Layanan Jasa Konsultasi.

Kami dapat memberikan JASA Nasehat Kebijakan terhadap Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan; Pengadaan Barang/Jasa Konstruksi (Perencanaan - Persiapan - Pelaksanaan - Kontrak); dan Pemenangan Tender. Kami juga membantu membuat Kebijakan Perusahaan (Peraturan Direksi dan Dokumen Tender). Hubungi bonatua.766hi@gmail.com

Translate

Tampilkan postingan dengan label KAJIAN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label KAJIAN. Tampilkan semua postingan

10 Januari 2022

Tender Gagal dalam Proses Pemilihan Penyedia Konstruksi

    Peristilahan Tender Gagal pertama sekali muncul pada Pasal 9 Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PS 12/21), disebutkan bahwa salah satu tugas dan kewenangan Pengguna Anggaran (PAadalah menyatakan Tender Gagal.

Selanjutnya di Peraturan Presiden tersebut (ayat 2 Pasal 51 PS 12/21 ) disebutkan bahwa Tender dinyatakan Gagal dalam hal:

a. terdapat kesalahan dalam proses evaluasi;

b. tidak ada peserta yang menyampaikan dokumen penawaran setelah ada  pemberian waktu perpanjangan;

c. tidak ada peserta yang lulus evaluasi penawaran;

d. ditemukan kesalahan dalam Dokumen Pemilihan atau tidak sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Presiden ini;

e. seluruh peserta terlibat korupsi, kolusi, dan/atau nepotisme;

f. seluruh peserta terlibat persaingan usaha tidak sehat;

g. seluruh penawaran harga Tender Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya di atas HPS;

h. negosiasi biaya pada Seleksi tidak tercapai; dan/atau

i. korupsi, kolusi, dan/atau nepotisme melibatkan Pokja Pemilihan/ PPK.

Lantas siapa yang berhak menyatakan Tender Gagal? dari ketentuan pasal 9 secara jelas disebutkan bahwa dalam menyatakan Tender Gagal maka PA bertindak atas wewenang dan tugas yang diembannya, sedangkan berdasarkan pasal 51, dalam menyatakan Tender Gagal maka Pokja hanya bertindak atas tugas-nya dalam melaksanakan persiapan dan pelaksanaan pemilihan Penyedia (pasal 13 PS 12/21). Wewenang dan tugas tersebut tidak terlepas dari definisi bahwa PA adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran Kementerian Negara/Lembaga/Perangkat Daerah, sedangkan Pokja Pemilihan adalah sumber daya manusia yang ditetapkan oleh kepala UKPBJ untuk mengelola pemilihan Penyedia. 

Diatur pula (ayat 4 pasal 51 PS 12/21) bahwa Tender Gagal yang disebabkan oleh terdapatnya hal-hal yang disebutkan pada huruf a sampai dengan huruf h dinyatakan oleh Pokja Pemilihan dan untuk hal yang disebutkan pada huruf i dinyatakan oleh PA/KPA.

Tindak lanjut dari Tender gagal (pasal 7 PS 12/21), Pokja Pemilihan segera melakukan:

a.Evaluasi ulangdilakukan dalam hal ditemukan kesalahan evaluasi penawaran (pasal 8 PS 12/21); atau

b.Tender ulangdilakukan dalam hal ditemukan kesalahan sebagaimana dimaksud pada huruf b sampai dengan huruf i (pasal 9 PS 12/21).

    Sebagai pelaksanaan dari PS 12/21, LKPP telah pula mengeluarkan Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah nomor 12 tahun 2021 tentang Pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah melalui penyedia (PLKPP 12/21). Terkhusus pekerjaan Konstruksi, pada umumnya pemilihan untuk pedoman pekerjaan pelaksana konstruksi biasa maupun pelaksana konstruksi rancang bangun (lampiran 2 dan 3 PLKPP 12/21) memiliki kebijakan yang sama terkait pengaturan masalah Tender Gagal. Dalam hal ini sebagai contoh perwakilan saya mengambil ketentuan pada Lampiran 3 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah melalui Penyedia Pelaksanaan Pengadaan Pekerjaan Konstruksi Terintegrasi Rancang dan Bangun melalui Penyedia (L3 PLKPP 12/21). 

Disebutkan penyebab bilamana  Tender dinyatakan gagal (angka 4.2.12 L3 PLKPP 12/21) adalah sebagai berikut.

1) Tender dinyatakan gagal dalam hal:

a)terdapat kesalahan dalam proses evaluasi;

b)tidak ada peserta yang menyampaikan dokumen penawaran setelah ada pemberian waktu perpanjangan;

c)seluruh penawaran harga pada Tender Pekerjaan Konstruksi Terintegrasi Rancang dan Bangun di atas pagu Pekerjaan Konstruksi Terintegrasi Rancang dan Bangun;

d)tidak ada peserta yang lulus evaluasi penawaran;

e)ditemukan kesalahan dalam Dokumen Pemilihan atau Dokumen Pemilihan tidak sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah beserta perubahannya dan aturan turunannya;

f)seluruh peserta terlibat korupsi, kolusi, dan/atau nepotisme;

g)seluruh peserta terlibat persaingan usaha tidak sehat;

h)tidak menjalankan prosedur berdasarkan dokumen pemilihan;

i)Pokja Pemilihan/PPK terlibat korupsi, kolusi, dan/atau nepotisme; 

j)PA/KPA menyetujui penolakan oleh PPK atas hasil pemilihan; dan/atau

k)PA/KPA menolak untuk menetapkan pemenang pemilihan untuk Pengadaan Pekerjaan Konstruksi Terintegrasi Rancang dan Bangun dengan nilai Pagu Anggaran paling sedikit di atas Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

2)  Tender gagal dalam hal tidak ada peserta yang lulus evaluasi penawaran sebagaimana dimaksud pada angka 1) huruf d) dinyatakan setelah melewati masa sanggah dan/atau sanggah banding.
3)  Tender gagal dalam hal seluruh peserta terlibat persaingan usaha tidak sehat sebagaimana dimaksud pada angka 1) huruf g) berdasarkan hasil evaluasi penawaran.
4)  Tender gagal sebagaimana dimaksud pada angka 1) huruf a) sampai dengan huruf h) ditetapkan oleh Pokja Pemilihan.
5)  Tender gagal sebagaimana dimaksud pada angka 1) huruf i) sampai dengan huruf k) ditetapkan oleh PA/KPA.
6)  Dalam hal sanggah dan sanggah banding dinyatakan benar/diterima, Tender dinyatakan gagal.
 

Selanjutnya ketentuan Tindak Lanjut setelah Tender dinyatakan Gagal adalah:

  1. 1)Pokja Pemilihan melakukan evaluasi penawaran ulang, atau Tender ulang.

  2. 2)Pokja Pemilihan melakukan reviu penyebab Tender gagal sebelum dilakukan Tender ulang.

  3. 3)Pokja Pemilihan melakukan evaluasi ulang apabila terdapat kesalahan sebagaimana dimaksud pada  huruf a), huruf j), dan huruf k).

  4. 4)Pokja Pemilihan melakukan Tender ulang dalam hal Tender gagal disebabkan oleh sebagaimana dimaksud pada huruf b) sampai dengan huruf k).

  5. 5)Dalam hal Tender ulang yang disebabkan oleh korupsi, kolusi, dan/atau nepotisme yang melibatkan Pokja Pemilihan/PPK, Tender ulang dilakukan oleh Pokja Pemilihan/PPK yang baru.

  6. 6)  Dalam hal Tender gagal karena tidak ada peserta yang menyampaikan dokumen penawaran setelah ada pemberian waktu perpanjangan, Tender ulang dapat diikuti oleh Penyedia dengan kualifikasi usaha satu tingkat di atasnya. 

Apabila setelah dilakukan tender ulang  namun ternyata masih Gagal maka Tindak Lanjut Tender Ulang Gagal, Pokja Pemilihan dengan persetujuan PA/KPA melakukan Penunjukan Langsung dengan kriteria:
  1. 1)  kebutuhan tidak dapat ditunda; dan

  2. 2)  tidak cukup waktu untuk melaksanakan Tender. 

Dapat disimpulkan bahwa Pokja dan Pengguna Anggaran dapat menyatakan Gagal Tender tergantung hal-hal yang menyebabkan kegagalan tersebut. Setelah Tender dinyatakan Gagal maka barulah bisa diputuskan apakah dilakukan evaluasi ulang atau tender ulang. 

30 Desember 2021

SBU & SKK dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Tender Konstruksi)


   Sering kita mendengar istilah Sertifikat Badan Usaha (SBU) dan Sertifikat Keterampilan Kerja (SKK) dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PBJ-P) namun masih saja banyak yang bertanya apa dan bagaimana hubungannya dengan Proses Tender maupun Pekerjaan Konstruksi.... nah, pada artikel kali ini coba saya terangkan secara lebih luas dari sisi kebijakan yang mengaturnya hingga akhirnya dapat terhubung ke PBJ-P.

    

    Menurut Undang-Undang nomor 02 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi yang telah diubah Pasal 52 Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU 02/17) disebutkan bahwa Jenis usaha Jasa Konstruksi meliputi: a. jasa Konsultansi Konstruksi; b. Pekerjaan Konstruksi; dan c. Pekerjaan Konstruksi terintegrasi. Undang-undang tersebut juga mengatur bahwa setiap badan usaha yang mengerjakan Jasa Konstruksi wajib memiliki Sertifikat Badan Usaha (SBU) yang merupakan tanda bukti pengakuan terhadap klasifikasi dan kualifikasi atas kemampuan badan usaha Jasa Konstruksi termasuk hasil penyetaraan kemampuan badan usaha Jasa Konstruksi asing. Tenaga kerja konstruksi yang bekerja di bidang Jasa Konstruksi juga diwajibkan memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja (SKK) yaitu yang merupakan tanda bukti pengakuan kompetensi tenaga kerja konstruksi.

  Atas pertimbangan pengaturan yang berkaitan dengan kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi, dan percepatan proyek strategis nasional, termasuk peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja yang tersebar di berbagai Undang-Undang sektor saat ini belum dapat memenuhi kebutuhan hukum untuk percepatan cipta kerja sehingga maka pemerintah melakukan pengaturan ulang salah satunya sektor Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang salah satu sektornya adalah Jasa konstruksi  dengan diterbitkannya Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU 11/20). Melalui turunan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah nomor 05 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Resiko (PP 05/21) ditetapkan bahwa Sektor PUPR adalah tergolong Usaha Berbasis Resiko dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha pada subsektor jasa konstruksi terdiri atas:

  1. Sertifikat Badan Usaha (SBU) konstruksi;
  2. Sertifikat Kompetensi Kerja (SKK) konstruksi;
  3. Registrasi kantor perwakilan Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing (BUJKA);
  4. Lisensi lembaga sertifikasi Badan Usaha Jasa Konstruksi (BUJK); dan
  5. Lisensi lembaga sertifikasi profesi jasa konstruksi. 
Sertifikat Standar (SBU) merupakan legalitas untuk melaksanakan kegiatan usaha dalam bentuk pernyataan Pelaku Usaha untuk memenuhi standar usaha dalam rangka melakukan kegiatan usaha yang diberikan melalui Sistem OSS.

    Melalui Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat  nomor 06 tahun 2021 tentang  Standar Kegiatan Usaha dan Produk pada Penyelenggaraan Perizinan berusaha berbasis Risiko sektor Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PM 06/21) diterangkan bahwa Subsektor Jasa Konstruksi merupakan jenis pekerjaan berbasis Resiko berskala Menengah tinggi. Selanjutnya Peraturan Menteri ini juga sekaligus menetapkan Klasifikasi dan Subklasifikasi SBU yang telah dikonversi dengan Klasifikasi Baku Lapangan usaha Indonesia (KBLI). 

    "Ketentuan PM 06/21 tidak berlaku untuk SBU dan SKK dibidang Kelistrikan. Dalam hal ini harus mengacu kepada Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 05 tahun 2021 tentang Penetapan Standar Kegiatan Usaha dan Produk pada Penyelenggaraan Perizinan berusaha berbasis Risiko Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral"

    Terkhusus aturan Klasifikasi/Subklasifikasi dan Kualifikasi SBU, sebenarnya sudah ada kebijakan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat  nomor 19 tahun 2014 tentang  Perubahan Permen PUPR nomor 08 tahun 2011 tentang Pembagian Subklasifikasi dan Subkualifikasi Usaha Jasa Konstruksi (PM 19/14). Baik PM 06/21 maupun PM 19/14, keduanya mengatur hal yang sama namun merupakan pelaksanaan dari PP yang berbeda meskipun sama-sama bermuara pada UU Jasa Konstruksi yang terakhir kali diubah/dicabut oleh UU 11/20. Karena sudah terkait ke KBLI, sekilas PM 06/21 lebih kekinian ketimbang PM 19/14 bahkan terdapat beberapa perbedaan jenis sub-klasifikasinya. Meskipun begitu, demi kepastian hukum sangat disarankan agar  PM 19/14 dicabut ataupun diubah.

    Menurut Peraturan Pemerintah nomor 14 tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah nomor 22 tahun 2020 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang nomor 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (PP 14/21) bahwa Tenaga Kerja Konstruksi terdiri atas Kualifikasi jabatan: 

  1. Operator; 
  2. Teknisi atau analis; dan 
  3. Ahli. 

Klasifikasi dari ketiga kualifikasi Tenaga Kerja Konstruksi tersebut diatas meliputi:

  1. Arsitektur;
  2. Sipil;
  3. Mekanikal;
  4. Tata lingkungan;
  5. Arsitektur lanskap, iluminasi, dan desain interior;
  6. Perencanaan wilayah dan kota;
  7. Sains dan rekayasa teknik; atau
  8. Manajemen pelaksanaan. 
    Terhadap SKK, penulis belum menemukan adanya kebijakan selevel peraturan menteri PUPR yang mengatur tentang Sub-Klasifikasi dari delapan (8) klasifikasi Tenaga kerja diatas. Ini sangat penting mengingat dalam perencanaan PBJ diperlukan acuan yang jelas terhadap Subklasifikasi Tenaga Kerja Konstruksi yang dibutuhkan serta dijadikan syarat pemilihan penyedia. Sebagai tambahan literatur, LPJK terdahulu pernah mengeluarkan Peraturan LPJK nomor 5 tahun 2017 tentang Sertifikasi dan Registrasi Tenaga Ahli serta Peraturan LPJK nomor 7 tahun 2017 tentang Sertifikasi dan Registrasi Tenaga Terampil. Terlepas dari polemik apakah peraturan ini tergolong peraturan perundang-undangan atau tidak, deskripsinya tentang pekerjaan per subklasifikasi sangatlah tepat memberikan gambaran kebutuhan spesifikasi tenaga kerja bagaimana yang cocok dipersyaratkan. 
    Pelaksanaan proses sertifikasi Badan Usaha Jasa konstruksi sendiri dilakukan oleh Lembaga Sertifikasi Badan Usaha (LSBU) yang telah memiliki LISENSI Sertifikat Standar Perizinan Berusaha subsektor Jasa Konstruksi dengan nomor KBLI 71201 : JASA SERTIFIKASI. Pelaksanaan proses sertifikasi kompetensi kerja konstruksi sendiri dilakukan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) yang telah memiliki LISENSI Sertifikat Standar Perizinan Berusaha subsektor Jasa Konstruksi  dengan nomor KBLI 74311 & 74321 : AKTIVITAS SERTIFIKASI PROFESI (PIHAK 1 & PIHAK 3). Proses Sertifikasi baik SBU maupun SKK tersebut akan kita kupas pada artikel berikutnya.
    Khusus tentang tenaga kerja konstruksi, terdapat beberapa kebijakan lain yang mengaturnya seperti Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2018 tentang Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), Peraturan Presiden nomor 08 tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi  Nasional Indonesia (PS 08/12), dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor 09 tahun 2013 tentang Persyaratan Kompetensi Untuk Subkualifikasi Tenaga Ahli dan Tenaga Terampil Bidang Jasa Konstruksi (PMPU 09/13). Sertifikasi Tenaga Kerja Konstruksi harus dikeluarkan oleh Institusi/lembaga yang telah memiliki Lisensi dari BNSP dan Kualifikasi Tenaga Kerja yang disertifikasi tersebut mengacu ke PS 08/12 jo PMPU 09/13.
    Dari penjabaran diatas sudah cukup jelas bahwa SBU/SKK merupakan perizinan yang diwajibkan dimiliki pada Pelaksanaan Pekerjaan Konstruksi yang diadakan sepanjang  wilayah NKRI, lantas bagaimana dengan Jasa Konstruksi yang pengguna jasanya adalah Pemerintah atau Lembaga lain yang sumber keuangannya berasal dari kekayaan Negara? Pengadaan Jasa Konstruksi yang bersumber dari APBN/D dan bantuan/hibah kebijakannya diatur melalui Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PS 16/18).  Melalui Peraturan pelaksanaanya yaitu Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah nomor 12 tahun 2021 tentang Pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah melalui penyedia (PLKPP 12/21) khususnya lampiran 2 dan Lampiran 3 ternyata sangat banyak menyebutkan hal-hal terkait SBU seperti Klasifikasi, Sub-klasifikasi dan pengalaman sesuai klasifikasi/Subklasifikasi dan Kualifikasi SBU yang diminta agar bisa memenuhi syarat sebagai Penyedia Pekerjaan Konstruksi. Demikian pula SKK, sering menjadi persyaratan wajib dimiliki khususnya untuk Penyedia Jasa Perorangan ataupun syarat Personil manajerial bagi Penyedia Badan Usaha. 

Khusus tentang Tata Cara Evaluasi Kualifikasi terhadap SBU/SKK, PLKPP 12/21 membuat ketentuan sebagai berikut:

Persyaratan Izin berusaha dibidang Jasa Konstruksi, Sertifikat Badan Usaha (SBU), Sertifikat lainnya (apabila disyaratkan) dengan ketentuan:

a. Pokja memeriksa masa berlaku izin/sertifikat dengan ketentuan: 

  1. Izin/sertifikat yang habis masa berlakunya sebelum batas akhir pemasukan Dokumen Penawaran tidak dapat diterima dan penyedia dinyatakan gugur;
  2. Dalam hal masa berlaku izin/sertifikat habis setelah batas akhir pemasukan Dokumen Penawaran, maka Peserta harus menyampaikan izin/sertifikat yang sudah diperpanjang kepada Pejabat Penandatangan Kontrak saat penyerahan lokasi kerja dan personel;
  3. Dalam hal izin berusaha di bidang Jasa Konstruksi diterbitkan oleh lembaga online single submission (OSS), izin berusaha di bidang Jasa Konstruksi harus sudah berlaku efektif pada saat rapat persiapan penandatanganan kontrak Khusus untuk SBU, tidak perlu mengevaluasi registrasi tahunan, melainkan cukup memperhatikan masa berlaku SBU.
b. Pokja Pemilihan dapat memeriksa kesesuaian izin/sertifikat dengan menghubungi penerbit dokumen, dan/atau mengecek melalui layanan daring (online) milik penerbit dokumen yang tersedia." 

Jadi sangat jelas Pokja dalam memeriksa kesesuaian SBU/SKK harus mengacu kepada penerbitnya dimana proses penerbitannya akan saya jabarkan di artikel berikutnya.

UPDATE: 10/08/2022
Telah terbit Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat nomor 08 tahun 2022 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemenuhan Sertifikat Standar Jasa Konstruksi Dalam Rangka Mendukung Kemudahan Perizinan Berusaha bagi Pelaku Usaha Jasa Konstruksi. Penting : Peraturan baru ini tidak ada menjelaskan statusnya apakah mencabut aturan sebelumnya, dengan begitu semuanya dinyatakan masih berlaku.


Semoga mencerahkan.

Salam Kebijakan Publik PBJ-P  

27 Oktober 2021

Fitur Pengaman TOTP pada LPSE KemenPUPR, kebijakan berdasarkah?

    Kemarin, 24 Oktober 2021 saya kaget ketika hendak login ke https://lpse.pu.go.id/eproc4/ soalnya baru pertama kali dihadapkan pada prmintaan Kode TOTP, tentunya saya bingung apakah ini prosedur baru pada SPSE versi 4.4. Untuk menjawab kebingungan itu, saya coba akses ke https://lpse.lkpp.go.id/eproc4/# namun LPSE terrsebut sama sekali tidak meminta Kode TOTP. Sebagai orang yang berlatar Ilmu Kebijakan Publik yang memahami prosedur kebijakan maka coba saya cari penjelasan di Keputusan Deputi II Nomor 19 Tahun 2021 Panduan Penyesuaian Penggunaan Aplikasi Sistem Pengadaan Secara Elektronik Versi 4.4 dan 4.3 untuk Pelaksanaan Tender/Seleksi berdasarkan Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Melalui Penyedia (KDIILKPP 19/21) dan User Guide SPSE 4.4 Untuk Pelaku Usaha, namun tetap tidak menjawab kebingungan saya.

Seketika saja saya teringat postingan kawan sehari yang lalu di medsos yang memohon bantuan atas permasalahannya terkait TOTP ini, saya lihat sangat minim tanggapan dan saya juga bingung mau nanggapi apa soalnya baru dengar juga istilah TOTP ini. Saya cek postingan lain juga sudah mulai muncul kebingungan-kebingungan serupa. Coba saya tanya melalui email ke Helpdesk.spse@pu.go.id dan memperoleh tanggapan 32 menit kemudian, ternyata ada tambahan aplikasi baru yang mereka sebut TIME-BASED ONE-TIME PASSWORD (TOTP). 

Pihak Helps Desk menerangkan bahwa :

TOTP atau yang sudah biasa dikenal sebagai salah satu jenis Two-Factor Authentication (2FA). User cukup melakukan Aktivasi TOTP menggunakan Smartphone (Android/iOS) dengan Aplikasi 2FA Gratis (Contoh: Google Authenticator, Tufa, FreeOTP, dan lain-lain) yang bisa didownload melalui Play Store (Android) dan App Store (iOS). Fitur TOTP ini digunakan sebagai salah satu peningkatan standar keamanan yang membutuhkan 2 proses verifikasi. Selain menggunakan User ID dan Password, User juga wajib menggunakan Security Code yang di-generate melalui Aplikasi 2FA tersebut. Cara ini terbilang lebih aman serta terjamin keamanannya karena terintegrasi dengan Smartphone pemilik akun. Sehingga kemungkinan akan terjadinya pembajakan akun dapat ditekan seminimal mungkin. Berbeda dengan fitur One-time Password (OTP), User/Pemberi Layanan bisa dikenakan biaya tambahan jika mengirimkan OTP melalui Text Message (SMS/Whatsapp) kepada User. Untuk saat ini penggunaan TOTP pada saat login untuk seluruh User bisa di enable/disable bergantung kepada kebijakan yang berlaku. Jika dibuat enable, User Login akan menggunakan TOTP/2FA dan jika dibuat disable, User Login akan menggunakan Two-step Login.

catt: Click disini untuk meliha Petunjuk teknis & QnA terkait TOTP
 

Segera saya coba, langkah awal men-dowload aplikasi Google Authenticator pada Play Store, agak ragu juga serasa keamanan yg ditawarkan LPSE dipindahkan ke pihak ketiga yaitu Perusahaan Google, mana lagi bahwa  user id dan password kita biasanya telah disimpan perusahaan tersebut soalnya biasanya aktivasi LPSE didaftarkan pake @gmail.com dan browsing juga pake google Chrome, demi cari makan biar bisa ikut tender terpaksalah menyerah dan ikuti langkah selanjutnya. Aktivasi dan login berhasil, kemudian saya coba fitur enable/disable dan meskipun sudah di disable-kan namun hasilnya tetap enable...mulai bingung, kemudian coba reset TOTP dan masukkan alamat email namun sudah jalan 3 hari ga kunjung dapat email dan akibatnya ga bisa akses tu LPSE, untungnya saya ga sendirian, penyedia lain mulai pada komplen di medsos namun saya ga bisa membayangkan bagaimana nasib teman-teman lain yang situasinya hendak upload penawaran.

Melihat permasalahan tersebut, sebagai Layanan Publik tentunya KemenPUPR harus memikirkan kepentingan penyedia, bagaimana sebanyak 28.773 penyedia mengakses LPSE KemenPUPR. Bagaimana tujuan memberikan pengamanan menjadi menghambat dan menghalangi penyedia dalam mengikuti kompetisi Tender, belum lagi secara keamanan sistim IT telah melibatkan  Badan Siber dan Sandi Negara. Apa yang hendak diamankan dengan TOTP ini ? toh dalam satu perusahaan yang diberikan akses untuk mencari paket, mendaftar, mendownload  dokumen dan mengupload dipegang beberapa orang. Untuk pengamanan agar dokumen penawaran tidak bocor sudah melibatkan enkripsi Apendo. Dari sisi penyedia kalo memang TOTP mengunci satu perangkat maka terpaksa harus membeli perangkat tersebut untuk dipakai bersama-sama para karyawan, sangat tidak efektif kalo kegiatan umum tersebut dikuasai hanya direktur atau karyawan tersebut, lagian sudah ada Pakta Integritas dan disclaimer bahwa user ID dan pasword adalah tanggung jawab masing-masing penyedia. 

Dari sisi kebijakan bicara SPSE LPSE maka kita bicara ketentuan BAB X tentang PENGADAAN BARANG/JASA SECARA ELEKTRONIK pada PS 16/18. Sangat jelas disebutkan bahwa LKPP mengembangkan SPSE dan sistem pendukung, lebih lengkapnya sebagai berikut:


Layanan Pengadaan Secara Elektronik
Pasal 69
  1. Penyelenggaraan Pengadaan Barang/Jasa dilakukan secara elektronik menggunakan sistem informasi yang terdiri atas Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) dan sistem pendukung.
  2. LKPP mengembangkan SPSE dan sistem pendukung.

Pasal 71
(1)  Ruang lingkup SPSE terdiri atas:
  1. Perencanaan Pengadaan;
  2. Persiapan Pengadaan;
  3. Pemilihan Penyedia;
  4. Pelaksanaan Kontrak;
  5. Serah Terima Pekerjaan;
  6. Pengelolaan Penyedia; dan
  7. Katalog Elektronik.
(2)  SPSE sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki interkoneksi dengan sistem informasi perencanaan, penganggaran, pembayaran, manajemen aset, dan sistem informasi lain yang terkait dengan SPSE.
(3)  Sistem pendukung SPSE meliputi:
  1. Portal Pengadaan Nasional;
  2. Pengelolaan Sumber Daya Manusia Pengadaan
  3. Barang/Jasa;
  4. Pengelolaan advokasi dan penyelesaian
  5. permasalahan hukum;
  6. Pengelolaan peran serta masyarakat;
  7. Pengelolaan sumber daya pembelajaran; dan Monitoring dan Evaluasi.
  8. Bagian Kedua
Pasal 73
(1)  Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah menyelenggarakan fungsi layanan pengadaan secara elektronik.
(2)  Fungsi layanan pengadaan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
pengelolaan seluruh sistem informasi Pengadaan Barang/Jasa dan infrastrukturnya;
pelaksanaan registrasi dan verifikasi pengguna seluruh sistem informasi Pengadaan Barang/Jasa; dan
pengembangan sistem informasi yang dibutuhkan oleh pemangku kepentingan.
(3)  LKPP menetapkan standar layanan, kapasitas, dan keamanan informasi SPSE dan sistem pendukung.
(4)  LKPP melakukan pembinaan dan pengawasan layanan pengadaan secara elektronik.
(5)  Ketentuan lebih lanjut mengenai fungsi layanan pengadaan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Kepala Lembaga. 

Terkait LPSE, cukup jelas bahwa tugas dan tanggungjawabnya ada pada LKPP, telah dilaksanakan oleh PLKPP 12/21 dimana pada Pasal 6 ayat 3-nya menyebutkan bahwa "Ketentuan lebih lanjut mengenai Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) dan sistem pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Keputusan Deputi" dimana pelaksannaannya telah dituangkan dengan diluarkannya Keputusan Deputi II Nomor 19 Tahun 2021 Panduan Penyesuaian Penggunaan Aplikasi Sistem Pengadaan Secara Elektronik Versi 4.4 dan 4.3 untuk Pelaksanaan Tender/Seleksi berdasarkan Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Melalui Penyedia (KDIILKPP 19/21) dan User Guide SPSE 4.4.
Update (16/12/21): berdasarkan surat jawaban LKPP, disebutkan bahwa Payung hukum penambahan fitur Two-Factor Authentication (2FA) Login Penyedia dan Non Penyedia menggunakan mekanisme Time-based One-time Password (TOTP) pada Aplikasi SPSE v4.4 dapat mengacu pada Keputusan Deputi Bidang Monitoring-Evaluasi dan Pengembangan Sistem Informasi Nomor 13 Tahun 2021 tentang Panduan Penggunaan Aplikasi Sistem Pengadaan Secara Elektronik Versi 4.4 pada diktum kesatu sampai dengan diktum ketujuh; dan File User Guidenya bernama User Guide TOTP SPSE v4.4 Penyedia dan Non Penyedia (Desember 2021) telah diupload pertanggal 11/12/21 dan dapat diunduh pada link berikut https://inaproc.id/unduh.....silahkan dianalisa sendiri.
    Menurut pandangan saya, KemenPUPR dalam hal ini telah melakukan Pengembangan Sistem Pendukung SPSE berupa penambahan fitur TOTP, alasannya sederhana yaitu pertama tidak adanya fitur tersebut dalam User Guide SPSE 4.4, kedua bahwa pengembangan tersebut masuk ruang lingkup tugas dan tanggungjawab LKPP dan saya juga belum melihat adanya kebijakan pelepasan tanggungjawab dari LKPP ke KemenPUPR. Bisa saja tindakan ini berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 207 tahun 2005 tentang Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi Pemerintah Secara Elektronik.

Bagaimana dengan LPSE lain, ada 712 LPSE diseluruh Indonesia, jika masing-masing buat TOTP dan hanya memilih salah satu diantara Google AuthenticatorTufa atau FreeOTP saja maka bisa dibayangkan kacaunya Penyedia seperti apa? apalagi tidak ada sosialisasi, tanpa manual guide dan banyak BUGS-nya ....maksud baik jadi menghambat persaingan sehat. itu baru kendala 1 variabel jenis aplikasi 2FA saja, belum lagi kendala 1 User ID 1 Gadget Smartphone....kalo Penyedia pasti harus siapkan beberapa HP untuk 1 LPSE atau terpaksa kerjaan bolak-balik disable/able lalu unistal/instal aplikasi TOTP setiap kali ganti LPSE atau ganti HP...yang kaya itu operator dan perusahaan software 2FA, mengantisipasi ketergantungan Smartphone Android, Penyedia juga harus investasi HP Android yang bisa scan untuk ditinggal dikantor karena biasanya karyawan yang mengakses LPSE lebih dari satu.  Bagaimana dengan semangat "Kemudahan berusaha" yang digaungkan UU Cipta Kerja? Semoga Pejabat Publik di KemenPUPR bersedia mempertimbangkan kebijakan TOTP ini.

Update: 
LPSE Kementerian PUPR saat ini (25/09/2022) telah menggunakan SPSE Autheticator yang aplikasinya bisa diambil di Playstore.

Salam Kebijakan Publik.

Update : 
1. Saat ini LPSE kemenhub juga telah menerapkan TOTP
2. Artikel ini dibuat sebelum LKPP mengupload Manual Guide TOTP pertanggal 21 Desember 2021...untuk mendownloadnya silahkan klik disini

06 Oktober 2021

Rincian Jumlah Pelaku PBJ

Pasal 8 PS 16/18 jo PS 12/21 menyebutkan bahwa Pelaku Pengadaan Barang/Jasa terdiri atas: 
a. Pengguna Anggaran (PA): ---tidak ada data---
b. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA): ---tidak ada data---
c. Pejabat Pembuat Komitmen (PPK): 28.350 orang
d. Pejabat Pengadaan: 12.796 orang
e. Kelompok Kerja (Pokja) Pemilihan: 16.798 orang
f. Agen Pengadaan; ---tidak ada data---
g. PjPHP/PPHP; dihilangkan
h. Penyelenggara Swakelola: 7.772 orang dan 
i. Penyedia : 429.868 penyedia

Berikut sumber data selengkapnya: 

30 September 2021

Penyedia skor tertinggi, wajib menangkah...

Dalam Lampiran III Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah nomor 12 tahun 2021 tentang Pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah melalui penyedia (L3 PLKPP 12/21) disebutkan bahwan Metode evaluasi penawaran dalam pemilihan Penyedia Pekerjaan Konstruksi Terintegrasi Rancang dan Bangun dapat dilakukan dengan menggunakan 2 metode yaitu pertama Sistem Nilai dengan Ambang Batas dan kedua adalah Harga Terendah dengan Ambang Batas. Diantara kedua metode tersebut maka yang paling sering dipakai adalah pilihan pertama sedangkan untuk pilihan kedua, penulis sama sekali belum pernah menemukannya dan belum ada permasalahan implementasi kebijakannya sehingga kurang menarik untuk dikaji, jadi disini coba saya kaji adalah Metode Evaluasi dengan Sistem Nilai dengan Ambang Batas.

Menurut L3 PLKPP 12/21, Metode evaluasi Sistem Nilai dengan Ambang Batas digunakan dalam hal harga penawaran dipengaruhi oleh kualitas teknis, sehingga penetapan pemenang berdasarkan kombinasi perhitungan penilaian teknis dan harga. Dalam Pekerjaan Konstruksi Terintegrasi Rancang dan Bangun, metode evaluasi Sistem Nilai dengan Ambang Batas digunakan untuk pekerjaan kompleks atau pekerjaan mendesak Evaluasi penawaran dilakukan dengan memberikan bobot penilaian terhadap teknis dan harga. Besaran bobot harga antara 30% (tiga puluh persen) sampai dengan 40% (empat puluh persen), sedangkan besaran bobot teknis antara 60% (enam puluh persen) sampai dengan 70% (tujuh puluh persen). Penilaian teknis dilakukan dengan memberikan bobot terhadap masing-masing unsur penilaian dengan nilai masing- masing unsur/sub-unsur memenuhi ambang batas minimal. Nilai angka/bobot ditetapkan dalam kriteria evaluasi yang menjadi bagian dari dokumen Tender. Unsur/sub unsur yang dinilai harus bersifat kuantitatif. Penilaian penawaran harga dengan cara memberikan nilai tertinggi kepada penawar terendah. Nilai penawaran Peserta yang lain dihitung dengan menggunakan perbandingan harga penawarannya dengan harga penawaran terendah.

Ketentuan tersebut diatas menyisakan pertanyaan besar seperti apakah peserta dengan Nilai Kombinasi tertinggi secara otomatis jadi pemenang? Bagaimana jika terdapat penawar dengan Nilai Kombinasi tidak tertinggi namun memenuhi syarat ambang batas. 

Meskipun Pedoman L3 PLKPP 12/21 menyebut bahwa penetapan pemenang berdasarkan kombinasi perhitungan penilaian teknis dan harga namun ini masih berarti memilih pemenang bisa saja salah satu dari peserta yang lolos berdasarkan kombinasi perhitungan penilaian teknis dan harga. Untuk mengkaji secara menyeluruh terkait pertanyaan diatas maka kita harus menganalisis kebijakan apa saja yang terkait. 

Mari kita check....

Langkah awal adalah memeriksa kepastian hukum apakah kebijakan terkait hal ini tidak bertentangan dengan Norma yang mendasari dikeluarkannya ketentuan tersebut. Pada Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang telah diubah oleh Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 (PS 16/18) disebutkan bahwa Metode evaluasi penawaran Penyedia Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya dilakukan dengan:

a. Sistem Nilai;
b. Penilaian Biaya Selama Umur Ekonomis; atau 
c. Harga Terendah.

Metode evaluasi Sistem Nilai digunakan untuk Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya yang memperhitungkan penilaian teknis dan harga dimana Metode penyampaian dokumen penawaran adalah Metode dua file karena memerlukan penilaian teknis terlebih dahulu.

Berdasarkan Penjelasan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Sistem (PS 54/10), sistem nilai merupakan evaluasi penilaian penawaran dengan cara memberikan nilai angka tertentu pada setiap unsur yang dinilai, berdasarkan kriteria dan bobot yang telah ditetapkan dalam dokumen pemilihan Penyedia Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya, kemudian membandingkan jumlah perolehan nilai dari para peserta. Evaluasi penawaran sistem nilai digunakan dengan memperhitungkan keunggulan teknis sepadan dengan harganya mengingat penawaran harga sangat dipengaruhi kualitas teknis. Sebagai catatan, meskipun PS 54/10 telah dicabut namun karena adanya klausul pasal 93 pada PS 16/18 maka penjelasan tersebut dianggap masih tetap berlaku karena tidak bertentangan terhadap ketentuan dalam peraturan penggantinya.

Selanjutanya untuk Ketentuan mengenai metode pemilihan Penyedia Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya, penetapannya diperintahkan Presiden kepada Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Dengan begitu kebijakan L3 PLKPP 12/21 sah secara hukum dan tergolong peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur oleh Undang-Undang nomor 15 tahun 2019 Tentang Perubahan Undang-Undang nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Pada Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah nomor 12 tahun 2021 tentang Pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah melalui penyedia (PLKPP 12/21), selanjutnya diterangkan bahwa pelaksanaan pemilihan dapat memilih model dokumen yang sesuai yang tersedia pada Lampiran VI berupa Dokumen Pemilihan Pengadaan Pekerjaan Konstruksi Terintegrasi Rancang dan Bangun melalui Penyedia (L6 PLKPP 12.21). Khusus untuk Metode sistem nilai maka acuannya adalan Model VI.3 yaitu Model Dokumen Pemilihan Tender Pengadaan Konstruksi Terintegrasi Rancang Dan Bangun – Dokumen Tender, Prakualifikasi, Dua File, Sistem Nilai. Sampai dititik ini perlu kebijakan pembaca karena dalam pelaksanaan tender tidak diwajibkan mengikuti Model tersebut sepanjang Dokumen Tender yang dibuat tidak bertentangan dengan L3 LKPP 12/21, sangat disarankan membaca artikel saya sebelumnya yang berjudul MDP wajibkah diikuti ?.

Dengan asumsi Dokumen tender mengikut Model VI.3, maka ketetapan petunjuk teknis selanjutnya terhadap sistim nilai bagaimana? Pada model tersebut ditetapkan kebijakan sebagai berikut:

A. Evaluasi penawaran dilakukan dengan metode sistem nilai. 

B. Evaluasi Teknis:

  1. Evaluasi teknis dilakukan terhadap peserta yang memenuhi persyaratan administrasi;

  2. Evaluasi teknis dilakukan dengan ambang batas.

  3. Peserta dinyatakan lulus evaluasi teknis apabila hasil penilaian teknis melewati nilai ambang batas masing-masing unsur maupun nilai ambang batas total keseluruhan unsur yang ditetapkan dalam LDP;

C. Peserta yang dinyatakan lulus evaluasi teknis dilanjutkan dengan evaluasi harga.

D. Pokja Pemilihan melakukan perhitungan kombinasi teknis dan biaya.
E. Pokja Pemilihan menyusun urutan 3 (tiga) penawaran sebagai calon pemenang dan calon pemenang cadangan 1 dan 2 (apabila ada) berdasarkan urutan nilai kombinasi tertinggi.

F. Penetapan pemenang tender terdiri dari 1 (satu) pemenang dan paling banyak 2 (dua) pemenang cadangan.

G. Dalam hal nilai pagu anggaran paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) maka penetapan pemenang dilakukan oleh Pokja Pemilihan.

H. Dalam hal nilai pagu anggaran paling sedikit di atas Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) maka penetapan pemenang dilakukan oleh Pengguna Anggaran (PA).

Dari penjabaran huruf A s/d H diatas, pertanyaan apakah pemenang dengan nilai tertinggi otomatis menang masih belum terjawab. Sebelum itu pertanyaan mendasar yang harus dijawab adalah :

Apa dasar kebijakan Pokja/PA menetapkan pemenang dari beberapa peserta yang terpilih apabila Penyedia yang lulus teknis dan harga lebih dari satu?
Dalam Pandangan saya ini sebenarnya persoalan yang sederhana, pada intinya hirarki kebijakan berlaku dimana semua kebijakan yang disebutkan diatas (Dokumen Tender/Model VI.3, PLKPP 12/21) adalah pelaksanaan Norma kebijakan diatasnya. Terkait PBJ, Norma tertinggi diatur PS 16/18, pelaksanaan maupun kebijakan turunan dibidang PBJ tidak boleh bertentangan dengan Prinsip PBJ yang ditetapkan pada pasal 6 PS 16/18 yaitu efisien; efektif; transparan; terbuka; bersaing; adil; dan akuntabel. Dengan asumsi bahwa proses PBJ sedarisejak tahap awal telah mengikuti prinsip akuntabel-adil-bersaing-terbuka-transparan- efektif maka pertanyaan terakhirnya adalah :
Apakah Penetapan Pemenang sudah efisien ?

Efisien menurut penjelasan PS 54/10 berarti Pengadaan Barang/Jasa harus diusahakan dengan menggunakan dana dan daya yang minimum untuk mencapai kualitas dan sasaran dalam waktu yang ditetapkan atau menggunakan dana yang telah ditetapkan untuk mencapai hasil dan sasaran dengan kualitas yang maksimum. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Efisien berarti tepat atau sesuai untuk mengerjakan (menghasilkan) sesuatu (dengan tidak membuang-buang waktu, tenaga,biaya). Apabila penawaran peserta telah lulus ambang batas teknis maka tak perlu diragukan lagi apakah Kualitas dan Sasaran waktu ditawarkan sesuai atau tidak dengan yang diharapkan pengguna anggaran, permasalahannya tinggal satu yaitu apakah Pokja/PA berpikiran sebagai Pejabat yang mengelola keuangan negara dengan baik? Bukankah dalam hal ini POKJA/PA bertindak sebagai pejabat pengadaan yang harus menguntungkan atau menghindari kerugian negara? Sampai disin sudah terjawab bahwa Skors tertinggi belum tentu otomatis jadi pemenang karena POKJA/PA dalam membuat keputusan harus menjadikan prinsip Efisiensi sebagai dasar pertimbangannya. Jadi jika terdapat beberapa penawar yang lulus ambang batas teknis maka Harga Penawaran terendah sangat wajib ditetapkan sebagai pemenang kecuali ada pertimbangan/alasan pribadi.

Jawaban diatas bukanlah sebatas kajian semata, telah ada pula yurisprudensi kebijakan atas penetapan PA. Adalah sebuah tender Pekerjaan Konstruksi PembangunanGedung Kantor Kejaksaan Tinggi Provinsi DKI Jakarta. Dengan kondisi terdapat 2 penawar (A dan B) yang sama-sama lolos nilai ambang batas teknis, meskipun dengan kondisi Nilai Kombinasi Teknis dan Harga (skor akhir) penyedia A terpaut 5,30 point lebih rendah dari nilai penawar B namun Harga penawaran A lebih rendah 6,5 M. Dalam hal ini PA selaku pihak yang menetapkan pemenang telah bertindak sesuai prinsip Efisien dan menghemat dana negara sebesar 6,5 M. Bagaimana para Pokja dan Pengguna Anggaran lain...sudahkah efisien?

23 September 2021

Model Dokumen Pemilihan (MDP) wajibkah diikuti ?

 Model Dokumen Pemilihan apakah wajibkah diikuti ?


Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PS 12/21) telah terbit dan mengubah beberapa ketentuan pada Presiden Nomor 16 Tahun 2018 (PS 16/18), pada saat Peraturan Presiden ini diundangkan maka Pengadaan Pekerjaan Konstruksi/Pengadaan Jasa Konsultansi Konstruksi/Pekerjaan Konstruksi Terintegrasi tetap dilaksanakan sesuai:

  1. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 14 Tahun 2020 tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi Melalui Penyedia dan peraturan pelaksana (PMPUPR 14/20); dan

  2. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 1 Tahun 2020 tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Pekerjaan Konstruksi Terintegrasi Rancang Bangun Melalui Penyedia sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 25 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 1 Tahun 2020 tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Pekerjaan Konstruksi Terintegrasi Rancang Bangun Melalui Penyedia dan peraturan pelaksana,

sampai diterbitkannya Peraturan Kepala Lembaga mengenai Pengadaan Pekerjaan Konstruksi/Pengadaan Jasa Konsultansi Konstruksi/Pekerjaan Konstruksi Terintegrasi.

Tepat 02 Juni 2021, Peraturan Kepala Lembaga yang dimaksud diatas telah diundangkan yaitu Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah nomor 12 tahun 2021 tentang Pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah melalui penyedia (PLKPP 12/21). Dalam aturan ini terdapat 3 turunan pelaksanaan yaitu:

  1. Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah melalui Penyedia (Lampiran I s/d III)....disingkat "Pedoman PBJ"

  2. Model dokumen pada Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah melalui Penyedia (Lampiran IV s/d VI).....disingkat "Model"

  3. Keputusan Deputi mengenai Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) dan sistem pendukung.

Terhadap poin 1 & 3 diatas, menurut saya pengertiannya sudah sangat clear disamping itu peristilahannya bukan barang baru alias sudah ada sebelumnya. Yang menarik perhatian adalah apa yang disebut “Model Dokumenpada poin 2 diatas, ini adalah istilah baru yang menyisakan banyak pertanyaan seperti apakah ini yang dimaksud SBD (Standard Bidding Document)/SDP (Standar Dokumen Pengadaan) sebagaimana yang dimaksud pada PS 16/18 Pasal 91, ayat (1) huruf n ?, Apakah penyusunan dokumen pemilihan (dokpil) harus mengikuti Model ini? Apakah ada model-model dokumen lain yang memiliki jenis metode pemilihan dan kontrak yang sama ? tentunya jawabannya memerlukan kajian mendalam yang saya coba jelaskan selanjutnya.

Penelusuran peristilahan Model.
Saya telah mencoba mencari di PS 12/21 khususnya Pasal 1 yang biasanya berisi ketentuan umum tentang arti peristilahan namun hasilnya nihil, coba juga search bebas di pasal lain namun yang ditemukan hanya kalimat “Model kematangan” dan kalimat ini bukanlah model yang dimaksud. Saya juga mencari secara bebas kata “model” pada file Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah melalui Penyedia (Lampiran I s/d III) namun tetap tidak menemukannya.

Pencarian lanjut ke istilah umum yaitu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dikembangkan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (https://kbbi.kemdikbud.go.id), arti modelyang paling cocok dalam kasus ini adalah pola (contoh, acuan, ragam, dan sebagainya) dari sesuatu yang akan dibuat atau dihasilkan, pencarian dilanjutkan ke kamus Oxford Advanced Learner’s, yang menyebutkan bahwa “model” adalah “a system used as a basis for a copy; a pattern".

Dari seluruh pencarian, dapat disimpulkan bahwa istilah “model” hanya mengacu kepada terjemahan umum yaitu suatu contoh untuk ditiru tanpa adanya ukuran seberapa mirip atau banyak kesamaan produk akhir terhadap contoh tersebut. Hal ini senada dengan keterangan lisan Kepala LKPP terdahulu pada beberapa kesempatan salah satunya pada saat launching PLKPP 12/21 terkait kreativitas membuat MDP.

Lantas modelini enaknya diapakan?

Dokpil diperlukan saat Penyusunannya pada tahap Persiapan Pemilihan Penyedia melalui Tender/seleksi. Pada Pedoman PBJ (dalam hal ini saya ambil contoh Lampiran II) disebutkan bahwa Pokja Pemilihan/Pejabat Pengadaan menyusun Dokpil berdasarkan dokumen persiapan pengadaan yang ditetapkan oleh PPK dan telah direviu oleh Pokja Pemilihan/Pejabat Pengadaan. Dokpil adalah dokumen yang ditetapkan oleh Pokja Pemilihan/Pejabat Pengadaan yang memuat informasi dan ketentuan yang harus ditaati oleh para pihak dalam pemilihan Penyedia. 

Dokpil terdiri atas:

1.Dokumen Kualifikasi; dan
2.Dokumen Tender/Tender Cepat/Seleksi/Penunjukan Langsung/Pengadaan Langsung

Terhadap Dokumen Kualifikasi, Pokja Pemilihan/Pejabat Pengadaan menyusun Dokumen Kualifikasi yang memuat informasi dan ketentuan tentang persyaratan kualifikasi Penyedia, digunakan sebagai pedoman oleh Pokja Pemilihan/Pejabat Pengadaan dan Peserta untuk memenuhi dipersyaratkan. Dokumen Kualifikasi paling sedikit kualifikasi yang memuat:

1. ketentuan umum;
2. instruksi kepada peserta;
3. lembar data kualifikasi;
4. pakta integritas;
5. isian data kualifikasi;
6. petunjuk pengisian data kualifikasi;
7. tata cara evaluasi kualifikasi; dan
8. surat perjanjian kemitraan (jika diperlukan).

Untuk pemilihan Penyedia dengan prakualifikasi, Dokumen Kualifikasi disampaikan sebelum penyampaian penawaran. Untuk pemilihan Penyedia dengan pascakualifikasi, Dokumen Kualifikasi disampaikan bersamaan dengan Dokumen Tender/Seleksi.

Terhadap Dokumen Tender/Penunjukan Langsung untuk Pekerjaan konstruksi, Pokja Pemilihan menyusun Dokumen Tender/Penunjukan Langsung yang memuat paling sedikit meliputi:

1. ketentuan umum;
2. undangan/pengumuman;
3. Instruksi Kepada Peserta;
4. Lembar Data Pemilihan (LDP); 

5. Rancangan Kontrak terdiri dari:

1) surat perjanjian;

2) syarat-syarat umum Kontrak; dan 3) syarat-syarat khusus Kontrak;

6. Daftar Kuantitas dan Harga;
7. spesifikasi teknis/KAK dan/atau gambar, brosur; dan

8. bentuk dokumen lainnya.

Terhadap Dokumen Seleksi/Penunjukan Langsung untuk Jasa Konsultansi Konstruksi, Pokja Pemilihan menyusun Dokumen Seleksi/Penunjukan Langsung yang paling sedikit meliputi:

  1. ketentuan umum;
  2. undangan/pengumuman;
  3. Instruksi Kepada Peserta;
  4. Lembar Data Pemilihan (LDP); 
  5. KAK
  6. bentuk dokumen kontrak
  7. Rancangan Kontrak terdiri dari: 1) surat perjanjian; 2) syarat-syarat umum Kontrak; dan 3) syarat-syarat khusus Kontrak.
  8. Daftar Kuantitas dan Harga atau Daftar Keluaran Harga;dan
  9. bentuk dokumen lainnya. 

Sampai disini tampaknya jelas bahwa :

  1. Dokpil yang dimaksud oleh PS 16/18 jo PS 12/21 Pasal 91, ayat (1) huruf n adalah Dokpil yang dimaksud pada Pedoman PBJ.

  2. Ketentuan Dokpil yang diatur, ruang lingkupnya hanya sampai membatasi muatan minimal yang dipersyaratkan tercantum pada Dokpil jika diandaikan hanya sampai judul BAB saja tanpa rincian lebih lanjut.

  3. Tidak ada diatur bahwa persyaratan minimal maupun detailnya itu harus mengacu kepada salah satu Model Dokumen yang ada pada Lampiran IV s/d VI pada PLKPP 12/21.

  4. Tidak ada ketentuan yang mengatur rincian dari masing-masing muatan misalnya rincian dari Lembar Data Pemilihan terkait tenaga ahli yang dibutuhkan apa saja, berapa jumlahnya, SKA/SKK apa, peralatannya bagaimana bahkan Tata Cara Evaluasi juga tidak diatur.

Kesimpulannya sudah jelas bahwa Dokpil bisa ditetapkan Pokja Pemilihan/Pejabat Pengadaan sesuai pemahamannya akan Peraturan Perundangan-Undangan (PUU) terkait PBJ. Secara Sumber Daya Manusia (SDM) ini memungkinkan dilakukan mengingat keahlian POKJA diperoleh karena telah memahami peraturan perundang-undangan di bidang PBJ (Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah nomor 06 tahun 2019 tentang Sertifikasi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah).

Pilihan pertama dalam menetapkan Dokpil adalah apakah harus membuat model baru diluar dari yang dimuat pada PLKPP 12/21 seperti membuat sendiri atau mengacu ke Bank Dunia sepanjang memenuhi syarat muatan wajib. Pilihan ini harus mempertimbangkan bahwa PUU terkait PBJ sangat banyak bahkan sampai saat ini saya mencatat ada 375 buah, salah bikin sudah pasti berujung pelanggaran administrasi yang bisa saja nyangkut ke pidana. Bisa juga mengacu ke Peraturan menteri terkait Barang/Jasa yang diadakan seperti PMPUPR 14/21 pada Jasa Konstruksi ataupun Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 11 Tahun 2020 tentang Petunjuk Operasional Dana Alokasi Khusus Fisik Bidang Pendidikan.

Pilihan kedua adalah memilih salah satu dari Model yang disediakan meskipun tidak harus mengikuti seluruh isinya persis sama, dalam hal ini bisa saja hanya mengcopy syarat muatan minimal namun mengubah hal yang lain. Apapun pilihannya yang pasti Dokpil tidak boleh bertentangan dengan 7 Prinsip Pelaksanaan PBJ yaitu efisien; efektif; transparan; terbuka; bersaing; adil; dan akuntabel.

Sebagai penutup, saya menyarankan terlepas dari ilmu hukum yang sifat mengatur apa dan tidak, sebaiknya Dokpil dibuat mencerminkan kebijakan publik, tidak mempersulit Penyedia dan turut menciptakan kemudahan berusaha sebagaimana yang diamanatkan Undang-Undang Cipta Kerja.


Salam Kebijakan Publik Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

21 Agustus 2021

Bolehkah menyebut MEREK pada TENDER ? dan apa SANKSI-nya ?


Hallo para pelaku PBJ khususnya para pembaca, kali ini saya tertarik mengkaji dalam rangka menjawab pertanyaan salah satu member FB Group LKPP (Barang dan Jasa) - Ekosystem PENGADAAN Indonesia. Adapun pertanyaan tersebut adalah apakah dalam spesifikasi teknis boleh merujuk/mensyaratkan ke merek tertentu?, sekilas ini pertanyaan gampang dijawab namun bila dikaji dengan kacamata Kebijakan Publik ternyata tidak, dan penjelasannya coba saya jabarkan pada artikel ini.

Terkait artian Merek, menurut Undang-Undang nomor 13 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (UU 13/16) adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau Jasa. Merek tersebut dilindungi Hukum setelah Hak atas Merek tersebut terdaftar pada Berita Resmi Merek yaitu media resmi yang diterbitkan secara berkala oleh Menteri melalui sarana elektronik dan/atau non-elektronik dan memuat ketentuan mengenai Merek.

Terkait bagaimana Merek tersebut dipasarkan di Indonesia khususnya pada metode pemilihan Tender sudah diatur melalui Undang- Undang nomor 05 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU 05/99) yang terakhir diubah oleh Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja Pasal 118 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha. Selanjutnya Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 2 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pasal 22 Tentang Larangan Persekongkolan dalam Tender (PerKPPU 02/2010) sebagai aturan pelaksanaan UU 05/99 jelas menyebutkan bahwa salah satu Indikasi Persekongkolan dalam Tender adalah dengan persyaratan dan spesifikasi teknis atau merek yang mengarah kepada pelaku usaha tertentu sehingga menghambat pelaku usaha lain untuk ikut.

Terkait PBJ, penyebutan merek juga sudah diatur melalui Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PS 16/18') sebagaimana yang diubah oleh Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021. PS 16/18' menyebutkan bahwa dalam penyusunan spesifikasi teknis/KAK dimungkinkan penyebutan merek terhadap:

  1. komponen barang/jasa;
  2. suku cadang;
  3. bagian dari satu sistem yang sudah ada; atau
  4. barang/jasa dalam katalog elektronik atau Toko Daring.

Dan khusus untuk Metode Tender Cepat, penyebutan dimungkinkan hanya untuk Suku Cadang dan bagian dari satu sistem yang sudah ada.

Selanjutnya Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah nomor 12 tahun 2021 tentang Pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah melalui penyedia (PerLKPP 12/21) sebagai pelaksanaan dari PS 16/18 menyebutkan bahwa Spesifikasi teknis/KAK harus didefinisikan dengan jelas dan tidak mengarah kepada produk atau merek tertentu kecuali dimungkinkan sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden. Pada Lampiran PerLKPP 12/21 juga sudah sangat jelas bahwa merek yang diusulkan Peserta dalam penawarannya termasuk unsur yang dievaluasi/dinilai.

Dapat disimpulkan baik UU 05/99 maupun PS 16/18 membolehkan penyebutan merek namun UU 05/99 ada Larangan bahwa Merek tersebut "tidak mengarah kepada pelaku usaha tertentu sehingga menghambat pelaku usaha lain untuk ikut". Untuk lebih jelas dapat dibaca di Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 2 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pasal 22 Tentang Larangan Persekongkolan dalam Tender.  PS 16/18' dibuat atas dasar pertimbangan adanya Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja Pasal 175 tentang perubahan Undang-Undang nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU 30/14') dimana disebutkan asas penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan antara lain asas Legalitas dan Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB). Secara legalitas Merek diatur oleh Undang-Undang nomor 13 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis sedangkan salah satu prinsip pelaksanaan PBJ adalah Akuntabel maka dengan sendirinya Merek yang dimaksud pada PS 16/18' adalah yang sudah terdaftar di Berita Resmi Merek Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Untuk memeriksa apakah Merek tersebut sudah terpenuhi aspek legalitasnya maka bisa dilakukan pengecekan pada https://pdki-indonesia.dgip.go.id.

Meskipun tidak melarang pembatasan satu atau beberapa jenis merek, namun batasannya jelas diatur di PerKPPU 02/10 yaitu sepanjang tidak mengarah kepada pelaku usaha tertentu sehingga menghambat pelaku usaha lain untuk ikut. Berdasarkan PerKPPU 02/10 dan penelitian saya, indikasi pelanggaran batasan tersebut adalah antara lain sebagai berikut:

  1. Adanya kesepakatan dengan pelaku usaha tertentu mengenai merek barang dan jasa yang akan ditender.
  2. Pemilik Merek hanya mau bekerjasama atau memberikan dukungan kepada Penyedia tertentu sehingga penyedia lain tidak bisa ikut apalagi memenangkan tender.
  3. Pemilik Merek memberikan discount khusus kepada penyedia tertentu sehingga bisa menawar lebih rendah dari Penyedia lain yang diberikan dukungan yang sama.
  4. Pemilik merek mencabut dukungannya dengan alasan sedemikian rupa pada tahap evaluasi sehingga menggugurkan penawaran penyedia tersebut.

 

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana jika Indikasi tersebut terpenuhi, apa yang harus dilakukan oleh masyarakat yang mengetahui maupun penyedia yang dirugikan. Untuk ini setiap orang yang mengetahui telah terjadi atau patut diduga telah terjadi pelanggaran dapat melaporkan secara tertulis kepada KPPU, dengan keterangan yang jelas tentang telah terjadinya pelanggaran, dengan menyertakan identitas pelapor. Selain itu Pihak yang dirugikan sebagai akibat terjadinya pelanggaran dapat melaporkan secara tertulis kepada Komisi dengan keterangan yang lengkap dan jelas tentang telah terjadinya pelanggaran serta kerugian yang ditimbulkan, dengan menyertakan identitas pelapor. Apabila terbukti maka dapat dijatuhkan sanksi administratif yaitu printah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan


Contoh Kasus Penyimpangan terkait Merek:

  1. Tidak ditetapkannya Merek Cat KAK. Dalam penyusunan HPS, dasar perhitungan memakai Cat Merek Mahal, namun saat pemilihan, merek yang dipakai tidak ditetapkan akibatnya timbul multi tafsir di seluruh penawar. Adalah penawar A yang memakai harga ekstrim yaitu menawarkan harga cat oplosan sedangkan penawar lain pakai vinilex dan Jotun serta merek lainnya. Karena harga jauh beda, si A bisa menawar dibawah 80% dan memenangkan tender dan bekerja. Pelaksanaannya tentulah berdasarkan apa yang diperjanjikan di dokumen penawaran dan akibatnya pengawas dan auditor tidak memiliki dasar hukum untuk melarang pemakaian cat oplosan. Jadilah Bangunan dengan Cat yang seumur jagung, tak berapa lama setelah batas waktu masa pemeliharaan habis maka mulai warna berubah, luntur, terkelupas dll.

  1. Pencantuman Merek mengarah ke Penyedia tertentu. Pada persyaratan dicantumkan merek lampu A, dimana merek ini cuman import lampu dari china lalu dilabelin merek tertentu yang belum terkenal dan tidak terdaftar di Kemenkumham. Meskipun merek lampu sangat banyak bahkan terdaftar, terpaksa semua penyedia meminta dukungan ke pemilik merek A, untungnya dikasih namun khusus penyedia tertentu diberi harga sangat murah akibatnya penawaran bisa paling rendah dan menang. Ada juga kasus si pemilik Merek menarik dukungannya sedemikian rupa pada saat klarifikasi sehingga memenangkan penawaran penyedia tertentu yang mendapat dukungan.

  2. Ditetapkan merek namun pilihan tidak ditetapkan di dokumen penawaran.
    Bahan Atap di dokumen penawaran disyaratkan merek Genteng Benton A, B, C,  Si Penawar yang dimenangkan juga memilih merek A,B,C di spesifikasi teknisnya. Saat pelaksanaan, Konsultan/PPK memaksa pakai merek C karena sudah punya deal dengan produsen merek tersebut. Akibatnya harga C naik (markup) dan kontraktor menanggung beban, jadilah kontraktor mesan merek C tapi minta KW1 Kw2. Selesai tuh bangunan, namun belum habis masa pemeliharaannya... atapnya rubuh.

  3. Ditetapkan namun dikasih celah spesifikasi “setara”. Di dokumen KAK disyaratkan U Ditch merek A atau setara, penyedia yang dimenangkan juga ikut memberi penawaran merek A atau setara. Pas dilapangan ada celah seputar definisi setara ”ukurannya apa”, jadilah persamaan persepsi berbayar di lapangan dan U Ditch cetak sendiri ataupun cor ditempat. Yang terjadi selanjutnya bisa ditebak sendiri. 

POSTINGAN POPULER