Layanan Konsultasi.

Kami dapat memberikan JASA Nasehat Kebijakan terhadap Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan; Pengadaan Barang/Jasa Konstruksi (Perencanaan - Persiapan - Pelaksanaan - Kontrak); dan Pemenangan Tender. Kami juga membantu membuat Kebijakan Perusahaan (Dokumen Tender & Peraturan Direksi terkait Pengadaan). Hubungi bonatua.766hi@gmail.com

Translate

CARI DI BLOG INI

05 Februari 2021

PMK 178/2018 : PERUBAHAN ATAS PMK 190/2012 TENTANG TATA CARA PEMBAYARAN DALAM RANGKA PELAKSANAAN APBN


PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 178/PMK.05/2018 TENTANG PERUBAHAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 190/PMK.05/2012 TENTANG TATA CARA PEMBAYARAN DALAM RANGKA PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : 

a. bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 134/PMK.06/2005, telah diatur ketentuan mengenai pedoman pembayaran dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; 

b. bahwa sesuai dengan Pasal 7 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara berwenang menetapkan kebijakan dan pedoman pelaksanaan anggaran negara;

c. bahwa untuk melaksanakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang lebih tertib, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab, perlu mengatur kembali ketentuan mengenai pedoman pembayaran dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pembayaran Dalam Rangka Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;

a. bahwa untuk mendukung modernisasi pelaksanaan anggaran, pembayaran atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dapat dilakukan melalui uang persediaan dengan memanfaatkan fasilitas kartu kredit;

b. bahwa substansi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.05/2012 tentang Tata Cara Pembayaran Dalam Rangka Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara memerlukan penyesuaian dan pembaharuan; 

c.bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.05/2012 tentang Tata Cara Pembayaran Dalam Rangka Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; 



Mengingat:
  1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286); 
  2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
  3. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400);
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 213, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5165);
  5. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 190/PMK.05/2012 TENTANG TATA CARA PEMBAYARAN DALAM RANGKA PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA


MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 178/PMK.05/2018 TENTANG PERUBAHAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 190/PMK.05/2012 TENTANG TATA CARA PEMBAYARAN DALAM RANGKA PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA

BAB I KETENTUAN UMUM 

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

  1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

  2. Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disebut DIPA adalah Dokumen Pelaksanaan Anggaran yang digunakan sebagai acuan Pengguna Anggaran dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan sebagai pelaksanaan APBN.

  3. Menteri/Pimpinan Lembaga adalah pejabat yang bertanggung jawab atas pengelolaan keuangan Kementerian Negara/Lembaga yang bersangkutan.

  4. Kementerian Negara/Lembaga adalah kementerian negara/ lembaga pemerintah non kementerian negara/lembaga negara.

  5. Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran Kementerian Negara/Lembaga.

  6. Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari PA untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada Kementerian Negara/Lembaga yang bersangkutan.

  7. Bagian Anggaran adalah kelompok anggaran menurut nomenklatur Kementerian Negara/Lembaga dan menurut fungsi Bendahara Umum Negara.

  8. Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BUN adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi BUN.

  9. Kuasa Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Kuasa BUN adalah pejabat yang diangkat oleh BUN untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan APBN dalam wilayah kerja yang ditetapkan

  10. Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang memperoleh kuasa dari BUN untuk melaksanakan sebagian fungsi Kuasa BUN.

  11. Satuan Kerja yang selanjutnya disebut Satker adalah unit organisasi lini Kementerian Negara/Lembaga atau unit organisasi Pemerintah Daerah yang melaksanakan kegiatan Kementerian Negara/Lembaga dan memiliki kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran.

  1. Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disingkat PPK adalah pejabat yang melaksanakan kewenangan PA/KPA untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran atas beban APBN.

  2. Pejabat Penanda Tangan Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disebut PPSPM adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk melakukan pengujian atas permintaan pembayaran dan menerbitkan perintah pembayaran.

  3. Bendahara Pengeluaran adalah orang yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan, membayarkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang untuk keperluan Belanja Negara dalam pelaksanaan APBN pada kantor/Satker Kementerian Negara/Lembaga.

  4. Bendahara Pengeluaran Pembantu yang selanjutnya disingkat BPP adalah orang yang ditunjuk untuk membantu Bendahara Pengeluaran untuk melaksanakan pembayaran kepada yang berhak guna kelancaran pelaksanaan kegiatan tertentu.

  5. Petugas Pengelolaan Administrasi Belanja Pegawai yang selanjutnya disingkat PPABP adalah pembantu KPA yang diberi tugas dan tanggung jawab untuk mengelola pelaksanaan belanja pegawai.

  6. Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat UP adalah uang muka kerja dalam jumlah tertentu yang diberikan kepada Bendahara Pengeluaran untuk membiayai kegiatan operasional sehari-hari Satker atau membiayai pengeluaran yang menurut sifat dan tujuannya tidak mungkin dilakukan melalui mekanisme pembayaran langsung.

  7. Pembayaran Langsung yang selanjutnya disebut Pembayaran LS adalah pembayaran yang dilakukan langsung kepada Bendahara Pengeluaran/penerima hak lainnya atas dasar perjanjian kerja, surat keputusan, surat tugas atau surat perintah kerja lainnya melalui penerbitan Surat Perintah Membayar Langsung.

  8. Tambahan Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat TUP adalah uang muka yang diberikan kepada Bendahara Pengeluaran untuk kebutuhan yang sangat mendesak dalam 1 (satu) bulan melebihi pagu UP yang telah ditetapkan.

  9. Pertanggungjawaban Tambahan Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat PTUP adalah pertanggungjawaban atas TUP.

  10. Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara.

  11. Surat Permintaan Pembayaran Langsung yang selanjutnya disebut SPP-LS adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, dalam rangka pembayaran tagihan kepada penerima hak/ Bendahara Pengeluaran.

  12. Surat Permintaan Pembayaran Uang Persediaan yang selanjutnya disebut SPP-UP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi permintaan pembayaran UP.

  13. Surat Permintaan Pembayaran Tambahan Uang Persediaan yang selanjutnya disebut SPP-TUP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi permintaan pembayaran TUP.

  14. Surat Permintaan Pembayaran Penggantian Uang Persediaan yang selanjutnya disebut SPP-GUP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi pertanggungjawaban dan permintaan kembali pembayaran UP.

  1. Surat Permintaan Pembayaran Penggantian Uang Persediaan Nihil yang selanjutnya disebut SPP-GUP Nihil adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi pertanggungjawaban UP.

  2. Surat Permintaan Pembayaran Pertanggungjawaban Tambahan Uang Persediaan yang selanjutnya disebut SPP-PTUP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi permintaan pertanggungjawaban atas TUP.

  3. Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA.

  4. Surat Perintah Membayar Langsung yang selanjutnya disebut SPM-LS adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA dalam rangka pembayaran tagihan kepada penerima hak/Bendahara Pengeluaran.

  5. Surat Perintah Membayar Uang Persediaan yang selanjutnya disebut SPM-UP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan UP.

  6. Surat Perintah Membayar Tambahan Uang Persediaan yang selanjutnya disebut SPM-TUP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan TUP.

  7. Surat Perintah Membayar Penggantian Uang Persediaan yang selanjutnya disebut SPM-GUP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM dengan membebani DIPA, yang dananya dipergunakan untuk menggantikan UP yang telah dipakai.

  8. Surat Perintah Membayar Penggantian Uang Persediaan Nihil yang selanjutnya disebut SPM-GUP Nihil adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM sebagai pertanggungjawaban UP yang membebani DIPA.

  9. Surat Perintah Membayar Pertanggungjawaban Tambahan Uang Persediaan yang selanjutnya disebut SPM-PTUP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM sebagai pertanggungjawaban atas TUP yang membebani DIPA.

  10. Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disebut SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN selaku Kuasa BUN untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM.

  11. Bagan Akun Standar yang selanjutnya disingkat BAS adalah daftar perkiraan buku besar meliputi kode dan uraian organisasi, fungsi dan sub fungsi, program, kegiatan, output, bagian anggaran/unit organisasi eselon I/Satker dan kode perkiraan yang ditetapkan dan disusun secara sistematis untuk memudahkan perencanaan, pelaksanaan anggaran, serta pertanggungjawaban dan laporan keuangan pemerintah pusat.

  12. Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP adalah seluruh penerimaan pemerintah pusat yang tidak berasal dari pajak.

  13. Bank Operasional adalah bank umum yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan selaku BUN atau pejabat yang diberi kuasa untuk melaksanakan pemindahbukuan sejumlah uang dari Kas Negara ke rekening sebagaimana yang tercantum dalam SP2D.

  14. Arsip Data Komputer yang selanjutnya disingkat ADK adalah arsip data dalam bentuk softcopy yang disimpan dalam media penyimpanan digital.

  15. Gaji Induk adalah gaji yang dibayarkan secara rutin bulanan kepada pegawai negeri yang telah diangkat oleh pejabat yang berwenang dengan surat keputusan sesuai ketentuan perundang-undangan pada Satker yang meliputi gaji pokok dan tunjangan yang melekat pada gaji.

BAB II RUANG LINGKUP 

Pasal 2

Peraturan Menteri ini mengatur mengenai tata cara pembayaran dalam rangka pelaksanaan APBN selain tata cara pembayaran dalam rangka pelaksanaan APBN untuk Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri dan Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia.

BAB III
DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN 

Pasal 3

  1. (1)  DIPA berlaku sebagai dasar pelaksanaan pengeluaran negara setelah mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan selaku BUN.

  2. (2)  Alokasi dana yang tertuang dalam DIPA merupakan batas tertinggi pengeluaran negara.

  3. (3)  Pengeluaran negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh dilaksanakan jika alokasi dananya tidak tersedia atau tidak cukup tersedia dalam DIPA.

(4)  Khusus pelaksanaan pengeluaran negara untuk pembayaran gaji dan tunjangan yang melekat pada gaji dapat melampaui alokasi dana gaji dan tunjangan yang melekat pada gaji dalam DIPA, sebelum dilakukan perubahan/revisi DIPA.

BAB IV
PEJABAT PERBENDAHARAAN NEGARA 

Bagian Kesatu
Pengguna Anggaran
Pasal 4

  1. (1)  Menteri/Pimpinan Lembaga selaku penyelenggara urusan tertentu dalam pemerintahan bertindak sebagai PA atas Bagian Anggaran yang disediakan untuk penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi tugas dan kewenangannya tersebut.

  2. (2)  Menteri Keuangan, selain sebagai PA atas Bagian Anggaran untuk kementerian yang dipimpinnya, juga bertindak selaku PA atas Bagian Anggaran yang tidak dikelompokkan dalam Bagian Anggaran Kementerian Negara/Lembaga tertentu.

  3. (3)  Bagian Anggaran yang tidak dikelompokkan dalam Bagian Anggaran Kementerian Negara/Lembaga tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), meliputi:

    a. Pengelolaan Utang;
    b. Pengelolaan Hibah;
    c. Pengelolaan Investasi Pemerintah;

    d. Pengelolaan Penerusan Pinjaman; e. Pengelolaan Transfer ke Daerah;

    f. Pengelolaan Subsidi;

    g. Pengelolaan Transaksi Khusus; dan h. Pengelolaan Anggaran lainnya.

(4)  Dalam mengelola Bagian Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri Keuangan menunjuk pejabat setingkat eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan untuk menjalankan fungsi PA.

(5)  Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas dan tanggung jawab PA dan tata cara pembayaran atas Bagian Anggaran yang tidak dikelompokkan dalam Bagian Anggaran Kementerian Negara/Lembaga tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan tersendiri.

Bagian Kedua Kuasa Pengguna Anggaran 

Pasal 5

  1. (1)  Menteri/Pimpinan Lembaga selaku PA berwenang:

    a.menunjuk kepala Satker yang berstatus Pegawai Negeri Sipil untuk melaksanakan kegiatan Kementerian Negara/Lembaga sebagai KPA; dan
    b. menetapkan Pejabat Perbendaharaan Negara lainnya.

  2. (2)  Penunjukan KPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a bersifat ex-officio.

  3. (3)  Pejabat Perbendaharaan Negara lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi PPK dan PPSPM.

  4. (4)  Kewenangan PA untuk menetapkan Pejabat Perbendaharaan Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilimpahkan kepada KPA.

  5. (5)  Setiap terjadi pergantian jabatan kepala Satker, setelah serah terima jabatan pejabat kepala Satker yang baru langsung menjabat sebagai KPA.

  6. (6)  PA dapat menunjuk pejabat lain selain kepala Satker sebagai KPA dalam hal:             
a. Satker dipimpin oleh pejabat yang bersifat komisioner;
b. Satker dipimpin oleh pejabat Eselon I atau setingkat Eselon I;
c. Satker sementara;
d. Satker yang pimpinannya mempunyai tugas fungsional; atau
e. Satker Lembaga Negara.
  1. (7)  Dalam hal Satker yang pimpinannya bukan Pegawai Negeri Sipil, PA dapat menunjuk pejabat lain yang berstatus Pegawai Negeri Sipil sebagai KPA.

  2. (8)  Dalam keadaan tertentu PA dapat menunjuk KPA yang bukan Pegawai Negeri Sipil, dengan mempertimbangkan efektivitas dalam pelaksanaan dan pertanggungjawaban anggaran, pelaksanaan kegiatan, dan pencapaian output/kinerja yang ditetapkan dalam DIPA.

  3. (9) Penunjukkan KPA sebagaimana dimaksud pada ayat (8) harus mendapat persetujuan Menteri Keuangan c.q Direktur Jenderal Perbendaharaan.

Pasal 6

  1. (1)  Dalam hal terdapat keterbatasan jumlah pejabat/pegawai yang memenuhi syarat untuk ditetapkan sebagai Pejabat Perbendaharaan Negara, dimungkinkan perangkapan fungsi Pejabat Perbendaharaan Negara dengan memperhatikan pelaksanaan prinsip saling uji (check and balance).

(2)  Perangkapan jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilaksanakan melalui perangkapan jabatan KPA sebagai PPK atau PPSPM.

Pasal 7

  1. (1)  KPA melaksanakan penggunaan anggaran berdasarkan DIPA Satker.

  2. (2)  KPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan pada DIPA.

  3. (3)  Penunjukan KPA tidak terikat periode tahun anggaran.

  4. (4)  Dalam hal terdapat kekosongan jabatan kepala Satker sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) atau pejabat lain yang ditunjuk sebagai KPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (6), PA segera menunjuk seorang pejabat baru sebagai pelaksana tugas KPA.

  5. (5)  Penunjukan KPA berakhir apabila tidak teralokasi anggaran untuk program yang sama pada tahun anggaran berikutnya.

(6)  KPA yang penunjukannya berakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (5) bertanggungjawab untuk menyelesaikan seluruh administrasi dan pelaporan keuangan.

Pasal 8

  1. (1)  Penunjukan KPA atas pelaksanaan dana Dekonsentrasi dilakukan oleh Gubernur selaku pihak yang diberikan pelimpahan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Kementerian Negara/Lembaga.

  2. (2)  Penunjukan KPA atas pelaksanaan dana Urusan Bersama, dilakukan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga atas usul Gubernur/Bupati/ Walikota.

  3. (3)  Penunjukan KPA atas pelaksanaan Tugas Pembantuan dilakukan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga atas usul Gubernur/Bupati/ Walikota.

(4)  Dalam rangka percepatan pelaksanaan anggaran, Menteri/Pimpinan Lembaga dapat mendelegasikan penunjukan KPA atas pelaksanaan Urusan Bersama dan Tugas Pembantuan kepada Gubernur/Bupati/Walikota.

Pasal 9

(1) Dalam pelaksanaan anggaran pada Satker, KPA memiliki tugas dan wewenang:

a. menyusun DIPA;

b. menetapkan PPK untuk melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja Negara;

c. menetapkan PPSPM untuk melakukan pengujian tagihan dan menerbitkan SPM atas beban anggaran belanja Negara;

  1. menetapkan panitia/pejabat yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan dan pengelola anggaran/keuangan;

  2. menetapkan rencana pelaksanaan kegiatan dan rencana penarikan dana;

  3. memberikan supervisi dan konsultasi dalam pelaksanaan kegiatan dan penarikan dana;

  4. mengawasi penatausahaan dokumen dan transaksi yang berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan dan anggaran; dan

  5. menyusun laporan keuangan dan kinerja atas pelaksanaan anggaran sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2) Untuk 1 (satu) DIPA, KPA menetapkan: 

a. 1 (satu) atau lebih PPK; dan

b. 1 (satu) PPSPM.


Pasal 10

  1. (1)  KPA bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan dan anggaran yang berada dalam penguasaannya kepada PA.

  2. (2)  Pelaksanaan tanggung jawab KPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk:

    1. mengesahkan rencana pelaksanaan kegiatan dan rencana penarikan dana;

    2. merumuskan standar operasional agar pelaksanaan pengadaan barang/jasa sesuai dengan ketentuan tentang pengadaan barang/jasa pemerintah;

    3. menyusun sistem pengawasan dan pengendalian agar proses penyelesaian tagihan atas beban APBN dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang- undangan;

    4. melakukan pengawasan agar pelaksanaan kegiatan dan pengadaan barang/jasa sesuai dengan keluaran (output) yang ditetapkan dalam DIPA;

    e.melakukan monitoring dan evaluasi agar pembuatan perjanjian/kontrak pengadaan barang/jasa dan pembayaran atas beban APBN sesuai dengan keluaran (output) yang ditetapkan dalam DIPA serta rencana yang telah ditetapkan;

    1. merumuskan kebijakan agar pembayaran atas beban APBN sesuai dengan keluaran (output) yang ditetapkan dalam DIPA; dan

    2. Melakukan pengawasan, monitoring, dan evaluasi atas pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran dalam rangka penyusunan laporan keuangan.

Pasal 11

  1. (1)  KPA menetapkan PPK dan PPSPM dengan surat keputusan.

  2. (2)  Penetapan PPK dan PPSPM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terikat periode tahun anggaran.

  1. (3)  Dalam hal tidak terdapat perubahan pejabat yang ditetapkan sebagai PPK dan/atau PPSPM pada saat pergantian periode tahun anggaran, penetapan PPK dan/atau PPSPM tahun yang lalu masih tetap berlaku.

  2. (4)  Dalam hal PPK atau PPSPM dipindahtugaskan/pensiun/ diberhentikan dari jabatannya/berhalangan sementara, KPA menetapkan PPK atau PPSPM pengganti dengan surat keputusan dan berlaku sejak serah terima jabatan.

  3. (5)  Dalam hal penunjukan KPA berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (5), penetapan PPK dan PPSPM secara otomatis berakhir.

  4. (6)  PPK dan PPSPM yang penunjukannya berakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyelesaikan seluruh administrasi keuangan yang menjadi tanggung jawabnya pada saat menjadi PPK atau PPSPM.

  5. (7)  KPA menyampaikan surat keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (4) kepada:

    a. Kepala KPPN selaku Kuasa BUN beserta spesimen tanda tangan PPSPM dan cap/stempel Satker;
    b. PPSPM disertai dengan spesimen tanda tangan PPK; dan
    c. PPK.

(8)  Pada awal tahun anggaran, KPA menyampaikan pemberitahuan kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dalam hal tidak terdapat penggantian PPK dan/atau PPSPM sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

Bagian Ketiga Pejabat Pembuat Komitmen 

Pasal 12

  1. (1)  PPK melaksanakan kewenangan KPA untuk melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja negara.

  2. (2)  Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PPK mempedomani pelaksanaan tanggung jawab KPA kepada PA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.

  3. (3)  PPK tidak dapat merangkap sebagai PPSPM. 


Pasal 13

(1) Dalam melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja negara, PPK memiliki tugas dan wewenang:

  1. menyusun rencana pelaksanaan kegiatan dan rencana penarikan dana berdasarkan DIPA;

  2. menerbitkan Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa;

  3. membuat, menandatangani dan melaksanakan perjanjian/kontrak dengan Penyedia Barang/Jasa;

  4. melaksanakan kegiatan swakelola;

  5. memberitahukan kepada Kuasa BUN atas perjanjian/ kontrak yang dilakukannya;

  1. mengendalikan pelaksanaan perjanjian/kontrak;

  2. menguji dan menandatangani surat bukti mengenai hak tagih kepada negara;

  3. membuat dan menandatangani SPP;

  4. melaporkan pelaksanaan/penyelesaian kegiatan kepada KPA;

  5. menyerahkan hasil pekerjaan pelaksanaan kegiatan kepada KPA dengan Berita Acara Penyerahan;

  6. menyimpan dan menjaga keutuhan seluruh dokumen pelaksanaan kegiatan; dan

  7. melaksanakan tugas dan wewenang lainnya yang berkaitan dengan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja negara sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2)  Penyusunan rencana pelaksanaan kegiatan dan rencana penarikan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dilakukan dengan:

  1. menyusun jadwal waktu pelaksanaan kegiatan termasuk rencana penarikan dananya;

  2. menyusun perhitungan kebutuhan UP/TUP sebagai dasar pembuatan SPP- UP/TUP; dan

  3. mengusulkan revisi POK/DIPA kepada KPA.

(3)  Pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g dilakukan dengan:

a. menguji kebenaran materiil dan keabsahan surat-surat bukti mengenai hak tagih kepada negara; dan/atau

b.menguji kebenaran dan keabsahan dokumen/surat keputusan yang menjadi persyaratan/kelengkapan pembayaran belanja pegawai.

(4)  Dalam hal surat-surat bukti mengenai hak tagih kepada negara berupa surat jaminan uang muka, pengujian kebenaran materiil dan keabsahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dilakukan dengan:

a. menguji syarat-syarat kebenaran dan keabsahan jaminan uang muka; dan

b. menguji tagihan uang muka berupa besaran uang muka yang dapat dibayarkan sesuai ketentuan mengenai pengadaan barang/ jasa pemerintah.

(5)  Laporan pelaksanaan/penyelesaian kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i berupa laporan atas:

a. pelaksanaan kegiatan;

b. penyelesaian kegiatan; dan

c. penyelesaian tagihan kepada negara.

(6)  Tugas dan wewenang lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf l meliputi:

a. menetapkan rencana pelaksanaan pengadaan barang/jasa;

b. memastikan telah terpenuhinya kewajiban pembayaran kepada negara oleh pihak yang mempunyai hak tagih kepada negara;

c. mengajukan permintaan pembayaran atas tagihan berdasarkan prestasi kegiatan;

  1. memastikan ketepatan jangka waktu penyelesaian tagihan kepada negara; dan

  2. menetapkan besaran uang muka yang akan dibayarkan kepada penyedia barang/jasa.

(7) Uang muka sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf e dapat diberikan kepada penyedia barang/jasa untuk:

a. mobilisasi alat dan tenaga kerja;

b. pembayaran uang tanda jadi kepada pemasok barang/material; dan/atau

c. persiapan teknis lain yang diperlukan bagi pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa.

Pasal 14

  1. (1)  Dalam pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf h, PPK menguji:

    a. kelengkapan dokumen tagihan;
    b. kebenaran perhitungan tagihan;
    c. kebenaran data pihak yang berhak menerima pembayaran atas beban APBN;
    d.kesesuaian spesifikasi teknis dan volume barang/jasa sebagaimana yang tercantum dalam perjanjian/kontrak dengan barang/jasa yang diserahkan oleh penyedia barang/jasa;
    e.kesesuaian spesifikasi teknis dan volume barang/jasa sebagaimana yang tercantum pada dokumen serah terima barang/jasa dengan dokumen perjanjian/kontrak;

    1. kebenaran, keabsahan serta akibat yang timbul dari penggunaan surat bukti mengenai hak tagih kepada negara; dan

    2. ketepatan jangka waktu penyelesaian pekerjaan sebagaimana yang tercantum pada dokumen serah terima barang/jasa dengan dokumen perjanjian/kontrak.

(2)  PPK harus menyampaikan laporan bulanan terkait pelaksanaan tugas dan wewenang kepada KPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf i, yang paling kurang memuat:

a. perjanjian/kontrak dengan penyedia barang/jasa yang telah ditandatangani; b. tagihan yang belum dan telah disampaikan penyedia barang/jasa;

c. tagihan yang belum dan telah diterbitkan SPPnya; dan

d. jangka waktu penyelesaian tagihan.

Pasal 15

(1) Dalam melaksanakan kewenangan KPA di bidang belanja pegawai, KPA mengangkat PPABP untuk membantu PPK dalam mengelola administrasi belanja pegawai.

(2)  PPABP bertanggung jawab atas pengelolaan administrasi belanja pegawai kepada KPA.

(3)  PPABP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki tugas:

a. melakukan pencatatan data kepegawaian secara elektronik dan/atau manual yang berhubungan dengan belanja pegawai secara tertib, teratur, dan berkesinambungan;

b.melakukan penatausahaan dokumen terkait keputusan kepegawaian dan dokumen pendukung lainnya dalam dosir setiap pegawai pada Satker yang bersangkutan secara tertib dan teratur;

c. memproses pembuatan Daftar Gaji induk, Gaji Susulan, Kekurangan Gaji, Uang Duka Wafat/Tewas, Terusan Penghasilan/Gaji, Uang Muka Gaji, Uang Lembur, Uang Makan, Honorarium, Vakasi, dan pembuatan Daftar Permintaan Perhitungan Belanja Pegawai lainnya;

  1. memproses pembuatan Surat Keterangan Penghentian Pembayaran (SKPP);

  2. memproses perubahan data yang tercantum pada Surat Keterangan Untuk Mendapatkan Tunjangan Keluarga setiap awal tahun anggaran atau setiap terjadi perubahan susunan keluarga;

  3. menyampaikan Daftar Permintaan Belanja Pegawai, ADK Perubahan Data Pegawai, ADK Belanja Pegawai, Daftar Perubahan Data Pegawai, dan dokumen pendukungnya kepada PPK;

  4. mencetak Kartu Pengawasan Belanja Pegawai Perorangan setiap awal tahun dan/atau apabila diperlukan; dan

  5. melaksanakan tugas-tugas lain yang berhubungan dengan penggunaan anggaran belanja pegawai.


Bagian Keempat Pejabat Penanda Tangan SPM 

Pasal 16

PPSPM melaksanakan kewenangan KPA untuk melakukan pengujian atas tagihan dan menerbitkan SPM.


Pasal 17

(1) Dalam melakukan pengujian tagihan dan menerbitkan SPM, PPSPM memiliki tugas dan wewenang sebagai berikut:

  1. menguji kebenaran SPP beserta dokumen pendukung;

  2. menolak dan mengembalikan SPP, apabila SPP tidak memenuhi persyaratan untuk dibayarkan;

  3. membebankan tagihan pada mata anggaran yang telah disediakan;

  4. menerbitkan SPM;

  5. menyimpan dan menjaga keutuhan seluruh dokumen hak tagih;

  6. melaporkan pelaksanaan pengujian dan perintah pembayaran kepada KPA; dan

  7. melaksanakan tugas dan wewenang lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan pengujian dan perintah pembayaran.

(2)  Dalam menerbitkan SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, PPSPM melakukan hal-hal sebagai berikut:

  1. mencatat pagu, realisasi belanja, sisa pagu, dana UP/TUP, dan sisa dana UP/TUP pada kartu pengawasan DIPA;

  2. menandatangani SPM; dan

  3. memasukkan Personal Identification Number (PIN) PPSPM sebagai tanda tangan elektronik pada ADK SPM.

(3)  Pengujian terhadap SPP beserta dokumen pendukung yang dilakukan oleh PPSPM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:

  1. kelengkapan dokumen pendukung SPP;

  2. kesesuaian penanda tangan SPP dengan spesimen tanda tangan PPK;

  3. kebenaran pengisian format SPP;

  4. kesesuaian kode BAS pada SPP dengan DIPA/POK/Rencana Kerja Anggaran Satker;

  5. ketersediaan pagu sesuai BAS pada SPP dengan DIPA/POK/Rencana Kerja Anggaran Satker;

  6. kebenaran formal dokumen/surat keputusan yang menjadi persyaratan/kelengkapan pembayaran belanja pegawai;

  7. kebenaran formal dokumen/surat bukti yang menjadi persyaratan/kelengkapan sehubungan dengan pengadaan barang/jasa;

  8. kebenaran pihak yang berhak menerima pembayaran pada SPP sehubungan dengan perjanjian/kontrak/surat keputusan;

  9. kebenaran perhitungan tagihan serta kewajiban di bidang perpajakan dari pihak yang mempunyai hak tagih;

  10. kepastian telah terpenuhinya kewajiban pembayaran kepada negara oleh pihak yang mempunyai hak tagih kepada negara; dan

  11. kesesuaian prestasi pekerjaan dengan ketentuan pembayaran dalam perjanjian/kontrak.

(4)  Pengujian kode BAS sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d termasuk menguji kesesuaian antara pembebanan kode mata anggaran pengeluaran (akun 6 digit) dengan uraiannya.


(5)  Tata cara pelaksanaan tanda tangan elektronik dalam bentuk PIN PPSPM pada ADK SPM diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaaan.

Pasal 18

(1) Dalam pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), PPSPM bertanggung jawab atas:

a. kebenaran, kelengkapan, dan keabsahan administrasi terhadap dokumen hak tagih pembayaran yang menjadi dasar penerbitan SPM dan akibat yang timbul dari pengujian yang dilakukannya; dan

b. ketepatan jangka waktu penerbitan dan penyampaian SPM kepada KPPN.

(2) PPSPM harus menyampaikan laporan bulanan terkait pelaksanaan tugas dan wewenang kepada KPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf f yang paling sedikit memuat:

a. jumlah SPP yang diterima;

b. jumlah SPM yang diterbitkan; dan

c. jumlah SPP yang tidak dapat diterbitkan SPM.

Bagian Kelima
Kuasa Bendahara Umum Negara 

Pasal 19

  1. (1)  Menteri Keuangan selaku BUN mengangkat Kepala KPPN selaku Kuasa BUN untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan anggaran dalam wilayah kerja yang telah ditetapkan.

  2. (2)  Tugas kebendaharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan menerima, menyimpan, membayar atau menyerahkan, menatausahakan, dan mempertanggung jawabkan uang dan surat berharga yang berada dalam pengelolaannya.

(3)  KPPN dalam melaksanakan tugas kebendaharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), paling sedikit:

a. melaksanakan penerimaan dan pengeluaran Kas Negara dalam rangka pengendalian pelaksanaan anggaran negara; dan

b. melakukan pembayaran tagihan kepada penerima hak sebagai pengeluaran anggaran.

Pasal 20

  1. (1)  KPPN selaku Kuasa BUN melaksanakan pencairan dana berdasarkan perintah pembayaran yang diterbitkan oleh PPSPM atas nama KPA.

(2)  Dalam pelaksanaan pencairan dana, KPPN memiliki tugas dan wewenang untuk menguji dan meneliti kelengkapan SPM yang diterbitkan oleh PPSPM.


Pasal 21

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang KPPN selaku Kuasa BUN diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.


Bagian Keenam Bendahara Pengeluaran 

Pasal 22

  1. (1)  Untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan anggaran belanja, Menteri/Pimpinan Lembaga mengangkat Bendahara Pengeluaran di setiap Satker.

  2. (2)  Kewenangan pengangkatan Bendahara Pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat didelegasikan kepada kepala Satker.

  1. (3)  Pengangkatan Bendahara Pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pendelegasian kewenangan pengangkatan Bendahara Pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan surat keputusan.

  2. (4)  Pengangkatan Bendahara Pengeluaran tidak terikat periode tahun anggaran.

  3. (5)  Bendahara Pengeluaran tidak dapat dirangkap oleh KPA, PPK atau PPSPM.

  4. (6)  Dalam hal tidak terdapat pergantian Bendahara Pengeluaran, penetapan Bendahara Pengeluaran tahun anggaran yang lalu masih tetap berlaku.

  5. (7)  Dalam hal Bendahara Pengeluaran dipindahtugaskan/ pensiun/diberhentikan dari jabatannya/berhalangan sementara, Menteri/Pimpinan Lembaga atau kepala Satker menetapkan pejabat pengganti sebagai Bendahara Pengeluaran.

  6. (8)  Bendahara Pengeluaran yang dipindahtugaskan/pensiun/diberhentikan dari jabatannya/berhalangan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (7) harus menyelesaikan seluruh administrasi keuangan yang menjadi tanggung jawabnya pada saat menjadi Bendahara Pengeluaran.

(9)  Kepala Satker menyampaikan surat keputusan pengangkatan dan spesimen tanda tangan Bendahara Pengeluaran kepada:

a. PPSPM; dan

b. PPK.

Pasal 23

  1. (1)  Dalam pelaksanaan anggaran, Menteri/Pimpinan Lembaga atau kepala Satker menetapkan 1 (satu) Bendahara Pengeluaran untuk 1 (satu) DIPA/Satker.

  2. (2)  Dalam hal terdapat keterbatasan pegawai/pejabat yang akan ditunjuk sebagai Bendahara Pengeluaran, Menteri/Pimpinan Lembaga atau kepala Satker dapat menetapkan 1 (satu) Bendahara Pengeluaran untuk mengelola lebih dari 1 (satu) DIPA/Satker.

(3)  Dalam hal pengelolaan DIPA/Satker tidak memerlukan Bendahara Pengeluaran, tidak perlu ditetapkan Bendahara Pengeluaran.

Pasal 24

(1)  Bendahara Pengeluaran melaksanakan tugas kebendaharaan atas uang/surat berharga yang berada dalam pengelolaannya, yang meliputi:

a. Uang/surat berharga yang berasal dari UP dan Pembayaran LS melalui Bendahara Pengeluaran; dan

b. Uang/surat berharga yang bukan berasal dari UP, dan bukan berasal dari Pembayaran LS yang bersumber dari APBN.

(2)  Pelaksanaan tugas kebendaharaan Bendahara Pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:

a. menerima, menyimpan, menatausahakan, dan membukukan uang/surat berharga dalam pengelolaannya;

  1. melakukan pengujian dan pembayaran berdasarkan perintah PPK;

  2. menolak perintah pembayaran apabila tidak memenuhi persyaratan untuk dibayarkan;

  3. melakukan pemotongan/pemungutan penerimaan negara dari pembayaran yang dilakukannya;

  4. menyetorkan pemotongan/pemungutan kewajiban kepada negara ke kas negara;

  5. mengelola rekening tempat penyimpanan UP; dan

  6. menyampaikan Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) kepada Kepala KPPN selaku kuasa BUN.

(3)  Kepala Satker menyampaikan surat keputusan pengangkatan dan spesimen tanda tangan Bendahara Pengeluaran kepada Kepala KPPN dalam rangka penyampaian Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf g.


(4)  Pembayaran dilaksanakan setelah dilakukan pengujian atas perintah pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b yang meliputi:

  1. meneliti kelengkapan perintah pembayaran yang diterbitkan oleh PPK;

  2. pemeriksaan kebenaran atas hak tagih, meliputi:

    1. pihak yang ditunjuk untuk menerima pembayaran;

    2. nilai tagihan yang harus dibayar;

    3. jadwal waktu pembayaran; dan

    4. menguji ketersediaan dana yang bersangkutan;

  3. pemeriksaan kesesuaian pencapaian keluaran antara spesifikasi teknis yang disebutkan dalam penerimaan barang/jasa dan spesifikasi teknis yang disebutkan dalam dokumen perjanjian/kontrak; dan

  4. pemeriksaan dan pengujian ketepatan penggunaan kode mata anggaran pengeluaran (akun 6 digit).

Pasal 25

  1. (1)  Dalam meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan anggaran, kepala Satker dapat menunjuk beberapa BPP sesuai kebutuhan.

  2. (2)  BPP harus menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada Bendahara Pengeluaran.

(3)  BPP melakukan pembayaran atas UP yang dikelola sesuai pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (4).

Pasal 26

(1)  BPP melaksanakan tugas kebendaharaan atas uang yang berada dalam pengelolaannya.
(2)  Pelaksanaan tugas kebendaharaan atas uang yang dikelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:

a. menerima dan menyimpan UP;

  1. melakukan pengujian dan pembayaran atas tagihan yang dananya bersumber dari UP;

  2. melakukan pembayaran yang dananya bersumber dari UP berdasarkan perintah PPK;

  3. menolak perintah pembayaran apabila tidak memenuhi persyaratan untuk dibayarkan;

  4. melakukan pemotongan/pemungutan dari pembayaran yang dilakukannya atas kewajiban kepada negara;

  5. menyetorkan pemotongan/pemungutan kewajiban kepada negara ke kas negara;

  6. menatausahakan transaksi UP;

  7. menyelenggarakan pembukuan transaksi UP; dan

  8. mengelola rekening tempat penyimpanan UP.

Pasal 27

  1. (1)  Bendahara Pengeluaran bertanggung jawab secara pribadi atas uang/surat berharga yang berada dalam pengelolaannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1).

(2)  BPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1), bertanggung jawab secara pribadi atas uang yang berada dalam pengelolaannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1).

Pasal 28

  1. (1)  Dalam pelaksanaan pembayaran atas beban APBN, KPA membuka rekening pengeluaran atas nama Bendahara Pengeluaran/BPP dengan persetujuan Kuasa BUN.

  2. (2)  Kepala KPPN selaku Kuasa BUN memberikan persetujuan pembukaan rekening Bendahara Pengeluaran/BPP kepada KPA.

(3)  Pembukaan rekening pengeluaran atas nama Bendahara Pengeluaran/BPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan mengenai pengelolaan rekening pemerintah pada kementerian negara/lembaga/satuan kerja.

BAB V PENYELESAIAN TAGIHAN NEGARA Bagian Kesatu
Pembuatan Komitmen
Pasal 29

  1. (1)  Pelaksanaan kegiatan dan penggunaan anggaran pada DIPA yang mengakibatkan pengeluaran negara, dilakukan melalui pembuatan komitmen.

  2. (2)  Pembuatan komitmen sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan dalam bentuk: a. Perjanjian/kontrak untuk pengadaan barang/jasa; dan/atau
    b. Penetapan keputusan.

Pasal 30

  1. (1)  Setelah rencana kerja dan anggaran Kementerian Negara/Lembaga disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, setiap Satker di lingkungan Kementerian Negara/Lembaga dapat memulai proses pelelangan dalam rangka pengadaan barang/jasa pemerintah sebelum DIPA tahun anggaran berikutnya disahkan dan berlaku efektif.

  2. (2)  Biaya proses pelelangan dalam rangka pengadaan barang/jasa pemerintah sebelum DIPA tahun anggaran berikutnya disahkan dan berlaku efektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk jenis belanja modal dialokasikan dalam belanja modal tahun anggaran berjalan.

  3. (3)  Realisasi belanja atas alokasi anggaran biaya proses pelelangan yang berasal dari belanja modal pada tahun anggaran berjalan, dicatat dalam neraca sebagai Konstruksi Dalam Pengerjaan (KDP).

  4. (4)  Biaya proses pelelangan dalam rangka pengadaan barang/jasa pemerintah sebelum DIPA tahun anggaran berikutnya disahkan dan berlaku efektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk jenis belanja barang/bantuan sosial dialokasikan dalam belanja barang tahun anggaran berjalan.

  5. (5)  Proses lelang pengadaan barang/jasa yang dibiayai melalui dana tahun anggaran berjalan dilaksanakan oleh panitia pengadaan yang dibentuk pada tahun anggaran berjalan.

  6. (6)  Penandatanganan perjanjian/kontrak atas pelaksanaan pengadaan barang/jasa sebagai tindak lanjut atas pelaksanaan lelang dilakukan setelah DIPA tahun anggaran berikutnya disahkan dan berlaku efektif.

(7)  Dalam hal biaya proses pelelangan dalam rangka pengadaan barang/jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) tidak dialokasikan pada tahun anggaran berjalan, biaya proses pelelangan dimaksud dapat dialokasikan pada DIPA tahun anggaran berjalan dengan melakukan revisi DIPA sesuai ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai revisi DIPA.

Pasal 31

  1. (1)  Bentuk perjanjian/kontrak untuk pengadaan barang/jasa sampai dengan batas nilai tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dapat berupa bukti-bukti pembelian/pembayaran.

  2. (2)  Ketentuan mengenai batas nilai tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengikuti ketentuan dalam peraturan perundang-undangan mengenai pengadaan barang/jasa pemerintah.

    Pasal 32

  1. (1)  Perjanjian/kontrak pengadaan barang/jasa hanya dapat dibebankan pada DIPA tahun anggaran berkenaan.

  2. (2)  Perjanjian/kontrak yang pelaksanaan pekerjaannya membebani DIPA lebih dari 1 (satu) tahun anggaran dilakukan setelah mendapat persetujuan pejabat yang berwenang.

  3. (3)  Persetujuan atas perjanjian/kontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur  dalam Peraturan Menteri Keuangan tersendiri. 

Pasal 33
  1. (1)  Perjanjian/kontrak atas pengadaan barang/jasa dapat dibiayai sebagian atau seluruhnya dengan rupiah murni dan/atau pinjaman dan/atau hibah.

(2)  Perjanjian/kontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengadaan barang/jasa pemerintah.

Pasal 34

  1. (1)  Pembuatan komitmen melalui penetapan keputusan yang mengakibatkan pengeluaran negara antara lain untuk:

    1. pelaksanaan belanja pegawai;

    2. pelaksanaan perjalanan dinas yang dilaksanakan secara swakelola;

    3. pelaksanaan kegiatan swakelola, termasuk pembayaran honorarium kegiatan; atau

    4. belanja bantuan sosial yang disalurkan dalam bentuk uang kepada penerima bantuan sosial.

(2)  Penetapan keputusan dilakukan oleh pejabat yang berwenang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedua
Pencatatan Komitmen oleh PPK dan KPPN 

Pasal 35

  1. (1)  Perjanjian/kontrak yang pembayarannya akan dilakukan melalui SPM-LS, PPK mencatatkan perjanjian/kontrak yang telah ditandatangani ke dalam suatu sistem yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan.

  2. (2)  Pencatatan perjanjian/kontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang meliputi data sebagai berikut:

    1. nama dan kode Satker serta uraian fungsi/subfungsi, program, kegiatan, output, dan akun yang digunakan;

    2. nomor Surat Pengesahan dan tanggal DIPA;

    3. nomor, tanggal, dan nilai perjanjian/kontrak yang telah dibuat oleh Satker;

    4. uraian pekerjaan yang diperjanjikan;

    5. data penyedia barang/jasa yang tercantum dalam perjanjian/kontrak antara lain nama rekanan, alamat rekanan, NPWP, nama bank, nama, dan nomor rekening penerima pembayaran;

    6. jangka waktu dan tanggal penyelesaian pekerjaan serta masa pemeliharaan apabila dipersyaratkan;

    7. ketentuan sanksi apabila terjadi wanprestasi;

    8. addendum perjanjian/kontrak apabila terdapat perubahan data pada perjanjian/kontrak tersebut; dan

    9. cara pembayaran dan rencana pelaksanaan pembayaran:

1.sekaligus (nilai ............ rencana bulan ......); atau
2.secara bertahap (nilai ............ rencana bulan ......).

(3) Alokasi dana yang sudah tercatat dan terikat dengan perjanjian/kontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat digunakan lagi untuk kebutuhan lain.

Pasal 36

  1. (1)  Data perjanjian/kontrak yang memuat informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2), disampaikan kepada KPPN paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah ditandatanganinya perjanjian/kontrak untuk dicatatkan ke dalam Kartu Pengawasan Kontrak KPPN.

  2. (2)  Data perjanjian/kontrak dalam Kartu Pengawasan Kontrak KPPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1), digunakan untuk menguji kesesuaian tagihan yang tercantum pada SPM meliputi:

    a. pihak yang berhak menerima pembayaran; b. nilai pembayaran; dan
    c. jadwal pembayaran.

  3. (3)  Data perjanjian/kontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beserta ADK-nya disampaikan ke KPPN secara langsung atau melalui e-mail.

(4)  Kartu Pengawasan Kontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 37

  1. (1)  Dalam hal terdapat perubahan data pegawai pada penetapan keputusan yang mengakibatkan pengeluaran negara untuk pelaksanaan belanja pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf a, PPABP mencatat perubahan data pegawai tersebut ke dalam suatu sistem yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan.

  2. (2)  Perubahan data pegawai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi dokumen yang terkait dengan:

    a. Pengangkatan/pemberhentian sebagai calon pegawai negeri; b. Pengangkatan/pemberhentian sebagai pegawai negeri;
    c. Kenaikan/penurunan pangkat;
    d. Kenaikan/penurunan gaji berkala;
    e. Pengangkatan/pemberhentian dalam jabatan; f. Mutasi Pindah ke Satker lain;
    g. Pegawai baru karena mutasi pindah;
    h. Perubahan data keluarga;

    i.Data utang kepada negara; dan/atau

    j. Pengenaan sanksi kepegawaian.

Pasal 38

  1. (1)  Daftar perubahan data pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2), disampaikan kepada KPPN paling lambat bersamaan dengan pengajuan SPM Belanja Pegawai ke KPPN.

  2. (2)  Dalam hal disampaikan bersamaan dengan SPM Belanja Pegawai, daftar perubahan data pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) bukan merupakan lampiran dari SPM Belanja Pegawai.

  3. (3)  Penyampaian daftar perubahan data pegawai sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan setelah terlebih dahulu disahkan oleh PPSPM dengan menyertakan ADK.

  4. (4)  Daftar perubahan data pegawai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan dalam rangka pemutakhiran (updating) data antara KPPN dengan Satker untuk pembayaran belanja pegawai dan untuk menguji kesesuaian dengan tagihan.

(5)  Daftar perubahan data pegawai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Bagian Ketiga
Mekanisme Penyelesaian Tagihan dan Penerbitan SPP 

Paragraf Kesatu
Pengajuan Tagihan
Pasal 39

  1. (1)  Penerima hak mengajukan tagihan kepada negara atas komitmen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) berdasarkan bukti-bukti yang sah untuk memperoleh pembayaran.

  2. (2)  Atas dasar tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PPK melakukan pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1).

  3. (3)  Pelaksanaan pembayaran tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan Pembayaran LS kepada penyedia barang/jasa atau Bendahara Pengeluaran/pihak lainnya.

  4. (4)  Dalam hal Pembayaran LS tidak dapat dilakukan, pembayaran tagihan kepada penerima hak dilakukan dengan UP.

  5. (5)  Khusus untuk pembayaran komitmen dalam rangka pengadaan barang/jasa berlaku ketentuan sebagai berikut:

    a. Pembayaran tidak boleh dilakukan sebelum barang/jasa diterima;
    b.Dalam hal pengadaan barang/jasa yang karena sifatnya harus dilakukan pembayaran terlebih dahulu, pembayaran atas beban APBN dapat dilakukan sebelum barang/jasa diterima; dan
    c. Pembayaran atas beban APBN sebagaimana dimaksud pada huruf b dilakukan setelah penyedia barang/jasa menyampaikan jaminan atas uang pembayaran yang akan dilakukan.

Pasal 40

  1. (1)  Pembayaran LS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (3) ditujukan kepada:

    a. Penyedia barang/jasa atas dasar perjanjian/kontrak;
    b. Bendahara Pengeluaran/pihak lainnya untuk keperluan belanja pegawai non gaji induk, pembayaran honorarium, dan perjalanan dinas atas dasar surat keputusan.

  2. (2)  Pembayaran tagihan kepada penyedia barang/jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dilaksanakan berdasarkan bukti-bukti yang sah yang meliputi:

    1. Bukti perjanjian/kontrak;

    2. Referensi Bank yang menunjukkan nama dan nomor rekening penyedia barang/jasa;

    3. Berita Acara Penyelesaian Pekerjaan;

    4. Berita Acara Serah Terima Pekerjaan/Barang;

    5. Bukti penyelesaian pekerjaan lainnya sesuai ketentuan;

    6. Berita Acara Pembayaran;

    7. Kuitansi yang telah ditandatangani oleh penyedia barang/jasa dan PPK, yang dibuat sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini;

    8. Faktur pajak beserta Surat Setoran Pajak (SSP) yang telah ditandatangani oleh Wajib Pajak/Bendahara Pengeluaran;

    9. Jaminan yang dikeluarkan oleh bank umum, perusahaan penjaminan atau perusahaan asuransi sebagaimana dipersyaratkan dalam peraturan perundang- undangan mengenai pengadaan barang/jasa pemerintah; dan/atau

    10. Dokumen lain yang dipersyaratkan khususnya untuk perjanjian/kontrak yang dananya sebagian atau seluruhnya bersumber dari pinjaman atau hibah dalam/luar negeri sebagaimana dipersyaratkan dalam naskah perjanjian pinjaman atau hibah dalam/luar negeri bersangkutan.

  3. (3)  Pembayaran tagihan kepada Bendahara Pengeluaran/pihak lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan berdasarkan bukti-bukti yang sah, meliputi:

    a. Surat Keputusan;
    b. Surat Tugas/Surat Perjalanan Dinas;
    c. Daftar penerima pembayaran; dan/atau
    d. Dokumen pendukung lainnya sesuai ketentuan.

  4. (4)  Dalam hal jaminan yang dikeluarkan oleh bank atau lembaga keuangan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf i berupa surat jaminan uang muka, jaminan dimaksud dilengkapi dengan Surat Kuasa bermaterai cukup dari PPK kepada Kepala KPPN untuk mencairkan jaminan.

Pasal 41

  1. (1)  Tagihan atas pengadaan barang/jasa dan/atau pelaksanaan kegiatan yang membebani APBN diajukan dengan surat tagihan oleh penerima hak kepada PPK paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah timbulnya hak tagih kepada negara.

  2. (2)  Dalam hal 5 (lima) hari kerja setelah timbulnya hak tagih kepada negara penerima hak belum mengajukan surat tagihan, PPK harus segera memberitahukan secara tertulis kepada penerima hak untuk mengajukan tagihan.

  3. (3)  Dalam hal setelah 5 (lima) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) penerima hak belum mengajukan tagihan, penerima hak pada saat mengajukan tagihan harus memberikan penjelasan secara tertulis kepada PPK atas keterlambatan pengajuan tagihan tersebut.

  4. (4)  Dalam hal PPK menolak/mengembalikan tagihan karena dokumen pendukung tagihan tidak lengkap dan benar, PPK harus menyatakan secara tertulis alasan penolakan/pengembalian tersebut paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah diterimanya surat tagihan.

    Paragraf Kedua Mekanisme Penerbitan SPP-LS Pasal 42

  1. (1)  Dalam hal pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) telah memenuhi persyaratan, PPK mengesahkan dokumen tagihan dan menerbitkan SPP yang dibuat sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

  2. (2)  Penerbitan SPP-LS untuk pembayaran belanja pegawai diatur sebagai berikut:

a. Untuk pembayaran Gaji Induk dilengkapi dengan:

      1. Daftar Gaji, Rekapitulasi Daftar Gaji, dan Halaman Luar Daftar Gaji yang ditandatangani oleh PPABP, Bendahara Pengeluaran, dan KPA/PPK;
      2. Daftar Perubahan data pegawai yang ditandatangani PPABP;
      3. Daftar Perubahan Potongan;
      4. Daftar Penerimaan Gaji Bersih pegawai untuk pembayaran gaji yang dilaksanakan secara langsung pada rekening masing-masing pegawai;
      5. Copy dokumen pendukung perubahan data pegawai yang telah dilegalisasi oleh Kepala Satker/pejabat yang berwenang meliputi Surat Keputusan (SK) terkait dengan pengangkatan Calon Pegawai Negeri, SK Pegawai Negeri, SK Kenaikan Pangkat, Surat Pemberitahuan Kenaikan Gaji Berkala, SK Mutasi Pegawai, SK Menduduki Jabatan, Surat Pernyataan Melaksanakan Tugas, Surat atau Akta terkait dengan anggota keluarga yang mendapat tunjangan, Surat Keterangan Penghentian Pembayaran (SKPP), dan surat keputusan yang mengakibatkan penurunan gaji, serta SK Pemberian Uang Tunggu sesuai peruntukannya;
      6. ADK terkait dengan perubahan data pegawai;
      7. ADK perhitungan pembayaran Belanja Pegawai sesuai perubahan data pegawai; dan
      8. Surat Setoran Pajak Penghasilan (SSP PPh) Pasal 21.
  1. Untuk Pembayaran Gaji Susulan:

    1. Gaji Susulan yang dibayarkan sebelum gaji pegawai yang bersangkutan masuk dalam Gaji induk, dilengkapi dengan:

      1. a)  Daftar Gaji Susulan, Rekapitulasi Daftar Gaji Susulan, dan halaman luar Daftar Gaji Susulan yang ditandatangani oleh PPABP, Bendahara Pengeluaran, dan KPA/PPK;

      2. b)  Daftar perubahan data pegawai yang ditandatangani oleh PPABP;

      3. c)  Copy dokumen pendukung perubahan data pegawai yang telah dilegalisasi oleh Kepala Satker/pejabat yang berwenang meliputi SK terkait dengan pengangkatan sebagai Calon Pegawai Negeri/Pegawai Negeri, SK Mutasi Pegawai, SK terkait Jabatan, Surat Pernyataan Pelantikan, Surat Pernyataan Melaksanakan Tugas, Surat Keterangan Untuk Mendapatkan Tunjangan Keluarga, Surat atau Akta terkait dengan anggota keluarga yang mendapat tunjangan, dan SKPP sesuai peruntukannya;

      4. d)  ADK terkait dengan perubahan data pegawai;

      5. e)  ADK perhitungan pembayaran Belanja Pegawai sesuai perubahan data pegawai; dan

      6. f)  SSP PPh Pasal 21.

    2. Gaji Susulan yang dibayarkan setelah gaji pegawai yang bersangkutan masuk dalam Gaji induk, dilengkapi dengan:

      1. a)  Daftar Gaji Susulan, Rekapitulasi Daftar Gaji Susulan, dan halaman luar Daftar Gaji Susulan yang ditandatangani oleh PPABP, Bendahara Pengeluaran, dan KPA/PPK;

      2. b)  Daftar perubahan data pegawai yang ditandatangani oleh PPABP;

      3. c)  ADK terkait dengan perubahan data pegawai;

      4. d)  ADK perhitungan pembayaran Belanja Pegawai sesuai perubahan data pegawai; dan

      5. e)  SSP PPh Pasal 21.

  2. Untuk pembayaran Kekurangan Gaji dilengkapi dengan:

    1. Daftar Kekurangan Gaji, Rekapitulasi Daftar Kekurangan Gaji, dan halaman luar Daftar Kekurangan Gaji yang ditandatangani oleh PPABP, Bendahara Pengeluaran, dan KPA/PPK;

    2. Daftar perubahan data pegawai yang ditandatangani oleh PPABP;

    3. Copy dokumen pendukung perubahan data pegawai yang telah dilegalisasi oleh Kepala Satker/pejabat yang berwenang meliputi SK terkait dengan pengangkatan sebagai Calon Pegawai Negeri/Pegawai Negeri, SK Kenaikan Pangkat, Surat Keputusan/Pemberitahuan Kenaikan Gaji Berkala, SK Mutasi Pegawai, SK terkait dengan jabatan, Surat Pernyataan Melaksanakan Tugas;

    4. ADK terkait dengan perubahan data pegawai;

    5. ADK perhitungan pembayaran Belanja Pegawai sesuai perubahan data pegawai; dan

    6. SSP PPh Pasal 21.

  1. Untuk pembayaran Uang Duka Wafat/Tewas, dilengkapi dengan:

    1. Daftar Perhitungan Uang Duka Wafat/Tewas, Rekapitulasi Daftar Uang Duka Wafat/Tewas, dan halaman luar Daftar Uang Duka Wafat/Tewas yang ditandatangani oleh PPABP, Bendahara Pengeluaran, dan KPA/PPK;

    2. Daftar perubahan data pegawai yang ditandatangani oleh PPABP;

    3. SK Pemberian Uang Duka Wafat/Tewas dari pejabat yang berwenang;

    4. Surat Keterangan dan Permintaan Tunjangan Kematian/Uang Duka Wafat/Tewas;

    5. Surat Keterangan Kematian/Visum dari Camat atau Rumah Sakit;

    6. ADK terkait dengan perubahan data pegawai; dan

    7. ADK perhitungan pembayaran Belanja Pegawai sesuai perubahan data pegawai.

  2. Untuk pembayaran Terusan Penghasilan Gaji dilengkapi dengan:

    1. Daftar Perhitungan Terusan Penghasilan Gaji, Rekapitulasi Daftar Terusan Penghasilan Gaji, dan halaman luar Daftar Terusan Penghasilan Gaji yang ditandatangani oleh PPABP, Bendahara Pengeluaran, dan KPA/PPK;

    2. Daftar perubahan data pegawai yang ditandatangani oleh PPABP;

    3. Copy dokumen pendukung yang telah dilegalisasi oleh Kepala Satker/pejabat yang berwenang berupa Surat Keterangan Kematian dari Camat atau Visum Rumah Sakit untuk pembayaran pertama kali;

    4. ADK terkait dengan perubahan data pegawai;

    5. ADK perhitungan pembayaran Belanja Pegawai sesuai perubahan data pegawai; dan

    6. SSP PPh Pasal 21.

  3. Untuk pembayaran Uang Muka Gaji dilengkapi dengan:

    1. Daftar Perhitungan Uang Muka Gaji, Rekapitulasi Daftar Uang Muka Gaji, dan halaman luar Daftar Uang Muka Gaji yang ditandatangani oleh PPABP, Bendahara Pengeluaran, dan KPA/PPK;

    2. Copy dokumen pendukung yang telah dilegalisasi oleh Kepala Satker/pejabat yang berwenang berupa SK Mutasi Pindah, Surat Permintaan Uang Muka Gaji, dan Surat Keterangan Untuk Mendapatkan Tunjangan Keluarga;

    3. ADK terkait dengan perubahan data pegawai; dan

    4. ADK perhitungan pembayaran Belanja Pegawai sesuai perubahan data pegawai.

  1. Untuk pembayaran Uang Lembur dilengkapi dengan:

    1. Daftar Pembayaran Perhitungan Lembur dan Rekapitulasi Daftar Perhitungan Lembur yang ditandatangani oleh PPABP, Bendahara Pengeluaran, dan KPA/PPK;

    2. Surat Perintah Kerja Lembur;

    3. Daftar Hadir Kerja selama 1 (satu) bulan;

    4. Daftar Hadir Lembur; dan

    5. SSP PPh Pasal 21.

  2. Untuk pembayaran Uang Makan dilengkapi dengan:

    1. Daftar Perhitungan Uang Makan yang ditandatangani oleh PPABP, Bendahara Pengeluaran, dan KPA/PPK; dan

    2. SSP PPh Pasal 21.

  3. Untuk pembayaran Honorarium Tetap/Vakasi dilengkapi dengan:

    1. Daftar Perhitungan Honorarium/Vakasi yang ditandatangani oleh PPABP, Bendahara Pengeluaran, dan KPA/PPK;

    2. SK dari Pejabat yang berwenang; dan

    3. SSP PPh Pasal 21.

(3) Penerbitan SPP-LS untuk pembayaran:

  1. honorarium dilengkapi dengan dokumen pendukung, meliputi:

    1. Surat Keputusan yang terdapat pernyataan bahwa biaya yang timbul akibat penerbitan surat keputusan dimaksud dibebankan pada DIPA;

    2. Daftar nominatif penerima honorarium yang memuat paling sedikit nama orang, besaran honorarium, dan nomor rekening masing-masing penerima honorarium yang ditandatangani oleh KPA/PPK dan Bendahara Pengeluaran;

    3. SSP PPh Pasal 21 yang ditandatangani oleh Bendahara Pengeluaran; dan

    4. Surat Keputusan sebagaimana dimaksud pada angka (1) dilampirkan pada awal pembayaran dan pada saat terjadi perubahan surat keputusan.

  2. langganan daya dan jasa dilengkapi dengan dokumen pendukung berupa surat tagihan penggunaan daya dan jasa yang sah.

  3. perjalanan dinas diatur sebagai berikut:

1. perjalanan dinas jabatan yang sudah dilaksanakan, dilampiri:

  1. a)  Daftar nominatif perjalanan dinas; dan
    b)  Dokumen pertanggungjawaban biaya perjalanan dinas jabatan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai perjalanan dinas dalam negeri bagi pejabat negara, pegawai negeri, dan pegawai tidak tetap.

  1. perjalanan dinas jabatan yang belum dilaksanakan, dilampiri daftar nominatif perjalanan dinas.

  2. Daftar nominatif sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2 ditandatangani oleh PPK yang memuat paling kurang informasi mengenai pihak yang melaksanakan perjalanan dinas (nama, pangkat/golongan), tujuan, tanggal keberangkatan, lama perjalanan dinas, dan biaya yang diperlukan untuk masing-masing pejabat.

  3. perjalanan dinas pindah, dilampiri dengan Dokumen pertanggungjawaban biaya perjalanan dinas pindah sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai perjalanan dinas dalam negeri bagi pejabat negara, pegawai negeri, dan pegawai tidak tetap.

d. pembayaran pengadaan tanah, dilampiri:

      1. Daftar nominatif penerima pembayaran uang ganti kerugian yang memuat paling sedikit nama masing-masing penerima, besaran uang dan nomor rekening masing-masing penerima;
      2. foto copy bukti kepemilikan tanah;
      3. bukti pembayaran/kuitansi;
      4. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT PBB) tahun transaksi;
      5. Pernyataan dari penjual bahwa tanah tersebut tidak dalam sengketa dan tidak sedang dalam agunan;
      6. Pernyataan dari Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah yang disengketakan bahwa Pengadilan Negeri tersebut dapat menerima uang penitipan ganti kerugian, dalam hal tanah sengketa;
      7. Surat Direktur Jenderal Perbendaharaan atau pejabat yang ditunjuk yang menyatakan bahwa rekening Pengadilan Negeri yang menampung uang titipan tersebut merupakan Rekening Pemerintah Lainnya, dalam hal tanah sengketa;
      8. Berita acara pelepasan hak atas tanah atau penyerahan tanah;
      9. SSP PPh final atas pelepasan hak;
      10. Surat pelepasan hak adat (bila diperlukan); dan
      11. Dokumen-dokumen lainnya sebagaimana dipersyaratkan dalam peraturan perundang-undangan mengenai pengadaan tanah.
(4)  SPP-LS untuk pembayaran belanja pegawai diterbitkan oleh PPK dan disampaikan kepada PPSPM paling lambat 4 (empat) hari kerja setelah dokumen pendukung diterima secara lengkap dan benar.
(5)  SPP-LS untuk pembayaran gaji induk/bulanan diterbitkan oleh PPK dan disampaikan kepada PPSPM paling lambat tanggal 5 sebelum bulan pembayaran.
(6)  Dalam hal tanggal 5 sebagaimana dimaksud pada ayat (5) merupakan hari libur atau hari yang dinyatakan libur, penyampaian SPP-LS kepada PPSPM dilakukan paling lambat pada hari kerja sebelum tanggal 5.
(7)  SPP-LS untuk pembayaran non belanja pegawai diterbitkan oleh PPK dan disampaikan kepada PPSPM paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah dokumen pendukung diterima secara lengkap dan benar dari penerima hak.
(8)  Penerbitan SPP-LS untuk pembayaran pengadaan barang/jasa atas beban belanja barang, belanja modal, belanja bantuan sosial, dan belanja lain-lain dilengkapi dengan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2).
(9)  Penerbitan SPP-LS untuk pembayaran belanja bantuan sosial kepada penerima bantuan sosial diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan tersendiri.

(10)Penerbitan SPP-LS untuk pembayaran belanja pembayaran kewajiban utang, belanja subsidi, belanja hibah, masing-masing diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan tersendiri.

Paragraf Ketiga
Mekanisme Pembayaran dengan Uang Persediaan dan Tambahan Uang Persediaan

Pasal 43

  1. (1)  UP digunakan untuk keperluan membiayai kegiatan operasional sehari-hari Satker dan membiayai pengeluaran yang tidak dapat dilakukan melalui mekanisme Pembayaran LS.

  2. (2)  UP merupakan uang muka kerja dari Kuasa BUN kepada Bendahara Pengeluaran yang dapat dimintakan penggantiannya (revolving).

  3. (3)  Pembayaran dengan UP yang dapat dilakukan oleh Bendahara Pengeluaran/BPP kepada 1 (satu) penerima/ penyedia barang/jasa paling banyak sebesar Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) kecuali untuk pembayaran honorarium dan perjalanan dinas.

  4. (4)  Pada setiap akhir hari kerja, uang tunai yang berasal dari UP yang ada pada Kas Bendahara Pengeluaran/BPP paling banyak sebesar Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).

  5. (5)  UP dapat diberikan untuk pengeluaran-pengeluaran: 

    a. Belanja Barang;
    b. Belanja Modal; dan
    c. Belanja Lain-lain.

  6. (5a) UP yang diajukan berupa:

    1. UP tunai; dan/atau

    2. UP kartu kredit pemerintah.

    (5b) UP tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (Sa) huruf a merupakan UP yang diberikan dalam bentuk uang tunai kepada Bendahara Pengeluaran/BPP melalui rekening Bendahara Pengeluaran/BPP yang sumber dananya berasal dari rupiah murni.

    (5c) UP kartu kredit pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (Sa) huruf b merupakan uang muka kerja yang diberikan dalam bentuk batasan belanja (limit) kredit kepada Bendahara Pengeluaran/BPP yang penggunaannya dilakukan dengan kartu kredit pemerintah untuk membiayai kegiatan operasional sehari-hari Satker atau membiayai pengeluaran yang menurut sifat dan tujuannya tidak mungkin dilakukan melalui mekanisme Pembayaran LS yang sumber dananya berasal dari rupiah murni.

    (5d) Khusus pada akhir tahun anggaran, UP tunai dapat digunakan untuk pembayaran belanja pegawai sesua1 dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai pedoman pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran pada akhir tahun anggaran. 

  7. (6)  Pembayaran dengan UP oleh Bendahara Pengeluaran/BPP kepada 1 (satu) penerima/penyedia barang/jasa dapat melebihi Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan.

  8. (7)  Bendahara Pengeluaran melakukan penggantian (revolving) UP yang telah digunakan sepanjang dana yang dapat dibayarkan dengan UP masih tersedia dalam DIPA.

  9. (8)  Penggantian UP sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilakukan apabila UP telah dipergunakan paling sedikit 50% (lima puluh persen).

  1. (9)  Untuk Bendahara Pengeluaran yang dibantu oleh beberapa BPP, dalam pengajuan UP ke KPPN harus melampirkan daftar rincian yang menyatakan jumlah uang yang dikelola oleh masing-masing BPP.

(10)  Setiap BPP mengajukan penggantian UP melalui Bendahara Pengeluaran, apabila UP yang dikelolanya telah dipergunakan paling sedikit 50% (lima puluh persen).

Pasal 44

  1. (1)  Kepala KPPN menyampaikan surat pemberitahuan kepada KPA, dalam hal 2 (dua) bulan sejak SP2D-UP diterbitkan belum dilakukan pengajuan penggantian UP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (8). Kepala KPPN menyampaikan surat pemberitahuan kepada KPA, dalam hal 1 (satu) bulan sejak SP2D­ UP diterbitkan belum dilakukan pengaJuan penggantian UP tunai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (8)

  2. (2)  Surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

  3. (3)  Dalam hal setelah 1 (satu) bulan sejak disampaikan surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), belum dilakukan pengajuan penggantian UP, Kepala KPPN memotong UP sebesar 25% (dua puluh lima persen).Dalam hal setelah 1 (satu) bulan sejak disampaikan surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), belum dilakukan pengajuan penggantian UP tunai, Kepala KPPN memotong UP tunai sebesar 25% (dua puluh lima persen).

  4. (4)  Pemotongan dana UP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan cara Kepala KPPN menyampaikan surat pemberitahuan kepada KPA untuk memperhitungkan potongan UP dalam SPM dan/atau menyetorkan ke Kas Negara.Pemotongan dana UP tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan cara Kepala KPPN menyampaikan surat pemberitahuan kepada KPA untuk memperhitungkan potongan UP tunai dalam SPM dan/atau menyetorkan ke Kas Negara. 

  5. (5)  Dalam hal setelah dilakukan pemotongan dan/atau penyetoran UP sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Kepala KPPN melakukan pengawasan UP.Dalam hal setelah dilakukan pemotongan dan/atau penyetoran UP tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Kepala KPPN melakukan pengawasan UP tunai. 

(6)  Dalam melakukan pengawasan UP sebagaimana dimaksud pada ayat (5), ketentuan penyampaian surat pemberitahuan, dan pemotongan UP berikutnya mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), dan ayat (4).

Dalam melakukan pengawasan UP tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (5), ketentuan penyampaian surat pemberitahuan, dan pemotongan UP tunai berikutnya mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), dan ayat (4). 

Pasal 45

  1. (1)  Dalam hal 1 (satu) bulan setelah surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) KPA tidak memperhitungkan potongan UP dalam SPM dan/atau menyetorkan ke kas negara, Kepala KPPN memotong UP sebesar 50% (lima puluh persen) dengan cara menyampaikan surat pemberitahuan kepada KPA untuk memperhitungkan potongan UP dalam SPM dan/atau menyetorkan ke kas negara.

  2. (2)  Surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dalam Pasal 44 ayat (4) dibuat sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

(3)  Dalam hal setelah surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KPA melakukan penyetoran UP dan/atau memperhitungkan potongan UP dalam pengajuan SPM-GUP, diberlakukan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (5).

Pasal 46

  1. (1)  KPA mengajukan UP kepada KPPN sebesar kebutuhan operasional Satker dalam 1 (satu) bulan yang direncanakan dibayarkan melalui UP.

  2. (2)  Pemberian UP diberikan paling banyak:

    a. Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) untuk pagu jenis belanja yang bisa dibayarkan melalui UP sampai dengan Rp900.000.000 (sembilan ratus juta rupiah);

    b.Rp100.000.000 (seratus juta rupiah) untuk pagu jenis belanja yang bisa dibayarkan melalui UP di atas Rp900.000.000 (sembilan ratus juta rupiah) sampai dengan Rp2.400.000.000 (dua miliar empat ratus juta rupiah);

    c. Rp200.000.000 (dua ratus juta rupiah) untuk pagu jenis belanja yang bisa dibayarkan melalui UP di atas Rp2.400.000.000 (dua miliar empat ratus juta rupiah) sampai dengan Rp6.000.000.000 (enam miliar rupiah); atau

    d. Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah) untuk pagu jenis belanja yang bisa dibayarkan melalui UP di atas Rp6.000.000.000 (enam miliar rupiah).

  1. Rpl00. 000.000 (seratus juta rupiah) untuk pagu jenis belanja yang bisa dibayarkan melalui UP sampai dengan Rp2.400.000.000 (dua miliar empat ratus juta rupiah);

  2. Rp200. 000.000 (dua ratus juta rupiah) untuk pagu jenis belanja yang bisa dibayarkan melalui UP di atas Rp2.400.000.000 (dua miliar empat ratus juta rupiah) sampa1 dengan Rp6.000.000.000 (enam miliar rupiah); atau

  3. Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah) untuk pagu jenis belanja yang bisa dibayarkan melalui UP di atas Rp6.000. 000.000 (enam miliar rupiah).

(2a) Besaran UP tunai sebesar 60% (enam puluh persen) dari besaran UP.

(2b) Besaran UP kartu kredit pemerintah sebesar 40% (empat puluh persen) dari besaran UP. 

(3) Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan atas permintaan KPA, dapat memberikan persetujuan UP melampaui besaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan mempertimbangkan:

a. frekuensi penggantian UP tahun yang lalu lebih dari rata-rata 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan selama 1 (satu) tahun; dan

b. perhitungan kebutuhan penggunaan UP dalam 1 (satu) bulan melampaui besaran UP.

(3) Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan atas permintaan KPA, dapat memberikan persetujuan terhadap:

a. Perubahan UP melampaui besaran UP sebagaimana dimaksud pada ayat (2); dan/atau

b. Perubahan proporsi besaran UP tunai yang lebih besar sebagaimana dimaksud pada ayat (2a). 

(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a diberikan dengan mempertimbangkan sebagai berikut:

a. frekuensi penggantian UP tahun yang lalu lebih dari rata-rata 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan selama 1 (satu) tahun; dan

b. kebutuhan penggunaan UP dalam 1 (satu) bulan yang melampaui besaran UP.

(5) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b diberikan dengan mempertimbangkan sebagai berikut:

  1. frekuensi penggantian UP tunai tahun yang lalu lebih dari rata-rata 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan selama 1 (satu) tahun;

  2. kebutuhan penggunaan UP tunai dalam 1 (satu) bulan melampaui besaran UP tunai; dan

  3. masih terbatas penyedia barang/jasa yang menerima pembayaran dengan kartu kredit melalui mesin Electronic Data Capture (EDC) yang dibuktikan dengan surat pernyataan dari KPA.

(6) Dalam hal Satker memenuhi kriteria sebagai berikut:

a. tidak terdapat penyedia barang/jasa yang dapat menerima pembayaran dengan kartu kredit melalui mesin EDC yang dibuktikan dengan surat pernyataan dari KPA; dan

b. memiliki pagu jenis belanja Satker yang dapat dibayarkan melalui UP sampa1 dengan Rp2.400.000.000 (dua miliar empat ratus juta rupiah),

KPA mengajukan UP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk UP tunai sebesar 100% (seratus persen).

(7) Ketentuan mengenai penggunaan dan pembayaran UP melalui kartu kredit pemerintah diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan tersendiri. 

Pasal 47

  1. (1)  KPA dapat mengajukan TUP kepada Kepala KPPN dalam hal sisa UP pada Bendahara Pengeluaran tidak cukup tersedia untuk membiayai kegiatan yang sifatnya mendesak/tidak dapat ditunda.

(2)  Syarat penggunaan TUP:

a. digunakan dan dipertanggungjawabkan paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal SP2D diterbitkan; dan

b. tidak digunakan untuk kegiatan yang harus dilaksanakan dengan pembayaran LS.

Pasal 48

  1. (1)  KPA mengajukan permintaan TUP kepada Kepala KPPN selaku Kuasa BUN disertai:

    a. rincian rencana penggunaan TUP; dan
    b. surat yang memuat syarat penggunaan TUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2) dibuat sesuai format yang tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

  2. (2)  Atas dasar permintaan TUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala KPPN melakukan penilaian terhadap:

    1. pengeluaran pada rincian rencana penggunaan TUP bukan merupakan pengeluaran yang harus dilakukan dengan pembayaran LS;

    2. pengeluaran pada rincian rencana penggunaan TUP masih/cukup tersedia dananya dalam DIPA;

    3. TUP sebelumnya sudah dipertanggungjawabkan seluruhnya; dan

d. TUP sebelumnya yang tidak digunakan telah disetor ke Kas Negara.

  1. (3)  Dalam hal TUP sebelumnya belum dipertanggungjawabkan seluruhnya dan/atau belum disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dan huruf d, KPPN dapat menyetujui permintaan TUP berikutnya setelah mendapat persetujuan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan.

  2. (4)  Dalam hal KPA mengajukan permintaan TUP untuk kebutuhan melebihi waktu 1 (satu) bulan, Kepala KPPN dapat memberi persetujuan dengan pertimbangan kegiatan yang akan dilaksanakan memerlukan waktu melebihi 1 (satu) bulan.

  3. (5)  Untuk pengajuan permintaan TUP yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala KPPN dapat memberikan persetujuan sebagian atau seluruh permintaan TUP melalui surat persetujuan pemberian TUP.

  4. (6)  Kepala KPPN menolak permintaan TUP dalam hal pengajuan permintaan TUP tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

  5. (7)  Persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) disampaikan paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah surat pengajuan permintaan TUP diterima KPPN.

(8)  Surat persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dibuat sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 49

  1. (1)  TUP harus dipertanggungjawabkan dalam waktu 1 (satu) bulan dan dapat dilakukan secara bertahap.

  2. (2)  Dalam hal selama 1 (satu) bulan sejak SP2D TUP diterbitkan belum dilakukan pengesahan dan pertanggungjawaban TUP, Kepala KPPN menyampaikan surat teguran kepada KPA yang dibuat sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

  3. (3)  Sisa TUP yang tidak habis digunakan harus disetor ke Kas Negara paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

  4. (4)  Untuk perpanjangan pertanggungjawaban TUP melampaui 1 (satu) bulan, KPA mengajukan permohonan persetujuan kepada Kepala KPPN.

  5. (5)  Kepala KPPN memberikan persetujuan perpanjangan pertanggungjawaban TUP sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dengan pertimbangan:

    1. KPA harus mempertanggungjawabkan TUP yang telah dipergunakan; dan

    2. KPA menyampaikan pernyataan kesanggupan untuk mempertanggungjawabkan sisa TUP tidak lebih dari 1 (satu) bulan berikutnya yang dibuat sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran X yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Paragraf Keempat
Mekanisme Penerbitan SPP-UP/GUP/GUP NIHIL 

Pasal 50

(1) Berdasarkan rencana kegiatan yang telah disusun, Bendahara Pengeluaran menyampaikan kebutuhan UP kepada PPK.

(2)  Atas dasar kebutuhan UP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PPK menerbitkan SPP-UP untuk pengisian UP yang dilengkapi dengan perhitungan besaran UP sesuai pengajuan dari Bendahara Pengeluaran.

(3)  SPP-UP diterbitkan oleh PPK dan disampaikan kepada PPSPM paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah diterimanya permintaan UP dari Bendahara Pengeluaran.

Pasal 51

  1. (1)  Bendahara Pengeluaran/BPP melakukan pembayaran atas UP berdasarkan surat perintah bayar (SPBy) yang disetujui dan ditandatangani oleh PPK atas nama KPA. Bendahara Pengeluaran/BPP melakukan pembayaran atas UP tunai berdasarkan surat perintah bayar (SPBy) yang disetujui dan ditandatangani oleh PPK atas nama KPA. 

  2. (2)  SPBy sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dengan bukti pengeluaran:

    a. kuitansi/bukti pembelian yang telah disahkan PPK beserta faktur pajak dan SSP; dan
    b. nota/bukti penerimaan barang/jasa atau dokumen pendukung lainnya yang diperlukan yang telah disahkan PPK.

  3. (3)  Dalam hal penyedia barang/jasa tidak mempunyai kuitansi/bukti pembelian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, Bendahara Pengeluaran/BPP membuat kuitansi yang dibuat sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran XI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

  4. (4)  Berdasarkan SPBy sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bendahara Pengeluaran/BPP melakukan:

    a. pengujian atas SPBy yang meliputi pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (4); dan
    b. pemungutan/pemotongan pajak/bukan pajak atas tagihan dalam SPBy yang diajukan dan menyetorkan ke kas negara.

  5. (5)  Dalam hal pembayaran yang dilakukan Bendahara Pengeluaran merupakan uang muka kerja, SPBy sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri:

    a. rencana pelaksanaan kegiatan/pembayaran;
    b. rincian kebutuhan dana; dan
    c. batas waktu pertanggungjawaban penggunaan uang muka kerja, dari penerima uang muka kerja.

  6. (5a) Uang muka kerja dapat diberikan kepada penerima uang muka kerja untuk mendukung pelaksanaan kegiatan yang pembayarannya tidak dapat dilakukan dengan UP kartu kredit pemerintah. 

  7. (6)  Atas dasar rencana pelaksanaan kegiatan/pembayaran dan rincian kebutuhan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a dan huruf b, Bendahara Pengeluaran/BPP melakukan pengujian ketersediaan dananya.

  8. (7)  Bendahara Pengeluaran/BPP melakukan pembayaran atas tagihan dalam SPBy apabila telah memenuhi persyaratan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a.

  9. (8)  Dalam hal pengujian perintah bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a tidak memenuhi persyaratan untuk dibayarkan, Bendahara Pengeluaran/BPP harus menolak SPBy yang diajukan.

  1. (9)  Penerima uang muka kerja harus mempertanggungjawabkan uang muka kerja sesuai batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf c, berupa bukti pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

  2. (10)  Atas dasar pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (9), Bendahara Pengeluaran/BPP melakukan pengujian bukti pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4).

  3. (11)  Dalam hal sampai batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf c, penerima uang muka kerja belum menyampaikan bukti pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bendahara Pengeluaran/BPP menyampaikan permintaan tertulis agar penerima uang muka kerja segera mempertanggungjawabkan uang muka kerja.

  4. (12)  Tembusan permintaan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (11) disampaikan kepada PPK.

  5. (13)  BPP menyampaikan SPBy beserta bukti pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Bendahara Pengeluaran.

  6. (14)  Bendahara Pengeluaran selanjutnya menyampaikan bukti pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada PPK untuk pembuatan SPP GUP/GUP Nihil.

(15)  SPBy sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran XII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 52

  1. (1)  PPK menerbitkan SPP-GUP untuk pengisian kembali UP.

  2. (2)  Penerbitan SPP-GUP dilengkapi dengan dokumen pendukung sebagai berikut: 

  3. a. Daftar Rincian Permintaan Pembayaran;
    b. Bukti pengeluaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2); dan
    c. SSP yang telah dikonfirmasi KPPN.

  4. (3)  Perjanjian/Kontrak beserta faktur pajaknya dilampirkan untuk nilai transaksi yang harus menggunakan perjanjian/Kontrak sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai pengadaan barang/jasa pemerintah.

(4)  SPP-GUP disampaikan kepada PPSPM paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah bukti-bukti pendukung diterima secara lengkap dan benar.

Pasal 53

  1. (1)  Sisa dana dalam DIPA yang dapat dilakukan pembayaran dengan UP minimal sama dengan nilai UP yang dikelola oleh Bendahara Pengeluaran.

  2. (2)  Dalam hal pengisian kembali UP akan mengakibatkan sisa dana dalam DIPA yang dapat dilakukan pembayaran dengan UP lebih kecil dari UP yang dikelola Bendahara Pengeluaran:

    a. pengisian kembali UP dilaksanakan maksimal sebesar sisa dana dalam DIPA yang dapat dibayarkan dengan UP; dan
    b. selisih antara sisa dana dalam DIPA yang dapat dilakukan pembayaran dengan UP dan UP yang dikelola Bendahara Pengeluaran dibukukan/diperhitungkan sebagai potongan Penerimaan Pengembalian UP.

Pasal 54

  1. (1)  Penerbitan SPP-GUP Nihil dilakukan dalam hal:

    a. sisa dana pada DIPA yang dapat dibayarkan dengan UP minimal sama dengan besaran UP yang diberikan;
    b. sebagai pertanggungjawaban UP yang dilakukan pada akhir tahun anggaran; atau
    c. UP tidak diperlukan lagi.

  2. (2)  (Penerbitan SPP-GUP Nihil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pengesahan/pertanggungjawaban UP.

  3. (3)  SPP-GUP Nihil dilengkapi dengan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2).

(4)  SPP-GUP Nihil disampaikan kepada PPSPM paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah bukti-bukti pendukung diterima secara lengkap dan benar.

Paragraf Kelima Mekanisme Penerbitan SPP-TUP/PTUP 

Pasal 55

  1. (1)  PPK menerbitkan SPP-TUP dan dilengkapi dengan dokumen meliputi:

    1. rincian penggunaan dana yang ditandatangani oleh KPA/PPK dan Bendahara Pengeluaran;

    2. Surat pernyataan dari KPA/PPK yang menjelaskan hal-hal sebagaimana dipersyaratkan dalam Pasal 47 ayat (2); dan

    3. Surat permohonan TUP yang telah memperoleh persetujuan TUP dari Kepala KPPN.

  2. (2)  SPP-TUP diterbitkan oleh PPK dan disampaikan kepada PPSPM paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah diterimanya persetujuan TUP dari Kepala KPPN.

  3. (3)  Untuk mengesahkan/mempertanggungjawabkan TUP, PPK menerbitkan SPP- PTUP.

  4. (4)  SPP-PTUP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada PPSPM paling lambat 5 (lima) hari kerja sebelum batas akhir pertanggungjawaban TUP.

(5)  Penerbitan SPP-PTUP dilengkapi dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2).

Bagian Keempat
Mekanisme Pengujian SPP dan Penerbitan SPM 

Pasal 56

  1. (1)  PPSPM melakukan pemeriksaan dan pengujian SPP beserta dokumen pendukung yang disampaikan oleh PPK.

  2. (2)  Pemeriksaan dan pengujian SPP beserta dokumen pendukung SPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:

a. Pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3); dan

b. Keabsahan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) dan ayat (3).

  1. (3)  Dalam hal pemeriksaan dan pengujian SPP beserta dokumen pendukungnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memenuhi ketentuan, PPSPM menerbitkan/ menandatangani SPM.

  2. (4)  Jangka waktu pengujian SPP sampai dengan penerbitan SPM- UP/TUP/GUP/PTUP/LS oleh PPSPM diatur sebagai berikut:

    a. untuk SPP-UP/TUP diselesaikan paling lambat 2 (dua) hari kerja; 
    b. untuk SPP-GUP diselesaikan paling lambat 4 (empat) hari kerja;
    c. untuk SPP-PTUP diselesaikan paling lambat 3 (tiga) hari kerja; dan d. untuk SPP-LS diselesaikan paling lambat 5 (lima) hari kerja.

(5)  Dalam hal PPSPM menolak/mengembalikan SPP karena dokumen pendukung tagihan tidak lengkap dan benar, maka PPSPM harus menyatakan secara tertulis alasan penolakan/pengembalian tersebut paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah diterimanya SPP.

Pasal 57

  1. (1)  Seluruh bukti pengeluaran sebagai dasar pengujian dan penerbitan SPM disimpan oleh PPSPM.

(2)  Bukti pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi bahan pemeriksaan bagi aparat pemeriksa internal dan eksternal.

Pasal 58

  1. (1)  Penerbitan SPM oleh PPSPM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (3) dilakukan melalui sistem aplikasi yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan.

  2. (2)  SPM yang diterbitkan melalui sistem aplikasi SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat Personal Identification Number (PIN) PPSPM sebagai tanda tangan elektronik pada ADK SPM dari penerbit SPM yang sah.

  3. (3)  SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran XIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

  4. (4)  Dalam penerbitan SPM melalui sistem aplikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PPSPM bertanggung jawab atas:

    a. keamanan data pada aplikasi SPM;
    b. kebenaran SPM dan kesesuaian antara data pada SPM dengan data pada ADK SPM; dan
    c. penggunaan Personal Identification Number (PIN) pada ADK SPM. 

Pasal 59
  1. (1)  PPSPM menyampaikan SPM-UP/TUP/GUP/GUP Nihil/ PTUP/LS dalam rangkap 2 (dua) beserta ADK SPM kepada KPPN.

  2. (2)  Penyampaian SPM-UP/SPM-TUP/SPM-LS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut:

    1. Penyampaian SPM-UP dilampiri dengan surat pernyataan dari KPA yang dibuat sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran XIV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini;

    2. Penyampaian SPM-TUP dilampiri dengan surat persetujuan pemberian TUP dari Kepala KPPN;

    3. Penyampaian SPM-LS dilampiri dengan Surat Setoran Pajak (SSP) dan/atau bukti setor lainnya, dan/atau daftar nominatif untuk yang lebih dari 1 (satu) penerima.

  3. (3)  Khusus untuk penyampaian SPM-LS dalam rangka pembayaran jaminan uang muka atas perjanjian/kontrak, juga dilampiri dengan:

    1. Asli surat jaminan uang muka;

    2. Asli surat kuasa bematerai cukup dari PPK kepada Kepala KPPN untuk mencairkan jaminan uang muka; dan

    3. Asli konfirmasi tertulis dari pimpinan penerbit jaminan uang muka sesuai Peraturan Presiden mengenai pengadaan barang/jasa pemerintah.

  4. (4)  Khusus untuk penyampaian SPM atas beban pinjaman/hibah luar negeri, juga dilampiri dengan faktur pajak.

  5. (5)  PPSPM menyampaikan SPM kepada KPPN paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah SPM diterbitkan.

  6. (6)  SPM-LS untuk pembayaran gaji induk disampaikan kepada KPPN paling lambat tanggal 15 sebelum bulan pembayaran.

  7. (7)  Dalam hal tanggal 15 sebagaimana dimaksud pada ayat (6) merupakan hari libur atau hari yang dinyatakan libur, penyampaian SPM-LS untuk pembayaran gaji induk kepada KPPN dilakukan paling lambat 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal 15.

  8. (8)  Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dikecualikan untuk Satker yang kondisi geografis dan transportasinya sulit, dengan memperhitungkan waktu yang dapat dipertanggungjawabkan.

  9. (9)  Penyampaian SPM kepada KPPN dilakukan oleh petugas pengantar SPM yang sah dan ditetapkan oleh KPA dengan ketentuan sebagai berikut:

    1. Petugas Pengantar SPM menyampaikan SPM beserta dokumen pendukung dan ADK SPM melalui front office Penerimaan SPM pada KPPN;

    2. Petugas Pengantar SPM harus menunjukkan Kartu Identitas Petugas Satker (KIPS) pada saat menyampaikan SPM kepada Petugas Front Office; dan

    3. Dalam hal SPM tidak dapat disampaikan secara langsung ke KPPN, penyampaian SPM beserta dokumen pendukung dan ADK SPM dapat melalui Kantor Pos/Jasa Pengiriman resmi.

(10) Untuk penyampaian SPM melalui kantor pos/jasa pengiriman resmi sebagaimana dimaksud pada ayat (9) huruf c, KPA terlebih dahulu menyampaikan konfirmasi/ pemberitahuan kepada Kepala KPPN.


Bagian Kelima Mekanisme Penerbitan SP2D 

Paragraf Kesatu Pengujian SPM oleh KPPN

Pasal 60

SPM yang diajukan ke KPPN digunakan sebagai dasar penerbitan SP2D. Pasal 61

  1. (1)  Dalam pencairan anggaran belanja negara, KPPN melakukan penelitian dan pengujian atas SPM yang disampaikan oleh PPSPM.

  2. (2)  Penelitian SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:

    a. meneliti kelengkapan dokumen pendukung SPM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4); dan
    b. meneliti kebenaran SPM.

  3. (3)  Penelitian kebenaran SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, meliputi:

    1. meneliti kesesuaian tanda tangan PPSPM pada SPM dengan spesimen tanda tangan PPSPM pada KPPN;

    2. memeriksa cara penulisan/pengisian jumlah angka dan huruf pada SPM; dan

    3. memeriksa kebenaran penulisan dalam SPM, termasuk tidak boleh terdapat cacat dalam penulisan.

  4. (4)  Pengujian SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:

    1. menguji kebenaran perhitungan angka atas beban APBN yang tercantum dalam SPM;

    2. menguji ketersediaan dana pada kegiatan/output/jenis belanja dalam DIPA dengan yang dicantumkan pada SPM;

    3. menguji kesesuaian tagihan dengan data perjanjian/kontrak atau perubahan data pegawai yang telah disampaikan kepada KPPN.

    4. Menguji persyaratan pencairan dana; dan

    5. Menguji kesesuaian nilai potongan pajak yang tercantum dalam SPM dengan nilai pada SSP.

  5. (5)  Pengujian kebenaran perhitungan angka sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a merupakan pengujian kebenaran jumlah belanja/pengeluaran dikurangi dengan jumlah potongan/penerimaan dengan jumlah bersih dalam SPM.

  6. (6)  Pengujian persyaratan pencairan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf d, meliputi:

    a. Menguji SPM UP berupa besaran UP yang dapat diberikan sesuai dengan Pasal 46 ayat (2);
    b. Menguji SPM TUP meliputi kesesuaian jumlah uang yang diajukan pada SPM TUP dengan jumlah uang yang disetujui Kepala KPPN;
    c. Menguji SPM PTUP meliputi jumlah TUP yang diberikan dengan jumlah uang yang dipertanggungjawabkan dan kepatuhan jangka waktu pertanggungjawaban;
    d. Menguji SPM GUP meliputi batas minimal revolving dari UP yang dikelola sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (8);
    e. Menguji SPM LS Non Belanja Pegawai berupa kesesuaian data perjanjian Zkontrak pada SPM LS dengan data perjanjian/kontrak yang tercantum dalam Kartu Pengawasan Kontrak KPPN; dan
    f. Menguji SPM LS Belanja Pegawai sesuai dengan prosedur standar operasional yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan.

  1. (7)  Dalam hal terdapat UP tahun anggaran sebelumnya belum dipertanggungjawabkan, pengujian SPM UP sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf (a), meliputi:

    a. kesesuaian jumlah uang dan keabsahan bukti setor pengembalian sisa UP tahun anggaran yang sebelumnya; atau
    b. kesesuaian jumlah potongan UP pada SPM UP dengan sisa UP tahun anggaran yang sebelumnya;

  2. (8)  Dalam hal jumlah uang yang harus dipertanggungjawabkan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf c kurang dari jumlah TUP yang diberikan, harus disertai dengan bukti setor pengembalian TUP yang telah dilakukan konfirmasi KPPN.

(9)  Ketentuan menyertakan bukti setor sebagaimana dimaksud pada ayat (8) tidak berlaku dalam hal SPM - PTUP diajukan ke KPPN dalam rangka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) dan ayat (5) huruf a.

Pasal 62

  1. (1)  Dalam rangka pengawasan dan pengamanan terhadap pengembalian pembayaran jaminan uang muka, KPPN melakukan pencatatan atas pembayaran jaminan uang muka menggunakan aplikasi SP2D.

  2. (2)  Pencatatan atas pembayaran jaminan uang muka sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran XV yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

  3. (3)  Kepala KPPN mencairkan jaminan uang muka berdasarkan:

    a. Surat Kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (4); dan
    b. Surat pernyataan yang ditandatangani oleh KPA yang menyatakan bahwa telah terjadi pemutusan perjanjian/kontrak dengan penyedia barang jasa.

(4)  Ketentuan mengenai persyaratan, tata cara pembayaran, pengujian, pengembalian, dan penatausahaan jaminan uang muka diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaaan.

Paragraf Kedua Penerbitan SP2D 

Pasal 63

  1. (1)  KPPN menerbitkan SP2D setelah penelitian dan pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 telah memenuhi syarat.

  2. (2)  SP2D sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran XVI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

  3. (3)  KPPN tidak dapat menerbitkan SP2D apabila Satker belum mengirimkan:

    a. Data perjanjian/kontrak beserta ADK untuk pembayaran melalui SPM-LS kepada penyedia barang/jasa; atau
    b. Daftar perubahan data pegawai beserta ADK yang disampaikan kepada KPPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1).

  4. (4)  Dalam hal hasil penelitian dan pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 tidak memenuhi syarat, Kepala KPPN mengembalikan SPM beserta dokumen pendukung secara tertulis.

(5)  Penyelesaian SP2D dilakukan dengan prosedur standar operasional dan norma waktu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan.

Pasal 64

  1. (1)  Pencairan dana berdasarkan SP2D dilakukan melalui transfer dana dari Kas Negara pada bank operasional kepada Rekening Pihak Penerima yang ditunjuk pada SP2D.

  2. (2)  Bank operasional menyampaikan pemberitahuan kepada Kepala KPPN dalam hal terjadinya kegagalan transfer dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

  3. (3)  Pemberitahuan kegagalan transfer dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat data SP2D dan alasan kegagalan transfer ke rekening yang ditunjuk.

  4. (4)  Atas dasar pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala KPPN memberitahukan kepada KPA kegagalan transfer dana ke rekening yang ditunjuk pada SPM dan alasannya.

  5. (5)  KPA melakukan penelitian atas kegagalan transfer dana sebagaimana yang tercantum pada SPM dan selanjutnya menyampaikan perbaikan atau ralat SPM.

  6. (6)  Atas dasar perbaikan atau ralat SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Kepala KPPN menyampaikan ralat SP2D kepada bank operasional.

(7)  Tata cara penyelesaian pencairan dana dengan mekanisme retur SP2D diatur oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan.


Bagian Keenam Pembayaran Pengembalian Penerimaan 

Pasal 65

  1. (1)  Setiap keterlanjuran setoran ke Kas Negara dan/ atau kelebihan penerimaan negara dapat dimintakan pengembaliannya.

  2. (2)  Permintaan pengembalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan berdasarkan surat-surat bukti setoran yang sah.

  3. (3)  Pembayaran pengembalian keterlanjuran setoran dan/ atau kelebihan penerimaan negara harus diperhitungkan terlebih dahulu dengan utang pada negara.

(4) Pembayaran pengembalian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan berdasarkan mekanisme yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan tersendiri.


Bagian Ketujuh 

Pembayaran Tagihan Yang Bersumber Dari Penggunaan PNBP

Pasal 66

Pembayaran tagihan atas beban belanja negara yang bersumber dari penggunaan PNBP, dilakukan sebagai berikut:

  1. Satker pengguna PNBP menggunakan PNBP sesuai dengan jenis PNBP dan batas tertinggi PNBP yang dapat digunakan sesuai yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

  2. Batas tertinggi PNBP yang dapat digunakan sebagaimana dimaksud pada huruf a merupakan maksimum pencairan dana yang dapat dilakukan oleh Satker berkenaan.

  3. Satker dapat menggunakan PNBP sebagaimana dimaksud pada huruf a setelah PNBP disetor ke kas negara berdasarkan konfirmasi dari KPPN.

  4. Dalam hal PNBP yang ditetapkan penggunaannya secara terpusat, pembayaran dilakukan berdasarkan Pagu Pencairan sesuai Surat Edaran/Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan.

  5. Besarnya pencairan dana PNBP secara keseluruhan tidak boleh melampaui pagu PNBP Satker yang bersangkutan dalam DIPA.

  6. Dalam hal realisasi PNBP melampaui target dalam DIPA, penambahan pagu dalam DIPA dilaksanakan setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan c.q Direktur Jenderal Anggaran.

Pasal 67

  1. (1)  Satker pengguna PNBP dapat diberikan UP sebesar 20% (dua puluh persen) dari realisasi PNBP yang dapat digunakan sesuai pagu PNBP dalam DIPA maksimum sebesar Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).

  2. (2)  Realisasi PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk sisa Maksimum Pencairan (MP) dana PNBP tahun anggaran sebelumnya.

  3. (3)  Dalam hal UP tidak mencukupi dapat mengajukan TUP sebesar kebutuhan riil 1 (satu) bulan dengan memperhatikan batas Maksimum Pencairan (MP).

  4. (4)  Pembayaran UP/TUP untuk Satker Pengguna PNBP dilakukan terpisah dari UP/TUP yang berasal dari Rupiah Murni.

  5. (5)  Satker pengguna PNBP yang belum memperoleh Maksimum Pencairan (MP) dana PNBP dapat diberikan UP sebesar maksimal 1/12 (satu perduabelas) dari pagu dana PNBP pada DIPA, maksimal sebesar Rp200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).

  6. (6)  Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dapat dilakukan untuk pengguna PNBP:

a. yang telah memperoleh Maksimum Pencairan (MP) dana PNBP namun belum mencapai 1/12 (satu perduabelas) dari pagu dana PNBP pada DIPA; atau

b. yang belum memperoleh Pagu Pencairan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 huruf d.

  1. (7)  Penggantian UP atas pemberian UP sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) dilakukan setelah Satker pengguna PNBP memperoleh Maksimum Pencairan (MP) dana PNBP paling sedikit sebesar UP yang diberikan.

  2. (8)  Penyesuaian besaran UP dapat dilakukan terhadap Satker pengguna PNBP yang telah memperoleh Maksimum Pencairan (MP) dana PNBP melebihi UP yang telah diberikan sebagaimana

(9) Dana yang berasal dari berikut:

MP : MP : PPP :

JS : JPS :

dimaksud pada ayat(5) dan ayat (6).

PNBP dapat dicairkan maksimal sesuai formula sebagai

(PPP x JS) - JPS Maksimum Pencairan

proporsi pagu pengeluaran terhadap pendapatan sesuai dengan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan

jumlah setoran

jumlah pencairan dana sebelumnya sampai dengan SPM terakhir yang diterbitkan

(10) Sisa Maksimum Pencairan (MP) dana PNBP tahun anggaran sebelumnya dari Satker pengguna, dapat dipergunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan tahun anggaran berjalan setelah DIPA disahkan dan berlaku efektif.

Pasal 68

  1. (1)  Tata cara penerbitan dan pengujian SPP dan SPM-UP/TUP/PTUP/GUP/GUP Nihil/LS dari dana yang bersumber dari PNBP mengacu pada mekanisme dalam Peraturan Menteri ini.

  2. (2)  PPSPM menyampaikan SPM-UP/TUP/PTUP/GUP/GUP Nihil/LS beserta ADK SPM kepada KPPN dengan dilampiri:

    1. Dokumen pendukung SPM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) dan ayat (3);

    2. bukti setor PNBP yang telah dikonfirmasi oleh KPPN; dan

    3. Daftar Perhitungan Jumlah Maksimum Pencairan (MP) dibuat sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran XVII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

  3. (3)  Untuk Satker pengguna PNBP secara terpusat, penyampaian SPM mengacu ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59.

  4. (4)  KPPN melakukan penelitian terhadap kebenaran perhitungan dalam Daftar Perhitungan Jumlah Maksimum Pencairan (MP) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c.

Bagian Kedelapan
Pembayaran Tagihan Untuk Kegiatan Yang Bersumber Dari Pinjaman dan/ atau Hibah Luar Negeri

Pasal 69

  1. (1)  Penerbitan SPP, SPM dan SP2D untuk kegiatan yang sebagian/seluruhnya bersumber dari Pinjaman dan/ atau Hibah Luar Negeri, mengikuti ketentuan mengenai kategori, porsi pembiayaan, tanggal closing date dan persetujuan pembayaran dari pemberi pinjaman dan/atau hibah luar negeri sesuai dengan petunjuk pelaksanaan pencairan dana Pinjaman dan/ atau Hibah Luar Negeri berkenaan.

  2. (2)  Penerbitan SPP-LS, SPM-LS, dan SP2D-LS atas tagihan berdasarkan perjanjian/kontrak dalam valuta asing (valas) dan atau pembayaran ke luar negeri mengikuti ketentuan sebagai berikut:

    a. Perjanjian/kontrak dalam valas tidak dapat dikonversi ke dalam rupiah; dan
    b. Pengajuan SPM disampaikan kepada KPPN Khusus Jakarta VI.

  3. (3)  Penerbitan SPP-UP/TUP, SPM-UP/TUP, dan SP2D-UP/TUP menjadi beban dana Rupiah Murni.

  4. (4)  Pertanggungjawaban dan penggantian dana Rupiah Murni atas SP2D-UP/TUP sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilakukan dengan penerbitan SPP-GUP/GUP Nihil/PTUP, SPM-GUP/GUP Nihil/PTUP, dan SP2D-GUP/GUP Nihil/PTUP yang menjadi beban Pinjaman dan/ atau Hibah Luar Negeri berkenaan.

  5. (5)  Dalam hal terjadi penguatan nilai tukar (kurs) Rupiah terhadap valas yang menyebabkan alokasi dana Rupiah pada DIPA melampaui sisa Pinjaman dan/ atau Hibah Luar Negeri, sebelum dilakukan penerbitan SPP, Satker harus melakukan perhitungan dan/ atau konfirmasi kepada Executing Agency agar tidak terjadi pembayaran yang melampaui sisa Pinjaman dan/ atau Hibah Luar Negeri berkenaan.

  6. (6)  Pengeluaran atas SP2D dengan sumber dana dari Pinjaman dan atau Hibah Luar Negeri yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam dokumen Perjanjian Pinjaman dan/ atau Hibah Luar Negeri, atau pengeluaran setelah Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri dinyatakan closing date dikategorikan sebagai pengeluaran ineligible.

  7. (7)  Atas pengeluaran yang dikategorikan ineligible sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Direktur Jenderal Perbendaharaan menyampaikan surat pemberitahuan kepada Pimpinan Kementerian Negara/ Lembaga dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Anggaran.

  8. (8)  Penggantian atas pengeluaran yang dikategorikan ineligible sebagaimana dimaksud pada ayat (6) menjadi tanggung jawab Kementerian Negara/Lembaga yang bersangkutan dan harus diperhitungkan dalam revisi DIPA tahun anggaran berjalan atau dibebankan dalam DIPA tahun anggaran berikutnya.

  9. (9)  Ketentuan lebih lanjut mengenai petunjuk pelaksanaan pencairan dana Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri diatur oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan.


BAB VI
KOREKSI/RALAT, PEMBATALAN SPP, SPM DAN SP2D 

Pasal 70

  1. (1)  Koreksi/ ralat SPP, SPM, dan SP2D hanya dapat dilakukan sepanjang tidak mengakibatkan:

    a. Perubahan jumlah uang pada SPP, SPM dan SP2D;
    b. Sisa pagu anggaran pada DIPA/POK menjadi minus; atau c. perubahan kode Bagian Anggaran, eselon I, dan Satker.

  2. (2)  Dalam hal diperlukan perubahan kode Bagian Anggaran, eselon I, dan Satker sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dapat dilakukan dengan terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Perbendaharaan.

  3. (3)  Koreksi/ralat SPP, SPM, dan SP2D dapat dilakukan untuk:

    1. Memperbaiki uraian pengeluaran dan kode BAS selain perubahan kode sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c;

    2. pencantuman kode pada SPM yang meliputi kode jenis SPM, cara bayar, tahun anggaran, jenis pembayaran, sifat pembayaran, sumber dana, cara penarikan, nomor register; atau

    3. koreksi/ralat penulisan nomor dan nama rekening, nama bank yang tercantum pada SPP, SPM dan SP2D beserta dokumen pendukungnya yang disebabkan terjadinya kegagalan transfer dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64.

  4. (4)  Koreksi/ralat SPM dan ADK SPM hanya dapat dilakukan berdasarkan permintaan koreksi/ralat SPM dan ADK SPM secara tertulis dari PPK.

  5. (5)  Koreksi/ralat kode mata anggaran pengeluaran (akun 6 digit) pada ADK SPM dapat dilakukan berdasarkan permintaan koreksi/ralat ADK SPM secara tertulis dari PPK sepanjang tidak mengubah SPM.

(6)  Koreksi/ralat SP2D hanya dapat dilakukan berdasarkan permintaan koreksi SP2D secara tertulis dari PPSPM dengan disertai SPM dan ADK yang telah diperbaiki.

Pasal 71

  1. (1)  Pembatalan SPP hanya dapat dilakukan oleh PPK sepanjang SP2D belum diterbitkan.

  2. (2)  Pembatalan SPM hanya dapat dilakukan oleh PPSPM secara tertulis sepanjang SP2D belum diterbitkan.

  3. (3)  Dalam hal SP2D telah diterbitkan dan belum mendebet kas negara, pembatalan SPM dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan Direktur Jenderal Perbendaharaan atau pejabat yang ditunjuk.

  4. (4)  Koreksi SP2D atau daftar nominatif untuk penerima lebih dari satu rekening hanya dapat dilakukan oleh Kepala KPPN berdasarkan permintaan KPA.

  5. (5)  Pembatalan SP2D tidak dapat dilakukan dalam hal SP2D telah mendebet Kas Negara.


BAB VII

PELAKSANAAN PEMBAYARAN PADA AKHIR TAHUN ANGGARAN 

Pasal 72

  1. (1)  Dalam kondisi akhir tahun anggaran, batas terakhir pembayaran atas beban APBN dapat dilakukan sebelum tanggal terakhir pada akhir tahun.

(2)  Penetapan batas terakhir pembayaran dilakukan dengan mempertimbangkan kebutuhan BUN untuk menyelesaikan administrasi pengelolaan kas negara.

Pasal 73

  1. (1)  Dalam pertanggungjawaban UP/TUP pada akhir tahun anggaran, pengajuan SPM dan SP2D GUP Nihil/PTUP dapat dilakukan melampaui tahun anggaran.

(2)  Batas akhir penerbitan SPM GUP Nihil/PTUP ditetapkan dengan mempertimbangkan kelancaran penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat.

Pasal 74

Pelaksanaan pembayaran pada akhir tahun anggaran lebih lanjut mempedomani Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai langkah-langkah dalam menghadapi akhir tahun anggaran.


BAB VIII
PELAPORAN REALISASI ANGGARAN 

Pasal 75

(1)  Dalam penyusunan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN diperlukan data realisasi APBN, arus kas, neraca, dan catatan atas laporan keuangan.

(2)  Untuk keperluan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):

a.Kepala kantor/Satker selaku Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran (UAKPA) setiap bulan harus melakukan rekonsiliasi data realisasi anggaran dengan Kepala KPPN selaku Kuasa BUN;

b. Rekonsiliasi data realisasi anggaran sebagaimana dimaksud pada huruf a meliputi:

      1. Data bagian anggaran;
      2. Eselon I;
      3. Satker;
      4. Sumber dana;
      5. Cara penarikan;
      6. Program;
      7. Kegiatan;
      8. Output;
      9. Akun 6 digit;
      10. Tanggal dan nomor SPM/SP2D; dan
      11. Jumlah rupiah.

c. Hasil rekonsiliasi sebagaimana dimaksud huruf a dituangkan dalam Berita Acara Rekonsiliasi (BAR), selanjutnya setiap awal bulan:

    1. Kepala kantor/Satker menyampaikan Laporan Realisasi Anggaran (LRA) dan Neraca beserta ADK kepada Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Anggaran tingkat wilayah (UAPPAW); atau
    2. Kepala KPPN selaku Kuasa BUN membuat laporan realisasi anggaran, arus kas, dan neraca kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan untuk diproses dan selanjutnya diteruskan kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan u.p Direktur Akuntansi dan Pelaporan Keuangan.

d. Untuk laporan keuangan semester dan tahunan, LRA, Neraca dan ADK disertai dengan Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK).

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan tersendiri.


BAB IX
PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN INTERNAL

Pasal 76

  1. (1)  Menteri/Pimpinan Lembaga menyelenggarakan pengawasan dan pengendalian internal terhadap pelaksanaan anggaran Satker di lingkungan Kementerian Negara/Lembaga masing-masing.

(2)  Pengawasan dan pengendalian internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.


BAB X
MONITORING DAN EVALUASI PELAKSANAAN ANGGARAN Pasal 77

  1. (1)  Menteri/Pimpinan Lembaga selaku PA melakukan monitoring dan evaluasi atas pelaksanaan anggaran Kementerian/Lembaga yang dipimpinnya.

  2. (2)  Menteri Keuangan selaku BUN dapat melakukan monitoring dan evaluasi atas pelaksanaan anggaran Kementerian Negara/Lembaga.

(3)  Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara monitoring dan evaluasi pelaksanaan anggaran diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.


BAB XI KETENTUAN PERALIHAN 

Pasal 78

Segala ketentuan yang mengatur mengenai tata cara pembayaran atas beban APBN sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini dinyatakan tetap berlaku.

BAB XII KETENTUAN PENUTUP 

Pasal 79

Ketentuan teknis yang diperlukan dalam pelaksanaan pembayaran atas beban APBN sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini, diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan.


Pasal 80 

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:

a. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 134/PMK.06/2005 tentang Pedoman Pembayaran dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara beserta peraturan pelaksanaannya; dan

b. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 170/PMK.05/2010 tentang Penyelesaian Tagihan Atas Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Pada Satuan Kerja;

dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 81

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2013.

Pasal II

  1. Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, ketentuan mengenai penyelesaian tagihan negara dan pelaksanaan pembayaran pada akhir tahun anggaran dengan menggunakan UP/TUP/GUP/PTUP/GUP Nihil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, Pasal 47 sampai dengan Pasal 50, Pasal 52 sampai dengan Pasal 59, Pasal 61, dan Pasal 73 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.05/2012 tentang Tata Cara Pembayaran Dalam Rangka Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 1191) merupakan ketentuan penyelesaian tagihan negara dan pelaksanaan pembayaran pada akhir

    tahun anggaran menggunakan UP/TUP/GUP/PTUP/GUP

    Nihil secara tunai.

  2. Ketentuan mengenai penggunaan dan pembayaran UP melalui kartu kredit pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 dan Pasal 46 dapat dilaksanakan sepanjang Peraturan Menteri Keuangan mengena1 pembayaran UP melalui kartu kredit pemerintah telah berlaku.

3. Peraturan Menteri m1 mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2019. 

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.


Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 29 November 2012

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

AGUS D. W. MARTOWARDOJO

pada tanggal 26 Desember 2018

MENTER! KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI 


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 November 2012

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, 

pada tanggal 26 Desember 2018

DIREKTUR JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

WIDODO EKATJAHJANA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2018 NOMOR 1736 

POSTINGAN POPULER