Layanan Jasa Konsultasi.

Kami dapat memberikan JASA Nasehat Kebijakan terhadap Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan; Pengadaan Barang/Jasa Konstruksi (Perencanaan - Persiapan - Pelaksanaan - Kontrak); dan Pemenangan Tender. Kami juga membantu membuat Kebijakan Perusahaan (Peraturan Direksi dan Dokumen Tender). Hubungi bonatua.766hi@gmail.com

Translate

Tampilkan postingan dengan label KAJIAN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label KAJIAN. Tampilkan semua postingan

28 November 2022

UJI MATERIIL Undang-Undang nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan



Update: 
Permohonan ini telah kami cabut secara resmi per tanggal 19 desember 2022 pukul 11:00 dengan beberapa alasan diantaranya "Menyampaikan Saran/kritik kepada Pemerintah dan DPR bahwa ada pemikiran dari rakyat terhadap suatu permasalahan Kebijakan Dasar yang disusun oleh Bapak Pendiri Bangsa kita dalam bentuk UUD 1945, dan pesan dan makna Filosofis keberatan Rakyat dianggap sudah tersampaikan". Pencabutan tersebut telah ditetapkan Mahkamah pada tanggal 31 januari 2023 (https://inforadar.disway.id/amp/649576/permohonan-pencabutan-uji-uu-p3-dikabulkan-mk).

Akhirnya permohonan Uji Materiil kami terhadap Pasal 1 angka 6; Pasal 7 ayat 1; Pasal 13 dan penjelasan Pasal 13 dari Undang-Undang nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah diterima dan akan menghadapi persidangan minggu depan sebagaimana panggilan sidang berikut:


    
    Sejak memulai penyusunan permohonan sampai mendapatkan Akta Pengajuan Permohonan hingga akhirnya mendapatkan panggilan sidang memang sudah terasa kelas Pelayanan Publik Mahkamah Konstitusi melebihi standar, tak salah kalo Lembaga ini sangat memperhatikan Hak/Kewenangan Konstitusi Masyarakat pencari keadilan. Sistem Pelayanan Berbasis Elektronik, pelayanan cepat, tersedia Kantor Pos yang melakukan leges gratis, parkiran gratis, dan terpenting security/pegawai bermental melayani. Semoga Hak hak Konstitusional Masyarakat tetap Prioritas utama di Lembaga ini.
    
    Kata orang, Hakim memutuskan perkara berdasarkan keyakinan, dan semoga keyakinan kami sama yaitu :
  1. UUD 45 hanya menyebutkan Ketetapan MPR, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah sebagai sumber hukum konstitusional kita.
  2. Jikapun ada peraturan lain seperti Peraturan Presiden, Peraturan Kementerian/Lembaga, Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota maka peraturan itu harus memiliki hubungan langsung dan jelas diperintahkan oleh salah satu sumber hukum konstitusional diatas.
  3. Kekuasaan Pembentukan Perundang-Undangan merupakan hak/kewajiban konstitusional bersama antara Presiden dan DPR, dengan begitu segala peraturan selain bersumber dari hukum konstitusional kita maka dapat dikatakan tidak sah dan tidak berkekuatan hukum yang mengikat.
  4. Dalam hal pembentukan Peraturan Presiden, maka apabila bukan dibentuk atas dasar hukum dan perintah yang jelas dari Undang-Undang dan atau Peraturan Pemerintah maka dapat dikatakan Peraturan Presiden tersebut dibentuk :
    • oleh Presiden diluar hak/kewenangan konstitusi yang dimilikinya.
    • tanpa Persetujuan DPR.
    • tidak bersumber dari UUD 45
tentunya keyakinan itu bukanlah muncul tanpa Alasan, Bukti dan Dasar Hukum dan semoga teman-teman pembaca memiliki keyakinan yang sama juga setelah membaca permohonan kami, untuk itu kami sampaikan isi permohonan kami selengkapnya:


Kepada yang terhormat,
    Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia 
    Jl. Medan Merdeka Barat No. 6
    Jakarta Pusat 10110



PERMOHONAN UJI MATERIIL 
Undang-Undang nomor 12 tahun 2011 
tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan


Dengan hormat,

Kami yang bertanda tangan dibawah ini, bermaksud mengajukan permohonan pengujian Materiil yang berkenaan dengan Materi muatan dalam Pasal 1 angka 6; Pasal 7 ayat 1; Pasal 13 dan penjelasan Pasal 13 dari Undang-Undang nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut UU 12/11) (bukti P-1) yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 45) (bukti P-2).

Adapun kami para pemohon sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1 pasal 4 pada Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (selanjutnya disebut PMK 02/21) yang menganggap Hak Konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya UU 12/11 adalah sebagai berikut:

a. 
Nama : Bonatua Silalahi
N.I.K : xxxxxxxxxxxxxx
Pekerjaan : Mahasiswa Program Doktor (S-3) Kebijakan Publik.
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat Rumah : xxxxxxxxxxxxxxx
Alamat Email : Bonatua.766hi@gmail.com
Sebagai orang perorangan warga negara Indonesia----------------------Pemohon I;

b. 
Nama : xxxxxxxxxxxxxxxxx
N.P.W.P : xxxxxxxxxxxxxxx
Bidang Usaha : Konsultan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
AlamatKantor : xxxxxxxxxxxxxxxx
Alamat Email : xxxxxxxxxxxx@gmail.com
Sebagai orang badan hukum Privat--------------------------------------- Pemohon II

Adapun Hak Konstitusional Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya UU 12/11 sebagaimana yang dimaksud pada ayat 2 pasal 4 pada PMK 02/21 adalah kami jabarkan sebagai berikut:

A. Ada hak konstitusional pemohon yang diberikan UUD 45.

1) Bahwa Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 berbunyi: Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.


B. 
Hak dirugikan oleh berlakunya UU 12/11 yang dimohonkan pengujian.

2) Bahwa para pemohon merasa dirugikan atas berlakunya UU12/11 khusunya Pasal 1 angka 6; Pasal 7 ayat 1; Pasal 13 dan penjelasan Pasal 13. Kerugian tersebut adalah tidak diperolehnya kepastian hukum yang adil atas berlakunya Peraturan Presiden yang bukan merupakan salah satu dari jenis Peraturan yang disebut didalam UUD 45.


C. Kerugian konstitusional bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.

C.1. Bersifat spesifik (khusus) dan Aktual

a. Pemohon I.

3)  Bahwa Pemohon I adalah penyandang gelar Master Ekonomi Konsentrasi Kebijakan Publik berijazah (bukti P-12) dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Trisakti.

4) Bahwa pemohon I dalam meraih gelar tersebut telah melakukan Penelitian dalam bentuk Tesis (bukti P-9) yang berfokus pada Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (selanjutnya disebut PBJ).

5) Bahwa saat ini Pemohon I sedang menjalani Studi Pendidikan Doktor (S-3) Kebijakan Publik di Fakultas Ilmu Ekonomi dan Bisnis Program Studi Universitas Trisakti dengan Nomor Induk Mahasiswa (NIM) 221022106004 (bukti P-8) dan telah melakukan sidang kolokium yang tetap konsisten melakukan penelitian dalam bentuk Disertasi yang berfokus tetap pada Kebijakan PBJ.

6) Menurut buku HANDBOOK of PUBLIC POLICY yang diedit oleh B.GUYPETERS and JON PIERRE, menyebutkan bahwa Konstitusi adalah hukum dasar yang menetapkan 'aturan main' untuk proses politik. UUD 45 adalah hukum dasar untuk menetapkan aturan main bagaimana Proses Politik antara Dewan Perwakilan Rakyat (selanjutnya disebut DPR) dan Pemerintah khususnya dalam kerjasama membuat Peraturan Perundang-Undangan (selanjutnya disebut PPU).

7)  Bahwa pada saat menjalani penelitian (Tesis dan Disertasi) terkait Kebijakan PBJ, pemohon I menemukan fakta bahwa jenis hierarki PPU paling tinggi dibidang PBJ adalah Jenis Peraturan Presiden (selanjutnya disebut PS) yaitu PS Nomor 16 Tahun 2018 tentang PBJ (selanjutnya disebut PS 16/18) (bukti P-4).

8)  Bahwa menurut kajian Pemohon I, pertimbangan pembentukan PS 16/18 bukanlah untuk menjalankan perintah PPU yang lebih tinggi sebagaimana yang diatur pada Pasal 1 angka 6 dan Pasal 13 UU 12/11 dengan alasan sebagai berikut:

  1. a)  Pada bagian Menimbang PS 16/18 sama sekali tidak menyatakan bahwa aturan tersebut dibentuk atas pelaksanaan PPU yang lebih tinggi.

  2. b)  Pada bagian Mengingat, PS16/18 menyebutkan Undang-Undang Nomor 01 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (selanjutnya disebut UU 01/04) (bukti P-5) dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (selanjutnya disebut UU 30/14) (bukti P-6) sebagai Dasar hukumnya, pada kedua UU tersebut ditemukan fakta bahwa:

    • UU 01/04 hanya mengandung 1 frasa/kalimat yang materi muatannya terkait PBJ yaitu pada pasal 16 ayat 4 berbunyi "Penerimaan berupa komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh negara/daerah adalah hak negara/daerah". Begitu pula pada Peraturan Pemerintah (selanjutnya disebut PP) sebagai aturan pelaksana/turunan, pemohon sama sekali tidak menemukan aturan yang memuat materi PBJ maupun adanya perintah pembentukan PS untuk mengatur PBJ.

    • UU 30/14 sama sekali tidak menyebutkan adanya frasa/kalimat yang mengatur materi terkait PBJ.

9)  Bahwa pertimbangan pembentukan PS 16/18 patut diduga dibentuk dalam rangka menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan sebagaimana yang diatur pada Pasal 1 angka 6 dan Pasal 13 UU 12/11 namun tidak dapat dipastikan kekuasaan yang mana dari sekian banyak (11 jenis) kekuasaan pemerintah yang diatur pada BAB III UUD 45. 

10) Bahwa Pemohon I juga menyimpulkan berdasarkan kajian yaitu:
  1. a)  Lingkup pengaturan PBJ yang diatur pada PS 16/18 sangatlah luas sebagaimana yang dimaksud Pasal 1 angka 1 PS/16 berbunyi: Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut Pengadaan Barang/Jasa adalah kegiatan Pengadaan Barang/Jasa oleh Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan Belanja Negara (selanjutnya disebut APBN)/Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (selanjutnya disebut APBD) yang prosesnya sejak identifikasi kebutuhan, sampai dengan serah terima hasil pekerjaan.

  2. b)  Pengaturan PBJ yang dibiayai APBN oleh PS mengakibatkan adanya Intervensi Kebijakan yang dilakukan oleh Presiden terhadap pemegang Kekuasaan Negara lainya (Eksekutif, Legislatif, Yudikatif & Eksaminatif) yaitu Majelis Permusyaratan Rakyat (selanjutnya disebut MPR), DPR, Mahkamah Agung (selanjutnya disebut M.A), Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut M.K) dan Badan Pemeriksa Keuangan (selanjutnya disebut BPK). Secara Aktual, seluruh lembaga tersebut telah menyelenggarakan PBJ berpedoman pada PS 16/18.

  3. c)  Pengaturan PBJ yang dibiayai APBD oleh PS mengakibatkan adanya Intervensi Kebijakan yang dilakukan oleh Presiden terhadap Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut PEMDA) yang memiliki hak/kewenangan konstitusi menetapkan Peraturan Daerah (selanjutnya disebut PERDA) dan peraturan- peraturan lain dalam melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Secara Aktual, seluruh PEMDA saat ini telah melaksanakan PS 16/18 meskipun penyelenggaraannya dalam rangka pelaksanaan otonomi dan tugas perbantuan.

  4. d)  Ketidakjelasan penerapan pengaturan materi muatan yang dapat diatur PS juga telah menimbulkan multi tafsir terhadap Undang-Undang (selanjutnya disebut UU) yang materi muatannya telah disetujui DPR seperti:

    • Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang PEMDA dimana seharusnya Daerah memiliki Hak Konstitusi mengatur keuangan daerahnya sendiri termasuk tata cara belanja Modal maupun belanja barang/jasa sebagai urusan yang bersifat otonom sebagaimana diatur pada pasal 18 ayat 6 UUD 45.
    • Undang-Undang nomor 02 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (selanjutnya disebut UU 02/17) yang mana seharusnya Ketentuan Pengadaan Jasa Konstruksi diatur dalam bentuk PP yang merupakan aturan pelaksanaanya.
    • Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang mana Badan Usaha Milik Negara (selanjutnya disebut BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (selanjutnya disebut BUMD) selaku usaha yang modalnya bersumber dari kekayaan Negara seharusnya aturan PBJ-nya mengikuti PS 16/18, pada Aktualnya mereka mengacu pada aturan sendiri.
11)Bahwa sebagai Peneliti, Pemohon I mengalami kebingungan menguraikan benang merah keterkaitan PS 16/18 (khususnya yang dibentuk dalam rangka untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan) terhadap UUD 45.
b. Pemohon II

12)Bahwa Pemohon II adalah Badan Usaha berbadan Hukum yang kegiatannya memberikan Jasa Nasehat (konsultan) terkait penyelenggaraan PBJ pada Kementerian, Lembaga, Pemerintah Daerah, BUMN dan BUMD.

13) Bahwa dalam pemberian nasehat kepada klien-nya, Pemohon II sering dihadapkan dengan multi tafsir kebijakan atas keberadaan PS 16/18 antara lain:

  1. PBJ didaerah memiliki standar ganda dimana sebagian mengacu ke PS 16/18 dan sebagian lagi mengacu ke PERDA-nya, bahkan ada beberapa daerah yang membuat PERDA khusus terkait PBJ meskipun isinya hanya suatu pernyataan bahwa kebijakan PBJ didaerah tersebut berpedoman kepada PS 16/18.

  2. PBJ konstruksi mengalami 2(dua) polarisasi pedoman pelaksanaan PBJ, dimana ada yang mengacu ke Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah nomor 09 tahun 2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Melalui Penyedia sebagai turunan PS 16/18 namun ada juga yang mengacu kepada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat nomor 14 tahun 2020 tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi Melalui Penyedia sebagai pelaksanaan UU 02/17.

  3. Kebijakan PBJ di BUMN/BUMD, anak BUMN/BUMD maupun teravialiasi BUMN/BUMD juga menjadi sangat bervariasi, dimulai dari perusahaan membuat kebijakan sendiri, mengikuti kebijakan menteri BUMN, mengikuti PS 16/18 beserta turunannya sampai hanya mengikuti PS 16/18 namun tidak mengikuti Peraturan turunannya.

14)  Bahwa multitafsir yang disebut pada angka 13) diatas sering dipakai sepihak oleh Badan Publik, Pengguna Anggaran, Pejabat Pembuat Komitmen, Pejabat Pengadaan dan Kelompok kerja pemilihan dengan mengambil tafsiran yang menguntungkan pihaknya dan merugikan pihak lain termasuk para klien pemohon II. Kondisi ini sangat berpotensi terjadi transaksi kepentingan agar dapat memperkaya diri sendiri dan orang lain.

15)  Sebagai kelanjutannya, pihak II pada akhirnya dirugikan secara bisnis seperti tidak mendapatkan pembayaran yang sesuai karena hasil pekerjaannya tidak maksimal akibat kualitas nasehat yang diberikan penuh ketidakpastian.

16)  Pemohon II secara spesifik mengalami kerugian tidak terdapatnya kepastian hukum akibat multitafsir pada Jasa Nasehat PBJ dan terjadi secara aktual sampai saat ini.

C.2. Kerugian bersifat Potensial

17)Bahwa ketidakjelasan pembentukan PS akan bisa berpotensi terjadinya intervensi bahkan barter kekuasan antara Kekuasaan Pemerintah terhadap kekuasaan lainnya, dalam hal ini pemohon mencontohkan potensi kerugian yang dimaksud terhadap pembentukan PS 16/18 sebagai berikut:
    a) Melalui PS 16/18 maka Pemerintah Pusat akan bermain di eksekusi Anggaran Belanja Barang/Jasa di Lembaga MPR, DPR, BPK, M.A & M.K dengan cara membuat aturan sedemikian rupa sehingga pelaksanaan PBJ menjadi tidak value for money (ekonomis, efektif, efisien). Barter kekuasan akan terjadi dalam bentuk kompensasi anggaran dengan cara melonggarkan/mengetatkan kebijakan tata cara PBJ sehingga masing-masing kepentingan tercapai. Dalam hal ini bisa saja DPR tidak mempermasalahkan isi Materi PS walaupun sebenarnya tidak layak disetujui karena UU pembentuknya belum ada atau bahkan bertentangan dengan UU yang telah disetujui bersama, sepanjang barter kepentingan berlangsung maka ketertiban dan kepastian materi menjadi bukan hal yang penting. Kekuasaan Pemerintah dalam membentuk PS bisa disetting sehingga tata cara PBJ nya menjadi rentang pelanggaran, minim pengawasan bahkan hanya pencatatan saja, setidaknya menurut kami settingan ini sudah terjadi seperti Pelaksanaan Swakelola yang dibolehkan cukup transparansi dengan hanya pencatatan saja atapun menutup informasi dokumen penawaran pemenang tender sebagai Informasi yang dikecualikan.
    b)  PEMDA juga tidak bisa menjalankan Hak Konstitusi dalam menjalankan kekuasaan Otonomi Daerah-nya mengingat PS 16/18 turut melakukan intervensi mengatur PBJ yang bersumber dari APBD. Kekuasaan mengelola anggaran sendiri adalah salah satu hak otonomi daerah sebagai wujud desentralisasi fiskal, kami berpandangan Presiden tidak berwenang mengatur urusan-urusan yang telah diserahkan ke daerah.
    c)  Materi PS 16/18 sering menjadi bahan bongkar pasang, terbukti sejak dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sampai yang berlaku saat ini yaitu Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, tercatat sudah 16 kali perubahan dan jika dirata-ratakan 0,88 kali perubahan setiap tahunnya. Sangat gampangnya merubah Materi muatan mengindikasikan dasar hukum pembentukannya tidak kuat karena memang bukan dibentuk atas dasar materi pada UU yang disepakati DPR dan terkesan tidak ada kontrol. Akibat lebih lanjut anggaran yang dikeluarkan dalam Pembentukan PS 16/18 tidak efektif dan efisien seperti biaya serap pendapat, biaya penyusunan naskah akademik, akomodasi rapat dan sebagainya, belum lagi anggaran untuk sosialisasi perubahan aturan, pembentukan dan sosialisasi aturan turunan. Khusus untuk perubahan tertentu ternyata diperlukan adanya pelatihan karena melibatkan pedoman tata cara penggunaan aplikasi seperti Sistim Pengadaan Secara Elektronik (SPSE).


18) Bahwa pembentukan PS bisa menjadi celah bagi Presiden untuk mengatur materi muatan tertentu tanpa perlu mendapat persetujuan DPR. Dengan diakuinya PS sebagai salah satu PPU maka pembentukan dan materi muatannya akan mengacu ke UU 12/11 dan dengan dalil/alasan:

  1. untuk menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan dan atau
  2. mengatur materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan dan atau
  3. untuk menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut perintah UU atau PP secara tidak tegas diperintahkan pembentukannya.
Maka Presiden dengan kekuasaanya yang dibatasi UUD 45 akan dapat membuat PS yang materi muatannya tanpa melalui persetujuan DPR dan dasar pembentukannya memakai metode cocokologi terhadap beberapa UU/PP yang dianggap bisa memberikan justifikasi menyalurkan kepentingannya.

19) Bahwa setiap kebijakan yang muncul termasuk PS berimplikasi langsung terhadap alokasi anggaran, hal ini berpotensi dan bahkan telah terjadi dimana banyak Lembaga yang dibentuk berdasarkan PS telah membebani APBN. Kedudukan Lembaga tersebut menjadi permasalahan serius terhadap bentuk pengawasan DPR mengingat Lembaga dan materi muatan yang diselenggarakan bukanlah dari UU/PP yang disepakati bersama. Menjadi pertanyaan besar berikutnya bagaimana hak/kewenangan Budgeting lembaga yang tidak memiliki hak/kewenangan konstitusional bahkan tanpa persetujuan DPR melalui UU yang disepakati. Sebagai contoh adalah pembentukan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 106 Tahun 2007.


D. Ada hubungan sebab-akibat antara kerugian konstitusional dan berlakunya UU 12/11 yang 
dimohonkan pengujian.

20)  Bahwa berlakunya UU 12/11 adalah bentuk diskresi proses pembentukan PPU yang diatur oleh UUD 45 yang diberikan DPR kepada Presiden sehingga bisa membuat aturan tanpa secara jelas diperintahkan UU/PP dan dapat dengan bebas memilih UU/PP mana yang dijadikan konsideran maupun dasar hukum pembentukannya.

21)  Diskresi selanjutnya adalah terkait materi muatan, dimana pada aturan PS dapat dibuat tanpa persetujuan DPR dengan dalih materinya untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan tanpa harus ada kejelasan dalam rangka pelaksanaan kekuasaan pemerintah mana yang dimaksud.

22)  Muncul PS yang bukan dibuat berdasarkan konstitusional, maka akibat selanjutnya menimbulkan ketidakpastian akan jenis dan hierarkinya dan menimbulkan multi tafsir tak kala berhadapan dengan PPU lain yang pada akhirnya menimbulkan ketidaktertiban hukum.

23)Bahwa akhirnya berlakunya UU 12/11 tersebut telah menimbulkan kerugian konstitusional para pemohon karena tidak mendapatkan hak/kewajiban berupa kepastian hukum yang adil yang dijamin oleh UUD 45.


    
Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat 2 huruf b PMK 02/21 maka izinkan kami menguraikan secara jelas mengenai hal-hal sebagai berikut:

I. KEWENANGAN M.K.

24)  Bahwa Pasal 24 ayat (2) Perubahan Keempat UUD 1945 menyatakan: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah M.K”.

25)  Bahwa selanjutnya Pasal 24C ayat (1) Perubahan Keempat UUD 1945 menyatakan: “M.K berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang (selanjutnya disebut UU) terhadap Undang-Undang Dasar (selanjutnya disebut UUD), memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum”.

26)  Bahwa berdasarkan ketentuan di atas, M.K mempunyai kewenangan untuk melakukan pengujian UU terhadap UUD 1945 yang juga didasarkan pada Pasal 10 ayat (1) Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang M.K sebagaimana telah diubah terakhirkali oleh Undang-Undang Nomor 07 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU 24/03) (bukti P-3) yang menyatakan: “M.K berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: (a) menguji UU terhadap UUD 45”;

27)  Bahwa Pasal 9 ayat 1 UU 12/11 berbunyi : "Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh M.K." 

28)  Bahwa melalui permohonan ini, para Pemohon mengajukan pengujian Pasal 1 angka 6; Pasal 7; Pasal 13 dan penjelasan Pasal 13 pada UU 12/11 yang ditujukan terhadap UUD 45;

29)  Bahwa secara kelembagaan, M.K memiliki kewenangan melakukan Pengujian dan UU 12/11 juga mengatur bahwa pengujian UU dilakukan oleh M.K.

30)  Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka M.K berwenang untuk memeriksa dan mengadili permohonan a quo;

II. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PARA PEMOHON

31)Bahwa Pasal 51 ayat (1) UU 24/03 yang menyatakan: “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya UU, yaitu:
  1. perorangan WNI,
  2. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI yang diatur dalam UU; (c) badan hukum publik dan privat, atau 
  3. lembaga negara”;
32)Bahwa Putusan M.K Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 11/PUU-V/2007, juga menyebutkan tentang kapasitas Pemohon dalam mengajukan permohonan pengujian UU terhadap UUD, yaitu :
  1. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 45.
  2. bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh para Pemohon
    telah dirugikan oleh suatu UU yang diuji.
  3. bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik atau
    khusus dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran
    yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.
  4. adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dan berlakunya UU yang
    dimohonkan untuk diuji.
  5. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
    kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
33) Bahwa kelima syarat sebagaimana dimaksud di atas dijelaskan lagi oleh M.K melalui Putusan Nomor 27/PUU-VII/2009 dalam pengujian formil Perubahan Kedua UU tentang M.K (halaman 59), yang menyebutkan sebagai berikut: “Dari praktik Mahkamah (2003-2009), perorangan WNI, terutama pembayar pajak (tax payer; vide Putusan Nomor 003/PUU-I/2003) berbagai asosiasi dan NGO/LSM yang concern terhadap suatu UU demi kepentingan publik, badan hukum, Pemerintah daerah, lembaga negara, dan lain-lain, oleh Mahkamah dianggap memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan pengujian, baik formil maupun materiil, UU terhadap UUD 1945 (lihat juga Lee Bridges, dkk. Dalam “Judicial Review in Perspective, 1995).”

34)Bahwa Pemohon I merupakan orang perseorangan warga negara Indonesia yang bernama Bonatua Silalahi, xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx(bukti P-7).

35)Bahwa Pemohon II merupakan orang berbentuk Badan Hukum Private berbentuk Perseroan terbatas (bukti P-10) yang dibentuk pada tahun 2017 dan secara sah pendiriannya berdasarkan Akta Pendirian Perseroan Terbatas oleh Notaris Bliamto Silitonga, S.H., Nomor 2 tahun 2017, dan kemudian mendapatkan Pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM Nomor AHU-0016375.AH.01.01.TAHUN 2017 (bukti P- 11) pada tanggal 6 April 2017.

36)  Bahwa Pemohon II merupakan Badan usaha yang menjalankan usaha dalam bidang jasa pada umumnya yaitu Jasa Konsultan bidang manajemen dan administrasi PBJ. Sehingga Pemohon II haruslah dipandang sebagai perwujudan upaya, baik secara sendiri-sendiri maupun secara kolektif dalam membangun masyarakat, bangsa dan Negaranya dalam penegakan nilai-nilai konstitusionalisme;

37)  Bahwa para Pemohon memiliki kepentingan konstitusional atas diberlakukannya Pasal 1 angka 6; Pasal 7; Pasal 13 dan penjelasan Pasal 13 UU 12/11 karena pemberlakukan ketentuan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dan dapat berpotensi dirugikannya hak konstitusional Pemohon maupun warga negara Indonesia yang telah dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;

38)  Bahwa oleh sebab itu para Pemohon merupakan pihak yang dimaksudkan Pasal 51 ayat (1) huruf (a) UU 24/03, serta seperti yang dimaksudkan huruf c Putusan M.K Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 11/PUU-V/2007, serta Putusan Nomor 27/PUU-VII/2009 telah terpenuhi;


III. ALASAN PEMOHON.

    Adapun alasan Pemohon yang memuat penjelasan mengenai materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian dari UU 12/11 yang diduga bertentangan dengan UUD 45 sebagaimana yang dimaksud pada angka 3 huruf b ayat (2) pasal 10 pada PMK 02/21 adalah sebagi berikut: 

39) Bahwa Pasal 1 ayat (3) UUD 45 menyatakan “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.

40) Bahwa dalam rangka menjadikan Negara Hukum, UUD 45 telah menetapkan 6 (enam) jenis PPU yang diakui secara Konstitusional yaitu:

  1. UUD (pasal 1 ayat 2 UUD 45).
  2. PutusanMajelisPermusyawaratanRakyat(pasal2ayat3UUD45).
  3. UU (pasal 5 ayat 1 UUD 45)
  4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (selanjutnya disebut PPPUU) (Pasal 22 ayat 1 UUD 45)
  5. PP (pasal 5 ayat 2 UUD 45)
  6. PERDA dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan (pasal 18 ayat 6).

41) Bahwa UU 12/11 telah memperkenalkan Jenis baru PPU yaitu "PS" yang terdapat pada:

  1. a)  Pasal 1 angka 6 berbunyi: "PS adalah PPU yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah PPU yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan".
    b)  Pasal 7 ayat 1 berbunyi: "Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
    1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
    2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
    3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
    4. Peraturan Pemerintah;
    5. Peraturan Presiden;
    6. PERDA Provinsi; dan
    7. PERDA Kabupaten/Kota.
  2. c) Pasal 13 berbunyi: Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh UU, materi untuk melaksanakan PP, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.
  3. d) Penjelasan Pasal 13 berbunyi: "PS dibentuk untuk menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut perintah UU atau PP secara tegas maupun tidak tegas diperintahkan pembentukannya".


42)Bahwa selanjutnya pada BAB III UUD 45, terdapat 11 (sebelas) jenis kekuasaan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada pasal 4 ayat (1) UUD 45 adalah meliputi:

  1. membentuk UU dengan persetujuan DPR.
  2. menetapkan PP untuk menjalankan UU sebagaimana mestinya.
  3. memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara.
  4. atas persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
  5. membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan UU harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
  6. menyatakan keadaan bahaya.
  7. mengangkat duta dan konsul.
  8. menerima duta negara lain.
  9. memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan M.A.
  10. memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR.
  11. memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan UU.

43)  Bahwa ayat 6 pasal 18 UUD 45 berbunyi: PEMDA berhak menetapkan PERDA dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

44)  Bahwa UUD 45 sama sekali tidak menyebut jenis PPU yang disebut, diistilahkan atau hal lain yang bermakna seperti "Peraturan Presiden". Hal ini menandakan bahwa PS sama sekali bukanlah PPU yang diatur dalam konstitusi kita dan bisa dipastikan keberadaannya secara langsung bukanlah berdasar pada UUD 45.

45)  Bahwa munculnya Jenis PS sebagai salah satu PPU pada UU 12/11 telah menyebabkan para pemohon tidak mendapatkan hak memperoleh kepastian hukum yang adil mengingat:

  1. a)  Menurut kami PS tidak memiliki kekuatan Hukum mengikat karena Presiden tidak memiliki Hak/kewenangan Konstitusional membentuk PS dimana UUD 45 hanya menentukan 6 (enam) jenis PPU sebagaimana yang disebutkan pada angka 40) diatas.

  2. b)  PS adalah PPU yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan

    1. perintah PPU yang lebih tinggi atau
    2. dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan
  3. sebagaimana yang disebutkan pada angka 41) huruf a), terhadap menjalankan perintah PPU yang lebih tinggi, pemohon menganggap jelas terdapat kepastian hukum mengingat PS tersebut diperintahkan oleh UU yang disetujui oleh DPR atau oleh PP yang dibentuk atas dasar persetujuan oleh DPR pula, namun yang menimbulkan ketidakpastian hukum adalah apabila PS ditetapkan dalam rangka menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan, dalam hal ini tidak ada kepastian kekuasaan mana diantar 11 jenis kekuasaan sebagaimana yang disebut pada angka 42) diatas.

  4. c) Hierarki PS sebagaimana yang disebutkan pada angka 41) huruf b) ternyata kedudukannya dibuat lebih tinggi diatas PERDA, menjadi timbul ketidakpastian hukum yang sangat mendasar mengingat Presiden dalam membentuk PS bukanlah karena Hak/Kewenangan Konstitusinya bersama DPR, sebaliknya PERDA dibentuk oleh PEMDA yang memang bersumber dari Hak/kewenangan konstitusionalnya. Dalam hal ini PS dianggap dibentuk untuk menjalankan dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan sebagaimana disebut pada angka 41) huruf a dan PERDA dibentuk untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan sebagaimana yang dimaksud pada angka 40) huruf f diatas, akan sangat berbeda hierarkinya jikaPS dibentuk atas dasar perintah UU/PP.
  5. d)  Materi muatan Peraturan Presiden sebagaimana disebut pada angka 41) huruf c adalah berisi:
    • materi yang diperintahkan oleh Undang- Undang,
    • materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau
    • materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan
  1. Dalam hal materi muatan pada huruf a dan huruf b diatas, kami memandang masih ada kepastian hukum mengingat materi tersebut telah disetujui Presiden bersama DPR, namun dalam hal materi muatan pada huruf c menjadi timbul ketidakpastian dalam rangka materi muatan mana atau untuk melaksanakan kekuasaan pemerintah yang mana diantara kekuasaan pemerintah yang dimaksud pada angka 42).
  1. e)  Ketidakpastian pada angka 45) huruf d) diatas semakin jelas terjadi mengingat pada penjelasan pasal 13 sebagaimana yang disebut pada angka 41) huruf d yang menyebutkan bahwa PS dibentuk untuk menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut perintah UU atau PP secara

      1. tegas maupun
      2. tidak tegas
  2. diperintahkan pembentukannya.
  3. Terhadap perintah UU atau PP secara "tegas diperintahkan pembentukannya", kami pandang masih mengandung kepastian hukum bahwa PS tersebut dibentuk telah disetujui Presiden bersama DPR, namun dalam hal "tidak tegas diperintahkan pembentukannya" maka sangat mengandung ketidakpastian hukum apakah DPR atas persetujuan pembentukan PS tersebut, dalam hal ini jika Pembentukan PS saja tidak pasti disetujui maka bisa dipastikan "materi muatannya" juga sudah pasti tanpa persetujuan.

46) Seluruh Ketidakpastian yang timbul akibat diberlakunnya UU 12/11 khususnya pasal 1 angka 6, pasal 7 dan pasal 13 beserta penjelasannya nyata telah merugikan hak konstitusional para pemohon dan menjadi alasan agar dilakukan pengujian.


IV. PETITUM.

    Adapun Petitum yang memuat hal-hal yang dimohonkan untuk diputus dalam permohonan pengujian Materiil sebagaimana yang dimaksud pada huruf d ayat (2) pasal 10 pada PMK 02/21 adalah sebagai berikut:

Kami memohon agar kiranya Majelis Hakim Konstitusi yang mulia mengabulkan permohonan kami yaitu:
1). Menyatakan bahwa:
  • frasa pada materi muatan pada pasal 1 angka 6 UU 12/11 yang berbunyi "atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan" dan atau.
  • materi muatan pada huruf e, ayat 1, pasal 7 pada UU 12/11 dan atau
  • Isi Pasal 13 dan penjelasannya
yang dimohonkan pengujian adalah bertentangan dengan UUD 45 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
2). Memerintahkan pemuatan putusan dalam berita Negara Republik Indonesia.
atau dalam hal mahkamah berpendapat lain, mohon Putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).


    V. PENUTUP

    Demikianlah permohonan Uji Material (Judicial Review) ini kami sampaikan, atas perhatian dan kearifan Majelis Hakim yang mulia kami ucapkan terimakasih. 

    07 Agustus 2022

    Analisis Kebijakan "Penetapan Pemenang" melalui Tender/Seleksi

    Presiden Republik Indonesia melalui Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang telah diubah oleh Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 memerintahkan bahwa Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa melalui Penyedia, tahapan pemilihan melalui Tender/Seleksi khususnya dalam Penetapan Pemenang ditetapkan dengan Peraturan Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Presiden juga telah membuat ketentuan umum sebagai berikut:

    1. Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran Kementerian Negara/Lembaga/Perangkat Daerah. 

    2. Kuasa Pengguna Anggaran pada Pelaksanaan APBN yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari PA untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada Kementerian Negara/Lembaga yang bersangkutan. 

    3. Kuasa Pengguna Anggaran pada Pelaksanaan APBD yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang diberi kuasa untuk melaksanakan sebagian kewenangan pengguna anggaran dalam melaksanakan sebagian tugas dan fungsi Perangkat Daerah. 

    4. Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disingkat PPK adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk mengambil keputusan dan/atau melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja negara/anggaran belanja daerah. 

    5. Unit Kerja Pengadaan Barang/Jasa yang selanjutnya disingkat UKPBJ adalah unit kerja di Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah yang menjadi pusat keunggulan Pengadaan Barang/Jasa. 

    6. Kelompok Kerja Pernilihan yang selanjutnya disebut Pokja Pemilihan adalah sumber daya manusia yang ditetapkan oleh kepala UKPBJ untuk mengelola pemilihan Penyedia.

    7. Aparat Pengawas Intern Pemerintah yang selanjutnya disingkat APIP adalah aparat yang melakukan pengawasan melalui audit, reviu, pemantauan, evaluasi, dan kegiatan pengawasan lain terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi Pemerintah.

    Kepala LKPP dalam hal ini melalui Peraturan LKPP nomor 12 tahun 2021 tentang Pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah melalui penyedia (PLKPP 12/21) menetapkan ketentuan Penetapan Pemenang sebagai berikut:

    a. Pokja Pemilihan menetapkan Pemenang Tender/Seleksi dan Pemenang cadangan 1 (satu) dan Pemenang cadangan 2 (dua). Pemenang cadangan ditetapkan apabila ada. 

    b. Sebelum penetapan Pemenang, apabila terjadi keterlambatan dalam proses pemilihan dan akan mengakibatkan Surat Penawaran habis masa berlakunya, maka Pokja Pemilihan melakukan konfirmasi secara tertulis kepada calon Pemenang untuk memperpanjang Surat Penawaran sampai dengan perkiraan jadwal penandatanganan Kontrak.

    c. Calon pemenang yang tidak bersedia memperpanjang masa berlaku surat penawaran, dianggap mengundurkan diri dan tidak dikenakan  sanksi. Pokja Pemilihan menetapkan kembali calon Pemenang. 

    d. Pokja Pemilihan membuat Berita Acara Hasil Pemilihan (BAHP). 

    e. Untuk Pengadaan Barang/Jasa Lainnya dengan nilai Pagu Anggaran paling sedikit diatas Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah) dan Pengadaan Jasa Konsultansi dengan nilai Pagu Anggaran paling sedikit diatas Rp10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah), Pokja Pemilihan mengusulkan penetapan pemenang pemilihan kepada PA melalui UKBPJ yang ditembuskan kepada PPK dan APIP K/L/PD yang bersangkutan. 

    f. PA menetapkan pemenang pemilihan berdasarkan usulan Pokja Pemilihan. Apabila PA tidak sependapat dengan usulan Pokja Pemilihan, maka PA menolak untuk menetapkan Pemenang pemilihan dan menyatakan Tender/Seleksi gagal. 

    g. PA menetapkan pemenang pemilihan berdasarkan peringkat usulan Pokja Pemilihan. Dalam hal PA menetapkan pemenang cadangan 1 atau pemenang cadangan 2 sebagai pemenang maka PA harus memberikan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. 

    h. PA menyampaikan surat penetapan Pemenang atau surat penolakan Pemenang kepada UKPBJ paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah usulan penetapan pemenang diterima. Dalam hal PA tidak memberikan penetapan/penolakan maka PA dianggap menyetujui usulan Pokja Pemilihan mengacu ke Peraturan Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2017 tentang Pedoman Beracara untuk Memperoleh Putusan Atas Penerimaan Permohonan Guna Mendapatkan Keputusan dan/atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintah .

    i. Apabila PA menolak hasil pemilihan maka PA menyatakan Tender/Seleksi gagal. 

    j. Dalam hal PA menerima/menolak hasil pemilihan, UKPBJ memerintahkan Pokja Pemilihan untuk menindaklanjuti penetapan/penolakan tersebut. 

    k. PA untuk pengelolaan APBN dapat melimpahkan kewenangan penetapan pemenang pemilihan/Penyedia kepada KPA sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan 

    Dari jabaran diatas sangat jelas terdapat 2 (dua) Pejabat yang menetapkan pemenang yaitu Pokja dan PA.


    06 Agustus 2022

    Analisis Kebijakan "Dokumen Pemilihan".


    Menurut Presiden, Dokumen Pemilihan (Dokpil) adalah dokumen yang ditetapkan oleh Pokja Pemilihan/Pejabat Pengadaan/Agen Pengadaan yang memuat informasi dan ketentuan yang harus ditaati oleh para pihak dalam pemilihan Penyedia. Dokumen Pemilihan terdiri atas Dokumen Kualifikasi; dan Dokumen Tender/Seleksi/Penunjukan Langsung/Pengadaan Langsung. Ketentuan lebih lanjut mengenai Dokpil ditetapkan dengan Peraturan Kepala Lembaga dalam hal ini adalah Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah nomor 12 tahun 2021 tentang Pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah melalui penyedia (PLKPP 12/21). Pokja (Kelompok Kerja) Pemilihan  adalah sumber daya manusia yang ditetapkan oleh kepala Unit Kerja Pengadaan Barang/Jasa (UKPBJ) untuk mengelola pemilihan Penyedia. Pokja bertugas melaksanakan persiapan dan pelaksanaan pemilihan Penyedia kecuali e-Purchasing dan Pengadaan Langsung dan dalam melaksanakan tugasnya dapat dibantu oleh tim ahli atau tenaga ahli. UKPBJ adalah unit kerja di Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah (K/L/PD) yang menjadi pusat keunggulan Pengadaan Barang/Jasa. Pejabat Pengadaan (PP) adalah pejabat administrasi/pejabat fungsional/personel yang bertugas melaksanakan Pengadaan Langsung, Penunjukan Langsung, dan/atau e-Purchasing. Pengadaan Langsung Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya adalah metode pemilihan untuk mendapatkan Penyedia Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya yang bernilai paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Sedangkan Pengadaan Langsung Jasa Konsultansi adalah metode pemilihan untuk mendapatkan Penyedia Jasa Konsultansi yang bernilai paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).e-Purchasing (Pembelian secara Elektronik) adalah tata cara pembelian barang/jasa melalui sistem katalog elektronik atau Toko Daring. Agen Pengadaan (AP) adalah UKPBJ atau Pelaku Usaha yang melaksanakan sebagian atau seluruh pekerjaan Pengadaan Barang/Jasa yang diberi kepercayaan oleh K/L/PD sebagai pihak pemberi pekerjaan. Pemilihan Penyedia Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya dilakukan melalui metode: a. e-Purchasing; b. Pengadaan Langsung; c. Penunjukan Langsung; d. Tender Cepat; dan e. Tender.

    Selanjutnya Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) menetapkan di dalam PLKPP 12/21  bahwa Pokja Pemilihan/Pejabat Pengadaan menyusun Dokumen Pemilihan berdasarkan dokumen persiapan pengadaan yang ditetapkan oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan telah direviu oleh Pokja Pemilihan/Pejabat Pengadaan yaitu dokumen tabel 1 berikut:

    Setelah Dokumen ditetapkan PPK dan direviu Pokja, maka dokumen ini dijadkan Dasar bagi Pokja untuk lanjut ke Penetapan Dokumen Pemilihan sebagai berikut: 

    I. Dokumen Kualifikasi.

    Pokja Pemilihan/Pejabat Pengadaan menyusun Dokumen Kualifikasi yang memuat informasi dan ketentuan tentang persyaratan kualifikasi Penyedia, digunakan sebagai pedoman oleh Pokja Pemilihan/Pejabat Pengadaan dan Peserta untuk memenuhi dipersyaratkan. Dokumen Kualifikasi paling sedikit memuat:

    Tabel 2. Muatan Minimal Dokumen Kualifikasi

    Untuk pemilihan Penyedia dengan prakualifikasi, Dokumen Kualifikasi disampaikan sebelum penyampaian penawaran. Untuk pemilihan Penyedia dengan pascakualifikasi, Dokumen Kualifikasi disampaikan bersamaan dengan Dokumen Tender/Seleksi.

    II. Dokumen Tender/Seleksi/Penunjukan Langsung/Pengadaan Langsung.

    1. Dokumen Tender/Tender Cepat/Pengadaan Langsung.

    Pokja Pemilihan menyusun Dokumen Tender/Penunjukan Langsung yang memuat paling sedikit meliputi:

    Tabel 3. Muatan Minimal Dokumen Tender/penunjukan langsung.

    2. Dokumen Seleksi/Penunjukan Langsung.

    Pokja Pemilihan menyusun Dokumen Seleksi/Penunjukan Langsung yang paling sedikit meliputi:

    Tabel 4. Muatan Minimal Dokumen Seleksi/Penunjukan Langsung

    Dokpil adalah sekumpulan beberapa dokumen tertentu dimana Kepala LKPP telah membuat ketentuan muatan minimal yang harus dikandung oleh Dokpil tersebut dalam lampiran I, II dan III PLKPP 12/21 sebagaimana ditunjukkan pada tabel diatas, namun lampiran tersebut masih bersifat judul Dokumen yang isinya belum konkret. 

    Pada Pedoman Pelaksanaan PBJ melalui Penyedia terdapat tahapan Persiapan Pemilihan Penyedia melalui Tender/seleksi dimana pada tahapan ini terdapat sub tahapan penyusunan dokpil, sub tahapan ini harus mengacu kepada Model (contoh) yang dilampirkan pada lampiran IV, V dan VI. Namun Kepala Lembaga juga mengizinkan Pengguna Anggaran maupun kuasanya atas dasar pertimbangan untuk mengatasi kekosongan hukum dan/atau stagnasi pemerintahan guna kemanfaatan dan kepentingan umum untuk melakukan penyesuaian diluar dari pedoman pelaksanaan PBJ, dalam hal ini muatan yang dapat dirubah adalah terkait :

    1. Prosedur PBJ
    2. Tata cara PBJ
    3. Tahapan pada tahap :
      • persiapan pengadaan, 
      • persiapan pelaksanaan pemilihan, 
      • pelaksanaan pemilihan dan/atau 
      • pelaksanaan pekerjaan untuk barang/jasa.

    Menurut Undang-Undang nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang telah diubah oleh Pasal 175 Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU 30/14') bahwa Keputusan Administrasi Pemerintahan yang juga disebutkan Keputusan Tata Usaha Negara atau Keputusan Administrasi Negara yang selanjutnya disebut Keputusan adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan adalah unsur yang melaksanakan Fungsi Pemerintahan, baik di lingkungan pemerintah maupun penyelenggara negara lainnya. Fungsi Pemerintahan adalah fungsi dalam melaksanakan Administrasi Pemerintahan yang meliputi fungsi pengaturan, pelayanan, pembangunan, pemberdayaan, dan pelindungan. Dapat disimpulkan bahwa penetapan Dokpil adalah Keputusan Tata Usaha Negara atau Keputusan Administrasi Negara. Status ini menarik dan akan dibahas pada artikel berikutnya apabila ada keberatan dari masyarakat yang terdampak atas putusan tersebut.


    03 Agustus 2022

    PROBLEM PENYELENGGARAAN SBU SAAT INI

        Implementasi Peraturan Pemerintah nomor 05 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko khususnya Penyelenggaraan Layanan Sertifikasi Badan Usaha Jasa Konstruksi (BUJK) sebagai salah satu perizinan standar kegiatan konstruksi sampai saat ini ternyata masih mengalami kendala, hal ini ditenggarai oleh Pembenahan besar-besaran yang dilakukan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) selaku wakil Pemerintah Pusat yang berwenang melakukan pembinaan konstruksi di Indonesia. Salah satu pembenahannya dalam rangka peningkatan Kualitas Konstruksi saat ini adalah proses sertifikasi Badan Usaha dimana prosesnya semakin melibatkan banyak pihak yaitu Lembaga Online Single Submission (OSS), Kementerian PUPR, Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) dan keikutsertaan Masyarakat Konstruksi seperti Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK), Lembaga Sertifikasi Badan Usaha (LSBU), Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP), dan Asosiasi terakreditasi. 

    SBU yang telah disetujui LSBU dan diregistrasi LPJK baru bisa sah digunakan setelah di aktivasi/verifikasi oleh OSS RBA (Risk-Based Approach). LSBU tersebut harus dibentuk oleh Asosiasi yang telah terakreditasi LPJK, dan LSBU tersebut juga sudah memiliki lisensi dari LPJK. BUJK yang mengajukan permohonan SBU juga harus memiliki Tenaga Kerja Konstruksi (TKK) yang ber-Sertifikat Kompetensi Kerja (SKK) Konstruksi, sertifikat ini dikeluarkan oleh LSP yang terlebih dahulu harus memperoleh lisensi dari BNSP baru kemudian dicatatkan di LPJK. LSP juga merupakan lembaga baru dimana belum banyak yang tersedia untuk mengampu begitu banyak kualifikasi dan klasifikasi SKK termasuk menyediakan fasilitas Tempat Uji Kemampuan (TUK) bagi para tenaga kerja yang memohon sertifikasi, dalam hal ini TUK harus mampu menjangkau seluruh kabupaten kota di Indonesia. 

    Dalam hal pembenahan organisasi, pada LPJK terdapat proses transisi yang berlangsung cukup singkat dan cepat, dari semula tugas dan fungsinya mengacu kepada Undang-Undang nomor 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi namun pada tahun 2020 harus dua kali menyesuaikan diri yaitu terhadap Undang-Undang nomor 02 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi lalu menyesuaikan lagi ke Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU 11/20). Keberadaan LSBU dan LSP merupakan lembaga baru sebagai institusi yang didirikan berdasarkan peraturan pemerintah turunan UU 11/20, bertambahnya organisasi baru ini turut menambah beban kerja LPJK pada proses penyelenggaraan sertifikasi.

    Sistem Informasi Jasa Konstruksi terintegrasi (SIJKT) pada tahap awal juga menjadi beban proses karena hampir semua tahapan meliputi akreditasi asosiasi, lisensi LSBU, pembuatan Sertifikat Badan Usaha (SBU), registrasi di LPJK dan Aktivasi OSS dilakukan melalui aplikasi terintegrasi, dalam jangka pendek sistem ini sangat menyulitkan pengguna bahkan seluruh organisasi penyelenggara (KemenPUPR/LPJK/LSBU/LSP/Asosiasi) karena harus belajar terlebih dahulu namun untuk jangka panjang diyakini sistem ini akan mampu menghemat waktu dan biaya proses sertifikasi karena dilakukan secara online yang melibatkan teknologi informasi. Kelebihan SIJKT saat ini ternyata menjadi autocontrol terhadap sistim yang lama khususnya dalam mengatasi problem bajak membajak SKK, kini sistim dapat secara otomatis menolak persetujuan  SBU jika terjadi Double User yaitu 1 (satu) orang TKK dipakai dibeberapa BUJK baik sebagai Penanggungjawab BUJK, Penanggungjawab Teknik ataupun Penanggungjawab Subklasifikasi Badan Usaha, meskipun 1 (satu) orang tersebut memiliki beberapa klasifikasi dan kualifikasi SKK yang berbeda. Sistim ini juga berhasil mendeteksi Double User pada SBU yang telah diterbitkan LPJK periode pengurusan sebelumnya, tercatat lebih dari 700an pengaduan yang dikirim ke LPJK terkait pembajakan TKK bahkan sudah ada 26.629 BUJK yang terancam pencabutan SBU karena permasalahan tersebut. Problem ini menjadi masalah yang membebani Layanan Sertifikasi BUJK karena klaim mengklaim bukan perkara gampang dan cepat untuk diselesaikan, selain adanya perkara hukum hubungan industri antara perusahaan dan pekerja karena faktanya kebanyakan yang membiayai pembuatan SKK adalah BUJK tempat TKK bekerja, selain itu terdapat juga perkara hukum Pidana berupa pemalsuan surat pernyataan dan pembocoran dokumen pribadi seperti Kartu Tanda Penduduk, Ijazah, SKK dan Curriculum Vitae, dalam kasus ini tak jarang LPJK dipanggil Aparat Penegak Hukum sebagai saksi ahli.

    Dapat disimpulkan problem yang dihadapi LPJK periode 2021-2024 sangatlah besar, di internal lembaga ini harus mereorganisasi platform pelayanannya sesuai tujuan dan prinsip pembentukan UU 11/20, di external LPJK juga harus mempersiapkan kematangan LSBU, LSP dan Asosiasi. Platform masa lalu juga menjadi sumber permasalahan karena menyisakan pekerjaan rumah dimana ada kebijakan terdahulu yang tidak diperbolehkan saat ini. Saya memandang kebijakan Kementerian PUPR selaku kementrian yang membina Konstruksi Nasional tidak terlepas dari pembenahan Kualitas Industri Konstruksi agar kedepannya jumlah dan korban Kecelakaan terkait Konstruksi dapat ditekan sekecil-kecilnya. Sebagai rakyat berdaulat, tentunya kita harus memastikan bahwa fungsi pembinaan KemenPUPR yang melibatkan masyarakat melalui LPJK selalu dapat kita monitoring dan evaluasi setiap saat. 

    27 Juni 2022

    Informasi PBJ masih jadi rahasia ? pesulap informasi bebas berkeliaran.



        Tidak terasa hari ini ulangtahunnya Peraturan Komisi Informasi nomor 01 tahun 2021 tentang Standard Layanan Informasi Publik (PerKI 01/21) yang telah diundangkan per tanggal 30 Juni 2021. Seharusnya regulasi yang merupakan pelaksanaan Undang-Undang nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU 14/08) ini cukup ditakuti dan hormati serta memberikan kepastian hukum mengingat ini adalah hierarki tertinggi dibawah Undang-Undang Dasar 1945. Semoga Komisi Informasi sebagai salah satu lembaga pelaksana UU 14/08 memberikan evaluasi resmi yang bisa dijadikan acuan pertanggungjawaban terhadap rakyat.

    Dalam Siklus Analisis untuk Kebijakan Publik, terdapat tahapan  Problem structuring, forecasting, Prescription, Monitoring dan Evaluation. Dalam kasus PerKI 01/21, tahapan yang dijalani saat ini adalah Implementasi dimana jika kita hendak mengukur pelaksanaanya maka harus menggunakan Analisis Monev (Monitoring dan Evaluasi), Analisis ini juga diperlukan untuk melihat apakah ada kepastian Hukum dan mengukur response para stakeholder dilapangan. Dalam hal PerKI 01/21 khususnya terkait Pengadaan Barang/Jasa  Pemerintah (PBJ) maka stakeholder yang dimaksud adalah Pejabat Pengelola Informasi & Dokumen (PPID) beserta atasan PPID yaitu pimpinan tertinggi Badan Publik (BP) dari Kementrian/Lembaga/Pemerintahan Daerah (K/L/PD) dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

    Apa saja yang perlu di Monev, dalam konteks PBJ menurut saya cukup satu saja  yaitu sudahkah BP mengumumkan secara berkala segala informasi yang dimaksud pada pasal 15 ayat (9) PerKI 01/21? sebelum saya terangkan lebih lanjut mohon dibaca artikel berikut: Sah...Dokumen PBJ ini sudah tidak RAHASIA lagi.

    PerKI 01/21 jelas menyebutkan bahwa Informasi terkait PBJ tergolong Informasi BerkalaUndang-Undang nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU 14/08) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “berkala” adalah secara rutin, teratur, dan dalam jangka waktu tertentu. UU 14/08 juga menyebutkan bahwa BP wajib memberikan dan menyampaikan Informasi tersebut paling singkat 6 (enam) bulan sekali. 

    Informasi yang dimaksud paling sedikit terdiri atas:
    1. tahap perencanaan, meliputi dokumen Rencana Umum Pengadaan (RUP).

    2. tahap pemilihan, meliputi:

      1. Kerangka Acuan Kerja (KAK)

      2. Harga Perkiraan Sendiri (HPS) serta Riwayat HPS;

      3. Spesifikasi Teknis (ST)

      4. Rancangan Kontrak (RK)

      5. Dokumen Persyaratan Penyedia atau Lembar Data Kualifikasi (LDK)

      6. Dokumen Persyaratan Proses Pemilihan atau Lembar Data Pemilihan (LDP)

      7. Daftar Kuantitas dan Harga (DKH)

      8. Jadwal pelaksanaan dan data lokasi pekerjaan;

      9. Gambar Rancangan Pekerjaan (GRP)

      10. Dokumen Studi Kelayakan dan Dokumen Lingkungan Hidup, termasuk

        Analisis Mengenai Dampak Lingkungan;

      11. Dokumen Penawaran Administratif;

      12. Surat Penawaran Penyedia

      13. Sertifikat atau Lisensi yang masih berlaku dari Direktorat Jenderal

        Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia;

      14. Berita Acara Pemberian Penjelasan (BAPP)

      15. Berita Acara Pengumuman Negosiasi (BAPN)

      16. Berita Acara Sanggah dan Sanggah Banding

      17. Berita Acara Penetapan atau Pengumuman

      18. Laporan Hasil Pemilihan Penyedia;

      19. Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa (SPPBJ)

      20. Surat Perjanjian Kemitraan

      21. Surat Perjanjian Swakelola

      22. Surat Penugasan atau Surat Pembentukan Tim Swakelola; 

      23. Nota Kesepahaman atau Memorandum of Understanding.

    c. tahap pelaksanaan, meliputi:

    1. Dokumen Kontrak yang telah ditandatangani beserta Perubahan Kontrak yang tidak mengandung informasi yang dikecualikan;

    2. Ringkasan Kontrak yang sekurang-kurangnya mencantumkan informasi mengenai para pihak yang bertandatangan, nama direktur dan pemilik usaha, alamat penyedia, nomor pokok wajib pajak, nilai kontrak, rincian pekerjaan, spesifikasi pekerjaan, lokasi pekerjaan, waktu pekerjaan, sumber dana, jenis kontrak, serta ringkasan perubahan kontrak.

    1. Surat Perintah Mulai Kerja;

    2. Surat Jaminan Pelaksanaan;

    3. Surat Jaminan Uang Muka;

    4. Surat Jaminan Pemeliharaan;

    5. Surat Tagihan;

    6. Surat Pesanan E-purchasing;

    7. Surat Perintah Membayar;

    8. Surat Perintah Pencairan Dana;

    9. Laporan Pelaksanaan Pekerjaan;

    10. Laporan Penyelesaian Pekerjaan;

    11. Berita Acara Pemeriksaan Hasil Pekerjaan;

    12. Berita Acara Serah Terima Sementara atau Provisional Hand Over;

    13. Berita Acara Serah Terima atau Final Hand Over.


        Apakah Dokumen tersebut telah tersedia secara otomatis di PPID masing-masing BP? Hasil Monitoring saya secara terbatas menyatakan "tidak", karena saya belum menemukan adanya Portal PPID yang secara otomatis menayangkan Informasi tersebut, dari 54 jenis Informasi yang mestinya dibuka secara berkala hanya 13 jenis informasi yang dibuka setiap saat itupun melalui Portal LPSE (block warna Hijau diatas), 9 jenis informasi (Block merah huruf putih diatashanya terbuka bagi peserta yang mendaftar di tender metode Pascakualifikasi, namun jika Metodenya Prakualifikasi maka dokumen KAK, ST, RK, LDP, DKH dan BRP hanya terbuka bagi peserta yang lolos evaluasi kualifikasidan sisanya 33 jenis Informasi masih misteri sulap yang hanya tukang sulap, penyelenggara dan pengawas acara yang tahu.
        Hasil monitoring tersebut tentunya menjadi bahan Evaluasi kita bersama bagaimana sesungguhnya Implementasi PerKI 01/21. Dapat disimpulkan bahwa banyak BP menafsirkan sepihak Informasi yang ditayangkan di LPSE adalah sudah cukup dalam konteks kekuasaan pemerintah yang menguasai data, mungkin banyak yang lupa bahwa Informasi Publik diatur oleh Undang-undang yang mendapat persetujuan bersama antara Rakyat (melalui DPR) dan Pemerintah sehingga semua orang/badan harus tunduk termasuk pemerintah itu sendiri. Perlu juga diingat bahwa UU 14/08 memuat aturan sanksi termasuk sanksi pidana bagi Masyarakat/BP yang melakukan pelanggaran.
        Informasi adalah Hak Asasi Manusia (HAM) dan Kebebasan Informasi adalah cerminan Demokrasi, memang UU 14/08 masih memberi celah upaya bagi masyarakat untuk memaksa meminta Informasi Berkala tersebut yaitu dengan jalan meminta ke PPID, jika tidak diberi masyarakat bisa mengajukan sengketa Informasi ke Komisi Informasi di wilayah BP bernaung. Jika masih tidak dikabulkan bisa mengajukan keberatan melalui Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) hingga Mahkamah Agung bahkan Peninjauan Kembali. Semua tahapan itu butuh Waktu, Tenaga dan Biaya bagi kedua belah pihak baik Pemohon (masyarakat) dan termohon (atasan PPID). Apakah ini cerminan Demokrasi di Indonesia? 

    Salam Kebebasan Informasi Publik.

    POSTINGAN TERBARU

    Peta Kebijakan Peraturan Perundang-undangan Pengadaan untuk Penanggulangan Bencana.

    Part II: Peta Kebijakan Peraturan Perundang-undangan. Tercatat sampai saat ini sudah terdapat 3.478  Judul Peraturan Perundang-Undangan (PPU...

    POSTINGAN POPULER