Layanan Jasa Konsultasi.

Kami dapat memberikan JASA Nasehat Kebijakan terhadap Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan; Pengadaan Barang/Jasa Konstruksi (Perencanaan - Persiapan - Pelaksanaan - Kontrak); dan Pemenangan Tender. Kami juga membantu membuat Kebijakan Perusahaan (Peraturan Direksi dan Dokumen Tender). Hubungi bonatua.766hi@gmail.com

Translate

10 Agustus 2022

Izin, Dispensasi, dan Konsesi menurut UU 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan

 


Izin, Dispensasi, dan Konsesi
Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja Pasal 175 
tentang 
perubahan Undang-Undang nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan


Izin adalah Keputusan Pejabat Pemerintahan yang berwenang sebagai wujud persetujuan atas permohonan Warga Masyarakat  sesuai  dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Konsesi adalah Keputusan Pejabat Pemerintahan yang berwenang sebagai wujud persetujuan dari kesepakatan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dengan selain Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam pengelolaan fasilitas umum dan/atau sumber daya alam dan pengelolaan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dispensasi adalah Keputusan Pejabat Pemerintahan yang berwenang sebagai wujud persetujuan atas permohonan Warga Masyarakat yang merupakan pengecualian terhadap suatu larangan atau perintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pejabat Pemerintahan adalah unsur yang melaksanakan Fungsi Pemerintahan, baik di lingkungan pemerintah maupun penyelenggara negara lainnya. Warga Masyarakat adalah seseorang atau badan hukum perdata yang terkait dengan Keputusan dan/atau Tindakan. Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik yang selanjutnya disingkat AUPB adalah prinsip yang digunakan sebagai acuan penggunaan Wewenang bagi Pejabat Pemerintahan dalam mengeluarkan Keputusan dan/atau Tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan.


BAB VII 
PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI PEMERINTAHAN
Bagian Kelima
Izin, Dispensasi, dan Konsesi

Pasal 39

(1) Pejabat Pemerintahan yang berwenang dapat menerbitkan Izin, Standar, Dispensasi, dan/atau Konsesi dengan berpedoman pada AUPB dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

(2) Keputusan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan berbentuk Izin apabila:

a. persetujuan diterbitkan sebelum kegiatan dilaksanakan; dan 

b. kegiatan yang akan dilaksanakan merupakan kegiatan yang memerlukan perhatian khusus dan/atau memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan. 

(3) Keputusan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan berbentuk Standar apabila:

a. persetujuan diterbitkan sebelum kegiatan dilaksanakan; dan

b. kegiatan yang akan dilaksanakan merupakan kegiatan telah yang terstandardisasi.

(4) Keputusan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan berbentuk Dispensasi apabila:

a. persetujuan diterbitkan sebelum kegiatan dilaksanakan; dan 

b. kegiatan yang akan dilaksanakan merupakan kegiatan pengecualian terhadap suatu larangan atau perintah. 

(5) Keputusan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan berbentuk Konsesi apabila: 

a. persetujuan diterbitkan sebelum kegiatan dilaksanakan; 

b. persetujuan diperoleh berdasarkan kesepakatan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dengan pihak Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan/atau swasta; dan 

c. kegiatan yang akan dilaksanakan merupakan kegiatan yang memerlukan perhatian khusus. 

(6) Izin, Dispensasi, atau Konsesi yang diajukan oleh pemohon wajib diberikan persetujuan atau penolakan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya permohonan, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundangundangan. 

(7) Standar berlaku sejak pemohon menyatakan komitmen pemenuhan elemen standar. 

(8) Izin, Dispensasi, atau Konsesi tidak boleh menyebabkan kerugian negara. 

 

Pasal 39A

(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib melakukan pembinaan dan pengawasan atas pelaksanaan Izin, Standar, Dispensasi, dan/atau Konsesi. 

(2) Pembinaan dan pengawasan terhadap Izin, Standar, Dispensasi, dan/atau Konsesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikerjasamakan dengan atau dilakukan oleh profesi yang memiliki sertifikat keahlian sesuai dengan bidang pengawasan. 

(3) Ketentuan mengenai jenis, bentuk, dan mekanisme pembinaan dan pengawasan atas Izin, Standar, Dispensasi, dan/atau Konsesi yang dapat dilakukan oleh profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Presiden. 


BAB IX 
KEPUTUSAN PEMERINTAHAN
Bagian Kelima
Akibat Hukum Keputusan dan/atau Tindakan


Paragraf 1
Akibat Hukum Keputusan dan/atau Tindakan yang Tidak Sah

Pasal 70

(1) Keputusan dan/atau Tindakan tidak sah apabila:

a. dibuat oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang tidak berwenang;

b. dibuat oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang melampaui kewenangannya; dan/atau

c. dibuat oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang bertindak sewenang-wenang.

(2) Akibat hukum Keputusan dan/atau Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi:

a. tidak mengikat sejak Keputusan dan/atau Tindakan tersebut ditetapkan; dan

b. segala akibat hukum yang ditimbulkan dianggap tidak  pernah ada.

(3) Dalam hal Keputusan yang mengakibatkan pembayaran dari uang negara dinyatakan tidak sah, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib mengembalikan uang ke kas negara (Pengembalian uang ke kas negara dilakukan baik oleh Pejabat Pemerintahan yang terkait maupun Warga Masyarakat yang telah menerima pembayaran yang dikeluarkan oleh pemerintah).


Paragraf 2
Akibat Hukum Keputusan dan/atau Tindakan yang Dapat Dibatalkan

Pasal 71

(1) Keputusan dan/atau Tindakan dapat dibatalkan apabila:

a. terdapat kesalahan prosedur (Yang dimaksud dengan “kesalahan prosedur” adalah kesalahan dalam hal tatacara penetapan Keputusan yang tidak sesuai dengan persyaratan dan tatacara yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan dan/atau standar operasional prosedur).; atau

b. terdapat kesalahan substansi (Yang dimaksud dengan “kesalahan substansi” adalah kesalahan dalam hal tidak sesuainya materi yang dikehendaki dengan rumusan dalam Keputusan yang dibuat, misal terdapat konflik kepentingan, cacat yuridis, dibuat dengan paksaan fisik atau psikis, maupun dibuat dengan tipuan).

(2) Akibat hukum Keputusan dan/atau Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):

a. tidak mengikat sejak saat dibatalkan atau tetap sah sampai adanya pembatalan; dan

b. berakhir setelah ada pembatalan.

(3) Keputusan pembatalan dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan  dan/atau Atasan Pejabat dengan menetapkan dan/atau melakukan Keputusan baru dan/atau Tindakan Pejabat Pemerintahan atau berdasarkan perintah Pengadilan.

(4) Penetapan Keputusan baru sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi kewajiban Pejabat Pemerintahan.

(5) Kerugian yang timbul akibat Keputusan dan/atau Tindakan yang dibatalkan menjadi tanggung jawab Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan.


Pasal 72

(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib melaksanakan Keputusan dan/atau Tindakan yang sah dan Keputusan yang telah dinyatakan tidak sah atau dibatalkan oleh Pengadilan atau pejabat yang bersangkutan atau atasan yang bersangkutan.

(2) Ketentuan mengenai tata cara pengembalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (3) dan tanggung jawab Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan akibat kerugian yang ditimbulkan dari Keputusan dan/atau Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (5) diatur dalam Peraturan Pemerintah.


Untuk Upaya Administrasi jika Keputusan tersebut diduga menimbulkan kerugian bisa dibaca di Artikel berikut : Upaya Administratif terhadap Keputusan PBJ yang merugikan Masyarakat. : PTUN 


Diskresi menurut UU 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan


DISKRESI
Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja Pasal 175 
tentang 
perubahan Undang-Undang nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan


Diskresi adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. Pejabat Pemerintahan adalah unsur yang melaksanakan Fungsi Pemerintahan, baik di lingkungan pemerintah maupun penyelenggara negara lainnya. 


BAB VI DISKRESI

Bagian Kesatu 

Umum

Pasal 22

(1) Diskresi hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan yang berwenang.

(2) Setiap penggunaan Diskresi Pejabat Pemerintahan bertujuan untuk:

a. melancarkan penyelenggaraan pemerintahan;

b. mengisi kekosongan hukum;

c. memberikan kepastian hukum; dan

d. mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.(Yang dimaksud dengan “stagnasi pemerintahan” adalah tidak dapat dilaksanakannya aktivitas pemerintahan sebagai akibat kebuntuan atau disfungsi dalam penyelenggaraan pemerintahan, contohnya: keadaan bencana alam atau gejolak politik ).


Bagian Kedua 

Lingkup Diskresi

Pasal 23 

Diskresi Pejabat Pemerintahan meliputi:

a. pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang memberikan suatu pilihan Keputusan dan/atau Tindakan (Pilihan Keputusan dan/atau Tindakan Pejabat Pemerintahan dicirikan dengan kata dapat, boleh, atau diberikan kewenangan, berhak, seharusnya, diharapkan, dan kata-kata lain yang sejenis dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan yang dimaksud pilihan Keputusan dan/atau Tindakan adalah respon atau sikap Pejabat Pemerintahan dalam melaksanakan atau tidak melaksanakan Administrasi Pemerintahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.);

b. pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena peraturan perundang-undangan tidak mengatur (Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan tidak mengatur” adalah ketiadaan atau kekosongan hukum yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dalam suatu kondisi tertentu atau di luar kelaziman);

c. pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena peraturan perundang-undangan tidak lengkap atau tidak jelas [Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan tidak lengkap atau tidak jelas” apabila dalam peraturan perundang-undangan masih membutuhkan penjelasan lebih lanjut, peraturan yang tumpang tindih (tidak harmonis dan tidak sinkron), dan peraturan yang membutuhkan peraturan pelaksanaan, tetapi belum dibuat]; dan

d. pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena adanya stagnasi pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas (Yang dimaksud dengan “kepentingan yang lebih luas” adalah kepentingan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, penyelamatan kemanusiaan dan keutuhan negara, antara lain: bencana alam, wabah penyakit, konflik sosial, kerusuhan, pertahanan dan kesatuan bangsa).


Bagian Ketiga 

Persyaratan Diskresi

Pasal 24

Pejabat Pemerintahan yang menggunakan Diskresi harus memenuhi syarat:

a. sesuai dengan tujuan Diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2);

b. sesuai dengan AUPB;

c. berdasarkan alasan-alasan yang objektif (Yang dimaksud dengan “alasan-alasan objektif” adalah alasan-alasan yang diambil berdasarkan fakta dan kondisi faktual, tidak memihak, dan rasional serta berdasarkan AUPB. );

d. tidak menimbulkan Konflik Kepentingan (; dan

e. dilakukan dengan iktikad baik (Yang dimaksud dengan “iktikad baik” adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan didasarkan atas motif kejujuran dan berdasarkan AUPB.).

Pasal 25

(1) Penggunaan Diskresi yang berpotensi mengubah alokasi anggaran wajib memperoleh persetujuan dari Atasan Pejabat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Yang dimaksud dengan “memperoleh persetujuan dari Atasan Pejabat” adalah memperoleh persetujuan dari atasan langsung pejabat yang berwenang menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan. Bagi pimpinan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) mengajukan persetujuan kepada kepala daerah. Bagi bupati/walikota mengajukan persetujuan kepada gubernur. Bagi gubernur mengajukan persetujuan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri. Bagi pimpinan unit kerja pada kementerian/lembaga mengajukan persetujuan kepada menteri/pimpinan lembaga. Sistem pengalokasian anggaran sebagai dampak dari persetujuan Diskresi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan). 

(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila penggunaan Diskresi berdasarkan ketentuan Pasal 23 huruf a, huruf b, dan huruf c serta menimbulkan akibat hukum yang berpotensi membebani keuangan negara (Yang dimaksud dengan “akibat hukum” adalah suatu keadaan yang timbul sebagai akibat ditetapkannya Diskresi).

(3) Dalam hal penggunaan Diskresi menimbulkan keresahan masyarakat, keadaan darurat, mendesak dan/atau terjadi bencana alam, Pejabat Pemerintahan wajib memberitahukan kepada Atasan Pejabat sebelum penggunaan Diskresi dan melaporkan kepada Atasan Pejabat setelah penggunaan Diskresi (Pelaporan kepada atasan digunakan sebagai instrumen untuk pembinaan, pengawasan, dan evaluasi serta sebagai bagian dari akuntabilitas pejabat.).

(4) Pemberitahuan sebelum penggunaan Diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan apabila penggunaan Diskresi berdasarkan ketentuan dalam Pasal 23 huruf d yang berpotensi menimbulkan keresahan masyarakat.

(5) Pelaporan setelah penggunaan Diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan apabila penggunaan Diskresi berdasarkan ketentuan dalam Pasal 23 huruf d yang terjadi dalam  keadaan darurat, keadaan mendesak, dan/atau terjadi bencana alam (Yang dimaksud dengan “keadaan mendesak” adalah suatu kondisi objektif dimana dibutuhkan dengan segera penetapan dan/atau pelaksanaan Keputusan dan/atau Tindakan oleh Pejabat Pemerintahan untuk menangani kondisi yang dapat mempengaruhi, menghambat, atau menghentikan penyelenggaraan pemerintahan).


Bagian Keempat 

Prosedur Penggunaan Diskresi

Pasal 26

(1) Pejabat yang menggunakan Diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2) wajib menguraikan maksud, tujuan, substansi, serta dampak administrasi dan keuangan.

(2) Pejabat yang menggunakan Diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan permohonan persetujuan secara tertulis kepada Atasan Pejabat.

(3) Dalam waktu 5 (lima) hari kerja setelah berkas permohonan diterima, Atasan Pejabat menetapkan persetujuan, petunjuk perbaikan, atau penolakan.

(4) Apabila Atasan Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melakukan penolakan, Atasan Pejabat tersebut harus memberikan alasan penolakan secara tertulis.

Pasal 27

(1) Pejabat yang menggunakan Diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3) dan ayat (4) wajib menguraikan maksud, tujuan, substansi, dan dampak administrasi yang berpotensi mengubah pembebanan keuangan negara.

(2) Pejabat yang menggunakan Diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan pemberitahuan secara lisan atau tertulis kepada Atasan Pejabat.

(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan paling lama 5 (lima) hari kerja sebelum penggunaan Diskresi.

Pasal 28

(1) Pejabat yang menggunakan Diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3) dan ayat (5) wajib menguraikan maksud, tujuan, substansi, dan dampak yang ditimbulkan.

(2) Pejabat yang menggunakan Diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan laporan secara tertulis kepada Atasan Pejabat setelah penggunaan Diskresi.

(3) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak penggunaan Diskresi.

Pasal 29

Pejabat yang menggunakan Diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, Pasal 27, dan Pasal 28 dikecualikan dari ketentuan memberitahukan kepada Warga Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g.


Bagian Kelima

Akibat Hukum Diskresi

Pasal 30

(1) Penggunaan Diskresi dikategorikan melampaui Wewenang apabila:

a. bertindak melampaui batas waktu berlakunya Wewenang yang diberikan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan;

b. bertindak melampaui batas wilayah berlakunya Wewenang yang diberikan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau

c. tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 26, Pasal 27, dan Pasal 28.

(2) Akibat hukum dari penggunaan Diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tidak sah.


Pasal 31

(1) Penggunaan Diskresi dikategorikan mencampuradukkan Wewenang apabila:

a. menggunakan Diskresi tidak sesuai dengan tujuan Wewenang yang diberikan;

b. tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 26, Pasal 27, dan Pasal 28; dan/atau

c. bertentangan dengan AUPB.

(2) Akibat hukum dari penggunaan Diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibatalkan.Pasal 32

(1) Penggunaan Diskresi dikategorikan sebagai tindakan sewenang- wenang apabila dikeluarkan oleh pejabat yang tidak berwenang.

(2) Akibat hukum dari penggunaan Diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tidak sah.


BAB IX KEPUTUSAN PEMERINTAHAN

Bagian Kelima 

Akibat Hukum Keputusan dan/atau Tindakan


Paragraf 1 

Akibat Hukum Keputusan dan/atau Tindakan yang Tidak Sah


Pasal 70

(1) Keputusan dan/atau Tindakan tidak sah apabila:

a. dibuat oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang tidak berwenang;

b. dibuat oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang melampaui kewenangannya; dan/atau

c. dibuat oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang bertindak sewenang-wenang.

(2) Akibat hukum Keputusan dan/atau Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi:

a. tidak mengikat sejak Keputusan dan/atau Tindakan tersebut ditetapkan; dan

b. segala akibat hukum yang ditimbulkan dianggap tidak  pernah ada.

(3) Dalam hal Keputusan yang mengakibatkan pembayaran dari uang negara dinyatakan tidak sah, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib mengembalikan uang ke kas negara (Pengembalian uang ke kas negara dilakukan baik oleh Pejabat Pemerintahan yang terkait maupun Warga Masyarakat yang telah menerima pembayaran yang dikeluarkan oleh pemerintah).


Paragraf 2

Akibat Hukum Keputusan dan/atau Tindakan yang Dapat Dibatalkan

Pasal 71

(1) Keputusan dan/atau Tindakan dapat dibatalkan apabila:

a. terdapat kesalahan prosedur (Yang dimaksud dengan “kesalahan prosedur” adalah kesalahan dalam hal tatacara penetapan Keputusan yang tidak sesuai dengan persyaratan dan tatacara yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan dan/atau standar operasional prosedur).; atau

b. terdapat kesalahan substansi (Yang dimaksud dengan “kesalahan substansi” adalah kesalahan dalam hal tidak sesuainya materi yang dikehendaki dengan rumusan dalam Keputusan yang dibuat, misal terdapat konflik kepentingan, cacat yuridis, dibuat dengan paksaan fisik atau psikis, maupun dibuat dengan tipuan).

(2) Akibat hukum Keputusan dan/atau Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):

a. tidak mengikat sejak saat dibatalkan atau tetap sah sampai adanya pembatalan; dan

b. berakhir setelah ada pembatalan.

(3) Keputusan pembatalan dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan  dan/atau Atasan Pejabat dengan menetapkan dan/atau melakukan Keputusan baru dan/atau Tindakan Pejabat Pemerintahan atau berdasarkan perintah Pengadilan.

(4) Penetapan Keputusan baru sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi kewajiban Pejabat Pemerintahan.

(5) Kerugian yang timbul akibat Keputusan dan/atau Tindakan yang dibatalkan menjadi tanggung jawab Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan.


Pasal 72

(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib melaksanakan  Keputusan dan/atau Tindakan yang sah dan Keputusan yang telah dinyatakan tidak sah atau dibatalkan oleh Pengadilan atau pejabat yang bersangkutan atau atasan yang bersangkutan.

(2) Ketentuan mengenai tata cara pengembalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (3) dan tanggung jawab Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan akibat kerugian yang ditimbulkan dari Keputusan dan/atau Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (5) diatur dalam Peraturan Pemerintah.


Untuk Upaya Administrasi jika Keputusan tersebut diduga menimbulkan kerugian bisa dibaca di Artikel berikut : Upaya Administratif terhadap Keputusan PBJ yang merugikan Masyarakat. : PTUN 

07 Agustus 2022

Analisis Kebijakan "Penetapan Pemenang" melalui Tender/Seleksi

Presiden Republik Indonesia melalui Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang telah diubah oleh Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 memerintahkan bahwa Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa melalui Penyedia, tahapan pemilihan melalui Tender/Seleksi khususnya dalam Penetapan Pemenang ditetapkan dengan Peraturan Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Presiden juga telah membuat ketentuan umum sebagai berikut:

1. Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran Kementerian Negara/Lembaga/Perangkat Daerah. 

2. Kuasa Pengguna Anggaran pada Pelaksanaan APBN yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari PA untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada Kementerian Negara/Lembaga yang bersangkutan. 

3. Kuasa Pengguna Anggaran pada Pelaksanaan APBD yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang diberi kuasa untuk melaksanakan sebagian kewenangan pengguna anggaran dalam melaksanakan sebagian tugas dan fungsi Perangkat Daerah. 

4. Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disingkat PPK adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk mengambil keputusan dan/atau melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja negara/anggaran belanja daerah. 

5. Unit Kerja Pengadaan Barang/Jasa yang selanjutnya disingkat UKPBJ adalah unit kerja di Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah yang menjadi pusat keunggulan Pengadaan Barang/Jasa. 

6. Kelompok Kerja Pernilihan yang selanjutnya disebut Pokja Pemilihan adalah sumber daya manusia yang ditetapkan oleh kepala UKPBJ untuk mengelola pemilihan Penyedia.

7. Aparat Pengawas Intern Pemerintah yang selanjutnya disingkat APIP adalah aparat yang melakukan pengawasan melalui audit, reviu, pemantauan, evaluasi, dan kegiatan pengawasan lain terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi Pemerintah.

Kepala LKPP dalam hal ini melalui Peraturan LKPP nomor 12 tahun 2021 tentang Pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah melalui penyedia (PLKPP 12/21) menetapkan ketentuan Penetapan Pemenang sebagai berikut:

a. Pokja Pemilihan menetapkan Pemenang Tender/Seleksi dan Pemenang cadangan 1 (satu) dan Pemenang cadangan 2 (dua). Pemenang cadangan ditetapkan apabila ada. 

b. Sebelum penetapan Pemenang, apabila terjadi keterlambatan dalam proses pemilihan dan akan mengakibatkan Surat Penawaran habis masa berlakunya, maka Pokja Pemilihan melakukan konfirmasi secara tertulis kepada calon Pemenang untuk memperpanjang Surat Penawaran sampai dengan perkiraan jadwal penandatanganan Kontrak.

c. Calon pemenang yang tidak bersedia memperpanjang masa berlaku surat penawaran, dianggap mengundurkan diri dan tidak dikenakan  sanksi. Pokja Pemilihan menetapkan kembali calon Pemenang. 

d. Pokja Pemilihan membuat Berita Acara Hasil Pemilihan (BAHP). 

e. Untuk Pengadaan Barang/Jasa Lainnya dengan nilai Pagu Anggaran paling sedikit diatas Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah) dan Pengadaan Jasa Konsultansi dengan nilai Pagu Anggaran paling sedikit diatas Rp10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah), Pokja Pemilihan mengusulkan penetapan pemenang pemilihan kepada PA melalui UKBPJ yang ditembuskan kepada PPK dan APIP K/L/PD yang bersangkutan. 

f. PA menetapkan pemenang pemilihan berdasarkan usulan Pokja Pemilihan. Apabila PA tidak sependapat dengan usulan Pokja Pemilihan, maka PA menolak untuk menetapkan Pemenang pemilihan dan menyatakan Tender/Seleksi gagal. 

g. PA menetapkan pemenang pemilihan berdasarkan peringkat usulan Pokja Pemilihan. Dalam hal PA menetapkan pemenang cadangan 1 atau pemenang cadangan 2 sebagai pemenang maka PA harus memberikan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. 

h. PA menyampaikan surat penetapan Pemenang atau surat penolakan Pemenang kepada UKPBJ paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah usulan penetapan pemenang diterima. Dalam hal PA tidak memberikan penetapan/penolakan maka PA dianggap menyetujui usulan Pokja Pemilihan mengacu ke Peraturan Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2017 tentang Pedoman Beracara untuk Memperoleh Putusan Atas Penerimaan Permohonan Guna Mendapatkan Keputusan dan/atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintah .

i. Apabila PA menolak hasil pemilihan maka PA menyatakan Tender/Seleksi gagal. 

j. Dalam hal PA menerima/menolak hasil pemilihan, UKPBJ memerintahkan Pokja Pemilihan untuk menindaklanjuti penetapan/penolakan tersebut. 

k. PA untuk pengelolaan APBN dapat melimpahkan kewenangan penetapan pemenang pemilihan/Penyedia kepada KPA sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan 

Dari jabaran diatas sangat jelas terdapat 2 (dua) Pejabat yang menetapkan pemenang yaitu Pokja dan PA.


POSTINGAN TERBARU

Peta Kebijakan Peraturan Perundang-undangan Pengadaan untuk Penanggulangan Bencana.

Part II: Peta Kebijakan Peraturan Perundang-undangan. Tercatat sampai saat ini sudah terdapat 3.478  Judul Peraturan Perundang-Undangan (PPU...

POSTINGAN POPULER