Layanan Konsultasi.

Kami dapat memberikan JASA Nasehat Kebijakan terhadap Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan; Pengadaan Barang/Jasa Konstruksi (Perencanaan - Persiapan - Pelaksanaan - Kontrak); dan Pemenangan Tender. Kami juga membantu membuat Kebijakan Perusahaan (Dokumen Tender & Peraturan Direksi terkait Pengadaan). Hubungi bonatua.766hi@gmail.com

Translate

CARI DI BLOG INI

POSTINGAN TERBARU

KONFERENSI PERS PENAHANAN TERSANGKA Tindak Pidana Korupsi PENGADAAN Alat Perlindungan Diri DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KESEHATAN

Berita selanjutnya bisa dilihat di  https://news.detik.com/berita/d-7570649/kpk-tetapkan-3-tersangka-baru-di-kasus-korupsi-apd-kemenkes

Tampilkan postingan dengan label AKSI NYATA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label AKSI NYATA. Tampilkan semua postingan

21 September 2024

KONSULTAN KEBIJAKAN PUBLIK: PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH

Kepada Pembaca kami yang terhormat,

    Assalamualaikum, Shalom, Om Swastiastu, Namo Buddhaya

    Salam Sejahtera, Rahayu, Horas.

  

Sebelumnya perkenankan Kami mengucapkan terimakasih kepada pembaca setia media ini, dimana menurut Google Analytic terdapat 70.979 Pembaca Aktif sejak tahun 2023 sampai 13 September 2024 yang berasal dari berbagai Negara seperti Indonesia, United States, Singapore, Poland, Norway, Japan, Philippines, Netherland, United Kingdom yang merupakan Pembaca Spesifik dari kalangan Pelaku Pengadaan, Investor dan kalangan lain yang terkait Barang/Jasa Pemerintah. 

Permasalahan Implementasi Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PBJ) di Indonesia sampai detik ini masih menjadi jenis kasus terbesar yang ditangani baik oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun di Aparat Penegak Hukum lainnya, informasi ini bisa dilihat dari banyaknya tayangan Konferensi Pers KPK yang dikompilasi pada label KASUS PENGADAAN di media ini yang menceritakan terdapatnya Fraud/Moral Hazards terkait Pengadaan

Berdasarkan banyaknya pihak yang berdiskusi kepada kami, dapat disimpulkan bahwa ketidakpahaman Pelaku Pengadaan baik Pengguna Anggaran maupun Kuasanya (PA/KPA), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Pejabat Pengadaan, Kelompok Kerja (Pokja), Penyelenggara Swakelola dan Penyedia masih menjadi faktor dominan penyebab tingginya kasus fraud pengadaan, disisi lain Investor sebagai pihak ketiga ternyata turut menjadi korban akibat minimnya pengetahuan akan risiko Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU). Ketidakpahaman itu mestinya dapat dimaklumi mengingat terdapat 6.023 judul Peraturan Perundang-Undangan (PPU) terkait Pengadaan, dan 981 judul PPU dibidang PBJ yang saling terkait sebagaimana kami petakan memakai VOSViewer dengan hasil seperti pada gambar dibawah ini.

Gambar Pemetaan PPU dibidang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, tampilan lebih interaktif dapat dibuka pada link berikut: https://tinyurl.com/2c4qczdv

Dari kesimpulan tersebut maka kami merekomendasikan perlunya suatu Lembaga Konsultasi Pengadaan yang Profesional yang bisa melayani para Pelaku Pengadaan maupun pihak ketiga (Investor) dalam memberikan kajian kebijakan secara menyeluruh dari berbagai Perspektif Peraturan Perundang-Undangan terkait jenis Barang/Jasa yang diadakan, untuk keperluan tersebut, saya sebagai Doktor Kebijakan Publik merasa terpanggil secara sosial untuk mengaplikasikan ilmu yang diperoleh selama ini dalam bentuk layanan konsultasi gratis kepada pelaku Pengadaan, namun untuk kajian mendalam maupun keperluan resmi dari Kementerian/Lembaga/Pemerintahan Daerah (K/L/PD) maupun Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/D) serta Investor, kami telah menyiapkan media yang sepadan yaitu Perusahaan yang bergerak dibidang Konsultan Kebijakan Publik yang disupport para Doktor Kebijakan Publik spesialisasi beraneka ragam dengan Profil Perusahaan sebagai berikut: 

PT. Konsultan Kebijakan Publik adalah Perusahaan perorangan yang bergerak dibidang Penasehatan & Pendampingan terkait Kebijakan Publik terutama terkait Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PBJ). Perusahaan ini dibuat didasarkan pada hasil penelitian yang menunjukkan betapa banyaknya Para Pejabat pemangku Kebijakan di lingkungan K/L/PD maupun (BUMN/D) dan afiliasinya yang terjerat sangkaan melakukan Perbuatan Melanggar Hukum (PMH), banyak kejadian dimana Para Pemangku Kebijakan tersebut sebenarnya tidak melakukan bahkan tidak tahu menahu sama sekali terkait sangkaan. Berangkat dari fakta tersebut maka kami merasa perlu adanya suatu jasa nasehat dan pendampingan yang memberikan masukan melalui serangkaian kajian dari berbagai perspektif kebijakan terkait Pengadaan yang diselenggarakan yang tentunya bertujuan akhir untuk pengamanan kebijakan Pimpinan sehingga implementasinya sesuai dengan arahan kebijakan dan terhindar dari PMH.

Founder: Dr. Bonatua Silalahi, S.Si., S.H.,M.E.

Pria kelahiran Medan, Sumatera Utara pada tahun 1977, berlatarbelakang Doktor Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti dengan fokus pada Pengadaan yang disertasinya berjudul Kebijakan Publik Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah pada Penanganan Bencana, sebelumnya beliau juga telah menyandang Master Kebijakan Publik dari Universitas dan fokus yang sama dengan Tesis berjudul Analisis Implementasi Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa untuk meningkatkan Value for Money. Selain memiliki latar belakang pendidikan dibidang Kebijakan Pengadaan beliau juga berlatar belakang sebagai Praktisi Pengadaan sejak tahun 2011, aktif menulis artikel tentang kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah pada Jurnal terindeks internasional mapun media Kebijakan Publik Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan telah menerbitkan Buku edisi Uni Eropa berjudul Implementation Analysis of Government Procurement Policy to Increase Value for Money (ISBN-10: ‎ 9994988344; ISBN-13: ‎ 978-9994988341). Dalam berorganisasi maupun keprofesian, beliau aktif dikomunitas pengurus Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK), komunitas pemerhati Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), anggota Ikatan Ahli Pengadaan Indonesia (IAPI) dan pengurus Asosiasi Ahli Kebijakan Indonesia (AAKI). 

I. PROFIL BADAN USAHA.

Nama  : PT. KONSULTAN KEBIJAKAN PUBLIK.

Alamat : SIGNATURE PARK GRANDE TL/TA 16-12 

                        JL.M.T. HARYONO KAV.20, CAWANG-JAKARTA 13630

Pemilik : Dr. Bonatua Silalahi S.Si., S.H., M.E.

EMAIL : Ptkonsultankebijakanpublik@gmail.com

NPWP : 270500812005000

NIB         : 1809240054587 

Kontak      : Ibu Nurul (087883068688) 

II. JASA YANG KAMI BERIKAN.

a. Jasa Penasehatan terkait:

    1. Pengamanan Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
    2. Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan.
    3. Perencanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
    4. Persiapan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
    5. Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
    6. Pembuatan Peta Kebijakan.
    7. Pengkajian Keamanan (Mitigasi Risiko) Investasi skema KPBU.

b. Jasa Pendampingan:

    1. Pembuatan dan Pengkajian Kebijakan Peraturan Perusahaan.
    2. Pembuatan Dokumen Tender.
    3. Pemenangan Tender.
    4. Kontrak Pengadaan.
    5. Pengurusan Perizinan Sertifikat Kompetensi Kerja (SKK) dan Sertifikat Badan Usaha (SBU). 

III. KEBIJAKAN terkait PBJ yang kami kuasai antara lain:

    1. Undang-Undang Nomor 06 tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
    2. Undang-Undang nomor 02 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi.
    3. Undang-Undang nomor 13 tahun 2016 tentang Paten.
    4. Undang-Undang nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
    5. Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
    6. Undang-Undang nomor 05 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
    7. Undang-Undang nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
    8. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan Alat Elektronik.
    9. Undang-Undang nomor 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, KecilL, dan Menengah.
    10. Undang-Undang nomor 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.
    11. Undang-Undang Nomor 25 tahun 2003 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 08 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
    12. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
    13. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
    14. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
    15. Undang-Undang nomor 05 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
    16. Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
    17. Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara nomor 08 tahun 2019 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan Barang Dan Jasa Badan Usaha Milik Negara.
    18. Beserta segala aturan turunan pelaksanaan peraturan perundang-undangan diatas.

Melalui Konsultan Kebijakan Publik yang kami bentuk kiranya bisa mewujudkan Jasa Tenaga Ahli Kebijakan Pengadaan sebagaimana yang dimaksud oleh pasal Pasal 11 ayat (1) huruf o, Pasal 13 ayat (4) dan Pasal 23 ayat (5) pada Peraturan Presiden nomor 16 tahun 2018 tentang Pengadaan barang/Jasa Pemerintah sehingga risiko fraud Pengadaan dapat dihindari sedini mungkin. 

Demikianlah kiranya artikel penghantar ini disampaikan, kami selalu berharap kiranya pembaca setia media kami ini tetap terhubung dan berdiskusi serta menyampaikan berbagai tantangan/hambatan dalam implementasi Kebijakan Pengadaan Indonesia. Sebagai Ahli Kebijakan Pengadaan maupun Perusahaan Konsultan profesional, besar harapan agar dapat membantu Kaum Profesional Pengadaan maupun institusi K/L/PD, BUMN/D dan Perusahaan/Investor sehingga Prinsip Akuntabel terhadap Peraturan Perundang-undangan di Negara Republik Indonesia dapat diimplementasikan. Mohon maaf sebelumnya apabila ada hal-hal yang kurang berkenan. Terimakasih.



14 April 2023

TEKNIK PEMETAAN KEBIJAKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA

    Apa jadinya jika suatu Penelitian Eksplorasi Bumi tidak dapat kita visualisasikan kedalam peta? kami rasa Metodologi peneliti dalam membuat kajian akan mirip Metodologi  Vasco Da Gama yaitu sebatas meneruskan perjalanan Bartolomeu Dias mengikuti pinggiran pantai menembus Afrika hingga akhirnya sampai di Calicut, India (1498) atau Hasil Penelitiannya mirip Christopher Columbus yang semula berencana menemukan Benua Asia tapi ternyata yang ditemukan malah Benua Amerika. Keduanya tentu dianggap berhasil dari sudut pandang ukuran saat itu karena belum ada Peta Dunia, Novelty mereka beserta penjelajah setelahnya justru terletak pada Pemetaan Peneliti yang dihasilan. Kita patut bersyukur berkat teknologi Satelit, Peta Bumi yang dihasilkan mereka saat ini semakin presisi dan sempurna. 

    Lantas bagaimana dengan Penelitian Kebijakan khususnya Peraturan Perundang-Undangan (PPU) di Indonesia? saat ini tercatat 198.624 jenis PPU yang sudah dikeluarkan, sudahkah para stakeholder memiliki Peta Kebijakannya? adalah suatu keberuntungan di zaman digital ini Scientometric telah berkembang pesat. Jurnal, Buku, Undang-Undang dan sebagainya sudah dapat disajikan dalam bentuk Metada, lalu informasi tersebut dipetakan oleh VOSviewer memakai analisis Bibliometrik co-Author dan co-Occurrence terhadap Judul, Abstrak, Pengarang ataupun keyword. Namun sangat disayangkan Metadata PPU diseluruh dunia belum bisa diolah otomatis secara sempurna oleh Aplikasi Mendeley, hal ini karena Format Standar setiap PPU diseluruh Dunia tidaklah sama, bahkan untuk kasus Indonesia, setiap jenis PPU juga memiliki standar yang berbeda mengakibatkan Mendeley salah membaca Metadata dokumen PPU di Indonesia, untuk kasus ini terpaksa Metadata diperbaiki secara manual pada fitur entry manual.

    Metadata PPU yang dihasilkan dapat disetarakan dengan metadata Jurnal dan dapat dianalisis secara Bibliometrik. Dengan Prinsip dan pola yang sama pada pemetaan Jurnal oleh VOSViewer maka pemetaan Kebijakan juga dapat dapat kita lakukan, perbedaannya adalah bahwa pada pada Jurnal informasi Metadata yang dipakai sangat beragam seperti Title, Abstrak, Author dan Keyword namun untuk  PPU kita cukup menggunakan Judul yang disetarakan dengan Title, Dasar Hukum yang disetarakan dengan Author dan Ketentuan Umum yang disetarakan dengan Keyword.    

Kami telah berhasil mengembangakan suatu teknik pembuatan Metadata dari PPU Negara Indonesia memakai Aplikasi Mendeley, selanjutnya metadata tersebut diekspor ke file berbentuk Research Information System (RIS) yang kemudian diolah VOSviewer menghasilkan Pemetaan Kebijakan

    Artikel Penelitian ini telah disetujui para pakar di Social Science Research Network (SSRN) yaitu platform terkemuka untuk penyebaran cepat penelitian ilmiah di bidang ilmu sosial dan humaniora. SSRN menyediakan tempat penyimpanan tempat peneliti dapat mengunggah dan membagikan kertas kerja, pracetak, dan makalah yang diterbitkan. SSRN juga menyediakan berbagai alat bagi peneliti untuk melacak unduhan, kutipan, dan metrik lain yang terkait dengan makalah mereka. Selain makalah penelitian, SSRN juga menyelenggarakan eJournal, yaitu kumpulan makalah yang disusun berdasarkan topik atau disiplin ilmu tertentu. eJournals ini memberi para peneliti cara yang nyaman untuk terus mengikuti perkembangan terbaru di bidang minat mereka. Secara keseluruhan, SSRN berfungsi sebagai sumber yang berharga bagi para peneliti, akademisi, dan mahasiswa untuk mengakses dan berbagi penelitian ilmiah dalam ilmu sosial dan humaniora. SSRN merupakan salah satu brand dari sekian banyak yang dikelola oleh Elsevier, brand lainnya yang sangat terkenal adalah seperti Scopus dan takkala penting adalah Mendeley karena tools ini merupakan alat utama dalam pengembangan teknik ini. 

    Sekarang makalah ini telah diposting sebagai pracetak SSRN yang dapat diakses di https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=4414479 atau http://dx.doi.org/10.2139/ssrn.4414479, hasil pemetaannya sangat luar biasa sebagaimana ditampilkan pada gambar 1 dan 2 berikut:

Gambar 1. Peta Kebijakan sebanyak 122 jenis PPU bertemakan PBJ.


Gambar 2. Peta Materi Muatan dari 122 PPU bertemakan Kebijakan PBJ.

    Generasi Kita saat ini sangat diuntungkan dengan meningkat pesatnya  Scientometric sehingga sangat membantu aplikasi Mendeley dan VOSviewer, dengan analisis kuantitatif dari metadata Jurnal, Buku dan Dokumen Legal saat ini bisa dihasilkan Pemetaan yang luar biasa yang menggambarkan informasi satu terhadap Informasi lainnya. Adapun kegunaan Peta Kebijakan yang dihasilkan memberikan informasi sebagai berikut:

1.Seluruh Nama PPU yang saling terkait pada bidang kebijakan tertentu, bermanfaat dalam memberikan:
a.PPU Network.
b.Kekuatan hubungan antar PPU.
c.Pengelompokan (Clustering) PPU.
d.Peta Jalan yang menghubungkan ke PPU bidang lain.  
2. Seluruh Muatan Materi yang dikandung dalam PPU yang saling terkait pada bidang kebijakan tertentu, informasi ini bermanfaat dalam memberikan:
a.Materi Muatan yang diatur PPU.
b.Adanya Tumpang Tindih (density) Materi Muatan.
c.Pengelompokan (Clustering) Materi Muatan.
d.Peramalan Kebijakan.

Mari para
Ahli Kebijakan, Ahli Hukum, Peneliti dan Pengambil keputusan di Indonesia, mari bergabung dalam Policy Mapping Movement dalam segala bidang kebijakan di Indonesia. 
Tercatat baru 122 Kebijakan PPU yang terpetakan dari sebanyak 2.744 PPU bertemakan PBJ dan dari 198.624 PPU seluruh tema kebijakan di Indonesia. 
Kami siap membantu membuatkan Policy Mapping untuk Penelitian Tesis dan Disertasi secara gratis dengan syarat ditayangkan di Jurnal terindeks bereputasi internasional. 

Salam Kebijakan.


Informasi Tambahan.

Artikel terkait teknik ini telah kami daftarkan Hak Ciptanya di Negara Republik Indonesia melalui Kementerian Hukum & Hak Asasi Manusia dengan nomor EC00202330099 sesuai sertifikat pada gambar dibawah.



18 Februari 2023

SWAKELOLA, MENGHAMBAT UMK MASUK PASAR BELANJA NEGARA!

——————————   ◆   ——————————

1. PENDAHULUAN                                                                     
Pengadaan Barang/Jasa (PBJ) Pemerintah adalah kegiatan Pengadaan Barang/Jasa oleh Kementerian/Lembaga/ Perangkat Daerah (K/L/PD) yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang prosesnya sejak identifikasi kebutuhan, sampai dengan serah terima hasil pekerjaan yang terdiri dari belanja Barang/Jasa (Barjas) serta Belanja Modal. Kebijakan Pengadaan di Indonesia saat ini diatur oleh Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2021 tentang Perubahan Peraturan Presiden Nomor 16 tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perpres 16/18'). Pengadaan Barang/Jasa dalam Perpres ini meliputi: Barang; Pekerjaan Konstruksi; Jasa Konsultansi; dan Jasa Lainnya. 

PBJ sendiri dilaksanakan dengan dua cara yaitu Swakelola; dan/atau Penyedia. Swakelola adalah cara memperoleh barjas yang dikerjakan sendiri oleh K/L/PD, K/L/PD lain, organisasi masyarakat (Ormas), atau kelompok masyarakat (Pokmas) sedangkan Penyedia adalah badan usaha atau perseorangan yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu yang menyediakan barjas berdasarkan kontrak.

Penelitian ini dilakukan dalam rangka menjawab keluhan Penyedia golongan Usaha Mikro Kecil (UMK). Mereka mempertanyakan maraknya Pengadaan yang dibiayai oleh Belanja Negara/Daerah yang dilakukan tanpa diketahui publik secara meluas, pengadaan ini juga dilaksanakan tanpa melalui Proses Tender karena langsung dikerjakan oleh Aparat Sipil Negara (ASN), Ormas dan Pokmas. Pengadaan tersebut antara lain pekerjaan pembangunan, rehab maupun  pemeliharaan gedung, pengadaan pakaian, tenaga cleaning services/keamanan dan lainnya. Terjadi kecemburuan sosial dan Ekonomi antara UMK yang merupakan Badan Usaha yang mengeluarkan modal kerja (Peralatan, Tenaga Kerja dan Perizinan berusaha) terhadap ASN, Ormas dan Pokmas yang bukanlah Badan Usaha sama sekali namun mendapat perhatian khusus dari Negara dengan porsi yang sangat besar. Kecemburuan tersebut diperparah Pandemi Covid-19 yang membuat ekonomi UMK semakin terpuruk karena sektor Swasta harapan terakhir pengguna barang/jasa-nya ternyata berhenti total, disisi lain alokasi Belanja Negara/Daerah untuk porsi Penyedia ternyata juga banyak yang stop maupun dialihkan ke Penanganan Covid. Dengan kajian ini, besar harapan dapat memberikan jawaban atas permasalahan yang dialami mereka.

Berdasarkan Laporan Kinerja Pelaksanaan PBJ K/L/PD tahun 2022 data end year 2022 (https://monev.lkpp.go.id/flipbookkl/) yang dikeluarkan oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), total Rencana Umum Pengadaan (RUP) Belanja Barang/Jasa Pemerintah tahun 2022 yang diumumkan di Sistem RUP  sebesar Rp. 1.204,97 Triliun (T). Dari Total RUP barjas tersebut, Rp. 410,37 T(34,10%) direncanakan dikerjakan melalui swakelola murni tanpa penyedia dan selebihnya dikerjakan melalui Penyedia Rp. 794,6  T (65,9%). Dari total alokasi penyedia, hanya Rp. 181,25 T (22,8%) diperuntukkan bagi UMK. Berdasarkan olahan data dari Overview RUP 2022 LKPP (https://lookerstudio.google.com/embed/u/0/reporting/4482ff4e-f62b-4454-98eb-7ebae94e3401/page/IjAmC), total jumlah paket dialokasikan untuk Swakelola adalah sebanyak 1.790.215 (35,8%)  dengan rata-rata nominal per paket swakelola adalah sebesar Rp. 229.229.450,-(diolah).

Berdasarkan Undang-Undang nomor 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, KecilL, dan Menengah maka ambang batas nilai hasil penjualan tahunan paket pengadaan barang jasa yang bisa dikerjakan UMK adalah paling banyak Rp. 2.500.000.000, -(Dua Milyar Lima Ratus Juta Rupiah), namun oleh Pasal 85 Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja tentang perubahan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, nilai tersebut telah dinaikkan menjadi Rp. 15.000.000.000, -(Lima Belas Milyar Rupiah) yang diberlakukan sejak tanggal 20 November 2020. Rata-rata Nominal Paket Swakelola masih berada dibawah ambang batas nilai hasil penjualan tahunan paket pengadaan barang jasa yang bisa dikerjakan UMK.

Berdasarkan data resmi Rencana Strategis Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah tahun 2020-2024 (https://kemenkopukm.go.id/uploads/laporan/1600168483_RENSTRA%202020-2024%20OK.pdf) bahwa pada tahun 2018 terdapat jumlah UMK sebanyak 64.283.132 Unit (olahan data). Berdasarkan LKPP dalam surat jawaban permohonan Informasi publik nomor 21327/Ses.3/10/2021 bahwa pertanggal 28 September 2021 terdapat sebanyak 429.868 Penyedia yang terdaftar di LPSE. Dengan asumsi bahwa Penyedia seluruhnya adalah UMK maka dapat dikatakan hanya 0,27% saja UMK yang ikut berpartisipasi langsung pada pasar PBJ. Untuk dapat mengikuti kegiatan Pengadaan Pemerintah, setiap penyedia diwajibkan memiliki Akun Elektronik dengan cara mendaftar di LPSE tentunya setelah memenuhi persyaratan dasar seperti Perizinan dan Legalitas badan usaha, tanpa akun LPSE maka UMK hanya dapat berpartisipasi sebagai subpenyedia.

Di level Internasional terdapat Dua Pedoman Pengadaan yaitu World Trade Organization (WTO) dengan pedoman Agreement on Government Procurement (GPA 2012) dan United Nations (UN) dengan pedoman UNCITRAL Model Law on Public Procurement of Goods, Construction and Services (2011). Meskipun begitu, kebijakan PBJ Indonesia sampai saat ini belum meratifikasi satupun pedoman tersebut dan menggunakan Peraturan Presiden sebagai kebijakan tertinggi dalam mengatur PBJ-nya.

Indonesia resmi memperkenalkan Swakelola sebagai Metode/Sistem Pengadaan Barang/Jasa Pemborongan dan Jasa lainnya melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan masih tetap dipakai hingga saat ini, di European Union (EU), Swakelola (In-House) pertama sekali diperkenalkan pada kebijakan Directive 2004/18/EC, namun aturan ini telah dicabut oleh Directive 2014/24/EU dan dinyatakan sebagai pengadaan pengecualian yang dilaksanakan secara sangat ketat.

PBJ di Indonesia yang tunduk kepada Perpres 16/18' dilaksanakan sesuai prinsip Efisien; Efektif; Transparan; Terbuka; Bersaing; Adil; dan Akuntabel. PBJ menurut GPA 2012 hanya berdasarkan prinsip Non-discrimination, Transparency and Procedural fairness. PBJ menurut Model Law (2011) mengacu kepada prinsip Objectivity, Fairness, Participation, Competition, and Integrity. Terkait Swakelola, baik GPA 2012 maupun Model Law (2011) tidak menyarankan dilakukan pada PBJ yang nilainya berada diatas Nilai Ambang Batas namun untuk yang nilainya dibawah ambang batas maka kebijakannya diserahkan kepada negara masing-masing. Sebagai perbandingan, kami mengacu ke Jerman mengingat 90% dari total jumlah PBJ-nya (75% dari total nilai pagu) berada di bawah ambang batas EU (2018), disamping itu Negara ini juga terkenal memiliki sistem pengadaan yang cepat, fleksibel, efisien, dan rendah birokrasi. PBJ yang dibawah Ambang batas EU harus mematuhi kebijakan Unterschwellen-vergabeordnung Edisi 2017. Prinsip mereka adalah Transparansi, Persaingan, non diskriminasi, Perlakuan yang sama, Kepentingan untuk usaha kecil dan menengah, Keberlanjutan dan e-Procurement. Swakelola di Jerman adalah prosedur yang dikecualikan dan pengawasannya sangat ketat yang tidak boleh melanggar prinsip Kepentingan untuk Usaha Kecil dan Menengah, meskipun tidak ada larangan namun pada prakteknya Swakelola hampir mustahil ditemukan. 


Tata cara swakelola di Indonesia diatur Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 3 Tahun 2021 Tentang Pedoman Swakelola (PLKPP 03/21). Swakelola dilaksanakan manakala barjas yang dibutuhkan tidak dapat disediakan atau tidak diminati oleh pelaku usaha atau lebih efektif dan/atau efisien dilakukan oleh Pelaksana Swakelola. Swakelola dapat juga digunakan dalam rangka mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya/kemampuan teknis yang dimiliki pemerintah, barjas yang bersifat rahasia dan mampu dilaksanakan oleh K/L/PD yang bersangkutan, serta dalam rangka peningkatan peran serta/pemberdayaan Ormas dan Pokmas. Swakelola dilaksanakan oleh Penyelenggara Swakelola yang terdiri dari: Tim Persiapan, Tim Pelaksana, dan Tim Pengawas. Untuk Jenis Tipe Swakelola dan penetapan Penyelenggaranya sendiri adalah sebagai berikut:  
a. tipe I yaitu Swakelola yang direncanakan, dilaksanakan, dan diawasi oleh K/L/PD penanggung jawab anggaran; Penyelenggara Swakelola ditetapkan oleh Pengguna Anggaran (PA)/Kuasa Pengguna Anggaran (KPA).
b. tipe II yaitu Swakelola yang direncanakan, dan diawasi oleh K/L/PD penanggung jawab anggaran dan dilaksanakan oleh K/L/PD lain pelaksana Swakelola; Tim Persiapan dan Pengawas ditetapkan oleh PA/KPA, dan Tim Pelaksana ditetapkan oleh K/L/PD pelaksana Swakelola. Tim Pelaksana pada K/L/PD pelaksana Swakelola dapat ditetapkan oleh Pejabat sesuai dengan kewenangan yang dimiliki.
c. tipe III yaitu Swakelola yang direncanakan dan diawasi oleh K/L/PD penanggung jawab anggaran dan dilaksanakan oleh Ormas pelaksana Swakelola; Tim Persiapan dan Tim Pengawas ditetapkan oleh PA/KPA, dan Tim Pelaksana ditetapkan oleh pimpinan calon pelaksana Swakelola. 
d. tipe IV yaitu Swakelola yang direncanakan oleh K/L/PD penanggung jawab anggaran dan/atau berdasarkan usulan Pokmas, dan dilaksanakan serta diawasi oleh Pokmas pelaksana Swakelola. Tim Persiapan, Tim Pelaksana, dan Tim Pengawas ditetapkan oleh pimpinan Pokmas pelaksana Swakelola. 

Dalam menganalisa Implementasi Kebijakan terkait Swakelola maka kami mencoba mengukur apakah ketujuh prinsip PBJ yang diatur di Perpres 16/18' tidak dilanggar, sebagai pembanding hasil pengukuran maka di bagian akhir kami juga akan menampilkan hasil penelitian yang mendukung kajian kami ini. Pada bagian pembahasan akan dijabarkan pengukuran kepatuhan Swakelola terhadap tujuh prinsip PBJ di Indonesia, sebagai catatan mengingat pada Perpres 16/18' tidak memiliki bagian penjelasan maka definisi setiap prinsip diambil dari Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang meskipun telah dicabut namun masih dianggap valid karena ketentuan tentang prinsip PBJ tidak mengalami perubahan sebagai berikut:
1) Efisien yaitu Harus diusahakan dengan menggunakan dana dan daya yang minimum untuk mencapai kualitas dan sasaran dalam waktu yang ditetapkan atau menggunakan dana yang telah ditetapkan untuk mencapai hasil dan sasaran dengan kualitas yang maksimum. 
2) Efektif yaitu Harus sesuai dengan kebutuhan dan sasaran yang telah ditetapkan serta memberikan manfaat yang sebesar-besarnya. 
3) Transparan yaitu semua ketentuan dan informasi mengenai PBJ bersifat jelas dan dapat diketahui secara luas oleh Penyedia Barjas yang berminat serta oleh masyarakat pada umumnya. 
4) Terbuka, yaitu Pengadaan dapat diikuti oleh semua Penyedia Barjas yang memenuhi persyaratan/kriteria tertentu berdasarkan ketentuan dan prosedur yang jelas. 
5) Bersaing, berarti PBJ harus dilakukan melalui persaingan yang sehat diantara sebanyak mungkin Penyedia Barjas yang setara dan memenuhi persyaratan, sehingga dapat diperoleh Barjas yang ditawarkan secara kompetitif dan tidak ada intervensi yang mengganggu terciptanya mekanisme pasar dalam PBJ. 
6) Adil/tidak diskriminatif, berarti memberikan perlakuan yang sama bagi semua calon Penyedia Barjas dan tidak mengarah untuk memberi keuntungan kepada pihak tertentu, dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional. 
7) Akuntabel yaitu Harus sesuai dengan aturan dan ketentuan yang terkait dengan PBJ sehingga dapat dipertanggungjawabkan.

2. METODE RISET/KAJIAN
Penelitian ini dilakukan dengan Metode Kualitatif yaitu dengan melakukan studi literatur terhadap kebijakan Nasional dan Internasional di bidang Pengadaan. Pendekatan dilakukan dengan Pendekatan Deskriptif Normatif yaitu Norma Kebijakan dideskripsikan lalu dibandingkan terhadap Implementasi di lapangan baik terhadap Peraturan Petunjuk Teknis Pelaksanaan maupun Praktek yang terjadi dilapangan.

3. PEMBAHASAN
Terhadap implementasi tujuh prinsip PBJ pada swakelola di Indonesia, kami menemukan bahwa:
1) Terhadap Prinsip Efisien: Berdasarkan ketentuan Kontrak swakelola pada PLKPP 03/21, ternyata untuk Type I tidak ada Negosiasi harga dan untuk Type II sampai IV dilakukan Negosiasi Harga antara PPK dan Tim Pelaksana. Prosedur Negosiasi yang dilakukan keduanya akan kental bernuansa Korupsi Kolusi Nepotisme karena prosesnya diadakan tertutup, seleksi Tim Pelaksanaanya tidak transparan dan para pihak berada pada kendali satu Pimpinan/berafiliasi. Kehadiran Ormas/Pokmas juga disinyalir atas dasar pertemanan dan hubungan tidak profesional yang cenderung terjadi barter kepentingan. Hal ini sangat berbeda apabila pengadaan tersebut dilakukan melalui penyedia yang melakukan penawaran harga yang sangat kompetitif dan transparan melalui LPSE.
2) Terhadap Prinsip Efektif: Pelaksanaan dan Pengawas berada pada kendali satu Pimpinan/berafiliasi yang berpotensi membuat capaian sasaran kualitas barjas tidak sesuai harapan, hal ini disinyalir menjadi transaksional yang saling menguntungkan akibat tidak efektifnya pengawasan. Berbeda jika dilakukan melalui penyedia karena pengawasannya dilakukan oleh penyedia yang lain.
3) Terhadap Prinsip Transparan: Pada deskripsi transparan jelas menyebutkan kata Penyedia, jadi sedari awal memang PBJ diperuntukkan hanya untuk Penyedia. Swakelola bisa saja menggunakan jasa penyedia namun pelaksanaan PBJ-nya sudah mengacu ke Peraturan LKPP Nomor 12 tahun 2021 tentang Pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah melalui penyedia. 
a. Sebagai masyarakat, ketersediaan Informasi tentang Swakelola ini sangat minim, dengan mengambil penyajian informasi terkait swakelola pada LPSE (gambar 1), terlihat tidak ada informasi Spesifikasi, Kualitas dan Kuantitas barjas yang diadakan, tidak pula tercantum siapa Penyelenggara swakelolanya dan berapa efisiensi harga yang ditawarkannya terhadap Nilai Pagu. 
b. Pada tahun anggaran 2020, dari realisasi Belanja sebesar 390,08 T, terdapat 328,8 T diadakan melalui Penyedia dan sisanya 61,70 T dilakukan secara Swakelola dan hanya 4 T yang dilaporkan di LPSE sedangkan sisanya 57,70 T tidak jelas Informasinya, ini terjadi karena Pimpinan K/L/PD tidak mencatatkan realisasi belanja Swakelolanya di LPSE. Dalam hal ini LKPP hanya mensyaratkan kepada PA/KPA melakukan pencatatan saja namun meskipun hanya begitu tetap laporan pencatatannya tidak Transparan.

Gambar 1. Contoh screenshoot informasi paket 
swakelola yang ditayangkan di LPSE

4) Terhadap Prinsip Terbuka, Bersaing dan Adil: Tidak dapat diukur mengingat 3 prinsip ini sudah pasti tidak terpenuhi karena tidak melibatkan Penyedia.
5) Terhadap Prinsip Akuntabel:
a. Pekerjaan Konstruksi yang dikerjakan secara swakelola bertentangan dengan Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja Pasal 52 tentang perubahan Undang-Undang nomor 02 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi juncto Peraturan Pemerintah Nomor 05 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko juncto Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor 06 tahun 2021 tentang  Standar Kegiatan Usaha dan Produk pada Penyelenggaraan Perizinan berusaha berbasis Risiko sektor PUPR. Seharusnya pekerjaan Konstruksi dikerjakan oleh Badan Usaha yang memiliki Sertifikat Badan Usaha Konstruksi (SBU) karena Jasa Konstruksi merupakan pekerjaan beresiko Menengah Tinggi, dan untuk memperoleh SBU, Menteri mewajibkan pelaksanaanya memiliki Nomor Induk Berusaha dan Sertifikat Keterampilan Kerja Konstruksi. Penyelenggara Swakelola jelas tidak bisa memenuhi perizinan seperti ini dan tindakannya yang mengerjakan pekerjaan konstruksi tanpa memiliki perizinan standar jelas tidak akuntabel.
b. Pemberdayaan UMK pada pasar PBJ belum maksimal sebagaimana yang diperintahkan Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja Pasal 85 tentang perubahan Undang-Undang nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah juncto Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 2021 tentang Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah junto Instruksi Presiden Nomor 2 tahun 2022 tentang Percepatan Peningkatan Penggunaan Produk dalam Negeri dan Produk Usaha Mikro Kecil dan Koperasi dalam rangka menyukseskan Gerakan Nasional Bangga buatan Indonesia pada pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Paket-paket pekerjaan Swakelola rata-rata dibawah Lima Belas Milyar rupiah adalah lahan yang dapat disediakan dan sangat diminati UMK. Belanja Negara/Daerah semestinya berfungsi sebagai perangsang pasar dari produk UMK sehingga Pemberdayaannya haruslah semaksimal mungkin. Dengan memberdayakan ASN/Ormas/Pokmas melalui Swakelola maka secara otomatis akan mengucilkan partisipasi UMK pada penggunaan Dana Publik dan Pelaksanaan PBJ menjadi tidak akuntabel terhadap PPU diatas. Untuk tahun 2022 saja Pemerintah mengalokasikan 415,00 T untuk Swakelola sedangkan UMK hanya 265,19 T. Ratio Swakelola yang 1,65 kali lebih besar dari UMK, ini menandakan bahwa PBJ kita sebenarnya lebih memberdayakan ASN/ormas/pokmas ketimbang UMK, padahal PPU memerintahkan yang diberdayakan semaksimal mungkin harusnya adalah UMK.

Terhadap implementasi prinsip Pengadaan negara lain pada swakelola telah pula diteliti oleh Virginijus Kanapinskas dan kawan-kawan (dkk) pada artikelnya berjudul In-House Procurement exception: threat for sustainable procedure of public procurement? karena Negara Lithuania adalah anggota EU maka sistem PBJ-nya terikat pada Directive 2014/24/EU. Statement mereka menunjukkan bagaimana Swakelola harusnya dijadikan pengecualian dari sistem PBJ serta diawasi secara ketat karena dampaknya terhadap moral hazard dan tidak ekonomis. Mereka menekankan bahwa setiap Penerapan "pengecualian" pada pengadaan publik patut dipertanyakan karena setiap penyimpangan dari aturan umum sering menciptakan prasyarat untuk pelanggaran prinsip pengadaan seperti transparansi, akuntabilitas, keterbukaan, dan kesetaraan hak pemasok. Hal tersebut juga berlaku untuk pengecualian Swakelola karena penggunaannya dapat menimbulkan korupsi, pembelian yang tidak transparan, serta mengancam efisiensi pengadaan dan persaingan yang sehat. Swakelola pada dasarnya menghilangkan persaingan yang merupakan sifat dasar dari Undang-Undang pengadaan publik EU. Kebutuhan dan manfaat persaingan untuk pengadaan publik tidak diragukan lagi karena hanya persaingan yang memungkinkan pemasok untuk meniru kekuatan satu sama lain dan untuk memperebutkan pasar, yang berarti harga barjas yang lebih rendah dan kualitas yang lebih tinggi. Pada dasarnya, hanya persaingan dalam pengadaan publik yang dapat memastikan penggunaan dana publik secara efektif.

4. PENUTUP
Keberadaan Swakelola pada PBJ sejak awal telah melanggar prinsip Transparan, Terbuka, Bersaing dan Adil karena memang prinsip-prinsip ini didesain hanya untuk PBJ melalui Penyedia. Meskipun tetap dipaksakan, pada pelaksanaannya juga masih melanggar prinsip Efisien, Efektif dan Akuntabel sehingga pada akhirnya Swakelola telah melanggar keseluruhan prinsip PBJ. Indonesia tidak seperti negara Jerman yang telah meratifikasi GPA 2012 sehingga para UMK-nya terlindungi bahkan menjadi prioritas sebagai Penyedia pengadaan negaranya.

Pembiaran Swakelola tanpa pengawasan yang ketat akan membuat PA/KPA semakin leluasa menghindari Penyedia karena sesungguhnya prinsip tersebut mengekang PA/KPA dalam "mengendalikan" Anggaran secara makna sempit, dengan memilih Swakelola mereka terbebas dari kewajiban yang mengekang, swakelola justru jalan melegalkan pelanggaran prinsip PBJ seperti tanpa perlu mempertimbangkan asas efisiensi penggunaan Dana Publik yang tentunya berakibat terjadinya pemborosan Belanja Negara/Daerah. 

Sistem Belanja Negara/Daerah yang seharusnya diharapkan sebagai tools pemerataan kesejahteraan ekonomi rasanya tidak berlaku dikalangan UMK. Keberadaan Swakelola di pasar PBJ justru menjadi saingan yang tak seimbang bagi mereka, meskipun para PA/KPA selalu berdalih tidak seperti itu namun dengan kewenangan dan fasilitas yang diberikan negara terbukti telah berhasil menyingkirkan produk UMK, tercatat Partisipasi para UMK terhadap Pasar PBJ sangatlah rendah yaitu hanya 0,27%. Pemerintah seharusnya mengedepankan Pembinaan terhadap Penyedia agar berminat dan tertarik bukan sebaliknya malah menjadi saingan berusaha dalam menyediakan barjas, akibat selanjutnya para penyedia tidak berminat memasuki pasar Belanja Negara/Daerah karena paket yang disediakan sangat sedikit.

REFERENSI
  1. Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. 
  2. Undang-Undang nomor 02 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi.
  3. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. 
  4. Undang-Undang nomor 01 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
  5. Undang-Undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
  6. Peraturan Pemerintah nomor 07 tahun 2021 tentang Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
  7. Peraturan Pemerintah nomor 05 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
  8. Instruksi Presiden nomor 02 tahun 2022 tentang Percepatan Peningkatan Penggunaan Produk dalam Negeri dan Produk Usaha Mikro Kecil dan Koperasi dalam rangka menyukseskan Gerakan Nasional Bangga buatan Indonesia pada pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
  9. Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2021 tentang Perubahan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
  10. Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
  11. Keputusan Presiden Nomor 18 tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
  12. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat nomor 06 tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Produk pada Penyelenggaraan Perizinan berusaha berbasis Risiko sektor PUPR.
  13. Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 03 tahun 2021 Tentang Pedoman Swakelola.
  14. Laporan Kinerja Pelaksanaan Pengadaan Barjas K/L/PD tahun 2020 yang dirilis tanggal 28 Desember 2020.
  15. Laporan Kinerja Pelaksanaan Pengadaan Barjas K/L/PD tahun 2022 yang dirilis tanggal 11 April 2022.
  16. UNCITRAL Model Law on Public Procurement of Goods, Construction and Services (2011).
  17. WTO Agreement on Government Procurement (GPA 2012).
  18. Directive 2014/24/EU of the European Parliament and of The Council of 26 February 2014 on public procurement and repealing Directive 2004/18/EC.
  19. Federal ministry for business and energy, the rules of procedure for the award public supply and service contracts below the EU thresholds (Unterschwellenvergabeordnung - UVgO) – Edition 2017.
  20. Silalahi, B., Rustam, R., Siagian, V., 2021, "Implementation Analysis of Government Procurement Policy to Increase Value for Money", SSRN Indexing., diakses pada 31 Januari 2023 melalui http://dx.doi.org/10.2139/ssrn.3988798.
  21. Ionel PREDA., 2019, "Comparative Analysis of the Characteristics of Public Procurement Systems in Germany, France and Romania. Review of International Comparative Management Volume 20.
  22. Virginijus Kanapinskas, Žydrūnas Plytnikas, Agnė tvaronavičienė., 2014, "in-House Procurement exception: threat for Sustainable Procedure of Public Procurement?" journal of Security and Sustainability Issues ISSN 2029-7017/ISSN 2029-7025 online 2014 Volume 4(2): 147–158 http://dx.doi.org/10.9770/jssi.2014.4.2(4).

Informasi Tambahan:









28 November 2022

UJI MATERIIL Undang-Undang nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan



Update: 
Permohonan ini telah kami cabut secara resmi per tanggal 19 desember 2022 pukul 11:00 dengan beberapa alasan diantaranya "Menyampaikan Saran/kritik kepada Pemerintah dan DPR bahwa ada pemikiran dari rakyat terhadap suatu permasalahan Kebijakan Dasar yang disusun oleh Bapak Pendiri Bangsa kita dalam bentuk UUD 1945, dan pesan dan makna Filosofis keberatan Rakyat dianggap sudah tersampaikan". Pencabutan tersebut telah ditetapkan Mahkamah pada tanggal 31 januari 2023 (https://inforadar.disway.id/amp/649576/permohonan-pencabutan-uji-uu-p3-dikabulkan-mk).

Akhirnya permohonan Uji Materiil kami terhadap Pasal 1 angka 6; Pasal 7 ayat 1; Pasal 13 dan penjelasan Pasal 13 dari Undang-Undang nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah diterima dan akan menghadapi persidangan minggu depan sebagaimana panggilan sidang berikut:


    
    Sejak memulai penyusunan permohonan sampai mendapatkan Akta Pengajuan Permohonan hingga akhirnya mendapatkan panggilan sidang memang sudah terasa kelas Pelayanan Publik Mahkamah Konstitusi melebihi standar, tak salah kalo Lembaga ini sangat memperhatikan Hak/Kewenangan Konstitusi Masyarakat pencari keadilan. Sistem Pelayanan Berbasis Elektronik, pelayanan cepat, tersedia Kantor Pos yang melakukan leges gratis, parkiran gratis, dan terpenting security/pegawai bermental melayani. Semoga Hak hak Konstitusional Masyarakat tetap Prioritas utama di Lembaga ini.
    
    Kata orang, Hakim memutuskan perkara berdasarkan keyakinan, dan semoga keyakinan kami sama yaitu :
  1. UUD 45 hanya menyebutkan Ketetapan MPR, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah sebagai sumber hukum konstitusional kita.
  2. Jikapun ada peraturan lain seperti Peraturan Presiden, Peraturan Kementerian/Lembaga, Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota maka peraturan itu harus memiliki hubungan langsung dan jelas diperintahkan oleh salah satu sumber hukum konstitusional diatas.
  3. Kekuasaan Pembentukan Perundang-Undangan merupakan hak/kewajiban konstitusional bersama antara Presiden dan DPR, dengan begitu segala peraturan selain bersumber dari hukum konstitusional kita maka dapat dikatakan tidak sah dan tidak berkekuatan hukum yang mengikat.
  4. Dalam hal pembentukan Peraturan Presiden, maka apabila bukan dibentuk atas dasar hukum dan perintah yang jelas dari Undang-Undang dan atau Peraturan Pemerintah maka dapat dikatakan Peraturan Presiden tersebut dibentuk :
    • oleh Presiden diluar hak/kewenangan konstitusi yang dimilikinya.
    • tanpa Persetujuan DPR.
    • tidak bersumber dari UUD 45
tentunya keyakinan itu bukanlah muncul tanpa Alasan, Bukti dan Dasar Hukum dan semoga teman-teman pembaca memiliki keyakinan yang sama juga setelah membaca permohonan kami, untuk itu kami sampaikan isi permohonan kami selengkapnya:


Kepada yang terhormat,
    Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia 
    Jl. Medan Merdeka Barat No. 6
    Jakarta Pusat 10110



PERMOHONAN UJI MATERIIL 
Undang-Undang nomor 12 tahun 2011 
tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan


Dengan hormat,

Kami yang bertanda tangan dibawah ini, bermaksud mengajukan permohonan pengujian Materiil yang berkenaan dengan Materi muatan dalam Pasal 1 angka 6; Pasal 7 ayat 1; Pasal 13 dan penjelasan Pasal 13 dari Undang-Undang nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut UU 12/11) (bukti P-1) yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 45) (bukti P-2).

Adapun kami para pemohon sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1 pasal 4 pada Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (selanjutnya disebut PMK 02/21) yang menganggap Hak Konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya UU 12/11 adalah sebagai berikut:

a. 
Nama : Bonatua Silalahi
N.I.K : xxxxxxxxxxxxxx
Pekerjaan : Mahasiswa Program Doktor (S-3) Kebijakan Publik.
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat Rumah : xxxxxxxxxxxxxxx
Alamat Email : Bonatua.766hi@gmail.com
Sebagai orang perorangan warga negara Indonesia----------------------Pemohon I;

b. 
Nama : xxxxxxxxxxxxxxxxx
N.P.W.P : xxxxxxxxxxxxxxx
Bidang Usaha : Konsultan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
AlamatKantor : xxxxxxxxxxxxxxxx
Alamat Email : xxxxxxxxxxxx@gmail.com
Sebagai orang badan hukum Privat--------------------------------------- Pemohon II

Adapun Hak Konstitusional Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya UU 12/11 sebagaimana yang dimaksud pada ayat 2 pasal 4 pada PMK 02/21 adalah kami jabarkan sebagai berikut:

A. Ada hak konstitusional pemohon yang diberikan UUD 45.

1) Bahwa Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 berbunyi: Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.


B. 
Hak dirugikan oleh berlakunya UU 12/11 yang dimohonkan pengujian.

2) Bahwa para pemohon merasa dirugikan atas berlakunya UU12/11 khusunya Pasal 1 angka 6; Pasal 7 ayat 1; Pasal 13 dan penjelasan Pasal 13. Kerugian tersebut adalah tidak diperolehnya kepastian hukum yang adil atas berlakunya Peraturan Presiden yang bukan merupakan salah satu dari jenis Peraturan yang disebut didalam UUD 45.


C. Kerugian konstitusional bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.

C.1. Bersifat spesifik (khusus) dan Aktual

a. Pemohon I.

3)  Bahwa Pemohon I adalah penyandang gelar Master Ekonomi Konsentrasi Kebijakan Publik berijazah (bukti P-12) dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Trisakti.

4) Bahwa pemohon I dalam meraih gelar tersebut telah melakukan Penelitian dalam bentuk Tesis (bukti P-9) yang berfokus pada Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (selanjutnya disebut PBJ).

5) Bahwa saat ini Pemohon I sedang menjalani Studi Pendidikan Doktor (S-3) Kebijakan Publik di Fakultas Ilmu Ekonomi dan Bisnis Program Studi Universitas Trisakti dengan Nomor Induk Mahasiswa (NIM) 221022106004 (bukti P-8) dan telah melakukan sidang kolokium yang tetap konsisten melakukan penelitian dalam bentuk Disertasi yang berfokus tetap pada Kebijakan PBJ.

6) Menurut buku HANDBOOK of PUBLIC POLICY yang diedit oleh B.GUYPETERS and JON PIERRE, menyebutkan bahwa Konstitusi adalah hukum dasar yang menetapkan 'aturan main' untuk proses politik. UUD 45 adalah hukum dasar untuk menetapkan aturan main bagaimana Proses Politik antara Dewan Perwakilan Rakyat (selanjutnya disebut DPR) dan Pemerintah khususnya dalam kerjasama membuat Peraturan Perundang-Undangan (selanjutnya disebut PPU).

7)  Bahwa pada saat menjalani penelitian (Tesis dan Disertasi) terkait Kebijakan PBJ, pemohon I menemukan fakta bahwa jenis hierarki PPU paling tinggi dibidang PBJ adalah Jenis Peraturan Presiden (selanjutnya disebut PS) yaitu PS Nomor 16 Tahun 2018 tentang PBJ (selanjutnya disebut PS 16/18) (bukti P-4).

8)  Bahwa menurut kajian Pemohon I, pertimbangan pembentukan PS 16/18 bukanlah untuk menjalankan perintah PPU yang lebih tinggi sebagaimana yang diatur pada Pasal 1 angka 6 dan Pasal 13 UU 12/11 dengan alasan sebagai berikut:

  1. a)  Pada bagian Menimbang PS 16/18 sama sekali tidak menyatakan bahwa aturan tersebut dibentuk atas pelaksanaan PPU yang lebih tinggi.

  2. b)  Pada bagian Mengingat, PS16/18 menyebutkan Undang-Undang Nomor 01 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (selanjutnya disebut UU 01/04) (bukti P-5) dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (selanjutnya disebut UU 30/14) (bukti P-6) sebagai Dasar hukumnya, pada kedua UU tersebut ditemukan fakta bahwa:

    • UU 01/04 hanya mengandung 1 frasa/kalimat yang materi muatannya terkait PBJ yaitu pada pasal 16 ayat 4 berbunyi "Penerimaan berupa komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh negara/daerah adalah hak negara/daerah". Begitu pula pada Peraturan Pemerintah (selanjutnya disebut PP) sebagai aturan pelaksana/turunan, pemohon sama sekali tidak menemukan aturan yang memuat materi PBJ maupun adanya perintah pembentukan PS untuk mengatur PBJ.

    • UU 30/14 sama sekali tidak menyebutkan adanya frasa/kalimat yang mengatur materi terkait PBJ.

9)  Bahwa pertimbangan pembentukan PS 16/18 patut diduga dibentuk dalam rangka menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan sebagaimana yang diatur pada Pasal 1 angka 6 dan Pasal 13 UU 12/11 namun tidak dapat dipastikan kekuasaan yang mana dari sekian banyak (11 jenis) kekuasaan pemerintah yang diatur pada BAB III UUD 45. 

10) Bahwa Pemohon I juga menyimpulkan berdasarkan kajian yaitu:
  1. a)  Lingkup pengaturan PBJ yang diatur pada PS 16/18 sangatlah luas sebagaimana yang dimaksud Pasal 1 angka 1 PS/16 berbunyi: Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut Pengadaan Barang/Jasa adalah kegiatan Pengadaan Barang/Jasa oleh Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan Belanja Negara (selanjutnya disebut APBN)/Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (selanjutnya disebut APBD) yang prosesnya sejak identifikasi kebutuhan, sampai dengan serah terima hasil pekerjaan.

  2. b)  Pengaturan PBJ yang dibiayai APBN oleh PS mengakibatkan adanya Intervensi Kebijakan yang dilakukan oleh Presiden terhadap pemegang Kekuasaan Negara lainya (Eksekutif, Legislatif, Yudikatif & Eksaminatif) yaitu Majelis Permusyaratan Rakyat (selanjutnya disebut MPR), DPR, Mahkamah Agung (selanjutnya disebut M.A), Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut M.K) dan Badan Pemeriksa Keuangan (selanjutnya disebut BPK). Secara Aktual, seluruh lembaga tersebut telah menyelenggarakan PBJ berpedoman pada PS 16/18.

  3. c)  Pengaturan PBJ yang dibiayai APBD oleh PS mengakibatkan adanya Intervensi Kebijakan yang dilakukan oleh Presiden terhadap Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut PEMDA) yang memiliki hak/kewenangan konstitusi menetapkan Peraturan Daerah (selanjutnya disebut PERDA) dan peraturan- peraturan lain dalam melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Secara Aktual, seluruh PEMDA saat ini telah melaksanakan PS 16/18 meskipun penyelenggaraannya dalam rangka pelaksanaan otonomi dan tugas perbantuan.

  4. d)  Ketidakjelasan penerapan pengaturan materi muatan yang dapat diatur PS juga telah menimbulkan multi tafsir terhadap Undang-Undang (selanjutnya disebut UU) yang materi muatannya telah disetujui DPR seperti:

    • Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang PEMDA dimana seharusnya Daerah memiliki Hak Konstitusi mengatur keuangan daerahnya sendiri termasuk tata cara belanja Modal maupun belanja barang/jasa sebagai urusan yang bersifat otonom sebagaimana diatur pada pasal 18 ayat 6 UUD 45.
    • Undang-Undang nomor 02 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (selanjutnya disebut UU 02/17) yang mana seharusnya Ketentuan Pengadaan Jasa Konstruksi diatur dalam bentuk PP yang merupakan aturan pelaksanaanya.
    • Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang mana Badan Usaha Milik Negara (selanjutnya disebut BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (selanjutnya disebut BUMD) selaku usaha yang modalnya bersumber dari kekayaan Negara seharusnya aturan PBJ-nya mengikuti PS 16/18, pada Aktualnya mereka mengacu pada aturan sendiri.
11)Bahwa sebagai Peneliti, Pemohon I mengalami kebingungan menguraikan benang merah keterkaitan PS 16/18 (khususnya yang dibentuk dalam rangka untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan) terhadap UUD 45.
b. Pemohon II

12)Bahwa Pemohon II adalah Badan Usaha berbadan Hukum yang kegiatannya memberikan Jasa Nasehat (konsultan) terkait penyelenggaraan PBJ pada Kementerian, Lembaga, Pemerintah Daerah, BUMN dan BUMD.

13) Bahwa dalam pemberian nasehat kepada klien-nya, Pemohon II sering dihadapkan dengan multi tafsir kebijakan atas keberadaan PS 16/18 antara lain:

  1. PBJ didaerah memiliki standar ganda dimana sebagian mengacu ke PS 16/18 dan sebagian lagi mengacu ke PERDA-nya, bahkan ada beberapa daerah yang membuat PERDA khusus terkait PBJ meskipun isinya hanya suatu pernyataan bahwa kebijakan PBJ didaerah tersebut berpedoman kepada PS 16/18.

  2. PBJ konstruksi mengalami 2(dua) polarisasi pedoman pelaksanaan PBJ, dimana ada yang mengacu ke Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah nomor 09 tahun 2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Melalui Penyedia sebagai turunan PS 16/18 namun ada juga yang mengacu kepada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat nomor 14 tahun 2020 tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi Melalui Penyedia sebagai pelaksanaan UU 02/17.

  3. Kebijakan PBJ di BUMN/BUMD, anak BUMN/BUMD maupun teravialiasi BUMN/BUMD juga menjadi sangat bervariasi, dimulai dari perusahaan membuat kebijakan sendiri, mengikuti kebijakan menteri BUMN, mengikuti PS 16/18 beserta turunannya sampai hanya mengikuti PS 16/18 namun tidak mengikuti Peraturan turunannya.

14)  Bahwa multitafsir yang disebut pada angka 13) diatas sering dipakai sepihak oleh Badan Publik, Pengguna Anggaran, Pejabat Pembuat Komitmen, Pejabat Pengadaan dan Kelompok kerja pemilihan dengan mengambil tafsiran yang menguntungkan pihaknya dan merugikan pihak lain termasuk para klien pemohon II. Kondisi ini sangat berpotensi terjadi transaksi kepentingan agar dapat memperkaya diri sendiri dan orang lain.

15)  Sebagai kelanjutannya, pihak II pada akhirnya dirugikan secara bisnis seperti tidak mendapatkan pembayaran yang sesuai karena hasil pekerjaannya tidak maksimal akibat kualitas nasehat yang diberikan penuh ketidakpastian.

16)  Pemohon II secara spesifik mengalami kerugian tidak terdapatnya kepastian hukum akibat multitafsir pada Jasa Nasehat PBJ dan terjadi secara aktual sampai saat ini.

C.2. Kerugian bersifat Potensial

17)Bahwa ketidakjelasan pembentukan PS akan bisa berpotensi terjadinya intervensi bahkan barter kekuasan antara Kekuasaan Pemerintah terhadap kekuasaan lainnya, dalam hal ini pemohon mencontohkan potensi kerugian yang dimaksud terhadap pembentukan PS 16/18 sebagai berikut:
    a) Melalui PS 16/18 maka Pemerintah Pusat akan bermain di eksekusi Anggaran Belanja Barang/Jasa di Lembaga MPR, DPR, BPK, M.A & M.K dengan cara membuat aturan sedemikian rupa sehingga pelaksanaan PBJ menjadi tidak value for money (ekonomis, efektif, efisien). Barter kekuasan akan terjadi dalam bentuk kompensasi anggaran dengan cara melonggarkan/mengetatkan kebijakan tata cara PBJ sehingga masing-masing kepentingan tercapai. Dalam hal ini bisa saja DPR tidak mempermasalahkan isi Materi PS walaupun sebenarnya tidak layak disetujui karena UU pembentuknya belum ada atau bahkan bertentangan dengan UU yang telah disetujui bersama, sepanjang barter kepentingan berlangsung maka ketertiban dan kepastian materi menjadi bukan hal yang penting. Kekuasaan Pemerintah dalam membentuk PS bisa disetting sehingga tata cara PBJ nya menjadi rentang pelanggaran, minim pengawasan bahkan hanya pencatatan saja, setidaknya menurut kami settingan ini sudah terjadi seperti Pelaksanaan Swakelola yang dibolehkan cukup transparansi dengan hanya pencatatan saja atapun menutup informasi dokumen penawaran pemenang tender sebagai Informasi yang dikecualikan.
    b)  PEMDA juga tidak bisa menjalankan Hak Konstitusi dalam menjalankan kekuasaan Otonomi Daerah-nya mengingat PS 16/18 turut melakukan intervensi mengatur PBJ yang bersumber dari APBD. Kekuasaan mengelola anggaran sendiri adalah salah satu hak otonomi daerah sebagai wujud desentralisasi fiskal, kami berpandangan Presiden tidak berwenang mengatur urusan-urusan yang telah diserahkan ke daerah.
    c)  Materi PS 16/18 sering menjadi bahan bongkar pasang, terbukti sejak dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sampai yang berlaku saat ini yaitu Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, tercatat sudah 16 kali perubahan dan jika dirata-ratakan 0,88 kali perubahan setiap tahunnya. Sangat gampangnya merubah Materi muatan mengindikasikan dasar hukum pembentukannya tidak kuat karena memang bukan dibentuk atas dasar materi pada UU yang disepakati DPR dan terkesan tidak ada kontrol. Akibat lebih lanjut anggaran yang dikeluarkan dalam Pembentukan PS 16/18 tidak efektif dan efisien seperti biaya serap pendapat, biaya penyusunan naskah akademik, akomodasi rapat dan sebagainya, belum lagi anggaran untuk sosialisasi perubahan aturan, pembentukan dan sosialisasi aturan turunan. Khusus untuk perubahan tertentu ternyata diperlukan adanya pelatihan karena melibatkan pedoman tata cara penggunaan aplikasi seperti Sistim Pengadaan Secara Elektronik (SPSE).


18) Bahwa pembentukan PS bisa menjadi celah bagi Presiden untuk mengatur materi muatan tertentu tanpa perlu mendapat persetujuan DPR. Dengan diakuinya PS sebagai salah satu PPU maka pembentukan dan materi muatannya akan mengacu ke UU 12/11 dan dengan dalil/alasan:

  1. untuk menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan dan atau
  2. mengatur materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan dan atau
  3. untuk menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut perintah UU atau PP secara tidak tegas diperintahkan pembentukannya.
Maka Presiden dengan kekuasaanya yang dibatasi UUD 45 akan dapat membuat PS yang materi muatannya tanpa melalui persetujuan DPR dan dasar pembentukannya memakai metode cocokologi terhadap beberapa UU/PP yang dianggap bisa memberikan justifikasi menyalurkan kepentingannya.

19) Bahwa setiap kebijakan yang muncul termasuk PS berimplikasi langsung terhadap alokasi anggaran, hal ini berpotensi dan bahkan telah terjadi dimana banyak Lembaga yang dibentuk berdasarkan PS telah membebani APBN. Kedudukan Lembaga tersebut menjadi permasalahan serius terhadap bentuk pengawasan DPR mengingat Lembaga dan materi muatan yang diselenggarakan bukanlah dari UU/PP yang disepakati bersama. Menjadi pertanyaan besar berikutnya bagaimana hak/kewenangan Budgeting lembaga yang tidak memiliki hak/kewenangan konstitusional bahkan tanpa persetujuan DPR melalui UU yang disepakati. Sebagai contoh adalah pembentukan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 106 Tahun 2007.


D. Ada hubungan sebab-akibat antara kerugian konstitusional dan berlakunya UU 12/11 yang 
dimohonkan pengujian.

20)  Bahwa berlakunya UU 12/11 adalah bentuk diskresi proses pembentukan PPU yang diatur oleh UUD 45 yang diberikan DPR kepada Presiden sehingga bisa membuat aturan tanpa secara jelas diperintahkan UU/PP dan dapat dengan bebas memilih UU/PP mana yang dijadikan konsideran maupun dasar hukum pembentukannya.

21)  Diskresi selanjutnya adalah terkait materi muatan, dimana pada aturan PS dapat dibuat tanpa persetujuan DPR dengan dalih materinya untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan tanpa harus ada kejelasan dalam rangka pelaksanaan kekuasaan pemerintah mana yang dimaksud.

22)  Muncul PS yang bukan dibuat berdasarkan konstitusional, maka akibat selanjutnya menimbulkan ketidakpastian akan jenis dan hierarkinya dan menimbulkan multi tafsir tak kala berhadapan dengan PPU lain yang pada akhirnya menimbulkan ketidaktertiban hukum.

23)Bahwa akhirnya berlakunya UU 12/11 tersebut telah menimbulkan kerugian konstitusional para pemohon karena tidak mendapatkan hak/kewajiban berupa kepastian hukum yang adil yang dijamin oleh UUD 45.


    
Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat 2 huruf b PMK 02/21 maka izinkan kami menguraikan secara jelas mengenai hal-hal sebagai berikut:

I. KEWENANGAN M.K.

24)  Bahwa Pasal 24 ayat (2) Perubahan Keempat UUD 1945 menyatakan: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah M.K”.

25)  Bahwa selanjutnya Pasal 24C ayat (1) Perubahan Keempat UUD 1945 menyatakan: “M.K berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang (selanjutnya disebut UU) terhadap Undang-Undang Dasar (selanjutnya disebut UUD), memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum”.

26)  Bahwa berdasarkan ketentuan di atas, M.K mempunyai kewenangan untuk melakukan pengujian UU terhadap UUD 1945 yang juga didasarkan pada Pasal 10 ayat (1) Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang M.K sebagaimana telah diubah terakhirkali oleh Undang-Undang Nomor 07 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU 24/03) (bukti P-3) yang menyatakan: “M.K berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: (a) menguji UU terhadap UUD 45”;

27)  Bahwa Pasal 9 ayat 1 UU 12/11 berbunyi : "Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh M.K." 

28)  Bahwa melalui permohonan ini, para Pemohon mengajukan pengujian Pasal 1 angka 6; Pasal 7; Pasal 13 dan penjelasan Pasal 13 pada UU 12/11 yang ditujukan terhadap UUD 45;

29)  Bahwa secara kelembagaan, M.K memiliki kewenangan melakukan Pengujian dan UU 12/11 juga mengatur bahwa pengujian UU dilakukan oleh M.K.

30)  Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka M.K berwenang untuk memeriksa dan mengadili permohonan a quo;

II. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PARA PEMOHON

31)Bahwa Pasal 51 ayat (1) UU 24/03 yang menyatakan: “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya UU, yaitu:
  1. perorangan WNI,
  2. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI yang diatur dalam UU; (c) badan hukum publik dan privat, atau 
  3. lembaga negara”;
32)Bahwa Putusan M.K Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 11/PUU-V/2007, juga menyebutkan tentang kapasitas Pemohon dalam mengajukan permohonan pengujian UU terhadap UUD, yaitu :
  1. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 45.
  2. bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh para Pemohon
    telah dirugikan oleh suatu UU yang diuji.
  3. bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik atau
    khusus dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran
    yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.
  4. adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dan berlakunya UU yang
    dimohonkan untuk diuji.
  5. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
    kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
33) Bahwa kelima syarat sebagaimana dimaksud di atas dijelaskan lagi oleh M.K melalui Putusan Nomor 27/PUU-VII/2009 dalam pengujian formil Perubahan Kedua UU tentang M.K (halaman 59), yang menyebutkan sebagai berikut: “Dari praktik Mahkamah (2003-2009), perorangan WNI, terutama pembayar pajak (tax payer; vide Putusan Nomor 003/PUU-I/2003) berbagai asosiasi dan NGO/LSM yang concern terhadap suatu UU demi kepentingan publik, badan hukum, Pemerintah daerah, lembaga negara, dan lain-lain, oleh Mahkamah dianggap memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan pengujian, baik formil maupun materiil, UU terhadap UUD 1945 (lihat juga Lee Bridges, dkk. Dalam “Judicial Review in Perspective, 1995).”

34)Bahwa Pemohon I merupakan orang perseorangan warga negara Indonesia yang bernama Bonatua Silalahi, xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx(bukti P-7).

35)Bahwa Pemohon II merupakan orang berbentuk Badan Hukum Private berbentuk Perseroan terbatas (bukti P-10) yang dibentuk pada tahun 2017 dan secara sah pendiriannya berdasarkan Akta Pendirian Perseroan Terbatas oleh Notaris Bliamto Silitonga, S.H., Nomor 2 tahun 2017, dan kemudian mendapatkan Pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM Nomor AHU-0016375.AH.01.01.TAHUN 2017 (bukti P- 11) pada tanggal 6 April 2017.

36)  Bahwa Pemohon II merupakan Badan usaha yang menjalankan usaha dalam bidang jasa pada umumnya yaitu Jasa Konsultan bidang manajemen dan administrasi PBJ. Sehingga Pemohon II haruslah dipandang sebagai perwujudan upaya, baik secara sendiri-sendiri maupun secara kolektif dalam membangun masyarakat, bangsa dan Negaranya dalam penegakan nilai-nilai konstitusionalisme;

37)  Bahwa para Pemohon memiliki kepentingan konstitusional atas diberlakukannya Pasal 1 angka 6; Pasal 7; Pasal 13 dan penjelasan Pasal 13 UU 12/11 karena pemberlakukan ketentuan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dan dapat berpotensi dirugikannya hak konstitusional Pemohon maupun warga negara Indonesia yang telah dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;

38)  Bahwa oleh sebab itu para Pemohon merupakan pihak yang dimaksudkan Pasal 51 ayat (1) huruf (a) UU 24/03, serta seperti yang dimaksudkan huruf c Putusan M.K Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 11/PUU-V/2007, serta Putusan Nomor 27/PUU-VII/2009 telah terpenuhi;


III. ALASAN PEMOHON.

    Adapun alasan Pemohon yang memuat penjelasan mengenai materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian dari UU 12/11 yang diduga bertentangan dengan UUD 45 sebagaimana yang dimaksud pada angka 3 huruf b ayat (2) pasal 10 pada PMK 02/21 adalah sebagi berikut: 

39) Bahwa Pasal 1 ayat (3) UUD 45 menyatakan “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.

40) Bahwa dalam rangka menjadikan Negara Hukum, UUD 45 telah menetapkan 6 (enam) jenis PPU yang diakui secara Konstitusional yaitu:

  1. UUD (pasal 1 ayat 2 UUD 45).
  2. PutusanMajelisPermusyawaratanRakyat(pasal2ayat3UUD45).
  3. UU (pasal 5 ayat 1 UUD 45)
  4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (selanjutnya disebut PPPUU) (Pasal 22 ayat 1 UUD 45)
  5. PP (pasal 5 ayat 2 UUD 45)
  6. PERDA dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan (pasal 18 ayat 6).

41) Bahwa UU 12/11 telah memperkenalkan Jenis baru PPU yaitu "PS" yang terdapat pada:

  1. a)  Pasal 1 angka 6 berbunyi: "PS adalah PPU yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah PPU yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan".
    b)  Pasal 7 ayat 1 berbunyi: "Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
    1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
    2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
    3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
    4. Peraturan Pemerintah;
    5. Peraturan Presiden;
    6. PERDA Provinsi; dan
    7. PERDA Kabupaten/Kota.
  2. c) Pasal 13 berbunyi: Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh UU, materi untuk melaksanakan PP, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.
  3. d) Penjelasan Pasal 13 berbunyi: "PS dibentuk untuk menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut perintah UU atau PP secara tegas maupun tidak tegas diperintahkan pembentukannya".


42)Bahwa selanjutnya pada BAB III UUD 45, terdapat 11 (sebelas) jenis kekuasaan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada pasal 4 ayat (1) UUD 45 adalah meliputi:

  1. membentuk UU dengan persetujuan DPR.
  2. menetapkan PP untuk menjalankan UU sebagaimana mestinya.
  3. memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara.
  4. atas persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
  5. membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan UU harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
  6. menyatakan keadaan bahaya.
  7. mengangkat duta dan konsul.
  8. menerima duta negara lain.
  9. memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan M.A.
  10. memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR.
  11. memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan UU.

43)  Bahwa ayat 6 pasal 18 UUD 45 berbunyi: PEMDA berhak menetapkan PERDA dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

44)  Bahwa UUD 45 sama sekali tidak menyebut jenis PPU yang disebut, diistilahkan atau hal lain yang bermakna seperti "Peraturan Presiden". Hal ini menandakan bahwa PS sama sekali bukanlah PPU yang diatur dalam konstitusi kita dan bisa dipastikan keberadaannya secara langsung bukanlah berdasar pada UUD 45.

45)  Bahwa munculnya Jenis PS sebagai salah satu PPU pada UU 12/11 telah menyebabkan para pemohon tidak mendapatkan hak memperoleh kepastian hukum yang adil mengingat:

  1. a)  Menurut kami PS tidak memiliki kekuatan Hukum mengikat karena Presiden tidak memiliki Hak/kewenangan Konstitusional membentuk PS dimana UUD 45 hanya menentukan 6 (enam) jenis PPU sebagaimana yang disebutkan pada angka 40) diatas.

  2. b)  PS adalah PPU yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan

    1. perintah PPU yang lebih tinggi atau
    2. dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan
  3. sebagaimana yang disebutkan pada angka 41) huruf a), terhadap menjalankan perintah PPU yang lebih tinggi, pemohon menganggap jelas terdapat kepastian hukum mengingat PS tersebut diperintahkan oleh UU yang disetujui oleh DPR atau oleh PP yang dibentuk atas dasar persetujuan oleh DPR pula, namun yang menimbulkan ketidakpastian hukum adalah apabila PS ditetapkan dalam rangka menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan, dalam hal ini tidak ada kepastian kekuasaan mana diantar 11 jenis kekuasaan sebagaimana yang disebut pada angka 42) diatas.

  4. c) Hierarki PS sebagaimana yang disebutkan pada angka 41) huruf b) ternyata kedudukannya dibuat lebih tinggi diatas PERDA, menjadi timbul ketidakpastian hukum yang sangat mendasar mengingat Presiden dalam membentuk PS bukanlah karena Hak/Kewenangan Konstitusinya bersama DPR, sebaliknya PERDA dibentuk oleh PEMDA yang memang bersumber dari Hak/kewenangan konstitusionalnya. Dalam hal ini PS dianggap dibentuk untuk menjalankan dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan sebagaimana disebut pada angka 41) huruf a dan PERDA dibentuk untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan sebagaimana yang dimaksud pada angka 40) huruf f diatas, akan sangat berbeda hierarkinya jikaPS dibentuk atas dasar perintah UU/PP.
  5. d)  Materi muatan Peraturan Presiden sebagaimana disebut pada angka 41) huruf c adalah berisi:
    • materi yang diperintahkan oleh Undang- Undang,
    • materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau
    • materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan
  1. Dalam hal materi muatan pada huruf a dan huruf b diatas, kami memandang masih ada kepastian hukum mengingat materi tersebut telah disetujui Presiden bersama DPR, namun dalam hal materi muatan pada huruf c menjadi timbul ketidakpastian dalam rangka materi muatan mana atau untuk melaksanakan kekuasaan pemerintah yang mana diantara kekuasaan pemerintah yang dimaksud pada angka 42).
  1. e)  Ketidakpastian pada angka 45) huruf d) diatas semakin jelas terjadi mengingat pada penjelasan pasal 13 sebagaimana yang disebut pada angka 41) huruf d yang menyebutkan bahwa PS dibentuk untuk menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut perintah UU atau PP secara

      1. tegas maupun
      2. tidak tegas
  2. diperintahkan pembentukannya.
  3. Terhadap perintah UU atau PP secara "tegas diperintahkan pembentukannya", kami pandang masih mengandung kepastian hukum bahwa PS tersebut dibentuk telah disetujui Presiden bersama DPR, namun dalam hal "tidak tegas diperintahkan pembentukannya" maka sangat mengandung ketidakpastian hukum apakah DPR atas persetujuan pembentukan PS tersebut, dalam hal ini jika Pembentukan PS saja tidak pasti disetujui maka bisa dipastikan "materi muatannya" juga sudah pasti tanpa persetujuan.

46) Seluruh Ketidakpastian yang timbul akibat diberlakunnya UU 12/11 khususnya pasal 1 angka 6, pasal 7 dan pasal 13 beserta penjelasannya nyata telah merugikan hak konstitusional para pemohon dan menjadi alasan agar dilakukan pengujian.


IV. PETITUM.

    Adapun Petitum yang memuat hal-hal yang dimohonkan untuk diputus dalam permohonan pengujian Materiil sebagaimana yang dimaksud pada huruf d ayat (2) pasal 10 pada PMK 02/21 adalah sebagai berikut:

Kami memohon agar kiranya Majelis Hakim Konstitusi yang mulia mengabulkan permohonan kami yaitu:
1). Menyatakan bahwa:
  • frasa pada materi muatan pada pasal 1 angka 6 UU 12/11 yang berbunyi "atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan" dan atau.
  • materi muatan pada huruf e, ayat 1, pasal 7 pada UU 12/11 dan atau
  • Isi Pasal 13 dan penjelasannya
yang dimohonkan pengujian adalah bertentangan dengan UUD 45 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
2). Memerintahkan pemuatan putusan dalam berita Negara Republik Indonesia.
atau dalam hal mahkamah berpendapat lain, mohon Putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).


    V. PENUTUP

    Demikianlah permohonan Uji Material (Judicial Review) ini kami sampaikan, atas perhatian dan kearifan Majelis Hakim yang mulia kami ucapkan terimakasih. 

    POSTINGAN POPULER