Layanan Konsultasi.

Kami dapat memberikan JASA Nasehat Kebijakan terhadap Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan; Pengadaan Barang/Jasa Konstruksi (Perencanaan - Persiapan - Pelaksanaan - Kontrak); dan Pemenangan Tender. Kami juga membantu membuat Kebijakan Perusahaan (Dokumen Tender & Peraturan Direksi terkait Pengadaan). Hubungi bonatua.766hi@gmail.com

Translate

CARI DI BLOG INI

Tampilkan postingan dengan label KAJIAN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label KAJIAN. Tampilkan semua postingan

28 April 2022

KONPERS OTT BUPATI BOGOR & AUDITOR BPK : OPINI WTP PBJ KONSTRUKSI

25 April 2022

Tindak Pidana dalam Barang dan Jasa

22 April 2022

Kemudahan Usaha Mikro Kecil dalam Pengupahan

    


    Masih terkait tentang Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan 
Usaha Mikro Kecil (UMK) sebagaimana pernah saya bahas di artikel Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan UMK dalam PBJ-P dan KAJIAN INPRES 02/2021 : PERCEPATAN PENINGKATAN PENGGUNAAN PRODUK DALAM NEGERI DAN PRODUK UMK DAN KOPERASI DALAM RANGKA MENYUKSESKAN GERAKAN NASIONAL BANGGA BUATAN INDONESIA PADA PELAKSANAAN PBJ-P, maka kali ini saya akan kupas bagaimana Kemudahan UMK dalam hal Upah Pekerja sebagai salah satu urusan yang masuk di Undang-Undang (UU) Cipta Kerja.

    Upah Kerja secara khusus diatur pada Peraturan Pemerintah (PP) nomor 36 tahun tentang Pengupahan yang menggantikan peraturan sebelumnya yaitu PP nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan. PP 36 merupakan aturan pelaksanaan dari UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah oleh pasal 81 pada UU nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. 

    Upah adalah hak Pekerja/Buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari Pengusaha atau pemberi kerja kepada Pekerja/Buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu Perjanjian Kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi Pekerja/Buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.     Pemerintah dalam merencanakan Pagu ataupun Harga Perkiraan Sendiri (HPS) belanja Barang/Jasa-nya membutuhkan besaran Upah sebagai salah satu komponen selain Harga Material/barang, transportasi dan lain-lain. Penyedia dalam hal menyusun Harga juga memakai besaran Upah dalam memberikan harga penawaran. 

    Standar upah yang dipakai Penyedia Konstruksi lebih fleksible karena tergantung kesepakatan dengan calon pekerja, pimpinan pekerja atau bahkan pemborong upah. Kesepakatan itu biasanya membicarakan biaya transportasi, tempat tinggal, makanan, lembur, safety tools seperti baju, helm, sepatu, sarung tangan. Dalam banyak hal, pengupahan pada Jasa Konstruksi tidak bisa disamaratakan dengan pengupahan Buruh di Industri lain seperti Pabrik, Kantor dan lainnya mengingat durasi pekerjaan Industri Konstruksi yang pendek. Mungkin bisa saja proyek berlangsung 2 tahun atau lebih, namun setiap tahapan pekerjaan sudah harus selesai untuk masuk ke tahap berikutnya. Sebagai contoh Tahapan Struktur akan bisa dilakukan jika tahapan pekerjaan tanah telah rampung, dalam hal ini pekerja tanah akan diputus karena keahliannya tidak dapat dipakai di pekerjaan struktur. Oleh karena itu sangat penting membicarakan dan menyepakati segala hal terkait Upah yang diberikan kepada pekerja.

    Sebagai pemerhati nasib UMK di Pasar Pengadaan barang/Jasa Pemerintah (PBJ), ternyata filosofi kebijakan pemberian Kemudahan bagi UMK tetap tercermin di Peraturan ini bahkan sangking khususnya dimuat pada satu bab khusus yaitu Bab VI yang terdiri dari pasal 36, 37 dan 38 yang berbunyi sebagai berikut: 

  1. BAB VI
    UPAH TERENDAH PADA USAHA MIKRO DAN USAHA KECIL

    Pasal 36

  1. (1)  Ketentuan Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 sampai dengan Pasal 35 dikecualikan bagi usaha mikro dan usaha kecil.

  2. (2)  Upah pada usaha mikro dan usaha kecil ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Pengusaha dengan Pekerja/Buruh di Perusahaan dengan ketentuan:

    1. paling sedikit sebesar 50% (lima puluh persen) dari rata-rata konsumsi masyarakat di tingkat provinsi; dan

    2. nilai Upah yang disepakati paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) di atas garis kemiskinan di tingkat provinsi.

  3. (3)  Rata-rata konsumsi masyarakat dan garis kemiskinan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b menggunakan data yang bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik.

  4. Pasal 37

  5. Usaha mikro dan usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) harus memenuhi kriteria tertentu yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  6. Pasal 38

  7. Usaha mikro dan usaha kecil yang dikecualikan dari ketentuan Upah minimum wajib mempertimbangkan faktor sebagai berikut:

  8. a. mengandalkan sumber daya tradisional; dan/atau

  9. b. tidak bergerak pada usaha berteknologi tinggi dan tidak padat modal. 

  10. Bagaimana penjelasan atas pasal tersebut diatas ternyata pada Penjelasan atas PP 36 dinyatakan "Cukup Jelas" sehingga seharusnya tidak perlu ditafsirkan kembali.

Lantas bagaimana kaitannya pada PBJ ? 

 Dalam hal penyusunan harga pemerintah pada PBJ, selalu mengacu kepada standar upah minimum dimana selanjutnya setelah memasuki tahap pemilihan penyedia seperti tender, maka salah satu komponen yang dievaluasi adalah upah pekerja yang ditawarkan. Berbeda dengan penyedia, upah yang dipakai justru memakai harga yang disepakati dengan para pekerjanya, kesepakatan ini biasanya cenderung jauh lebih murah karena adanya sistem borongan upah/mandoran atau bahkan ada  yang malahan dikerjakan langsung oleh pemilik/keluarga pengusaha tersebut.

Khusus untuk Jasa konstruksi, sifat pekerjaannya adalah Padat Karya sehingga apabila pekerjaannya dilakukan oleh UMK maka pengecualian pada Bab VI PP 36 memenuhi syarat sehingga tidak harus mengikuti ketentuan tentang upah minimum provinsi. Ini berdampak kepada penerapan prosedur analisa harga satuan pekerjaan pada penawaran yang diajukan oleh UMK tidak dapat diterapkan. Tentunya ini demi kepastian hukum tentang pemberian pemberian kemudahan dalam berusaha khususnya penggunaan produk dalam negeri yang dikerjakan oleh pengusaha mikro dan kecil.

05 April 2022

SURAT TERBUKA Kemudahan, perlindungan dan pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil

 



SURAT TERBUKA 

Kemudahan, perlindungan dan pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil


Kepada Yth.

Presiden Republik Indonesia : Bapak Joko Widodo
Assalamualaikum, Salam Sejahtera, Shalom, Om Swastyastu, Namo Buddhaya, dan Salam Kebajikan

Pertama sekali kami mengucapkan selamat menjalankan Ibadah Puasa bagi Bapak Presiden dan Keluarga serta bagi seluruh rakyat Indonesia yang menjalankannya.

Kami sangat berterimakasih atas telah dikeluarkannya Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU 11/20) yang digagas oleh Pemerintah. Begitu banyak Kebijakan yang berorientasi dalam penciptaan Lapangan kerja khususnya terkait Kebijakan Kemudahan, perlindungan dan pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil. Ini adalah gagasan yang sangat luar biasa apalagi ditengah situasi ekonomi terdampak pandemi Covid-19 yang sampai surat ini dibuat belum ada kepastian kapan pandemi akan berakhir.

Sampai saat ini begitu banyak aturan pelaksanaan dari UU 11/20 yang telah dikeluarkan dan yang terbaru adalah dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden nomor 2 tahun 2022 tentang Percepatan Peningkatan Penggunaan Produk dalam Negeri dan Produk UMK dan KOPERASI dalam rangka menyukseskan Gerakan Nasional Bangga buatan Indonesia pada pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Inpres 02/22) pada tanggal 30 Maret 2022. Tanpa bermaksud menggurui melainkan mencoba mengingatkan bahwa sebaik apapun suatu kebijakan, itu barulah langkah awal yang implementasinya harus dibuktikan apakah mampu dilaksanakan para stake holder apalagi jika terdapat kepentingan yang berbeda dari Visi Misi Presiden.

Mengutip tulisan William N. Dunn pada bukunya berjudul Public Policy Analysis: An Integrated Approach (2017) menyebutkan "The consequences of policies are never fully known in advance. For this reason, the policy- analytic procedure of monitoring is essential to policy analysis. Indeed, much of the work of policy analysis is carried out after policies have been prescribed and adopted". Maka kami sebagai bagian dari UMK yang tersebar di banyak Provinsi di Indonesia yang merupakan pemanfaat langsung kebijakan ini merasa terpanggil untuk turut mensukseskan Instruksi Presiden diatas, oleh karena itu bersamaan dengan surat ini kami berusaha memberikan masukan kepada Pemerintah dalam bentuk kajian kondisi UMK pada Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PBJ) (lampiran 1). Adapun analisanya didasarkan pada Monitoring apa yang dialami dan terjadi pada UMK khususnya yang menggantungkan nasib pada Belanja Barang/Jasa Pemerintah. Dengan begitu tujuan dari Surat terbuka kami ini adalah agar Instruksi Presiden dijalankan dengan mempertimbangkan masukan langsung dari kami para Pelaku PBJ sehingga besar harapan program Kemudahan, Perlindungan dan Pemberdayaan UMK berhasil mensejahterakan masyarakat khususnya UMK.

Demikianlah surat ini kami sampaikan, disamping itu kami juga berharap untuk diikut sertakan minimal dalam bentuk pengawasan secara aktif Implementasi Inpres 02/22 di seluruh Indonesia dan kami juga bersedia melakukan diskusi terbuka apabila ada yang harus diselaraskan antara Pemerintah dan UMK Penyedia PBJ. Atas perhatiannya kami mengucapkan terimakasih dan mohon maaf apabila terjadi suatu kesalahan.


Hormat Kami,

TTD (Lampiran 2)

UMK Penyedia PBJ Nasional


Tembusan

  1. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi

  2. Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah

  3. Menteri Keuangan

  4. Menteri Dalam Negeri

  5. Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

  1. Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia

  2. Asosiasi Pemerintahan Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI).

  3. Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI)


Notes:

Untuk mempermudah surat menyurat/komunikasi, untuk sementara bisa menghubungi sdr. Bonatua Silalahi, Unit 12 lantai 16 Tower A, The Light, Signature Park Grande Apartment, Jl. M.T. Haryono Kav. 20 Cawang Jakarta Timur, HP/WA: 08 211 211 8611/087883523473; email: Bonatua.766hi@gmail.com.






Lampiran 1.

Kajian kondisi UMK pada PBJ

Kajian ini terkait Implementasi kebijakan Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan UMK dalam PBJ dalam rangka kontrol sosial, menguatkan dan memberi masukan terhadap Instruksi Presiden nomor 2 tahun 2022 tentang Percepatan Peningkatan Penggunaan Produk dalam Negeri dan Produk UMK dan KOPERASI dalam rangka menyukseskan Gerakan Nasional Bangga buatan Indonesia pada pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Inpres 02/21).

Berikut adalah hasil kajian dari kami disertai dengan data dan asumsi terhadap keterbatasan data yang disajikan langsung pertiap instruksi beserta pembahasannya:

1) Pada Instruksi Pertama nomor 1 disebutkan: Menetapkan dan/atau mengubah kebijakan dan/atau peraturan perundang-undangan untuk mempercepat peningkatan penggunaan produk dalam negeri dan pemberdayaan UMK dan Koperasi.

Pembahasan:

Menurut catatan kami, dalam kurun tahun 2019 sampai 2022 pada Rencana Umum Pengadaan terdapat (rata-rata) 1,39 juta Paket/tahun dengan nilai nominal (rata-rata) Rp. 322 Triliun (T) per tahun dikerjakan secara Swakelola (Monev LKPP, Update). Mayoritas paket tersebut bisa dan sangat diminati para Penyedia UMK yang terdaftar di LPSE. Menurut pandangan kami, adanya Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 3 Tahun 2021 Tentang Pedoman Swakelola (PLKPP 03/21) yang tidak melarang Paket yang bisa diadakan dan sangat diminati para Penyedia UMK dikerjakan secara swakelola oleh Pengguna Anggaran. Kami mohon kebijakan ini agar memberdayakan UMK semaksimal mungkin, sangat tidak tepat terlebih lagi pada situasi Pemulihan Ekonomi saat ini Pengguna Anggaran ngotot memberdayakan Aparat Sipil Negara (ASN) mengerjakan PBJ-P, perlu pemerataan Ekonomi mengingat mereka sudah memperoleh penghasilan tetap. Pemberdayaan maksimal para UMK bisa mempekerjakan dan menekan jumlah pengangguran yang telah mencapai 9,1 juta orang (BPS, Agustus 2021)

2)  Pada Instruksi Pertama nomor 3 disebutkan: Merencanakan, mengalokasikan, dan merealisasikan paling sedikit 40% (empat puluh persen) nilai anggaran belanja barang/jasa untuk menggunakan produk Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Koperasi dari hasil produksi dalam negeri.

Pembahasan:
Pada tahun 2021, dari Rp. 1.141,8 T Pagu Belanja barang/jasa Nasional (Data SiRUP), hanya Rp. 349,6 T (30,6%) yang diperuntukkan bagi UMK dan Usaha Menengah (LKPP, Flip 2021). Oleh karena keterbatasan Data yang tidak memisahkan berapa jumlah UMK dan berapa jumlah Usaha menengah maka kami menduga untuk UMK peruntukannya direncanakan jauh dibawah 30,6 %.

3)  Pada Instruksi Pertama nomor 10 disebutkan: Menghapuskan persyaratan yang menghambat penggunaan produk dalam negeri dan produk UMK, dan Koperasi dalam Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah.
Pembahasan:

Pada faktanya, UMK dalam mengikuti tender khususnya untuk pekerjaan konstruksi selalu dihadapkan pada persyaratan diluar Sertifikasi Standar. Adapun Alasan penambahan tersebut adalah dalam rangka penjaminan Kualitas Output. Sebagai Informasi, UMK dalam mendapatkan Sertifikat Standar (SBU) saja sudah menjalani banyak tahapan di 7 Organisasi yaitu Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemenPUPR), Online Single Submission (OSS), Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK), Lisensi Lembaga Sertifikasi Badan Usaha (LSBU), Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP), Asosiasi Profesi Pekerja Konstruksi dan Asosiasi Perusahaan Konstruksi. Secara formal mestinya syarat- syarat tambahan tersebut tidak diperlukan lagi karena menurut Peraturan Pemerintah nomor 05 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (PP 05/21)dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat nomor 06 tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Produk pada Penyelenggaraan Perizinan berusaha berbasis Risiko sektor Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PMPUPR 06/21) mestinya sudah cukup menjamin Kualifikasi UMK dalam bekerja.

Uniknya Penambahan syarat-syarat ini berbanding terbalik apabila dikerjakan secara swakelola, contohnya dalam pekerjaan Penambahan Ruang Kelas Baru dimana apabila dilakukan melalui penyedia maka persyaratan SBU, Peralatan, Tenaga Terampil, Dukungan Supplier/Vendor Alat dan Material, Saldo Bank dan Jaminan Penawaran, jika menang harus memberikan Jaminan Pelaksanaan/Uang Muka/Pembayaran dan dibebani tanggungjawab Struktur sampai 10 tahun dan pastinya para Penyedia harus fight banting-bantingan Harga. Coba kita lihat dan bandingkan persyaratan jika dikerjakan secara Swakelola, praktis tidak ada, negosiasi hargapun dirasa tidak transparan dan seakan-akan tidak tunduk pada Undang-undang Jasa Konstruksi. Tidak ada jaminan bahwa Output yang dipekerjakan ASN/Organisasi Masyarakat (Ormas)/Kelompok Masyarakat (Pokmas) akan lebih baik ketimbang dikerjakan Penyedia yang telah diregisterasi/verifikasi/validasi/sertifikasi oleh 7 organisasi Pemerintah, swasta dan Ormas.

4)  Pada Instruksi Kedua, Khusus kepada (5) Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi untuk: (a). meningkatkan penggunaan produk dalam negeri dan/atau produk Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Koperasi termasuk belanja yang dialokasikan melalui transfer daerah.

Pembahasan:
Dana Alokasi Khusus (DAK) pekerjaan konstruksi pada sekolah faktanya banyak yang tidak menggunakan produk UMK. Adanya pilihan DAK bisa diadakan secara Swakelola menjadi favorit choice meskipun tidak memiliki persyaratan kualifikasi dalam mengerjakan kegiatan beresiko Menengah Tinggi (kajiannya bisa dibaca pada artikel Pekerjaan Konstruksi tidak boleh dilakukansecara Swakelola). Para ASN/Ormas/Pokmas sama sekali tidak perlu melewati 7 organisasi yang membina Penyedia dalam menjamin Pelaksanaan Pekerjaan Konstruksi.

5)  Pada Instruksi Kedua, Khusus kepada (11) Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah untuk: memfasilitasi kemudahan penerbitan perizinan berusaha bagi Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Koperasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pembahasan:

Prosedur pengurusan SBU untuk UMK saat ini melibatkan 1 Kementrian teknis (KemenPUPR), 2 Lembaga Negara (LPJK & OSS), 2 Badan Usaha Swasta (LSBU & LSP) dan 2 Ormas (Asosiasi Kontraktor & Asosiasi Profesi), ini justru berbeda dan jauh dari kemudahan mengingat dahulu sebelum ada UU 11/20 hanya melibatkan 3 Ormas saja yaitu LPJKN/D, Asosiasi Kontraktor & Asosiasi Profesi. Kami menghimbau agar Kemudahan perizinan SBU difasilitasi dan diberikan keringan pembiayaan, tidak adil UMK harus menghidupi Lembaga Negara melalui skema Penghasilan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan Pajak lainnya, menghidupi swasta melalui skema lisensi dan menghidupi Ormas melalui skema Kartu Tanda Anggota (KTA).

Dalam hal pengurusan Sertifikat Standar (SBU) kami juga menemukan adanya persyaratan OSS yang mewajibkan UMK memiliki Sertifikat ISO Manajemen Mutu dan Anti Penyuapan, meskipun saat ini diberi keringanan karena bagi yang belum memiliki sertifikat tersebut dapat menggantikannya dengan surat pernyataan yang sudah harus dipenuhi pada saat berkontrak maupun setahun kemudian. Persyaratan ini jelas melanggar PP 05/21 dimana disebutkan bahwa perizinan sub sektor jasa konstruksi yang tergolong kategori Risiko Menengah Tinggi hanya berupa Nomor Induk Berusaha dan Sertifikat Standar. Menurut PM 06/21 bahwa yang dimaksud dengan sertifikat standar adalah SBU. Disisi lain, jumlah karyawan UMK yang tidak lebih dari 10 (sepuluh) menandakan managemen dalam UMK tergolong sederhana dan bisa dijadikan pertimbangan kemudahan berusaha.

6) Pada Instruksi Kedua, Khusus kepada (17) Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah untuk: (c). melakukan penyempurnaan peraturan perundang-undangan dan sistem Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dalam rangka percepatan peningkatan penggunaan produk dalam negeri dan produk Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Koperasi untuk menyukseskan Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia pada pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

Pembahasan:

Terkait PLKPP 03/21, diharapkan Swakelola diperketat hanya untuk pekerjaan yang tidak bisa diadakan/diminati Penyedia saja. Sebagai data pendukung, untuk tahun ini saja (2022) kami melihat terdapat total 3,19 juta paket yang direncanakan diadakan secara swakelola dan melalui penyedia, apabila 3 juta paket saja diserahkan ke UMK sebanyak 373.778 (Profile Pengadaan 2019) maka masing-masing Penyedia bisa mendapat 8 Paket (asumsi seluruh penyedia yang terdaftar di LPSE adalah UMK meskipun pada kenyataannya ini adalah total Penyedia dan hanya 134.564 yang menang dari 195.264 penyedia yang aktif lelang), kalo sudah begini kami rasa tidak perlu dilakukan Tender toh masing- masing Penyedia UMK dapat paket melebih Sisa Kemampuan Paket-nya, sesekali Pemerintah berbagi Proyek ke UMK ditengah Pandemi mengingat Swakelola bisa juga dilakukan tanpa harus tender, cukup Negosiasi Harga saja. Kami menyarankan pemilihan penyedianya dengan melibatkan organisasi pembinaan (K/L/PD) yang serta diawasi secara transparan oleh masyarakat.

7) Pada Instruksi Ketiga menyebutkan: Pendanaan untuk percepatan peningkatan penggunaan produk dalam negeri dan produk Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Koperasi dalam rangka menyukseskan Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia pada pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, dan/atau sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pembahasan:
Ketentuan Pemberian Uang Muka (UM) sudah diatur pada Peraturan pemerintah nomor 7 tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (PP 07/21) namun pada Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PS 16/18') ketentuannya masih belum dirubah karena masih memuat kata "dapat" sehingga bukanlah suatu keharusan. Sebagai catatan, ketentuan UM ini sebenarnya sudah disebutkan pada Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, namun karena adanya kalimat "dapat" membuat K/L/PD beramai-ramai memilih tidak mau memberikannya, lebih uniknya lagi justru kelas Usaha Besar termasuk BUMN yang justru diberikan Uang Muka. Mohon K/L/PD merealisasikan pendanaan APBN/APBD untuk UMK sebagai mana yang diatur oleh PP 07/21. 




catt: 
  1. Baru dapat klarifikasi resmi dari Lembaga Negara bahwa Data yang ada di https://monev.lkpp.go.id/ tidak dapat dipertanggungjawabkan (bisa benar bisa salah), harap publik bijak mempercayai data yang dikeluarkan Lembaga Publik (08/04/22) .
  2. Swakelola sudah dievaluasi di Uni Eropa, salah satunya bisa dibaca pada artikel berikut In-HOUSE PROCUREMENT exception: threat for sustainable procedure of Public procurement?
 

12 Maret 2022

Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan UMK dalam PBJ-P

Salah satu kepentingan tertinggi Negara saat ini adalah memberikan kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan UMK, dan hal ini menjadi bahan pertimbangan yang melatarbelakangi dikeluarkannya Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU11/20). Terkait kepentingan tersebut, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan nomor 07 tahun 2021 tentang Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (PP07/21). 

Pada sisi Pelaku Usaha, Pemerintah menentukan bahwa yang dimaksud dengan Usaha Mikro (UM) adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro dan yang dimaksud dengan Usaha Kecil (UK) adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil. Adapun kriteria yang dimaksud adalah:  

a. Usaha Mikro memiliki:  
  • modal usaha sampai dengan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau
  • hasil penjualan tahunan sampai dengan paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); 
b. Usaha Kecil memiliki: 
  • modal usaha lebih dari Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) sampai dengan paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
  • hasil penjualan tahunan lebih dari Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) sampai dengan paling banyak Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah); 
Selain itu, pemerintah juga sangat memikirkan Nasib 64.283.132 UMK (Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, 2020) untuk memberdayakan sebagai Penyedia kebutuhan Barang/Jasa Pemerintah meskipun baru hanya 329.799 penyedia yang terverifikasi di LPSE dan hanya 50.669 penyedia yang aktif ikut lelang (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, 2019). Keperdulian tersebut setidaknya tertuang didalam kebijakan PBJ-P pada satu paragraf khusus yang isinya sebagai berikut:

Paragraf 6

Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

Pasal 81

(1) Kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian dan perangkat daerah wajib menggunakan barang/jasa Usaha Mikro dan Usaha Kecil serta Koperasi dari hasil produksi dalam negeri dalam pengadaan barang/jasa Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

(2) Kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian dan perangkat daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengalokasikan paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari nilai anggaran belanja barang/jasa Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

(3) Pemberian pengalokasian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan pengadaan barang/jasa pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengadaan barang/jasa pemerintah.

(4) Penyedia usaha besar dan Usaha Menengah yang melaksanakan pekerjaan harus melakukan kerja sama usaha dalam bentuk kemitraan dengan Usaha Mikro dan Usaha Kecil yang memiliki kemampuan di bidang yang bersangkutan.

Pasal 82

(1)  Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang badan usaha milik negara mendorong badan usaha milik negara untuk mengutamakan penggunaan hasil produksi Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Koperasi dalam pengadaan barang/jasa.

(2)  Pemerintah Daerah mendorong badan usaha milik daerah untuk mengutamakan penggunaan hasil produksi Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Koperasi dalam pengadaan barang/jasa.

Pasal 83

(1)  Kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian dan perangkat daerah sesuai dengan kewenangannya wajib memasukkan rencana belanja barang/jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (2) dalam Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan paling lambat di bulan November tahun berjalan untuk rencana belanja tahun mendatang.

(2)  Rencana belanja tahun mendatang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diintegrasikan dengan sistem informasi data tunggal.

Pasal 84

(1)  Pembayaran kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah untuk Usaha Mikro, Usaha Kecil, serta Koperasi dengan nilai pagu anggaran/kontrak kurang dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dibayar langsung.

(2)  Pembayaran kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah untuk Usaha Mikro, Usaha Kecil, serta Koperasi dengan nilai pagu anggaran/kontrak antara Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) diberikan uang muka paling sedikit 50% (lima puluh persen).

(3)  Pembayaran kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah untuk Usaha Mikro, Usaha Kecil, serta Koperasi dengan nilai pagu anggaran/kontrak antara nilai lebih dari Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) sampai dengan nilai Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah) diberikan uang muka paling sedikit 30% (tiga puluh persen).

Pasal 85

(1)  Menteri/menteri teknis/kepala daerah wajib melakukan pengawasan pengalokasian dan pelaksanaan pengadaan barang/jasa untuk Usaha Mikro, Usaha Kecil, serta Koperasi melalui aparat pengawasan internal pada kementerian/lembaga/Pemerintah Daerah.

(2)  Menteri berkoordinasi dengan lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan keuangan negara/daerah dan pembangunan nasional untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pengadaan barang/jasa bagi Usaha Mikro, Usaha Kecil, serta Koperasi.

(3)  Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan:

a. audit;
b. reviu;
c. pemantauan;
d. evaluasi; dan/atau
e. penyelenggaraan mekanisme pengaduan(whistleblowing system).

(4)  Penyelenggaraan mekanisme pengaduan (whistleblowing system) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e dapat menggunakan penyelenggaraan mekanisme pengaduan (whistleblowing system) yang sudah berjalan.

(5)  Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dari tahap:

a. perencanaan;
b. penganggaran;
c. persiapan;
d. pemilihan penyedia;
e. pelaksanaan kontrak; dan
f. serah terima pekerjaan dan pelaporan.

(6)  Ruang lingkup pengawasan keterlibatan Usaha Mikro, Usaha Kecil, serta Koperasi pada pengadaan barang/jasa meliputi:

a. pemenuhan kewajiban pengalokasian sebesar 40% (empat puluh persen) untuk produk barang dan jasa Usaha Mikro, Usaha Kecil, serta Koperasi; dan
b. realisasi atas belanja produk barang dan jasa Usaha Mikro, Usaha Kecil, serta Koperasi.

(7)  Hasil pengawasan digunakan untuk pengendalian pelaksanaan pengadaan barang/jasa.

Pasal 86

(1) Monitoring dan evaluasi pengadaan barang/jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 dilakukan oleh Menteri.

(2)  Menteri menyediakan laman sistem monitoring dan evaluasi pengadaan barang/jasa pada sistem informasi data tunggal.

(3)  Monitoring dan evaluasi dilakukan secara reguler dan dilaporkan kepada Presiden paling sedikit 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun pada bulan Juni dan Desember pada tahun berjalan.

Pasal 87

Realisasi pelaksanaan pengalokasian 40% (empat puluh persen) pengadaan barang/jasa Usaha Mikro, Usaha Kecil, serta Koperasi yang dilakukan kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian dan perangkat daerah dipublikasikan secara transparan kepada masyarakat. 


Paragraf 6 pada PP07/16 adalah Norma baru bagi Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PS16/18) dan turunannya dengan kata lain apabila ada pertentangan/multi tafsir maka sesuai Undang-Undang nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan maka PP07/16 yang harus diikuti . 

Melihat adanya kebijakan Alokasi 40% anggaran; Usaha Menengah-Besar harus memberdayakan UMK; K/L/PD/BUMN/BUMD harus mengutamakan UMK; paket-paket UMK diumumkan di SiRUP/Data tunggal paling lambat bulan November dan adanya skema Pemberian Uang Muka pastinya serasa mimpi ditengah resesi ekonomi dimasa pandemi, semoga tidak di PHP-in he3x.

Lantas bagaimana dengan :

  1. Belanja PBJ pada SiRUP 2022 apakah minimal 40% nya diperuntukkan ke UMK dan apakah telah selesai diumumkan pada bulan November 2021. 
  2. PBJ cara Swakelola yang ternyata pilihan favorit K/L/PD sehingga berebut lahan dengan Penyedia UMK yang ditaksir hampir 50% Pagu biaya PBJ adalah untuk Swakelola (belum ada data realisasi yg jelas dari pihak LKPP).
  3. Banyaknya UMK diberdayakan menjadi subkon perusahaan Menengah-Besar  namun justru terjebak pada pembayaran yang lebih banyak biaya nagihnya ketimbang untungnya.
  4. Rendahnya minat UMK mendaftar di LPSE.

Ini akan kita bahas pada artikel selanjutnya selagi menunggu LKPP menyiapkan data yang valid, transparan dan teruji.  


Mari kita sukseskan program pemerintah, selamatkan UMK, sebarkan berita baik ini sebagai gerakan moral agar K/L/PD/BUMN/BUMD tidak lalai mengikuti Perintah

Salam Kebijakan PBJ

"the best way to pull an economy out of a recession is for the government to increase demand by infusing the economy with capital. In short, consumption (spending) is the key to economic recovery. (John Maynard Keynes )"


POSTINGAN POPULER