya bisa dibaca pada artikel berikut In-HOUSE PROCUREMENT exception: threat for sustainable procedure of Public procurement?
 

POSTINGAN POPULER