Layanan Jasa Konsultasi.

Kami dapat memberikan JASA Nasehat Kebijakan terhadap Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan; Pengadaan Barang/Jasa Konstruksi (Perencanaan - Persiapan - Pelaksanaan - Kontrak); dan Pemenangan Tender. Kami juga membantu membuat Kebijakan Perusahaan (Peraturan Direksi dan Dokumen Tender). Hubungi bonatua.766hi@gmail.com

Translate

Tampilkan postingan dengan label KAJIAN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label KAJIAN. Tampilkan semua postingan

24 Juni 2022

Peranan teknologi e-Procurement dalam Pembangunan Ekonomi Kota Surabaya.

Bersama Pelopor Modernisasi PBJ di Indonesia


Pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan nilai dan jumlah produksi barang atau jasa dalam kurun waktu tertentu. Pertumbuhan ekonomi sebuah wilayah erat kaitannya dengan tingkat kesejahteraan rakyatnya. Untuk meningkatkan kesejahteraan maka produksi harus dirangsang, salah satu Instrumen yang digunakan negara adalah Procurement/pengadaan barang/jasa dan modal pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah (APBN/D) yang selalu dilakukan setiap setahun sekali. Beberapa indikator dari adanya pertumbuhan ekonomi adalah naiknya pendapatan nasional, pendapatan perkapita, jumlah tenaga kerja yang lebih besar dari jumlah pengangguran, serta berkurangnya tingkat kemiskinan.


Pertumbuhan ekonomi dapat diukur secara nominal atau riil (disesuaikan dengan inflasi). Pertumbuhan ekonomi dilihat dan diukur dengan cara membandingkan komponen yang dapat mewakili keadaan ekonomi suatu wilayah masa kini dan periode sebelumnya. Komponen yang digunakan untuk mengukur pertumbuhan ekonomi suatu wilayah adalah angka Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Ekonomi suatu wilayah dapat dikatakan bertumbuh jika kegiatan ekonomi masyarakatnya berdampak langsung kepada kenaikan produksi barang dan jasanya. 


Menurut Prof. M. Suparmoko, terdapat 4 faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, yaitu Penduduk dan Tenaga Kerja, Kapital, Sumber Daya Alam, dan terakhir Teknologi dan Wiraswasta. Penduduk dan tenaga Kerja adalah individu produktif yang berperan sebagai penggerak suatu organisasi, baik dalam perusahaan maupun institusi, karena manusialah yang kemudian akan mengendalikan faktor lainnya tersebut. Cepat lambatnya proses pembangunan tergantung kepada sejauh mana SDM selaku subjek pembangunan memiliki kompetensi yang memadai untuk melaksanakan proses pertumbuhan ekonomi. Kapital/modal sebagai proses penambahan stok modal fisik buatan manusia berupa peralatan, mesin dan bangunan. Modal dibutuhkan manusia untuk mengolah sumber daya alam dan meningkatkan kualitas IPTEK, modal berupa barang-barang sangat penting bagi perkembangan dan kelancaran pembangunan ekonomi karena juga dapat meningkatkan produktivitas. Sumber daya alam, yaitu sesuatu yang berasal dari alam, mencakup kesuburan tanah, letak dan susunannya, kekayaan alam, mineral, iklim, sumber air, hingga ke sumber kelautan. Bagi pertumbuhan ekonomi, ketersediaan sumber daya alam yang melimpah sangat baik dalam menunjang pembangunan. Perkembangan teknologi yang semakin pesat mendorong percepatan proses pembangunan. Pergantian pola kerja yang semula menggunakan tangan manusia digantikan oleh mesin-mesin canggih berdampak kepada aspek efisiensi, kualitas dan kuantitas. 


Kota Surabaya merupakan salah satu kota metropolitan di Indonesia memiliki luas sekitar 326,37 km2. Sebagian besar wilayah Surabaya merupakan dataran rendah dengan ketinggian 3 – 6 meter di atas permukaan air laut, kecuali di sebelah Selatan dengan ketinggian 25 – 50 meter di atas permukaan air laut. Populasi penduduk Kota Surabaya sampai dengan bulan Juni 2005 mencapai 2.701.312 jiwa, dengan tingkat kepadatan 8.277 jiwa/km2. Secara administrasi pemerintahan kota Surabaya (Pemkot) dikepalai oleh Walikota yang juga membawahi koordinasi atas wilayah administrasi Kecamatan yang dikepalai oleh Camat. Jumlah Kecamatan yang ada di kota Surabaya sebanyak 31 Kecamatan dan jumlah Kelurahan sebanyak 163 Kelurahan dan terbagi lagi menjadi 1.363 RW (Rukun Warga) dan 8.909 RT (Rukun Tetangga). Secara topografi Kota Surabaya merupakan dataran rendah yaitu 80,72 % (25.919,04 Ha) dengan ketinggian antara -0,5 – 5m SHVP atau 3 – 8 m LWS, sedang sisanya merupakan daerah perbukitan yang terletak di Wilayah Surabaya Barat (12,77%) dan Surabaya Selatan (6,52%).


Penyelenggaraan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PBJ) saat ini dilakukan secara elektronik/e-Procurement (e-Proc) menggunakan sistem informasi yang terdiri atas Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) dan sistem pendukung, yang dikembangkan oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah (K/L/PD) menyelenggarakan fungsi layanan pengadaan secara elektronik yaitu suatu layanan pengelolaan Teknologi Informasi (TI) untuk memfasilitasi pelaksanaan PBJ secara elektronik. Secara Global,  Perserikatan Bangsa-Bangsa dan World Trade Organization telah memperkenalkan TI Media Elektronik di dalam Sistem PBJ Dunia, namun Indonesia sendiri baru melibatkan media elektronik setelah dikeluarkannya Keputusan Presiden nomor 18 tahun 2000 itupun sebatas papan pengumuman pada media elektronik atas nama-nama paket yang ditenderkan.


Pada tahun 2002, Ibu Tri Rismaharini (akrab dipanggil Risma) yang saat itu menjabat sebagai Kepala Bagian Bina Pembangunan kota Surabaya dalam rangka menjalankan Keputusan Walikota Surabaya nomor 65 tahun 2001 tentang Rincian Tugas dan Fungsi Sekretariat Daerah Kota Surabaya, berhasil membuat dan mengembangkan e-Proc.  PBJ di kota Surabaya saat itu telah memasuki era digital dimana sebelumnya dari pengumuman paket tender di media elektronik menjadi di website bahkan tahapan prosesnya up to date, dari pengambilan dokumen tender yang awalnya hard copy "berbayar" menjadi Softcopy gratis bahkan bisa didownload melalui internet, dari peserta yang memasukkan dokumen penawaran Hardcopy menjadi softcopy bahkan bisa diupload melalui web portal dari kantor/rumah/warnet. Modernisasi ini secara pasti telah mengatasi permasalahan Jarak, Waktu bahkan Biaya tender, penasaran bagaimana selengkapnya pelaksanaan e-Proc tersebut! silahkan baca Keputusan Walikota Surabaya nomor 50 tahun 2004 tentang Pedoman Pelaksanaan Proses Pemilihan Penyedia Barang/Jasa Pemerintah Daerah dengan Sistem e-Proc.


Dalam satu kesempatan sesi Focus Group Discussion (FGD) mini pada hari Jumat tanggal 17 Juni 2022, kami dapat berdiskusi langsung dengan narasumber yaitu Ibu Risma dan didampingi Bapak Robben Ricco dimana kedua orang ini merupakan pihak yang terlibat langsung penerapan TI di Pemkot, terungkap fakta-fakta sebagai berikut:

  1. Kondisi pengelolaan Kota Surabaya sebelum tahun 2000 sangatlah kacau sehingga berakibat buruknya kualitas Fasilitas maupun Pelayanan Publik, diperparah kondisi hampir 75% wilayahnya terkena banjir.
  2. Permasalahan pokok adalah rendahnya anggaran untuk membiayai pembangunan Infrastruktur maupun pendukung pelayanan Publik, belum lagi permasalahan Moral Hazard yang membuat anggaran belanja yang sangat sedikit menjadi semakin tidak efisien. 
  3. Kondisi ini membuat beliau harus mencari solusi koordinasi Pembangunan yang bisa mengatasi kedua masalah diatas secara bersamaan. Untungnya berkat bantuan pakar IT yaitu Profesor Richardus Eko Indrajit lahirlah solusi pembuatan aplikasi e-Proc berbasis web pertama di Indonesia.
  4. Tantangan berikutnya dan paling berat adalah pada saat tahapan implementasi, bisa dibayangkan akibat tender manual dirubah e-Proc maka proses pemilihan menjadi transparan dan dapat diketahui masyarakat secara luas dan tentunya ini menjadi ancaman bagi orang-orang yang selama ini nyaman bermain di sistem yang manual, bahkan hambatan dari SDM internal unsur pemkot juga terjadi, sebagai wujud resistensi, bu Risma dan keluarga pernah mendapatkan ancaman nyawa.
  5. Hasil nyata dari tender yang transparan adalah terciptanya persaingan yang sehat dan memasuki sistem pasar sempurna yang dapat diikuti siapa dan dimana saja tentunya. 
  6. Persaingan sehat memaksa para Penyedia (wiraswasta) menjadi kreatif menciptakan dan menawarkan metode kerja yang efisien. Pernah penawar untuk tender Pekerjaan Penimbunan lahan rendah dimenangkan dengan harga dibawah 75% dari Harga Perkiraan Sendiri (HPS), setelah diklarifikasi ternyata meskipun harga sangat murah namun karena penawar adalah Developer dan tanahnya bersumber dari lahan yang tanahnya berbukit yang akan dijadikan perumahan maka yang seharusnya penawar mengeluarkan ongkos tempat pembuangan tanah malah bisa dialokasikan dan dibeli oleh pemerintah. Sistim teknologi memotong rantai pasok tanah timbunan dari seharusnya melalui broker tanah menjadi langsung dari penjual tanah ke pembeli.
  7. Penerapan IT berefek terjadinya Efisiensi biaya Pagu disetiap paket lelang, akibatnya ada dana menganggur (sisa harga pagu terhadap harga penawaran) yang saat itu regulasinya membolehkan pemanfaatan kembali sepanjang masih di kode rekening dan tahun anggaran yang sama. Sistem PBJ yang cepat membuat proses pemilihan penyedia bisa berlangsung dengan cepat pula tanpa harus melewati tahun anggaran. Dalam hal ini Pemkot langsung belanja barang/jasa dan modal untuk membangun jalan dan memperbaiki saluran agar tidak banjir. Pembangunan infrastruktur kota bisa dipercepat tanpa menunggu tahun anggaran berikutnya. Pak Robben juga menjelaskan bagaimana strategi saat itu agar pemanfaatan hasil efisiensi tender bisa segera digunakan kembali untuk belanja berikutnya dalam tahun anggaran yang sama, pemkot melakukan tender dini yaitu dibulan Oktober sebelum tahun anggaran berjalan, gak perlu menunggu pengesahan APBD tentunya setelah ada pernyataan tidak keberatan dari penyedia apabila anggaran tidak disetujui. 
  8. Terjadi multiplier effect, akibat infrastruktur jalan dan saluran dapat dengan cepat diadakan/diperbaiki, maka akses yang bebas banjir lekas dibangun dan tak lama setelah itu di sepanjang lokasi tersebut bertumbuh pusat-pusat bisnis baru dan effect selanjutnya harga tanah mahal, nilai jual objek pajak  pun naik dan kesemuanya menambah pemasukan daerah. Sebagai contoh adalah lokasi di jalan Mayjen. Sungkono, saat ini telah berdiri Ciputra World Surabaya dan Rumah sakit Mayapada.
  9. Kesuksesan Penerapan teknologi pada e-Proc ternyata menjadi raw model penerapan e-Government terintegrasi yang menghubungkan e-Budgeting, e-Musrenbang, e-Audit, e-Performance dan lainnya.

Foto : Kegiatan FGD dikantor Kementerian Sosial


Data primer hasil FGD tersebut telah kami uji dengan pertama sekali mengetahui kondisi yang terjadi diera sebelum diterapkannya teknologi e-Proc di Surabaya. Menurut penelitian Hayati Hehamahua yang berjudul Analisis APBD Kota Surabaya Suatu Kajian Kemandirian Dan Efektivitas Keuangan Daerah, yang dimuat pada Jurnal Media Trend Vol. 9 No. 1 edisi Maret 2014, bahwa Kondisi keuangan Pemkot saat itu berdasarkan Perkembangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Surabaya Tahun Anggaran 2000 – 2002 (dalam Juta Rupiah) adalah sebagai berikut :   

Hayati Hehamahua menyimpulkan bahwa kondisi sebagian besar pendapatan Pemkot masih diperuntukkan bagi pengeluaran rutin (75,46%), belanja pembangunan maupun untuk pelayanan kepada masyarakat hanya memperoleh bagian yang relatif kecil (14,54%). Ada kesan seolah-olah APBD hanya untuk membiayai gaji/honor, dan perjalanan dinas pegawai Kota Surabaya. Hasil FGD yang menyebutkan kondisi keuangan pemkot yang serba kekurangan sebelum penerapan teknologi e-proc (tahun 2000 s/d 2001) sejalan dengan hasil penelitian.


Dalam hal kebaruan teknologi, kami juga telah menguji dengan meneliti periodisasi kebijakan Pemanfaatan TI pada K/L/PD diseluruh Indonesia. Hasil pencarian menunjukkan bahwa Kementerian Pekerjaan Umum (KemenPU) baru menerapkan e-Proc di tahun 2005 itupun terbatas hanya untuk PBJ Konstruksi saja.  Badan Perencanaan Pembangunan Nasional  (Bappenas) dibawah Pusat Pengembangan Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Publik yang dikepalai Bapak Agus Rahardjo baru menerapkan e-Proc pada tahun 2006,  hingga akhirnya pada tahun 2007, Presiden resmi menunjuk LKPP sebagai satu-satunya institusi pengembang e-Proc dan hasil pengembangan SPSE-nya diterapkan secara Nasional pada seluruh K/L/PD dimulai pada tahun 2010. Penerapan Teknologi e-Proc di Pemkot 3 tahun lebih awal dari KemenPU, ini menjadi klaim kebaruan penerapan teknologi elektronik di sistim PBJ Indonesia.


Dalam hal apakah benar terjadi pertumbuhan ekonomi di Kota Surabaya, maka salah satu komponen yang kami pilih untuk mengujinya adalah angka Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Secara lengkap gambaran tentang PDRB dan nilai PDRB perkapita di Kota Surabaya selama tiga periode (2002-2004) dapat dilihat pada Tabel  berikut:  


Sumber : Rencana Pembangunan Jangka Menengah kota Surabaya 2005


Penggunaan teknologi e-Proc pada tahun 2002 terbukti secara significant meningkatkan PDRB perkapita masyarakat Surabaya menjadi naik sebesar 5 juta rupiah di tahun 2004. Besaran nilai PDRB ini secara nyata mampu memberikan gambaran mengenai nilai tambah bruto yang dihasilkan unit-unit produksi pada suatu daerah dalam periode tertentu. Lebih jauh, perkembangan besaran nilai PDRB merupakan salah satu indikator yang dapat dijadikan ukuran untuk menilai keberhasilan pembangunan suatu daerah, atau dengan kata lain pertumbuhan ekonomi suatu daerah dapat tercermin melalui pertumbuhan nilai PDRB. Meskipun dalam tulisan ini kami hanya membahas komponen PDRB, namun berdasarkan komponen lain seperti angka Inflasi yang bisa dilihat pada dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah kota Surabaya 2005, juga menunjukan benar telah terjadi pertumbuhan ekonomi.


Keberhasilan pembangunan ekonomi Kota Surabaya dapat juga diukur secara kualitatif dari berbagai prestasi yang relevan yang diterima oleh Kota Surabaya maupun tokoh Sentral yang berperan didalamnya. Secara personal, Ibu Risma yang semula Kepala Bagian Bina Pembangunan (2002) dan mempelopori e-Proc diangkat menjadi Kepala Bagian Penelitian dan Pengembangan (2005), Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota Surabaya (2008), Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya (2010), Wali Kota Surabaya (2010—2015 ; 2016—2020) hingga akhirnya menjadi Menteri Sosial RI (2020—sekarang). Secara institusi, kota Surabaya juga diberi penghargaan e-Proc dari LKPP pada tanggal 20 November 2013 karena Kota Surabaya adalah pelopor penerapan sistem lelang elektronik di tahun 2002. Penggunaan TI pada sistim Pemkot seperti e-Government, e-Budgeting, e-Proc, e-Musrenbang, e-Audit, e-Performance, dan berbagai sistem penunjang secara terintegrasi lainnya banyak diadopsi oleh K/L/PD lain seperti LKPP dan Komisi Pemberantasan Korupsi.


Pertumbuhan Pembangunan Ekonomi wilayah Surabaya melalui penerapan teknologi sangat sesuai dengan teori ilmu ekonomi yaitu ilmu yang mempelajari segala tingkah laku dan aktivitas manusia untuk mendapatkan sesuatu dengan sumber daya yang terbatas. Berawal dari terbatasnya alokasi Anggaran untuk pembangunan Kota Surabaya, diciptakanlah teknologi e-Proc untuk mengatasi sifat Moral Hazard birokrasi yang merupakan SDM pengelola PBJ. Teknologi tersebut terbukti menghasilkan efisiensi anggaran sehingga tercapai Nilai Value for Money secara maksimal dan output selanjutnya adalah ketersediaan infrastruktur seperti jalan dan saluran. Teknologi e-Proc juga meningkatkan kualitas dari PBJ, hanya penyedia yang benar-benar menguasai metode pekerjaan yang berani menawarkan harga ketat tanpa mengurangi kualitas. Kompetisi memaksa efisiensi produksi dengan cara penggunaan SDM tepat jumlah dan tepat guna, peralatan yang masih kondisi Prima dan material yang memangkas rantai pasok ataupun hal-hal yang tidak perlu yang menyebabkan pemborosan dan pembengkakan biaya produksi termasuk melayani pungli. Teknologi e-Proc juga terbukti meningkatkan kuantitas frekuensi tender, monitoring waktu tender dapat diamati bersama dan mampu mengidentifikasi dini potensi keterlambatan. Dengan bantuan sistem, SDM pengelola PBJ menjadi berubah dari Hardworker menjadi smartworker. Hampir semua kegiatan bisa dilakukan melalui aplikasi, pertemuan fisik hanya untuk bagian-bagian yang tidak dapat digantikan teknologi saja seperti klarifikasi alat dan penandatangan kontrak.


Sebagai outcomenya dari teknologi e-Proc adalah terciptanya bisnis dan investasi di suatu wilayah yang berdampak multiplier effect berkelanjutan termasuk bertambahnya Pendapatan Asli Daerah, terbelinya produksi barang/jasa para wiraswasta hingga akhirnya menaikkan PDRB masyarakat Kota Surabaya. Dengan meningkatnya parameter PDRB perkapita tersebut dapat menjadi indikasi bahwa Pertumbuhan Perkembangan Ekonomi Surabaya saat itu telah berhasil.

 

 

Daftar Referensi: 


  1. Hayati Hehamahua, Analisis APBD Kota Surabaya Suatu Kajian Kemandirian Dan Efektivitas Keuangan Daerah, Jurnal Media Trend Vol. 9 No. 1 Maret 2014.
  2. Irawan dan Suparmoko. 2002. Ekonomika Pembangunan. Yogyakarta:BPTE Yogyakarta.
  3. Keputusan Walikota Surabaya nomor 65 tahun 2001 tentang Rincian Tugas dan Fungsi Sekretariat Daerah Kota Surabaya.
  4. Keputusan Walikota Surabaya nomor 50 tahun 2004 tentang Pedoman Pelaksanaan Proses Pemilihan Penyedia Barang/Jasa Pemerintah Daerah dengan Sistem e-Procurement.
  5. Rencana Pembangunan Jangka Menengah kota Surabaya 2002-2004, link : https://www.surabaya.go.id/uploads/attachments/profilpemerintah/rpjm/Bab2.pdf.
  6. Wikipedia, link : https://id.wikipedia.org/wiki/Tri_Rismaharini.




Perhatian : 
Seluruh atau sebagian dari artikel ini sangat memungkinkan menjadi bagian dari Makalah ataupun Disertasi saya terkait Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, mohon mengkomunikasikan apabila hendak dipakai di forum resmi demi menghindari Praktek Plagiatisme. Terimakasih

08 Mei 2022

PRAKTEK KOLUSI PADA TENDER


 

   Salah satu bentuk tindakan yang dapat mengakibatkan persaingan tidak sehat adalah persekongkolan dalam tender, yang merupakan salah satu bentuk kegiatan yang dilarang oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 (UU 05/99) tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha sebagaimana telah diubah pertama kali oleh Pasal 118 Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Prinsip-prinsip umum yang perlu diperhatikan dalam tender adalah transparansi, penghargaan atas uang, kompetisi yang efektif dan terbuka, negosiasi yang adil, akuntabilitas dan proses penilaian, dan non-diskriminatif. Sejalan dengan hal tersebut, UU 05/99 juga mengatur tentang larangan persekongkolan dalam tender sebagaimana digariskan pada Pasal 22.

Pasal 22

Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. 

    Persekongkolan dalam tender tersebut dapat terjadi melalui kesepakatan- kesepakatan, baik tertulis maupun tidak tertulis. Persekongkolan ini mencakup manipulasi lelang atau kolusi dalam tender (collusive tender) yang dapat terjadi melalui kesepakatan antar pelaku usaha, antar pemilik pekerjaan maupun antar kedua pihak tersebut. Kolusi atau persekongkolan dalam tender ini bertujuan untuk membatasi pesaing lain yang potensial untuk berusaha dalam pasar bersangkutan dengan cara menentukan pemenang tender. Persekongkolan tersebut dapat terjadi di setiap tahapan proses tender, mulai dari perencanaan dan pembuatan persyaratan oleh pelaksana atau panitia tender, penyesuaian dokumen tender antara peserta tender, hingga pengumuman tender.

    Praktek persekongkolan dalam tender ini dilarang karena dapat menimbulkan persaingan tidak sehat dan bertentangan dengan tujuan dilaksanakannya tender tersebut, yaitu untuk memberikan kesempatan yang sama kepada pelaku usaha agar dapat ikut menawarkan harga dan kualitas yang bersaing. Sehingga pada akhirnya dalam pelaksanaan proses tender tersebut akan didapatkan harga yang termurah dengan kualitas yang terbaik.

Pengaturan pemenang tender tersebut banyak ditemukan pada pelaksanaan pengadaan barang dan atau jasa yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah (government procurement), BUMN, dan perusahaan swasta. Untuk itu Pasal 22 UU No. 5/1999 tidak hanya mencakup kegiatan pengadaan yang dilakukan oleh Pemerintah, tetapi juga kegiatan pengadaan yang dilakukan oleh perusahaan negara (BUMN/BUMD) dan perusahaan swasta.

    Tender adalah tawaran mengajukan harga untuk memborong suatu pekerjaan, untuk mengadakan barang-barang atau untuk menyediakan jasa. Dalam hal ini tidak disebut jumlah yang mengajukan penawaran (oleh beberapa atau oleh satu pelaku usaha dalam hal penunjukan/pemilihan langsung). Pengertian tender tersebut mencakup tawaran mengajukan harga untuk:

  1. Memborong atau melaksanakan suatu pekerjaan.

  2. Mengadakan barang dan atau jasa.

  3. Membeli suatu barang dan atau jasa.

  4. Menjual suatu barang dan atau jasa.

Berdasarkan definisi tersebut, maka cakupan dasar penerapan pasal 22 UU No. 5/1999 adalah tender atau tawaran mengajukan harga yang dapat dilakukan melalui;

  1. Tender terbuka,

  2. Tender terbatas,

  3. Pelelangan umum, dan

  4. Pelelangan terbatas.

Berdasarkan cakupan dasar penerapan ini, maka pemilihan langsung dan penunjukan langsung yang merupakan bagian dari proses tender/lelang juga tercakup dalam penerapan pasal 22 UU No. 5/1999. 

Indikasi Persekongkolan dalam Tender

Tender yang berpotensi menciptakan persaingan usaha tidak sehat atau menghambat persaingan usaha adalah:

  1. Tender yang bersifat tertutup atau tidak transparan dan tidak diumumkan secara luas, sehingga mengakibatkan para pelaku usaha yang berminat dan memenuhi kualifikasi tidak dapat mengikutinya;

  2. Tender bersifat diskriminatif dan tidak dapat diikuti oleh semua pelaku usaha dengan kompetensi yang sama;

  3. Tender dengan persyaratan dan spesifikasi teknis atau merek yang mengarah kepada pelaku usaha tertentu sehingga menghambat pelaku usaha lain untuk ikut.

Untuk mengetahui telah terjadi tidaknya suatu persekongkolan dalam tender, berikut dijelaskan berbagai indikasi persekongkolan yang sering dijumpai pada pelaksanaan tender. Perlu diperhatikan bahwa, hal- hal berikut ini merupakan indikasi persekongkolan, sedangkan bentuk atau perilaku persekongkolan maupun ada tidaknya persekongkolan tersebut harus dibuktikan melalui pemeriksaan oleh Tim Pemeriksa atau Majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).

1. Indikasi persekongkolan pada saat perencanaan, antara lain meliputi:

  1. Pemilihan metode pengadaan yang menghindari pelaksanaan tender/lelang secara terbuka.

  2. Pencantuman spesifikasi teknik, jumlah, mutu, dan/atau waktu penyerahan barang yang akan ditawarkan atau dijual atau dilelang yang hanya dapat disuplai oleh satu pelaku usaha tertentu.

  3. Tender/lelang dibuat dalam paket yang hanya satu atau dua peserta tertentu yang dapat mengikuti/melaksanakannya.

  4. Ada keterkaitan antara sumber pendanaan dan asal barang/ jasa

  1. Nilai uang jaminan lelang ditetapkan jauh lebih tinggi dari pada nilai dasar lelang.

  2. Penetapan tempat dan waktu lelang yang sulit dicapai dan diikuti.

2. Indikasi persekongkolan pada saat pembentukan Panitia, antara lain meliputi:

  1. Panitia yang dipilih tidak memiliki kualifikasi yang dibutuhkan sehingga mudah dipengaruhi.

  2. Panitia terafiliasi dengan pelaku usaha tertentu.

  3. Susunan dan kinerja Panitia tidak diumumkan atau cenderung ditutup-tutupi.

3. Indikasi persekongkolan pada saat prakualifikasi perusahaan atau pra lelang, antara lain meliputi:

  1. Persyaratan untuk mengikuti prakualififasi membatasi dan/ atau mengarah kepada pelaku usaha tertentu.

  2. Adanya kesepakatan dengan pelaku usaha tertentu mengenai spesifikasi, merek, jumlah, tempat, dan/atau waktu penyerahan barang dan jasa yang akan ditender atau dilelangkan.

  3. Adanya kesepakatan mengenai cara, tempat, dan/atau waktu pengumuman tender/lelang.

  4. Adanya pelaku usaha yang diluluskan dalam prakualifikasi walaupun tidak atau kurang memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan.

  5. Panitia memberikan perlakukan khusus/istimewa kepada pelaku usaha tertentu.

  6. Adanya persyaratan tambahan yang dibuat setelah pra- kualifikasi dan tidak diberitahukan kepada semua peserta.

  7. Adanya pemegang saham yang sama diantara peserta atau Panitia atau pemberi pekerjaan maupun pihak lain yang terkait langsung dengan tender/lelang (benturan kepentingan).

4. Indikasi persekongkolan pada saat pembuatan persyaratan untuk mengikuti tender/lelang maupun pada saat penyusunan dokumen tender/lelang, antara lain meliputi adanya persyaratan tender/ lelang yang mengarah kepada pelaku usaha tertentu terkait dengan sertifikasi barang, mutu, kapasitas dan waktu penyerahan yang harus dipenuhi.

5. Indikasi persekongkolan pada saat pengumuman tender atau lelang, antara lain meliputi:

  1. Jangka waktu pengumuman tender/lelang yang sangat terbatas.

  2. Informasi dalam pengumuman tender/lelang dengan sengaja dibuat tidak lengkap dan tidak memadai. Sementara, informasi yang lebih lengkap diberikan hanya kepada pelaku usaha tertentu.

  3. Pengumuman tender/lelang dilakukan melalui media dengan jangkauan yang sangat terbatas, misalnya pada surat kabar yang tidak dikenal ataupun pada papan pengumuman yang jarang dilihat publik atau pada surat kabar dengan jumlah eksemplar yang tidak menjangkau sebagian besar target yang diinginkan.

  4. Pengumuman tender/lelang dimuat pada surat kabar dengan ukuran iklan yang sangat kecil atau pada bagian/lay-out surat kabar yang seringkali dilewatkan oleh pembaca yang menjadi target tender/lelang.

6. Indikasi persekongkolan pada saat pengambilan dokumen tender/ lelang, antara lain meliputi:

a. Dokumen tender/lelang yang diberikan tidak sama bagi seluruh calon peserta tender/lelang.

  1. Waktu pengambilan dokumen tender/lelang yang diberikan sangat terbatas.

  2. Alamat atau tempat pengambilan dokumen tender/lelang sulit ditemukan oleh calon peserta tender/lelang.

  3. Panitia memindahkan tempat pengambilan dokumen tender/lelang secara tiba-tiba menjelang penutupan waktu pengambilan dan perubahan tersebut tidak diumumkan secara terbuka.

7.Indikasi persekongkolan pada saat penentuan Harga Perkiraan Sendiri atau harga dasar lelang, antara lain meliputi:

  1. Adanya dua atau lebih harga perkiraan sendiri atau harga dasar atas satu produk atau jasa yang ditender/dilelangkan.

  2. Harga perkiraan sendiri atau harga dasar hanya diberikan kepada pelaku usaha tertentu.

  3. Harga perkiraan sendiri atau harga dasar ditentukan berdasarkan pertimbangan yang tidak jelas dan tidak wajar.


8. Indikasi persekongkolan pada saat penjelasan tender atau open house lelang, antara lain meliputi:

  1. Informasi atas barang/jasa yang ditender atau dilelang tidak jelas dan cenderung ditutupi.

  2. Penjelasan tender/lelang dapat diterima oleh pelaku usaha yang terbatas sementara sebagian besar calon peserta lainnya tidak dapat menyetujuinya.

  3. Panitia bekerja secara tertutup dan tidak memberi layanan atau informasi yang seharusnya diberikan secara terbuka.

  4. Salah satu calon peserta tender/lelang melakukan pertemuan tertutup dengan Panitia.

9. Indikasi persekongkolan pada saat penyerahan dan pembukaan dokumen atau kotak penawaran tender/lelang, antara lain meliputi:

  1. Adanya dokumen penawaran yang diterima setelah batas waktu.

  2. Adanya dokumen yang dimasukkan dalam satu amplop bersama-sama dengan penawaran peserta tender/lelang yang lain.

  3. Adanya penawaran yang diterima oleh Panitia dari pelaku usaha yang tidak mengikuti atau tidak lulus dalam proses kualifikasi atau proses administrasi.

  4. Terdapat penyesuaian harga penawaran pada saat-saat akhir sebelum memasukkan penawaran.

  5. Adanya pemindahan lokasi/tempat penyerahan dokumen penawaran secara tiba-tiba tanpa pengumuman secara terbuka.

10. Indikasi persekongkolan pada saat evaluasi dan penetapan pemenang tender/lelang, antara lain meliputi:

  1. Jumlah peserta tender/lelang yang lebih sedikit dari jumlah peserta tender/lelang dalam tender atau lelang sebelumnya.

  2. Harga yang dimenangkan jauh lebih tinggi atau lebih rendah dari harga tender/lelang sebelumnya oleh perusahaan atau pelaku usaha yang sama.

  3. Para peserta tender/lelang memasukkan harga penawaran yang hampir sama.

  4. Peserta tender/lelang yang sama, dalam tender atau lelang yang berbeda mengajukan harga yang berbeda untuk barang yang sama, tanpa alasan yang logis untuk menjelaskan perbedaan tersebut.

  5. Panitia cenderung untuk memberi keistimewaan pada peserta tender/lelang tertentu.

  6. Adanya beberapa dokumen penawaran tender/lelang yang mirip.

  7. Adanya dokumen penawaran yang ditukar atau dimodifikasi oleh Panitia.

  1. Proses evaluasi dilakukan ditempat yang terpencil dan tersembunyi.

  2. Perilaku dan penawaran para peserta tender/lelang dalam memasukkan penawaran mengikuti pola yang sama dengan beberapa tender atau lelang sebelumnya.

  1. Indikasi persekongkolan pada saat pengumuman calon pemenang, antara lain meliputi:

    1. Pengumuman diumumkan secara terbatas sehingga pengumuman tersebut tidak diketahui secara optimal oleh pelaku usaha yang memenuhi persyaratan, misalnya diumumkan pada media massa yang tidak jelas atau diumumkan melalui faksimili dengan nama pengirim yang kurang jelas.

    2. Tanggal pengumuan tender/lelang ditunda dengan alasan yang tidak jelas.

    3. Peserta tender/lelang memenangkan tender atau lelang cenderung berdasarkan giliran yang tetap.

    4. Ada peserta tender/lelang yang memenangkan tender atau lelang secara terus menerus di wilayah tertentu.

    5. Ada selisih harga yang besar antara harga yang diajukan pemenang tender/lelang dengan harga penawaran peserta lainnya, dengan alasan yang tidak wajar atau tidak dapat dijelaskan.

  2. Indikasi persekongkolan pada saat pengajuan sanggahan, antara lain meliputi:

    1. Panitia tidak menanggapi sanggahan peserta tender/lelang.

    2. Panitia cenderung menutup-nutupi proses dan hasil evaluasi.

  3. Indikasi persekongkolan pada saat penunjukan pemenang tender/ lelang dan penandatanganan kontrak, antara lain meliputi:

  1. Surat penunjukan pemenang tender/lelang telah dikeluarkan sebelum proses sanggahan diselesaikan.

  2. Penerbitan surat penunjukan pemenang tender/ lelang mengalami penundaan tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.

  3. Surat penunjukan pemenang tender/lelang tidak lengkap.

  4. Konsep kontrak dibuat dengan menghilangkan hal- hal penting yang seharusnya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kontrak.

  5. Penandatanganan kontrak dilakukan secara tertutup.

  6. Penandatanganan kontrak mengalami penundaan tanpa alasan yang tidak dapat dijelaskan.

14. Indikasi persekongkolan pada saat pelaksanaan dan evaluasi pelaksanaan, antara lain meliputi:

  1. Pemenang tender/lelang mensub-contractkan pekerjaan kepada perusahaan lain atau peserta tender/lelang yang kalah dalam tender atau lelang tersebut;

  2. Volume atau nilai proyek yang diserahkan tidak sesuai dengan ketentuan awal, tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.

  3. Hasil pengerjaan tidak sesuai atau lebih rendah dibandingkan dengan ketentuan yang diatur dalam spesifikasi teknis, tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. 

Referensi : 
  • Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha sebagaimana telah diubah pertama kali oleh Pasal 118 Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
  • Peraturan KPPU Nomor 2 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pasal 22 Tentang Larangan Persekongkolan dalam Tender.

22 April 2022

Kemudahan Usaha Mikro Kecil dalam Pengupahan

    


    Masih terkait tentang Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan 
Usaha Mikro Kecil (UMK) sebagaimana pernah saya bahas di artikel Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan UMK dalam PBJ-P dan KAJIAN INPRES 02/2021 : PERCEPATAN PENINGKATAN PENGGUNAAN PRODUK DALAM NEGERI DAN PRODUK UMK DAN KOPERASI DALAM RANGKA MENYUKSESKAN GERAKAN NASIONAL BANGGA BUATAN INDONESIA PADA PELAKSANAAN PBJ-P, maka kali ini saya akan kupas bagaimana Kemudahan UMK dalam hal Upah Pekerja sebagai salah satu urusan yang masuk di Undang-Undang (UU) Cipta Kerja.

    Upah Kerja secara khusus diatur pada Peraturan Pemerintah (PP) nomor 36 tahun tentang Pengupahan yang menggantikan peraturan sebelumnya yaitu PP nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan. PP 36 merupakan aturan pelaksanaan dari UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah oleh pasal 81 pada UU nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. 

    Upah adalah hak Pekerja/Buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari Pengusaha atau pemberi kerja kepada Pekerja/Buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu Perjanjian Kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi Pekerja/Buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.     Pemerintah dalam merencanakan Pagu ataupun Harga Perkiraan Sendiri (HPS) belanja Barang/Jasa-nya membutuhkan besaran Upah sebagai salah satu komponen selain Harga Material/barang, transportasi dan lain-lain. Penyedia dalam hal menyusun Harga juga memakai besaran Upah dalam memberikan harga penawaran. 

    Standar upah yang dipakai Penyedia Konstruksi lebih fleksible karena tergantung kesepakatan dengan calon pekerja, pimpinan pekerja atau bahkan pemborong upah. Kesepakatan itu biasanya membicarakan biaya transportasi, tempat tinggal, makanan, lembur, safety tools seperti baju, helm, sepatu, sarung tangan. Dalam banyak hal, pengupahan pada Jasa Konstruksi tidak bisa disamaratakan dengan pengupahan Buruh di Industri lain seperti Pabrik, Kantor dan lainnya mengingat durasi pekerjaan Industri Konstruksi yang pendek. Mungkin bisa saja proyek berlangsung 2 tahun atau lebih, namun setiap tahapan pekerjaan sudah harus selesai untuk masuk ke tahap berikutnya. Sebagai contoh Tahapan Struktur akan bisa dilakukan jika tahapan pekerjaan tanah telah rampung, dalam hal ini pekerja tanah akan diputus karena keahliannya tidak dapat dipakai di pekerjaan struktur. Oleh karena itu sangat penting membicarakan dan menyepakati segala hal terkait Upah yang diberikan kepada pekerja.

    Sebagai pemerhati nasib UMK di Pasar Pengadaan barang/Jasa Pemerintah (PBJ), ternyata filosofi kebijakan pemberian Kemudahan bagi UMK tetap tercermin di Peraturan ini bahkan sangking khususnya dimuat pada satu bab khusus yaitu Bab VI yang terdiri dari pasal 36, 37 dan 38 yang berbunyi sebagai berikut: 

  1. BAB VI
    UPAH TERENDAH PADA USAHA MIKRO DAN USAHA KECIL

    Pasal 36

  1. (1)  Ketentuan Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 sampai dengan Pasal 35 dikecualikan bagi usaha mikro dan usaha kecil.

  2. (2)  Upah pada usaha mikro dan usaha kecil ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Pengusaha dengan Pekerja/Buruh di Perusahaan dengan ketentuan:

    1. paling sedikit sebesar 50% (lima puluh persen) dari rata-rata konsumsi masyarakat di tingkat provinsi; dan

    2. nilai Upah yang disepakati paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) di atas garis kemiskinan di tingkat provinsi.

  3. (3)  Rata-rata konsumsi masyarakat dan garis kemiskinan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b menggunakan data yang bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik.

  4. Pasal 37

  5. Usaha mikro dan usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) harus memenuhi kriteria tertentu yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  6. Pasal 38

  7. Usaha mikro dan usaha kecil yang dikecualikan dari ketentuan Upah minimum wajib mempertimbangkan faktor sebagai berikut:

  8. a. mengandalkan sumber daya tradisional; dan/atau

  9. b. tidak bergerak pada usaha berteknologi tinggi dan tidak padat modal. 

  10. Bagaimana penjelasan atas pasal tersebut diatas ternyata pada Penjelasan atas PP 36 dinyatakan "Cukup Jelas" sehingga seharusnya tidak perlu ditafsirkan kembali.

Lantas bagaimana kaitannya pada PBJ ? 

 Dalam hal penyusunan harga pemerintah pada PBJ, selalu mengacu kepada standar upah minimum dimana selanjutnya setelah memasuki tahap pemilihan penyedia seperti tender, maka salah satu komponen yang dievaluasi adalah upah pekerja yang ditawarkan. Berbeda dengan penyedia, upah yang dipakai justru memakai harga yang disepakati dengan para pekerjanya, kesepakatan ini biasanya cenderung jauh lebih murah karena adanya sistem borongan upah/mandoran atau bahkan ada  yang malahan dikerjakan langsung oleh pemilik/keluarga pengusaha tersebut.

Khusus untuk Jasa konstruksi, sifat pekerjaannya adalah Padat Karya sehingga apabila pekerjaannya dilakukan oleh UMK maka pengecualian pada Bab VI PP 36 memenuhi syarat sehingga tidak harus mengikuti ketentuan tentang upah minimum provinsi. Ini berdampak kepada penerapan prosedur analisa harga satuan pekerjaan pada penawaran yang diajukan oleh UMK tidak dapat diterapkan. Tentunya ini demi kepastian hukum tentang pemberian pemberian kemudahan dalam berusaha khususnya penggunaan produk dalam negeri yang dikerjakan oleh pengusaha mikro dan kecil.

05 April 2022

SURAT TERBUKA Kemudahan, perlindungan dan pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil

 



SURAT TERBUKA 

Kemudahan, perlindungan dan pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil


Kepada Yth.

Presiden Republik Indonesia : Bapak Joko Widodo
Assalamualaikum, Salam Sejahtera, Shalom, Om Swastyastu, Namo Buddhaya, dan Salam Kebajikan

Pertama sekali kami mengucapkan selamat menjalankan Ibadah Puasa bagi Bapak Presiden dan Keluarga serta bagi seluruh rakyat Indonesia yang menjalankannya.

Kami sangat berterimakasih atas telah dikeluarkannya Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU 11/20) yang digagas oleh Pemerintah. Begitu banyak Kebijakan yang berorientasi dalam penciptaan Lapangan kerja khususnya terkait Kebijakan Kemudahan, perlindungan dan pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil. Ini adalah gagasan yang sangat luar biasa apalagi ditengah situasi ekonomi terdampak pandemi Covid-19 yang sampai surat ini dibuat belum ada kepastian kapan pandemi akan berakhir.

Sampai saat ini begitu banyak aturan pelaksanaan dari UU 11/20 yang telah dikeluarkan dan yang terbaru adalah dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden nomor 2 tahun 2022 tentang Percepatan Peningkatan Penggunaan Produk dalam Negeri dan Produk UMK dan KOPERASI dalam rangka menyukseskan Gerakan Nasional Bangga buatan Indonesia pada pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Inpres 02/22) pada tanggal 30 Maret 2022. Tanpa bermaksud menggurui melainkan mencoba mengingatkan bahwa sebaik apapun suatu kebijakan, itu barulah langkah awal yang implementasinya harus dibuktikan apakah mampu dilaksanakan para stake holder apalagi jika terdapat kepentingan yang berbeda dari Visi Misi Presiden.

Mengutip tulisan William N. Dunn pada bukunya berjudul Public Policy Analysis: An Integrated Approach (2017) menyebutkan "The consequences of policies are never fully known in advance. For this reason, the policy- analytic procedure of monitoring is essential to policy analysis. Indeed, much of the work of policy analysis is carried out after policies have been prescribed and adopted". Maka kami sebagai bagian dari UMK yang tersebar di banyak Provinsi di Indonesia yang merupakan pemanfaat langsung kebijakan ini merasa terpanggil untuk turut mensukseskan Instruksi Presiden diatas, oleh karena itu bersamaan dengan surat ini kami berusaha memberikan masukan kepada Pemerintah dalam bentuk kajian kondisi UMK pada Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PBJ) (lampiran 1). Adapun analisanya didasarkan pada Monitoring apa yang dialami dan terjadi pada UMK khususnya yang menggantungkan nasib pada Belanja Barang/Jasa Pemerintah. Dengan begitu tujuan dari Surat terbuka kami ini adalah agar Instruksi Presiden dijalankan dengan mempertimbangkan masukan langsung dari kami para Pelaku PBJ sehingga besar harapan program Kemudahan, Perlindungan dan Pemberdayaan UMK berhasil mensejahterakan masyarakat khususnya UMK.

Demikianlah surat ini kami sampaikan, disamping itu kami juga berharap untuk diikut sertakan minimal dalam bentuk pengawasan secara aktif Implementasi Inpres 02/22 di seluruh Indonesia dan kami juga bersedia melakukan diskusi terbuka apabila ada yang harus diselaraskan antara Pemerintah dan UMK Penyedia PBJ. Atas perhatiannya kami mengucapkan terimakasih dan mohon maaf apabila terjadi suatu kesalahan.


Hormat Kami,

TTD (Lampiran 2)

UMK Penyedia PBJ Nasional


Tembusan

  1. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi

  2. Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah

  3. Menteri Keuangan

  4. Menteri Dalam Negeri

  5. Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

  1. Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia

  2. Asosiasi Pemerintahan Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI).

  3. Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI)


Notes:

Untuk mempermudah surat menyurat/komunikasi, untuk sementara bisa menghubungi sdr. Bonatua Silalahi, Unit 12 lantai 16 Tower A, The Light, Signature Park Grande Apartment, Jl. M.T. Haryono Kav. 20 Cawang Jakarta Timur, HP/WA: 08 211 211 8611/087883523473; email: Bonatua.766hi@gmail.com.






Lampiran 1.

Kajian kondisi UMK pada PBJ

Kajian ini terkait Implementasi kebijakan Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan UMK dalam PBJ dalam rangka kontrol sosial, menguatkan dan memberi masukan terhadap Instruksi Presiden nomor 2 tahun 2022 tentang Percepatan Peningkatan Penggunaan Produk dalam Negeri dan Produk UMK dan KOPERASI dalam rangka menyukseskan Gerakan Nasional Bangga buatan Indonesia pada pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Inpres 02/21).

Berikut adalah hasil kajian dari kami disertai dengan data dan asumsi terhadap keterbatasan data yang disajikan langsung pertiap instruksi beserta pembahasannya:

1) Pada Instruksi Pertama nomor 1 disebutkan: Menetapkan dan/atau mengubah kebijakan dan/atau peraturan perundang-undangan untuk mempercepat peningkatan penggunaan produk dalam negeri dan pemberdayaan UMK dan Koperasi.

Pembahasan:

Menurut catatan kami, dalam kurun tahun 2019 sampai 2022 pada Rencana Umum Pengadaan terdapat (rata-rata) 1,39 juta Paket/tahun dengan nilai nominal (rata-rata) Rp. 322 Triliun (T) per tahun dikerjakan secara Swakelola (Monev LKPP, Update). Mayoritas paket tersebut bisa dan sangat diminati para Penyedia UMK yang terdaftar di LPSE. Menurut pandangan kami, adanya Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 3 Tahun 2021 Tentang Pedoman Swakelola (PLKPP 03/21) yang tidak melarang Paket yang bisa diadakan dan sangat diminati para Penyedia UMK dikerjakan secara swakelola oleh Pengguna Anggaran. Kami mohon kebijakan ini agar memberdayakan UMK semaksimal mungkin, sangat tidak tepat terlebih lagi pada situasi Pemulihan Ekonomi saat ini Pengguna Anggaran ngotot memberdayakan Aparat Sipil Negara (ASN) mengerjakan PBJ-P, perlu pemerataan Ekonomi mengingat mereka sudah memperoleh penghasilan tetap. Pemberdayaan maksimal para UMK bisa mempekerjakan dan menekan jumlah pengangguran yang telah mencapai 9,1 juta orang (BPS, Agustus 2021)

2)  Pada Instruksi Pertama nomor 3 disebutkan: Merencanakan, mengalokasikan, dan merealisasikan paling sedikit 40% (empat puluh persen) nilai anggaran belanja barang/jasa untuk menggunakan produk Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Koperasi dari hasil produksi dalam negeri.

Pembahasan:
Pada tahun 2021, dari Rp. 1.141,8 T Pagu Belanja barang/jasa Nasional (Data SiRUP), hanya Rp. 349,6 T (30,6%) yang diperuntukkan bagi UMK dan Usaha Menengah (LKPP, Flip 2021). Oleh karena keterbatasan Data yang tidak memisahkan berapa jumlah UMK dan berapa jumlah Usaha menengah maka kami menduga untuk UMK peruntukannya direncanakan jauh dibawah 30,6 %.

3)  Pada Instruksi Pertama nomor 10 disebutkan: Menghapuskan persyaratan yang menghambat penggunaan produk dalam negeri dan produk UMK, dan Koperasi dalam Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah.
Pembahasan:

Pada faktanya, UMK dalam mengikuti tender khususnya untuk pekerjaan konstruksi selalu dihadapkan pada persyaratan diluar Sertifikasi Standar. Adapun Alasan penambahan tersebut adalah dalam rangka penjaminan Kualitas Output. Sebagai Informasi, UMK dalam mendapatkan Sertifikat Standar (SBU) saja sudah menjalani banyak tahapan di 7 Organisasi yaitu Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemenPUPR), Online Single Submission (OSS), Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK), Lisensi Lembaga Sertifikasi Badan Usaha (LSBU), Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP), Asosiasi Profesi Pekerja Konstruksi dan Asosiasi Perusahaan Konstruksi. Secara formal mestinya syarat- syarat tambahan tersebut tidak diperlukan lagi karena menurut Peraturan Pemerintah nomor 05 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (PP 05/21)dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat nomor 06 tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Produk pada Penyelenggaraan Perizinan berusaha berbasis Risiko sektor Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PMPUPR 06/21) mestinya sudah cukup menjamin Kualifikasi UMK dalam bekerja.

Uniknya Penambahan syarat-syarat ini berbanding terbalik apabila dikerjakan secara swakelola, contohnya dalam pekerjaan Penambahan Ruang Kelas Baru dimana apabila dilakukan melalui penyedia maka persyaratan SBU, Peralatan, Tenaga Terampil, Dukungan Supplier/Vendor Alat dan Material, Saldo Bank dan Jaminan Penawaran, jika menang harus memberikan Jaminan Pelaksanaan/Uang Muka/Pembayaran dan dibebani tanggungjawab Struktur sampai 10 tahun dan pastinya para Penyedia harus fight banting-bantingan Harga. Coba kita lihat dan bandingkan persyaratan jika dikerjakan secara Swakelola, praktis tidak ada, negosiasi hargapun dirasa tidak transparan dan seakan-akan tidak tunduk pada Undang-undang Jasa Konstruksi. Tidak ada jaminan bahwa Output yang dipekerjakan ASN/Organisasi Masyarakat (Ormas)/Kelompok Masyarakat (Pokmas) akan lebih baik ketimbang dikerjakan Penyedia yang telah diregisterasi/verifikasi/validasi/sertifikasi oleh 7 organisasi Pemerintah, swasta dan Ormas.

4)  Pada Instruksi Kedua, Khusus kepada (5) Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi untuk: (a). meningkatkan penggunaan produk dalam negeri dan/atau produk Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Koperasi termasuk belanja yang dialokasikan melalui transfer daerah.

Pembahasan:
Dana Alokasi Khusus (DAK) pekerjaan konstruksi pada sekolah faktanya banyak yang tidak menggunakan produk UMK. Adanya pilihan DAK bisa diadakan secara Swakelola menjadi favorit choice meskipun tidak memiliki persyaratan kualifikasi dalam mengerjakan kegiatan beresiko Menengah Tinggi (kajiannya bisa dibaca pada artikel Pekerjaan Konstruksi tidak boleh dilakukansecara Swakelola). Para ASN/Ormas/Pokmas sama sekali tidak perlu melewati 7 organisasi yang membina Penyedia dalam menjamin Pelaksanaan Pekerjaan Konstruksi.

5)  Pada Instruksi Kedua, Khusus kepada (11) Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah untuk: memfasilitasi kemudahan penerbitan perizinan berusaha bagi Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Koperasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pembahasan:

Prosedur pengurusan SBU untuk UMK saat ini melibatkan 1 Kementrian teknis (KemenPUPR), 2 Lembaga Negara (LPJK & OSS), 2 Badan Usaha Swasta (LSBU & LSP) dan 2 Ormas (Asosiasi Kontraktor & Asosiasi Profesi), ini justru berbeda dan jauh dari kemudahan mengingat dahulu sebelum ada UU 11/20 hanya melibatkan 3 Ormas saja yaitu LPJKN/D, Asosiasi Kontraktor & Asosiasi Profesi. Kami menghimbau agar Kemudahan perizinan SBU difasilitasi dan diberikan keringan pembiayaan, tidak adil UMK harus menghidupi Lembaga Negara melalui skema Penghasilan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan Pajak lainnya, menghidupi swasta melalui skema lisensi dan menghidupi Ormas melalui skema Kartu Tanda Anggota (KTA).

Dalam hal pengurusan Sertifikat Standar (SBU) kami juga menemukan adanya persyaratan OSS yang mewajibkan UMK memiliki Sertifikat ISO Manajemen Mutu dan Anti Penyuapan, meskipun saat ini diberi keringanan karena bagi yang belum memiliki sertifikat tersebut dapat menggantikannya dengan surat pernyataan yang sudah harus dipenuhi pada saat berkontrak maupun setahun kemudian. Persyaratan ini jelas melanggar PP 05/21 dimana disebutkan bahwa perizinan sub sektor jasa konstruksi yang tergolong kategori Risiko Menengah Tinggi hanya berupa Nomor Induk Berusaha dan Sertifikat Standar. Menurut PM 06/21 bahwa yang dimaksud dengan sertifikat standar adalah SBU. Disisi lain, jumlah karyawan UMK yang tidak lebih dari 10 (sepuluh) menandakan managemen dalam UMK tergolong sederhana dan bisa dijadikan pertimbangan kemudahan berusaha.

6) Pada Instruksi Kedua, Khusus kepada (17) Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah untuk: (c). melakukan penyempurnaan peraturan perundang-undangan dan sistem Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dalam rangka percepatan peningkatan penggunaan produk dalam negeri dan produk Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Koperasi untuk menyukseskan Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia pada pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

Pembahasan:

Terkait PLKPP 03/21, diharapkan Swakelola diperketat hanya untuk pekerjaan yang tidak bisa diadakan/diminati Penyedia saja. Sebagai data pendukung, untuk tahun ini saja (2022) kami melihat terdapat total 3,19 juta paket yang direncanakan diadakan secara swakelola dan melalui penyedia, apabila 3 juta paket saja diserahkan ke UMK sebanyak 373.778 (Profile Pengadaan 2019) maka masing-masing Penyedia bisa mendapat 8 Paket (asumsi seluruh penyedia yang terdaftar di LPSE adalah UMK meskipun pada kenyataannya ini adalah total Penyedia dan hanya 134.564 yang menang dari 195.264 penyedia yang aktif lelang), kalo sudah begini kami rasa tidak perlu dilakukan Tender toh masing- masing Penyedia UMK dapat paket melebih Sisa Kemampuan Paket-nya, sesekali Pemerintah berbagi Proyek ke UMK ditengah Pandemi mengingat Swakelola bisa juga dilakukan tanpa harus tender, cukup Negosiasi Harga saja. Kami menyarankan pemilihan penyedianya dengan melibatkan organisasi pembinaan (K/L/PD) yang serta diawasi secara transparan oleh masyarakat.

7) Pada Instruksi Ketiga menyebutkan: Pendanaan untuk percepatan peningkatan penggunaan produk dalam negeri dan produk Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Koperasi dalam rangka menyukseskan Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia pada pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, dan/atau sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pembahasan:
Ketentuan Pemberian Uang Muka (UM) sudah diatur pada Peraturan pemerintah nomor 7 tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (PP 07/21) namun pada Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PS 16/18') ketentuannya masih belum dirubah karena masih memuat kata "dapat" sehingga bukanlah suatu keharusan. Sebagai catatan, ketentuan UM ini sebenarnya sudah disebutkan pada Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, namun karena adanya kalimat "dapat" membuat K/L/PD beramai-ramai memilih tidak mau memberikannya, lebih uniknya lagi justru kelas Usaha Besar termasuk BUMN yang justru diberikan Uang Muka. Mohon K/L/PD merealisasikan pendanaan APBN/APBD untuk UMK sebagai mana yang diatur oleh PP 07/21. 




catt: 
  1. Baru dapat klarifikasi resmi dari Lembaga Negara bahwa Data yang ada di https://monev.lkpp.go.id/ tidak dapat dipertanggungjawabkan (bisa benar bisa salah), harap publik bijak mempercayai data yang dikeluarkan Lembaga Publik (08/04/22) .
  2. Swakelola sudah dievaluasi di Uni Eropa, salah satunya bisa dibaca pada artikel berikut In-HOUSE PROCUREMENT exception: threat for sustainable procedure of Public procurement?
 

POSTINGAN POPULER