Layanan Konsultasi.

Kami dapat memberikan JASA Nasehat Kebijakan terhadap Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan; Pengadaan Barang/Jasa Konstruksi (Perencanaan - Persiapan - Pelaksanaan - Kontrak); dan Pemenangan Tender. Kami juga membantu membuat Kebijakan Perusahaan (Dokumen Tender & Peraturan Direksi terkait Pengadaan). Hubungi bonatua.766hi@gmail.com

Translate

CARI DI BLOG INI

Tampilkan postingan dengan label KAJIAN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label KAJIAN. Tampilkan semua postingan

07 Maret 2022

UMKM pada PBJ (Penandatanganan Surat Edaran bersama Mendagri dan Kepala LKPP)

26 Februari 2022

Pekerjaan Konstruksi tidak boleh dilakukan secara Swakelola


  

    Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja Pasal 52 tentang perubahan Undang-Undang nomor 02 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (UU02/17') telah diterbitkan pertanggal 02 November 2020, terdapat perubahan pasal namun kewajiban memiliki Sertifikat masih tetap dipertahankan yaitu :

  1. Setiap badan usaha yang mengerjakan Jasa Konstruksi (JasKon) wajib memiliki Sertifikat Badan Usaha (SBU) (Pasal 30).
  2. Setiap tenaga kerja konstruksi yang bekerja di bidang Jasa Konstruksi wajib memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja (SKK) (Pasal 70). 
berdasarkan UU02/17', 
  • yang dimaksud dengan JasKon adalah layanan jasa konsultansi konstruksi dan/atau pekerjaan konstruksi, 
  • yang dimaksud SBU adalah tanda bukti pengakuan terhadap klasifikasi dan kualifikasi atas kemampuan badan usaha Jasa Konstruksi termasuk hasil penyetaraan kemampuan badan usaha Jasa Konstruksi asing dan 
  • yang dimaksud dengan SKK adalah proses pemberian sertifikat kompetensi melalui uji kompetensi sesuai dengan standar kompetensi kerja nasional Indonesia, standar internasional, dan/atau standar khusus. 

Perizinan Sektor PUPR selurunya masuk kategori kegiatan berbasis Risiko. Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat  nomor 06 tahun 2021 tentang  Standar Kegiatan Usaha dan Produk pada Penyelenggaraan Perizinan berusaha berbasis Risiko sektor Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PM06/21), seluruh Sub Sektor Jaskon tergolong Risiko Menengah Tinggi dan pelaksanaannya dilakukan oleh pelaku usaha yang  memiliki izin NIB dan Serifikat Standar (SBU/SKK).     

Untuk mendukung cipta kerja diperlukan penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan usaha mikro, & kecil (UMK) dan kesejahteraan pekerja. Terdapat 167.605 perusahaan Konstruksi kelas Kecil (BPS, 2021) dan 1.121.092 orang Pekerja Tetap Perusahaan Konstruksi (BPS, 2018) di Negara kita dan mayoritas bekerja di Jaskon yang diadakan Pemerintah, sebagai data tambahan pada tahun 2021 saja Pemerintah telah menghabiskan 334 T yang tersebar pada 303.606 paket (LKPP, 2022), ini diluar Pekerjaan Konstruksi yang diadakan oleh BUMN dan Pengadaan Barang/Jasa yang dikecualikan, sangat disayangkan baru 51,1 % dari Anggarannya diperuntukkan bagi UMK yang jumlahnya 80% lebih dari total perusahaan konstruksi di Indonesia.

    Dari data diatas tampaknya ini adalah alasan yang sangat tepat mengapa aspek Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PBJ-P) menjadi salah satu yang menyesuaikan terhadap UU Cipta Kerja sehingga Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah pada tanggal 2 Februari 2021 (PS12/21). Sebagaimana kita ketahui, Presiden disini mengatur Pengadaan Barang/Jasa yang meliputi a. Barang; b. Pekerjaan Konstruksi; c. Jasa Konsultansi; dan d. Jasa Lainnya. Pengadaannya sendiri dilaksanakan dengan cara a. Swakelola; dan/atau b. Penyedia. 

    Pada pembahasan kali ini mari kita bahas tentang Swakelola saja khususnya yang diatur pada Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 3 Tahun 2021 Tentang Pedoman Swakelola (PLKPP03/21) yang dikeluarkan pada tanggal 06 Mei 2021.

Apa itu Swakelola ?

Pengadaan Barang/Jasa melalui Swakelola yang selanjutnya disebut Swakelola adalah cara memperoleh barang/jasa yang dikerjakan sendiri oleh Kementerian / Lembaga / Perangkat Daerah (K/L/PD), K/L/PD lain, organisasi kemasyarakatan, atau kelompok masyarakat. 

Apakah Pekerjaan Konstruksi termasuk PBJ Swakelola? yes, sudah pasti menurut PS 12/21 bahkan dipertegas lagi pada PLKPP03/21 yang menyebutkan:

  1. Pembangunan fisik dapat berupa Pekerjaan Konstruksi sederhana yang hanya dapat berbentuk rehabilitasi, renovasi,dan konstruksi sederhana. Konstruksi bangunan baru yang tidak sederhana, dibangun oleh K/L/PD penanggung jawab anggaran untuk selanjutnya diserahkan kepada Kelompok Masyarakat penerima sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
    Contoh: 
      1. Pembangunan/pemeliharaan jalan desa/kampung, 
      2. pembangunan/pemeliharaan saluran irigasi mikro/kecil, 
      3. pengelolaan sampah di permukiman, 
      4. pembangunan sumur resapan, 
      5. pembuatan gapura atau 
      6. pembangunan/peremajaan kebun rakyat. 
Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah 
"apakah K/L/PD, K/L/PD lain, organisasi kemasyarakatan, atau kelompok masyarakat bisa memiliki SBU/SKK".

Sebelum menjawab pertanyaan terakhir ini silahkan dibaca dulu artikel saya berikut (tinggal klik):
Gimana....apakah saudara/i bisa menyimpulkan bahwa tidak mungkin K/L/PD, K/L/PD lain, organisasi kemasyarakatan, atau kelompok masyarakat memiliki SBU/SKK. Kalau menurut saya sih bagaimana mungkin dapat SBU/SKK, memenuhi persyaratan saja tidak ada jalannya......Kalo kita sepakat, lantas apa solusinya om...!!!!!!!!!
Saya sih menyarankan 2 opsi yaitu :
  1. Beberapa Pekerjaan Konstruksi termasuk yang dicontohkan diatas (angka 1 s/d 6) dikategorikan ke Pekerjaan Risiko Menengah Rendah dengan begitu pelaksanaannya cukup memiliki NIB & Sertifikat Standar berupa pernyataan Pelaku Usaha untuk memenuhi standar usaha dalam rangka melakukan kegiatan usaha sesuai pasal 9 ayat 4 Peraturan Pemerintah nomor 05 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (PP05/21). Dengan begitu baik UMK maupun Pengelola Swakelola gampang mengurus/membuat pernyataan terstandar (bisa bentuk sertifikat, pernyataan tertulis dsbg) atau
  2. PS 12/21 harus tunduk ke UU11/21, Pekerjaan konstruksi hanya bisa dikerjakan oleh Penyedia UMK ber NIB & SBU. Selain Hierarki-nya lebih tinggi, tak eloklah Pemerintah berebut lahan pekerjaan dengan UMK, justru sebaliknya mereka harus dilindungi dan dimudahkan sesuai isi BAB V pada PP05/21.
Apapun solusi yang dipilih, menurut saya hanya kedua jawaban tersebut yang memikirkan nasib 167.605 perusahaan Konstruksi kelas UMK dan 1.121.092 orang pekerja konstruksi yang pengurusan SKK-nya mayoritas dibebankan ke perusahaan.


Masih berani mengerjakan Pekerjaan Konstruksi secara Swakelola, ada sanksinya loh....baca sendiri di UU02/17'. 


Salam Kebijakan PBJ



08 Februari 2022

PENYEDIA BARANG/JASA PEMERINTAH

Penyedia adalah Pelaku Usaha yang menyediakan barang/jasa berdasarkan kontrak baik yang menyediakan Barang; Pekerjaan Konstruksi; Jasa Konsultansi; maupun Jasa Lainnya. 

Penyedia memiliki kedudukan setara dengan Pelaku PBJ lainnya yaitu PA; KPA; PPK; Pejabat Pengadaan; Pokja Pemilihan; Agen Pengadaan; dan Penyelenggara  Swakelola sebagaimana yang dimaksud dengan ayat 8 PS 12/21. Bahkan Jumlahnya berdasarkan keterangan LKPP per September 2021 tercatat 429.868 Penyedia (Badan Usaha & perorangan) yang sangat jauh melebihi jumlah PPK (28.350 Orang), Pokja (16.798 Orang), Pejabat Pengadaan (12.796 Orang) dan 7.772 Orang Penyelenggara Swakelola. Berdasarkan laporan RENCANA STRATEGIS KEMENTERIAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH TAHUN 2020 - 2024, jumlah Pelaku Usaha tersebuta adalah:

  1. Usaha Besar, merupakan usaha yang memiliki aset lebih besar dari Rp. 10miliar Rupiah dan omset diatas Rp. 50 miliar (pada tahun 2018 berjumlah 5.550 Unit)
  2. Usaha Menengah, merupakan usaha yang memiliki aset lebih besar dari Rp. 500 juta hingga Rp. 10 miliar dan omset diatas Rp. 2,5 miliar hingga Rp. 5 miliar (pada tahun 2018 berjumlah 60.702 Unit)
  3. Usaha Kecil , merupakan usaha yang memiliki aset lebih besar dari Rp. 50 juta hingga Rp. 500 juta dan omset diatas Rp. 300 juta hingga Rp. 2,5 miliar (pada tahun 2018 berjumlah 783.132 Unit)
  4. Usaha Mikro, merupakan usaha yang memiliki aset maksimum Rp. 50 juta dan omset maksimum sebesar Rp. 300 juta (pada tahun 2018 berjumlah 63.5 juta Unit)
  5. Koperasi Aktif (pada tahun 2019 sebanyak 123.048 unit) 

Namun menurut saya Perananan Penyedia justru yang paling sentral, penting dan strategis mengingat:
  1. Tanpa diragukan lagi, Presiden beserta DPR menjamin Penyedia diberikan kemudahan melalui UU Cipta Kerja. Dengan jumlah yang sangat banyak dan tersebar di Indonesia maka secara politik seharusnya layak diperhatikan.
  2. Secara Regulasi, terdapatnya 109 kata yang menyebut "Penyedia" pada PS 12/21 yang jumlahanya jauh melebihi jumlah penyebutan kata pelaku PBJ lainnya, terdapat 8 aturan turunan PS 12/21 yang mengatur khusus Penyedia jauh melebihi aturan turunan yang mengatur Pelaku PBJ lainnya, terdapat 4 UU yang mengatur kelembagaan Penyedia yaitu UU no. 8/1997 tentang Dokumen Perusahaan; UU 19/2003 tentang BUMN ; UU no. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas dan UU no.20/2008 tentang Usaha Mikro, KecilL, dan Menengah.
  3. Satu-satunya Pelaku PBJ yang membayar Pajak ke Negara: PPN, PPh final, PPh tenaga kerja dll. Kontribusinya nyata dan langsung pada pembangunan.
  4. Semua orang/oknum memiliki cita-cita menjadi Penyedia, termasuk Oknum (PA, KPA, PPK, POKJA, Pengawas, APIP/APID, Pejabat, DPR/DPRD, APH, BPKP, BPK, APH, LSM, Tim Sukses) karena menjadi Penyedia tidak harus punya Badan Usaha alias bisa pinjam bendera, broker fee ataupun barter. 
Meskipun penting namun pada prakteknya Penyedia sering mengalami perlakuan tidak sepantasnya diantaranya dimulai dari tidak transparannya informasi paket-paket PBJ yang akan ditenderkan baik melalui skema APBN/APBN-P dan APBD/APBD-P; diperlakukan tidak adil dan dihalangi bersaing sehat dalam proses Pemilihan Penyedia; dipersulitnya persetujuan material, pembuatan progres, penagihan dan pengurusan BAST; Kerja tak dibayar; diperas Preman dijalanan, bayarin proposal para Ormas, difoto-foto oknum LSM & Media dan dipanggil oknum APH; wajib setor ke oknum Kepala Daerah/DPR/Pejabat bahkan isu terkini sulitnya Pengurusan Perizinan. Paling menyakitkan, Penyedia paling sering dibully terkait Moral Hazards dan Penghuni Neraka....mirip pameo "apapun makanannya, tetap teh botol minumannya", siapapun oknumnya tetap ada disitu Penyedia sebagai partner in-crime, soalnya tanpa penyedia pembayaran tak akan bisa cair 😁 .

Sudah saatnya kita Penyedia bersatu, memperbaiki nasib sendiri, berdiskusi tentang Kebijakan PBJ yang melibatkan Penyedia, saling membantu satu sama lain, bersama memperjuangkan kepentingan & turut membantu Pemerintah mewujudkan kemudahan berusaha.. Secara Politik, Penyedia adalah yang paling berhak mengatur Kebijakan Publik Pengadaan Barang/Jasa di Pemerintahan karena sejatinya tujuan akhir dari Penyelenggaraan PBJ adalah demi kemakmuran para pelaku usaha.

Mari bergabung di Group FB PENYEDIA BARANG/JASA PEMERINTAH , kita obrolin apa saja tentang Penyedia.


Salam Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

02 Februari 2022

Launching Aplikasi Pengaduan Pengadaan Barang dan Jasa Ombudsman RI

Rabu, 2 Februari 2022


JAKARTA - Ombudsman Republik Indonesia menghadirkan kemudahan bagi masyarakat dengan meluncurkan aplikasi pengaduan terkait pengadaan barang dan jasa Pemerintah, pada Rabu (2/2/2022) di Kantor Ombudsman RI, Jalan HR Rasuna Said Jakarta Selatan. Dengan diluncurkannya sistem ini, Ombudsman RI berharap untuk dapat lebih hadir di tengah masyarakat dan mempermudah proses pengaduan.

Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika dalam sambutannya memaparkan, pada tahun 2021 jumlah pengaduan yang diterima Ombudsman terkait pengadaan barang dan jasa sebanyak 118 laporan baik di pusat maupun perwakilan. Dari 118 laporan dimaksud, sebanyak 53 ditindaklanjuti dalam proses pemeriksaan. Sebagian besar melaporkan mengenai tidak diberikan layanan saat menyampaikan keberatan, baik oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) maupun Inspektorat, sebanyak 21 laporan. 

"Kewenangan yang dimiliki Ombudsman harus difungsikan dan dilaksanakan dengan baik dalam Pengadaan Barang dan Jasa mengingat nilai APBN yang terserap pada kegiatan ini cukup besar. Kegiatan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah kerap kali dijadikan momentum untuk mendapatkan keuntungan dengan menyalahgunakan wewenang atas tugas atau jabatan yang berujung pada korupsi," tegas Yeka.

Ia menambahkan, mengingat pentingnya peran Ombudsman dalam rangka menciptakan iklim pegelolaan keuangan negara yang sehat maka diperlukan aplikasi pengaduan atas permasalahan yang timbul pada Pengadaan Barang dan Jasa. "Dengan diluncurkannya aplikasi ini, diharapkan dapat mempercepat laporan atas maladministrasi pada pengadaan barang dan jasa Pemerintah. Ombudsman serius menangani laporan barang dan jasa ini karena potensi kebocoran uang negara ada banyak di sini. Sehingga ke depan keuangan negara dapat lebih hemat," ujar Yeka.



Kepala Keasistenan Utama Pengaduan Masyarakat Ombudsman RI, Patnuaji Agus Indrarto dalam pemaparannya menyampaikan aplikasi pengaduan pengadaan barang dan jasa ini mengusung konsep borderless yaitu dapat diakses kapan saja dan dimana saja yaitu melalui Website Resmi Ombudsman RI submenu Pengaduan, dan melalui aplikasi Radius pada submenu Ombudsman RI sebagai pilot project kolaborasi Ombudsman RI dengan aplikasi non-komersial. "Sistem Pengaduan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah ini akan memudahkan pelapor melalui metode sistem formulir langkah-perlangkah (Wizard Form) yang telah didesain untuk meningkatkan daya komunikasi, kelengkapan data, dan kesesuaian penyampaian aduan," terang Patnuaji.

Setiap aduan yang masih membutuhkan unggahan persyaratan lain seperti data tambahan formiil maupun materiil dapat dikomunikasikan secara sistem melalui email kepada pelapor. "Sehingga diharapkan akan memudahkan proses komunikasi dan pengarsipan dari setiap materi unggahan pelengkap aduan yang disampaikan," tutup Patnuaji.

Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Abdullah Azwar Anas dalam kesempatan yang sama menyampaikan apresiasi atas diluncurkan aplikasi pengaduan pengadaan barang dan jasa oleh Ombudsman RI. 

Anas memaparkan orientasi LKPP adalah memudahkan stakeholder dalam menjalankan atau mengakses belanja pemerintah, terutama memprioritaskan produk dalam negeri dan UMKM-koperasi melalui program E-Katalog dan Toko Daring. "Maret ini 200.000 produk harus naik ke E-Katalog. Toko Daring LKPP bekerja sama dengan 23 market place untuk mendorong pertumbuhan produk dalam negeri dan UMKM," jelasnya.

Selain itu Anas menambahkan, LKPP juga melakukan pengurangan mata rantai proses pengadaan yang panjang. "Kami memotong banyak mata rantai yang panjang. Belum lama ini LKPP bersama Kemendagri bersama KPK melakukan sosialisasi dengan para gubernur, bupati dan walikota. Kita potong mata rantai, dari OSS langsung ke E-Katalog. Sehingga target kami, produk lebih banyak dan mata rantai tahapan dikurangi agar lebih efisien," tutupnya. 

Acara peluncuran aplikasi pengaduan pengadaan barang dan jasa ini juga diisi dengan Diskusi Publik bertema "Pencegahan Maladministrasi dalam Pelayanan Publik Pengadaan Barang dan Jasa" dengan narasumber Deputi Hukum dan Penyelesaian Sanggah LKPP Setya Budi Arijanta, Tenaga Ahli Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) KPK Fridolin Berek, Kepala Biro Manajemen Barang Milik Negara dan Pengadaan Kementerian Keuangan Edy Gunawan dan dimoderatori oleh Ahli Pengadaan, Khalid Mustafa. (*)


Narahubung :

Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika



Catt :

Aplikasi Aduan masih belum tersedia di Google Playstore, saat ini aduan baru bisa dilakukan via website  pada https://ombudsman.go.id/pengaduan . Selamat mencoba.

25 Januari 2022

Ketentuan perizinan Sertifikat Kompetensi Kerja (SKK)

 

    Kembali pembaca, menindaklanjuti artikel saya sebelumnya yang berjudul SBU & SKK dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Tender Konstruksi), setelah menjelaskan Ketentuan perizinan Sertifikat Badan Usaha, maka kali ini coba saya jabarkan Ketentuan perizinan Sertifikat Kompetensi Kerja (SKK). Sebagaimana diterangkan pada artikel sebelumnya, diperoleh kesimpulan bahwa SKK diwajibkan dimiliki oleh Penangung Jawab Teknik Badan Usaha (PJTBU) dan Penanggung Jawab Subklasifikasi Badan Usaha (PJSKBU). Tidak seperti SBU yang sangat banyak Pasal ketentuannya di PP 05/20, untuk SKK hanya diterangkan pada 3 pasal saja yaitu dengan kutipan asli sebagai berikut:

 Pasal 101

(1)  SKK konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 huruf b wajib dimiliki tenaga kerja konstruksi.
(2)  SKK konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan melalui uji kompetensi sesuai dengan standar kompetensi kerja.
(3)  Pelaksanaan uji kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh lembaga sertifikasi profesi bidang konstruksi.
(4)  Sertifikasi SKK konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum melalui sistem informasi jasa konstruksi terintegrasi.
(5)  SKK konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang serta dapat dilakukan perubahan.
(6)  SKK konstruksi yang akan diperpanjang wajib diajukan sebelum habis masa berlakunya.

Pasal 102

    (1)  Pengajuan sertifikasi SBU konstruksi dan SKK konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 dan Pasal 101 dilaksanakan melalui Lembaga OSS.

    (2)  Pengajuan sertifikasi SKK konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kualifikasi KKNI jenjang 1 (satu) sampai dengan 4 (empat) dapat dilakukan melalui asosiasi profesi terakreditasi atau lembaga pendidikan pelatihan kerja.


    (3)  Sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi jenis layanan:

    1. permohonan baru;

    2. perpanjangan; atau

    3. perubahan.

      Pasal 103

      (1) Sertifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (1) dilakukan dengan tahapan:

      1. permohonan;

      2. pembayaran biaya;

      3. verifikasi dan validasi; dan

      4. persetujuan/penolakan permohonan SBU konstruksi.

      (2)  BUJK mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a melalui Lembaga OSS dengan dilengkapi dokumen yang dipersyaratkan.

      (3)  Dokumen yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan kriteria penilaian kelayakan yang telah ditetapkan dalam Pasal 85 ayat (1), sesuai subklasifikasi dan jenis kegiatan usaha.=> pasal 85 bisa dibaca di link berikut https://www.kebijakanpublikpengadaanbarangjasapemerintah.com/2022/01/ketentuan-perizinan-sertifikat-badan.html

      (4)  Pembayaran biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan selambat-lambatnya 7 (tujuh) Hari setelah terbitnya surat tagihan.

      (5)  Pelaksanaan verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan setelah dokumen dinyatakan lengkap dan BUJK melakukan pembayaran biaya.

      (6)  Apabila permohonan disetujui, paling lambat 15 (lima belas) Hari sejak pembayaran diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (4), diterbitkan SBU konstruksi, dan dicatat oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum melalui sistem informasi jasa konstruksi terintegrasi.


      (7)  Apabila permohonan tidak disetujui, BUJK tidak dapat menuntut ganti rugi kepada LSBU.


      Dari pasal-pasal diatas menurut saya terdapat ketidakjelasan ketentuan pada pasal 103, misalnya:

      1. apakah ayat (1) diterapkan juga pada tahapan pengurusan SKK mengingat huruf d pada ayat tersebut hanya menyebutkan SBU  

      2. Pengurusan SKK apakah harus diajukan hanya oleh BUJK ? dan 

      3. Ayat (2) s/d ayat (7) sepertinya bukan untuk SKK namun lebih cocok mengatur ketentuan tentang SBU, lantas untuk SKK bagaimana?

      Disamping itu PP 05/20 ini juga tidak menerangkan pembagian Klasifikasi beserta ruang lingkup keahliannya  dan juga tidak memerintahkan Menteri PUPR melaksanakan ketentuan lebih lanjut akan hal tersebut. Good Newsnya melalui pelaksanaan Peraturan Pemerintah nomor 22 tahun 2020 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang nomor 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (PP 14/20), dikeluarkannya Surat Edaran Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 21/SE/M/2021 tentang Tata Cara Pemenuhan Persyaratan Perizinan Berusaha, Pelaksanaan Sertifikasi Kompetensi Kerja Konstruksi, dan Pemberlakuan Sertifikat Badan Usaha dan Sertifikat Kompetensi Kerja Konstruksi (SE 21/21) yang menjadi jawaban atas ketidakjelasan tersebut diatas.

      Untuk Kualifikasi Tenaga Kerja, SKK mengacu kebijakan Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka KualifikasiNasional Indonesia (PS 08/12). Sedangkan untuk klasifikasinya mengacu ke PP 14/20 dengan kutipan sebagai berikut:

      Pasal 28
      (1) Sumber daya manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf d, harus mempekerjakan Tenaga Kerja Konstruksi yang memenuhi standar kompetensi kerja.

      (2)  Tenaga Kerja Konstruksi sebagaimana dimaksud 

      pada ayat (1) terdiri atas Kualifikasi jabatan:
      1. operator;

      2. teknisi atau analis; dan

      3. ahli. 

      Pasal 28C

      (1)  Penetapan Klasifikasi Tenaga Kerja Konstruksi 

      berdasarkan bidang keilmuan yang terkait Jasa Konstruksi. 
      (2) Klasifikasi Tenaga Kerja Konstruksi pada Kualifikasi jabatan operator, teknisi atau analis, dan ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) meliputi:
      1. arsitektur;

      2. sipil;

      3. mekanikal;

      4. tata lingkungan;

      5. arsitektur lanskap, iluminasi, dan desain interior;

      6. perencanaan wilayah dan kota;

      7. sains dan rekayasa teknik; atau

      8. manajemen pelaksanaan. 

      Untuk Kode dan Subklasifikasi dari Klasifikasi Sipil (b), Mekanikal(c) dan Manajemen pelaksanaan (h) dapat dilihat pada Surat Edaran nomor 11/SE/LPJK/2021 perihal Pedoman Teknis Konversi Jenjang Kualifikasi Jabatan Kerja pada SKK dengan Klasifikasi Sipil, Mekanikal dan Manajemen Pelaksanaan.    

          Sebagai penambah pengetahuan, terkait  ketentuan terkait SKK, kebijakannya telah beberapa kali dirubah dimana saat ini yang dipakai adalah SE 21/21. Sebelumnya dipakai Surat Edaran Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 30/SE/M/2020 Tentang Transisi Layanan Sertifikasi Badan Usaha dan Sertifikasi Kompetensi Kerja Jasa Konstruksi sebagaimana telah diubah dengan Surat Edaran Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 02/SE/M/2021 tentang Perubahan Atas Surat Edaran Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor30/SE/M/2020 Tentang Transisi Layanan Sertifikasi Badan Usahadan Sertifikasi Kompetensi Kerja Jasa Konstruksi (SE 30/20'). Hal ini terjadi karena terdapatnya Masa transisi yang berlangsung sejak pelantikan pengurus Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi periode 2021-2024 sampai ditetapkannya pedoman pemberian lisensi Lembaga Sertifikasi Badan Usaha (LSBU), rekomendasi lisensi Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP), serta dilakukannya registrasi LSBU dan LSP yang sudah mendapatkan lisensi pada 06 Desember 2021. Pada masa kepengurusan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi periode 2017-2020 yang dipakai adalah Peraturan LPJK nomor 5 tahun 2017 tentang Sertifikasi dan Registrasi Tenaga Ahli (PLPJK 05/17) dan Peraturan LPJK nomor 6 tahun 2017 tentang Sertifikasi dan Registrasi Tenaga Terampil (PLPJK 06/17). 

      Up date 02 Februari 2022:
      Telah keluar KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BINA KONSTRUKSI NOMOR 12.1 /KPTS/Dk/2022 TENTANG PENETAPAN JABATAN KERJA DAN KONVERSI JABATAN KERJA EKSISTING SERTA JENJANG KUALIFIKASI BIDANG JASA KONSTRUKSI yang mengatur :
      1. Penambahan Subklasifikasi (Jabatan Kerja) Baru selain yang diatur pada PLPJK 05/17 dan PLPJK 06/17.
      2. Konversi Kualifikasi, Klasifikasi/Sub Klasifikasi dan Kodefikasi dari ketentuan lama pada PLPJK 05/17 dan PLPJK 06/17. 

      UPDATE: 10/08/2022
      Telah terbit Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat nomor 08 tahun 2022 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemenuhan Sertifikat Standar Jasa Konstruksi Dalam Rangka Mendukung Kemudahan Perizinan Berusaha bagi Pelaku Usaha Jasa Konstruksi. Penting : Peraturan baru ini tidak ada menjelaskan statusnya apakah mencabut aturan sebelumnya, dengan begitu semuanya dinyatakan masih berlaku.


      Berikut format SKK yang berlaku :


      catt: 
      • Kalau sekedar ingin melihat alur pembuatan SBU/SKK, teman-teman tidak usah pusing nyari SE 21/21, cukup diklik disini ,  namun jika ingin tahu lebih lanjut bisa dibaca pada https://lpjk.pu.go.id/ .
      • Tarif resmi pengurusan SKK dari pemerintah bisa diklik disini

      Ketentuan perizinan Sertifikat Badan Usaha (SBU)


          Hai pembaca, menindaklanjuti artikel saya sebelumnya yang berjudul SBU & SKK dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Tender Konstruksi), maka kali ini coba saya sajikan lagi ketentuan lanjut khusus tentang Sertifikat Badan Usaha atau yang lazim disebut SBU. Kebijakan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha berbasis risiko dalam hal ini SBU sudah sangat cukup jelas diatur pada PP 05/20 dengan kutipan asli sebagai berikut:

      Bagian Kesembilan

      Sektor Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

      Paragraf 1 

      Perizinan Berusaha

      Pasal 80

      (1)  Perizinan Berusaha pada sektor pekerjaan umum dan perumahan rakyat terdiri atas subsektor:

      1. jasa konstruksi;

      2. sumber daya air; dan

      3. bina marga.

      (2)  Perizinan Berusaha pada subsektor jasa konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas:

      1. jasa konsultansi konstruksi;

      2. pekerjaan konstruksi; dan

      3. pekerjaan konstruksi terintegrasi.

      (3)  Perizinan Berusaha pada subsektor sumber daya air sebagaimana pada ayat (1) huruf b dan subsektor bina marga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c tidak memiliki Perizinan Berusaha yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko.

      Pasal 81

      (1) Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha pada subsektor jasa konstruksi terdiri atas:

      a. Sertifikat Badan Usaha (SBU) konstruksi;
      b. Sertifikat Kompetensi Kerja (SKK) konstruksi;
      c. registrasi kantor perwakilan Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing (BUJKA);
      d. lisensi lembaga sertifikasi Badan Usaha Jasa Konstruksi (BUJK); dan
      e. lisensi lembaga sertifikasi profesi jasa konstruksi.

      Pasal 82
      (1)  Kode KBLI/KBLI terkait, judul KBLI, ruang lingkup kegiatan, parameter Risiko, tingkat Risiko, Perizinan Berusaha, jangka waktu, masa berlaku, dan kewenangan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 tercantum dalam Lampiran I.

      (2)  Persyaratan dan/atau kewajiban Perizinan Berusaha pada sektor pekerjaan umum dan perumahan rakyat yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 tercantum dalam Lampiran II.

      Paragraf 2
      Norma dan Kriteria Subsektor Jasa Konstruksi

      Pasal 83
      (1) Kegiatan usaha jasa konsultansi konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) huruf a dan kegiatan usaha pekerjaan konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) huruf b tidak dapat dilakukan bersamaan dengan kegiatan usaha lain.

      (2) Kegiatan usaha pekerjaan konstruksi terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) huruf c dapat dilakukan bersamaan dengan kegiatan usaha pekerjaan konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) huruf b. 

      Pasal 84

      (1)  Kualifikasi badan usaha subsektor jasa konstruksi untuk jasa konsultansi konstruksi dan pekerjaan konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) huruf a dan huruf b meliputi kualifikasi:

      1. kecil;

      2. menengah; dan

      3. besar.

      (2)  Kualifikasi badan usaha subsektor jasa konstruksi untuk usaha pekerjaan konstruksi terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) huruf c hanya meliputi kualifikasi besar.
      (3)  Badan usaha jasa konsultansi konstruksi dan pekerjaan konstruksi kualifikasi menengah dan besar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c dan pekerjaan konstruksi terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus berbadan hukum Indonesia.
      (4)  Kantor perwakilan BUJKA harus berbadan hukum di negara asal.
      (5)  BUJKA dan BUJK Penanaman Modal Asing harus memenuhi persyaratan kualifikasi besar.
      (6)  Kualifikasi badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dengan sifat usaha umum dan spesialis dikelompokan ke dalam klasifikasi.
      (7)  Klasifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) terdiri atas subklasifikasi.
      (8)  Pimpinan tertinggi kantor perwakilan BUJKA dijabat oleh warga negara Indonesia, sebagai penanggung jawab teknis.

      (9)  Pimpinan tertinggi kantor perwakilan BUJKA sebagaimana dimaksud pada ayat (8) yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan konstruksi guna proses alih teknologi dapat dijabat warga negara asing.

      Pasal 85

      (1)  Penetapan kualifikasi badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) dan ayat (2) dilakukan berdasarkan penilaian kelayakan terhadap dokumen:

      1. penjualan tahunan;

      2. kemampuan keuangan;

      3. ketersediaan tenaga kerja konstruksi; dan

      4. kemampuan dalam penyediaan peralatan konstruksi.

      (2)  Penetapan kualifikasi badan usaha sebagaimana 

      dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap setiap subklasifikasi yang diusulkan.

      (3)  Penetapan kualifikasi badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan untuk kegiatan usaha jasa konsultansi konstruksi bersifat spesialis dan pekerjaan konstruksi bersifat spesialis.

      (4)  Dalam hal BUJK memiliki beberapa subklasifikasi, penyebutan entitas BUJK mengacu pada kualifikasi tertinggi pada subklasifikasi yang dimiliki.

      Pasal 86

      (1)  Penjualan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf a dibuktikan dengan rekaman kontrak kerja konstruksi yang disahkan oleh pemilik pekerjaan dan telah tercatat sebagai pengalaman badan usaha.
      (2)  Nilai penjualan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada perolehan pekerjaan dalam masa berlakunya SBU konstruksi.
      (3)  Dalam hal kontrak kerja konstruksi terdapat bentuk kerja sama operasional dan/atau kontrak dengan subpenyedia jasa, laporan penjualan tahunan dipisahkan sesuai dengan porsinya.
      (4)  Dalam hal penjualan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sudah digunakan pada subklasifikasi tertentu, penjualan tahunan tidak dapat digunakan untuk permohonan kualifikasi dan subklasifikasi yang berbeda.

      (5)  Dalam hal BUJK mengajukan perubahan untuk peningkatan kualifikasi, penilaian terhadap penjualan tahunan dilakukan terhadap akumulasi penjualan tahunan sejenis.

      Pasal 87

      (1)  Kemampuan keuangan sebagaimana dimaksud dalam 

      Pasal 85 ayat (1) huruf b diperoleh dari nilai total ekuitas pada:
      1. neraca keuangan BUJK, untuk BUJK kualifikasi kecil; dan

      2. neraca keuangan BUJK hasil audit kantor akuntan publik yang teregistrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, untuk BUJK kualifikasi menengah dan besar.

      (2)  Dalam hal total ekuitas dinyatakan dalam mata uang asing, total ekuitas harus dikonversi ke dalam mata uang rupiah menggunakan kurs yang ditetapkan oleh Bank Indonesia pada saat pengajuan penetapan kualifikasi.

      Pasal 88

      (1)  Ketersediaan tenaga kerja konstruksi sebagaimana 

      dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf c harus memenuhi persyaratan minimal yang terdiri atas:
      1. jumlah tenaga kerja;

      2. kualifikasi tenaga kerja; dan

      3. jenjang tenaga kerja,

      yang dibuktikan dengan kepemilikan sertifikat kompetensi kerja konstruksi untuk setiap subklasifikasi.

      (2)  Tenaga kerja konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

      1. Penanggung Jawab Badan Usaha (PJBU);

      2. Penanggung Jawab Teknis Badan Usaha (PJTBU); dan/atau

      3. Penanggung Jawab Subklasifikasi Badan Usaha (PJSKBU).

      (3)  Tenaga kerja konstruksi sebagaimana dimaksud pada 

      ayat (2) merupakan tenaga tetap badan usaha yang tidak boleh merangkap jabatan pada badan usaha lain.
      (4)  Jumlah tenaga kerja konstruksi PJSKBU sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c sesuai dengan jumlah dan kualifikasi subklasifikasi yang dimiliki.
      (5)  Dalam hal BUJK memiliki beberapa subklasifikasi dengan kualifikasi berbeda, kualifikasi dan jenjang PJTBU mengacu kepada subklasifikasi dengan kualifikasi tertinggi.
      (6)  Dalam hal tenaga kerja konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengundurkan diri, BUJK harus melakukan penggantian tenaga kerja konstruksi dengan kualifikasi Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) minimal sama dengan yang diganti, paling lama 7 (tujuh) Hari sejak tenaga kerja konstruksi mengundurkan diri.

      (7) Setiap penggantian tenaga kerja konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (6), BUJK wajib melaporkan kepada Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK).

      Pasal 89

      (1)  Kemampuan dalam penyediaan peralatan konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf d harus memenuhi persyaratan paling sedikit jumlah peralatan utama untuk setiap subklasifikasi.
      (2)  Kemampuan dalam penyediaan peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disediakan Pelaku Usaha paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender sejak SBU konstruksi diterbitkan.

      (3)  Kemampuan dalam penyediaan peralatan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk jasa konsultansi konstruksi bersifat umum.

      Pasal 90

      (1)  Penilaian penjualan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf a untuk kegiatan usaha jasa konsultansi konstruksi bersifat umum harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

      1. kualifikasi kecil, paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah);

      2. kualifikasi menengah, paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah);

      3. kualifikasi besar, paling sedikit Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah); dan

      4. kualifikasi besar kantor perwakilan BUJKA, paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

      (2)  Penilaian penjualan tahunan sebagaimana dimaksud 

      dalam Pasal 85 ayat (1) huruf a untuk kegiatan usaha pekerjaan konstruksi bersifat umum harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
      1. kualifikasi kecil, paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah);

      2. kualifikasi menengah, paling sedikit Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah);

      3. kualifikasi besar, paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah); dan

      4. kualifikasi besar kantor perwakilan BUJKA, paling sedikit Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

      (3) Penilaian penjualan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf a untuk kegiatan usaha pekerjaan konstruksi terintegrasi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

      1. kualifikasi besar, paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah); dan

      2. kualifikasi besar kantor perwakilan BUJKA, paling sedikit Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

      Pasal 91

      (1) Penilaian kemampuan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf b untuk kegiatan usaha jasa konsultansi konstruksi bersifat umum harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

      1. kualifikasi kecil, paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah);

      2. kualifikasi menengah, paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah);

      3. kualifikasi besar, paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); dan

      4. kualifikasi besar kantor perwakilan BUJKA, paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).


      (2)  Penilaian kemampuan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf b untuk kegiatan usaha pekerjaan konstruksi bersifat umum harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

      1. kualifikasi kecil, paling sedikit Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah);

      2. kualifikasi menengah, paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah);

      3. kualifikasi besar, paling sedikit Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah); dan

      4. kualifikasi besar kantor perwakilan BUJKA, paling sedikit Rp35.000.000.000,00 (tiga puluh lima miliar rupiah).

      (3)  Penilaian kemampuan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf b untuk kegiatan usaha pekerjaan konstruksi terintegrasi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

      a.kualifikasi besar, paling sedikit Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah); dan
      b.kualifikasi besar kantor perwakilan BUJKA, paling sedikit Rp35.000.000.000,00 (tiga puluh lima miliar rupiah).

      Pasal 92
      Penilaian ketersediaan tenaga kerja konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf c untuk kegiatan usaha jasa konsultansi konstruksi bersifat umum harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

      a. kualifikasi kecil terdiri atas:
      1. 1 (satu) orang PJBU sebagai pimpinan tertinggi;

      2. 1 (satu) PJTBU dengan SKK konstruksi kualifikasi KKNI jabatan ahli paling rendah jenjang 7 (tujuh) atau ahli muda sesuai dengan subklasifikasi tenaga kerja konstruksi;

      1. PJBU dapat merangkap sebagai PJTBU; dan

      2. 1 (satu) orang PJSKBU per subklasifikasi usaha dengan SKK konstruksi kualifikasi KKNI paling rendah jenjang 6 (enam) atau teknisi/analis sesuai dengan subklasifikasi tenaga kerja konstruksi;

      1. kualifikasi menengah terdiri atas:

        1. 1 (satu) orang PJBU sebagai pimpinan tertinggi;

        2. 1 (satu) orang PJTBU dengan SKK konstruksi kualifikasi KKNI paling rendah jenjang 8 (delapan) atau ahli madya sesuai dengan subklasifikasi tenaga kerja konstruksi; dan

        3. 1 (satu) orang PJSKBU per subklasifikasi usaha dengan SKK konstruksi kualifikasi KKNI paling rendah jenjang 7 (tujuh) atau ahli muda sesuai dengan subklasifikasi tenaga kerja konstruksi;

      2. kualifikasi besar terdiri atas:

        1. 1 (satu) orang PJBU sebagai pimpinan tertinggi;

        2. 1 (satu) PJTBU dengan SKK konstruksi kualifikasi KKNI jenjang 9 (sembilan) atau ahli utama sesuai dengan subklasifikasi tenaga kerja konstruksi atau memiliki sertifikat Association of South East Asian Nation (ASEAN) Architect atau ASEAN Chartered Professional Engineer; dan

        3. 1 (satu) orang PJSKBU per subklasifikasi usaha dengan SKK konstruksi kualifikasi KKNI paling rendah jenjang 8 (delapan) atau ahli madya sesuai dengan subklasifikasi tenaga kerja konstruksi;

      3. kualifikasi besar kantor perwakilan BUJKA terdiri atas:

        1. 1 (satu) orang PJBU sebagai pimpinan tertinggi;

        2. 1 (satu) orang PJTBU dengan SKK konstruksi kualifikasi KKNI jenjang 9 (sembilan) atau ahli utama sesuai dengan subklasifikasi tenaga kerja konstruksi atau memiliki sertifikat ASEAN Architect atau ASEAN Chartered Professional Engineer; dan

        3. 1 (satu) orang PJSKBU per subklasifikasi usaha dengan SKK konstruksi kualifikasi KKNI jenjang 9 (sembilan) atau ahli utama sesuai dengan subklasifikasi tenaga kerja konstruksi atau memiliki sertifikat ASEAN Architect atau ASEAN Chartered Professional Engineer.

      Pasal 93
      Penilaian ketersediaan tenaga kerja konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf c untuk kegiatan usaha pekerjaan konstruksi bersifat umum harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

      a. kualifikasi kecil terdiri atas:

      1. 1 (satu) orang PJBU sebagai pimpinan tertinggi;

      2. 1 (satu) orang PJTBU dengan SKK konstruksi kualifikasi KKNI paling rendah jenjang 6 (enam) atau teknisi/analis sesuai dengan subklasifikasi tenaga kerja konstruksi;

      3. PJBU dapat merangkap sebagai PJTBU; dan

      4. 1 (satu) orang PJSKBU per subklasifikasi usaha dengan SKK konstruksi kualifikasi KKNI paling rendah jenjang 5 (lima) atau teknisi/analis sesuai dengan subklasifikasi tenaga kerja konstruksi.

      b. kualifikasi menengah terdiri atas:

      1. 1 (satu) orang PJBU sebagai pimpinan tertinggi;

      2. 1 (satu) orang PJTBU dengan SKK konstruksi kualifikasi KKNI paling rendah jenjang 7 (tujuh) atau ahli muda sesuai dengan subklasifikasi tenaga kerja konstruksi; dan

      3. 1 (satu) orang PJSKBU per subklasifikasi usaha dengan SKK konstruksi kualifikasi KKNI paling rendah jenjang 6 (enam) atau teknisi/analis sesuai dengan subklasifikasi tenaga kerja konstruksi.

      c. kualifikasi besar terdiri atas:

      1. 1 (satu) orang PJBU sebagai pimpinan tertinggi;

      2. 1 (satu) orang PJTBU dengan SKK konstruksi kualifikasi KKNI paling rendah jenjang 8 (delapan) atau ahli madya sesuai dengan subklasifikasi tenaga kerja konstruksi; dan

      3. 1 (satu) orang PJSKBU per subklasifikasi usaha dengan SKK konstruksi kualifikasi KKNI paling rendah jenjang 7 (tujuh) atau ahli muda sesuai dengan subklasifikasi tenaga kerja konstruksi.

      d. kualifikasi besar kantor perwakilan BUJKA terdiri atas:

      1. 1 (satu) orang PJBU sebagai pimpinan tertinggi;

      2. 1 (satu) orang PJTBU dengan SKK konstruksi kualifikasi KKNI jenjang 9 (sembilan) atau ahli utama sesuai dengan subklasifikasi tenaga kerja konstruksi atau memiliki sertifikat ASEAN Architect atau ASEAN Chartered Professional Engineer; dan

      3. 1 (satu) orang PJSKBU per subklasifikasi usaha dengan SKK konstruksi kualifikasi KKNI jenjang 9 (sembilan) atau ahli utama sesuai dengan subklasifikasi tenaga kerja konstruksi atau memiliki sertifikat ASEAN Architect atau ASEAN Chartered Professional Engineer.

      Pasal 94
      Penilaian ketersediaan tenaga kerja konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf c untuk kegiatan usaha pekerjaan konstruksi terintegrasi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

      a. kualifikasi besar terdiri atas:

      1. 1 (satu) orang PJBU sebagai pimpinan tertinggi;

      2. 1 (satu) orang PJTBU dengan SKK konstruksi kualifikasi KKNI paling rendah jenjang 9 (sembilan) atau ahli utama sesuai dengan subklasifikasi tenaga kerja konstruksi; dan

      3. 2 (dua) orang PJSKBU per subklasifikasi usaha dengan SKK konstruksi kualifikasi KKNI paling rendah jenjang 8 (delapan) atau ahli madya sesuai dengan subklasifikasi tenaga kerja konstruksi.

      b. kualifikasi besar kantor perwakilan BUJKA terdiri atas:

      1. 1 (satu) orang PJBU sebagai pimpinan tertinggi;

      2. 1 (satu) orang PJTBU dengan SKK konstruksi kualifikasi KKNI jenjang 9 (sembilan) atau ahli utama sesuai dengan subklasifikasi tenaga kerja konstruksi atau memiliki sertifikat ASEAN Architect atau ASEAN Chartered Professional Engineer; dan

      3. 2 (dua) orang PJSKBU per subklasifikasi usaha dengan SKK konstruksi kualifikasi KKNI jenjang 9 (sembilan) atau ahli utama sesuai dengan subklasifikasi tenaga kerja konstruksi atau memiliki sertifikat ASEAN Architect atau ASEAN Chartered Professional Engineer.

      Pasal 95

      (1) Penilaian kemampuan dalam penyediaan peralatan konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf d untuk kegiatan usaha pekerjaan konstruksi bersifat umum harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

      1. kualifikasi kecil, memiliki peralatan utama paling sedikit 1 (satu) per subklasifikasinya;

      2. kualifikasi menengah, memiliki peralatan utama paling sedikit 2 (dua) per subklasifikasinya;

      3. kualifikasi besar, memiliki peralatan utama paling sedikit 3 (tiga) per subklasifikasinya; dan

      4. kualifikasi besar kantor perwakilan BUJKA, memiliki paling sedikit 5 (lima) peralatan utama per subklasifikasinya.

      (2) Penilaian kemampuan dalam penyediaan peralatan konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf d untuk kegiatan usaha pekerjaan konstruksi terintegrasi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

      1. memiliki peralatan utama paling sedikit 3 (tiga) per subklasifikasinya; dan

      2. kantor perwakilan BUJKA, memiliki paling sedikit 5 (lima) peralatan utama per subklasifikasinya.

      Pasal 96

      (1)  Penilaian BUJK untuk jasa konsultansi konstruksi 

      dengan sifat usaha spesialis didasarkan pada ketersediaan aset dan ketersediaan tenaga kerja konstruksi sebagai berikut:
      1. paling sedikit memiliki aset senilai Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);

      2. 1 (satu) orang PJBU sebagai pimpinan tertinggi;

      3. 1 (satu) orang PJTBU dengan SKK konstruksi kualifikasi KKNI paling rendah jenjang 7 (tujuh) atau ahli muda sesuai dengan subklasifikasi tenaga kerja konstruksi; dan

      4. 1 (satu) orang PJSKBU per subklasifikasi usaha dengan SKK konstruksi kualifikasi KKNI paling rendah jenjang 7 (tujuh) atau ahli muda sesuai dengan subklasifikasi tenaga kerja konstruksi.

      (2)  Penilaian kantor perwakilan BUJKA untuk jasa konsultansi konstruksi dengan sifat usaha spesialis didasarkan pada ketersediaan aset dan ketersediaan tenaga kerja konstruksi sebagai berikut:

      1. paling sedikit memiliki aset senilai Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah);

      2. 1 (satu) orang PJBU sebagai pimpinan tertinggi;

      3. 1 (satu) orang PJTBU dengan SKK konstruksi kualifikasi KKNI jenjang 9 (sembilan) atau ahli utama sesuai dengan subklasifikasi tenaga kerja konstruksi atau memiliki sertifikat ASEAN Architect atau ASEAN Chartered Professional Engineer; dan

      4. 1 (satu) orang PJSKBU per subklasifikasi usaha dengan SKK konstruksi kualifikasi KKNI paling rendah jenjang 8 (delapan) atau ahli madya sesuai dengan subklasifikasi tenaga kerja konstruksi.

      (3)  Penilaian BUJK untuk pekerjaan konstruksi dengan sifat usaha spesialis didasarkan pada ketersediaan aset, ketersediaan tenaga kerja konstruksi, dan peralatan utama sebagai berikut:
      1. paling sedikit memiliki aset senilai Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah);

      2. 1 (satu) orang PJBU sebagai pimpinan tertinggi;

      3. 1 (satu) orang PJTBU dengan SKK konstruksi kualifikasi KKNI paling rendah jenjang 8 (delapan) atau ahli madya sesuai dengan subklasifikasi tenaga kerja konstruksi;

      4. 1 (satu) orang PJSKBU per subklasifikasi usaha dengan SKK konstruksi kualifikasi KKNI paling rendah jenjang 7 (tujuh) atau ahli muda sesuai dengan subklasifikasi tenaga kerja konstruksi; dan

      5. memiliki peralatan utama paling sedikit 2 (dua) per subklasifikasinya.

      (4)  Penilaian kantor perwakilan BUJKA untuk pekerjaan konstruksi dengan sifat usaha spesialis didasarkan pada ketersediaan aset, ketersediaan tenaga kerja konstruksi, dan peralatan utama sebagai berikut:

      1. paling sedikit memiliki aset senilai Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah);

      2. 1 (satu) orang PJBU sebagai pimpinan tertinggi;

      3. 1 (satu) orang PJTBU dengan SKK konstruksi kualifikasi KKNI jenjang 9 (sembilan) atau ahli utama sesuai dengan subklasifikasi tenaga kerja konstruksi atau memiliki sertifikat ASEAN Architect atau ASEAN Chartered Professional Engineer;

      1. 1 (satu) orang PJSKBU per subklasifikasi usaha dengan SKK konstruksi kualifikasi KKNI paling rendah jenjang 8 (delapan) atau ahli madya sesuai dengan subklasifikasi tenaga kerja konstruksi; dan

      2. memiliki peralatan utama paling rendah 5 (lima) per subklasifikasinya.

      (5) Hasil penilaian BUJK atau kantor perwakilan BUJKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) merupakan dasar penerbitan SBU konstruksi.

      Pasal 97

      (1)  Jenis kegiatan usaha jasa konsultansi konstruksi yang 

      bersifat umum serta klasifikasi dan subklasifikasi terdiri atas:
      1. arsitektur;

      2. rekayasa;

      3. rekayasa terpadu; dan

      4. arsitektur lanskap dan perencanaan wilayah.

      (2)  Jenis kegiatan usaha jasa konsultansi konstruksi yang bersifat spesialis serta klasifikasi dan subklasifikasi 

      terdiri atas:
      1. konsultansi ilmiah dan teknis; dan

      2. pengujian dan analisis teknis.

      (3)  Jenis kegiatan usaha pekerjaan konstruksi yang bersifat umum serta klasifikasi dan subklasifikasi terdiri atas:

      1. bangunan gedung; dan

      2. bangunan sipil.

      (4)  Jenis kegiatan usaha pekerjaan konstruksi yang 

      bersifat spesialis serta klasifikasi dan subklasifikasi terdiri atas:
      1. persiapan;

      2. konstruksi khusus;

      3. konstruksi prapabrikasi;

      1. penyewaan peralatan;

      2. instalasi; dan

      3. penyelesaian bangunan.

      (5) Jenis kegiatan usaha pekerjaan konstruksi terintegrasi serta klasifikasi dan subklasifikasi terdiri atas:

      1. bangunan gedung; dan

      2. bangunan sipil.

      Pasal 98

      (1)  Klasifikasi usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 terdiri atas beberapa subklasifikasi usaha.

      (2)  BUJK hanya dapat mengambil subklasifikasi dari klasifikasi yang dimilikinya.

      Pasal 99

      Sertifikat Standar Perizinan Berusaha subsektor jasa konstruksi meliputi:

      1. SBU konstruksi;

      2. SKK konstruksi; dan

      3. lisensi.

      Pasal 100

      1. (1)  SBU konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 huruf a wajib dimiliki oleh BUJK yang menyelenggarakan layanan jasa konstruksi.

      2. (2)  SBU konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan melalui sertifikasi dan pencatatan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum melalui sistem informasi jasa konstruksi terintegrasi.

      3. (3)  BUJK mengajukan permohonan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum melalui Lembaga Sertifikasi Badan Usaha (LSBU) untuk mendapatkan SBU konstruksi.

      4. (4)  SBU konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang, serta dapat dilakukan perubahan.

      5. (5) SBU konstruksi yang akan diperpanjang wajib diajukan sebelum habis masa berlakunya.

      Pasal 102

      (1)  Pengajuan sertifikasi SBU konstruksi dan SKK konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 dan Pasal 101 dilaksanakan melalui Lembaga OSS.
      (2)  Pengajuan sertifikasi SKK konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kualifikasi KKNI jenjang 1 (satu) sampai dengan 4 (empat) dapat dilakukan melalui asosiasi profesi terakreditasi atau lembaga pendidikan pelatihan kerja.

      (3)  Sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi jenis layanan:

      1. permohonan baru;

      2. perpanjangan; atau

      3. perubahan.

      Pasal 103

      (1) Sertifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (1) dilakukan dengan tahapan:

      1. permohonan;

      2. pembayaran biaya;

      3. verifikasi dan validasi; dan

      4. persetujuan/penolakan permohonan SBU konstruksi.

      (2)  BUJK mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a melalui Lembaga OSS dengan dilengkapi dokumen yang dipersyaratkan.
      (3)  Dokumen yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan kriteria penilaian kelayakan yang telah ditetapkan dalam Pasal 85 ayat (1), sesuai subklasifikasi dan jenis kegiatan usaha.
      (4)  Pembayaran biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan selambat-lambatnya 7 (tujuh) Hari setelah terbitnya surat tagihan.
      (5)  Pelaksanaan verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan setelah dokumen dinyatakan lengkap dan BUJK melakukan pembayaran biaya.
      (6)  Apabila permohonan disetujui, paling lambat 15 (lima belas) Hari sejak pembayaran diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (4), diterbitkan SBU konstruksi, dan dicatat oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum melalui sistem informasi jasa konstruksi terintegrasi.

      (7)  Apabila permohonan tidak disetujui, BUJK tidak dapat menuntut ganti rugi kepada LSBU.

      Pasal 104

      (1) Dalam hal pengajuan permohonan SBU konstruksi dilakukan oleh kantor perwakilan BUJKA, ketentuan mengenai sertifikasi badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 berlaku secara mutatis mutandis terhadap proses penyetaraan kualifikasi dan subklasifikasi kantor perwakilan BUJKA.

      (2) Dalam hal pengajuan pencatatan SBU konstruksi dilakukan oleh kantor perwakilan BUJKA, ketentuan mengenai pencatatan SBU konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 berlaku secara mutatis mutandis terhadap pencatatan atas SBU konstruksi hasil penyetaraan. 


      Dari pasal-pasal diatas menurut saya sudah sangat jelas ketentuan tentang SBU, lantas bagaimana dengan:

      a. kode KBLI/KBLI terkait, judul KBLI, ruang lingkup kegiatan, parameter Risiko, tingkat Risiko, Perizinan Berusaha, jangka waktu, masa berlaku, dan kewenangan Perizinan Berusaha;

      b. persyaratan dan/atau kewajiban Perizinan Berusaha Berbasis Risiko;

      c. pedoman Perizinan Berusaha Berbasis Risiko; dan

      d. standar kegiatan usaha dan/atau standar produk.

      Untuk pertanyaan tersebut, jawabannya bisa dilihat pada Peraturan Nomor 6 tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Produk pada Penyelenggaraan Perizinan berusaha berbasis Risiko sektor Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang ulasannya bisa dibaca pada artikel saya sebelumnya yang berjudul PM 06/2021 : SBU TERBARU DAN KAJIANNYA TERHADAP ATURAN LAIN.


          Sebagai penambah pengetahuan, terkait  ketentuan terkait SBU, kebijakannya telah beberapa kali dirubah dimana saat ini yang dipakai adalah Surat Edaran Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 21/SE/M/2021 tentang Tata Cara Pemenuhan Persyaratan Perizinan Berusaha, Pelaksanaan Sertifikasi Kompetensi Kerja Konstruksi, dan Pemberlakuan Sertifikat Badan Usaha dan Sertifikat Kompetensi Kerja Konstruksi (SE 21/21). Sebelumnya dipakai Surat Edaran Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 30/SE/M/2020 Tentang Transisi Layanan Sertifikasi Badan Usaha dan Sertifikasi Kompetensi Kerja Jasa Konstruksi sebagaimana telah diubah dengan Surat Edaran Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 02/SE/M/2021 tentang Perubahan Atas Surat Edaran Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor30/SE/M/2020 Tentang Transisi Layanan Sertifikasi Badan Usahadan Sertifikasi Kompetensi Kerja Jasa Konstruksi (SE 30/20). Hal ini terjadi karena terdapatnya Masa transisi yang berlangsung setelah pelantikan pengurus Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi periode 2021-2024 sampai setelah ditetapkannya pedoman pemberian lisensi Lembaga Sertifikasi Badan Usaha (LSBU), rekomendasi lisensi Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP), serta dilakukannya registrasi LSBU dan LSP yang sudah mendapatkan lisensi pada 06 Desember 2021. Pada masa kepengurusan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi periode 2017-2020 yang dipakai adalah Peraturan LPJK nomor 3 tahun 2017 tentang Sertifikasi dan Registrasi Usaha Jasa Pelaksana Konstruksi (PLPJK 03/17). 

      UPDATE: 10/08/2022
      Telah terbit Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat nomor 08 tahun 2022 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemenuhan Sertifikat Standar Jasa Konstruksi Dalam Rangka Mendukung Kemudahan Perizinan Berusaha bagi Pelaku Usaha Jasa Konstruksi. Penting : Peraturan baru ini tidak ada menjelaskan statusnya apakah mencabut aturan sebelumnya, dengan begitu semuanya dinyatakan masih berlaku. 

      Berikut format SBU yang berlaku :




      catt: 
      • Kalo sekedar ingin melihat alur pembuatan SBU/SKK, teman-teman tidak usah pusing nyari SE 21/21, cukup diklik disini ,  namun jika ingin tahu lebih lanjut bisa dibaca pada https://lpjk.pu.go.id/ .
      • Untuk tarif resmi pengurusan SBU bisa diklik disini.

      POSTINGAN POPULER