(Analisis Tahapan Thomas R. Dye dan Evaluasi dengan Pendekatan William N. Dunn dalam Perspektif UU/25/2009)
oleh: Dr. Bonatua Silalahi (Peneliti Independen)
Pendahuluan Pada 27 Oktober 2025, Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) atau Whoosh bukan ditujukan untuk mencari laba, melainkan sebagai investasi sosial bagi masyarakat.¹
“Prinsip dasar transportasi massal itu layanan publik, bukan mencari laba. Jadi, transportasi umum tidak diukur dari keuntungan finansial, tetapi dari keuntungan sosial.”²
Pernyataan ini menggambarkan semangat sosial negara, tetapi dalam praktik kebijakan, Whoosh tidak diformulasikan sebagai pelayanan publik sebagaimana Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (UU/25/2009), melainkan sebagai proyek investasi bisnis antar-BUMN dengan mitra Tiongkok.
Artikel sebelumnya: Whoosh dalam Perspektif UU Pelayanan Publik: Antara Misi Negara dan Pengecualian Pengadaan
Artikel ini menelusuri salah formulasi kebijakan (policy misformulation) Whoosh dengan menggunakan tahapan kebijakan publik menurut Thomas R. Dye, serta menguraikan solusi kebijakan melalui pendekatan William N. Dunn dalam kerangka Monitoring dan Evaluasi Kebijakan Publik.
- Identifikasi Masalah
Pemerintah mendefinisikan masalah utama sebagai kemacetan Jabodetabek–Bandung yang menyebabkan kerugian ekonomi hingga Rp64 triliun per tahun.³ Namun, masalah tersebut dikonstruksi secara teknokratis, bukan sosial: kemacetan dianggap hanya persoalan kecepatan dan kapasitas moda, bukan ketimpangan akses terhadap transportasi publik.Padahal UU/25/2009 menekankan bahwa pelayanan publik harus memenuhi asas keterjangkauan, pemerataan, dan akuntabilitas.⁴ Masalah publik seharusnya didefinisikan sebagai kesenjangan akses dan pelayanan, bukan sekadar lambatnya mobilitas antarwilayah.
- Penyusunan Agenda
2.1. Landasan Awal: Perpres/38/2015 Pada 20 Maret 2015, Presiden menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur (Perpres/38/2015) sebagai dasar hukum public–private partnership (KPBU).⁵ Regulasi ini seharusnya menjadi payung proyek Whoosh karena membuka peluang investasi badan usaha dengan tetap menjamin prinsip keterbukaan, kompetisi, dan akuntabilitas.2.2. Kronologi Agenda Politik 25 September 2015: Pemerintah memilih proposal Tiongkok dengan skema business to business (B2B) tanpa jaminan pemerintah.⁶
6 Oktober 2015: Terbit Peraturan Presiden Nomor 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat antara Jakarta dan Bandung (Perpres/107/2015).⁷
Keputusan ini mendahului Perpres/107/2015, menjadikannya legitimasi ex post facto, bukan hasil formulasi kebijakan yang mengikuti prinsip pelayanan publik sebagaimana Pasal 5 ayat (4) huruf a UU/25/2009.⁸
- Perumusan Kebijakan
Perpres/107/2015 menetapkan penugasan kepada konsorsium BUMN yang dipimpin PT Kereta Api Indonesia (Persero) dengan dukungan PMN dan opsi penjaminan pemerintah (Pasal 3A).⁹ Namun perumusan ini tidak berlandaskan penugasan pelayanan publik, melainkan pada logika investasi.Bila mengacu pada Perpres/38/2015, proyek seperti Whoosh semestinya dikategorikan KPBU sektor transportasi dengan kontrak berbasis kinerja dan pembagian risiko yang jelas. Namun pemerintah justru menempatkannya di luar mekanisme KPBU dan PBJ, menjadikannya proyek komersial berwajah publik.
- Legitimasi Kebijakan
Legitimasi hukum diperoleh melalui Perpres/107/2015, bukan melalui UU/25/2009. Padahal asas pelayanan publik—kepentingan umum, keterjangkauan, keterbukaan, dan akuntabilitas—harus melekat pada setiap kebijakan yang menyangkut kepentingan publik.¹⁰Tarif Whoosh sebesar Rp250–350 ribu per penumpang tidak memenuhi asas keterjangkauan, sementara restrukturisasi dan PMN justru memperluas beban fiskal negara.
Dengan demikian, legitimasi Whoosh bersifat politik, bukan administratif pelayanan publik.
- Implementasi Kebijakan
Pelaksanaan proyek dilakukan oleh PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) dengan komposisi PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (60%) dan Beijing Yawan HSR Co. Ltd. (40%).¹¹ Pembiayaan berasal dari pinjaman China Development Bank (CDB) sebesar ±US$4,55 miliar (75%) dan ekuitas Indonesia–Tiongkok ±US$1,52 miliar (25%), ditambah PMN 2021 sebesar Rp4,3 triliun ke PT KAI.¹²Namun proyek ini dikecualikan dari sistem PBJ nasional sebagaimana Perlem LKPP/5/2021 tentang pengadaan yang dikecualikan, sehingga prinsip transparansi dan akuntabilitas publik tidak berlaku penuh.¹³ Dalam perspektif pelayanan publik, kondisi ini membuat negara kehilangan mekanisme kontrol sosial yang melekat pada setiap penyelenggaraan layanan publik.
baca juga PBJ yg tidak tunduk pada PS 16/18
Evaluasi Kebijakan
Evaluasi menunjukkan bahwa Whoosh menghadapi restrukturisasi tenor pinjaman menjadi 60 tahun (PMK/89/2023)—indikasi debt stress dan lemahnya proyeksi fiskal.¹⁴ Selain itu, indikator “keuntungan sosial” yang dijadikan justifikasi kebijakan tidak pernah didefinisikan secara terukur, sehingga evaluasi kebijakan tidak dapat dilakukan secara obyektif.
Analisis Monitoring dan Evaluasi (Pendekatan William N. Dunn)
7.1. Posisi dalam Siklus Kebijakan Menurut William N. Dunn, siklus kebijakan publik terdiri atas: agenda setting → policy formulation → policy adoption → implementation → evaluation → termination.¹⁵ Berdasarkan tahapan ini, proyek Whoosh kini telah memasuki tahap evaluasi, karena kebijakan sudah diimplementasikan, tetapi efektivitas dan dampaknya kini dipertanyakan.7.2. Kerangka Analisis Dunn dalam Monev Dunn memandang monitoring dan evaluation sebagai fase analisis kebijakan yang mencakup lima aspek:
- Effectiveness – sejauh mana kebijakan mencapai tujuan;
- Efficiency – perbandingan antara manfaat dan biaya;
- Adequacy – kecukupan kebijakan menjawab masalah;
- Equity – keadilan sosial dalam distribusi manfaat;
- Responsiveness – daya tanggap terhadap kebutuhan masyarakat.¹⁶
7.3. Evaluasi Terhadap Whoosh
| Kriteria | Temuan | Implikasi |
|---|---|---|
| Effectiveness | Dampak terhadap penurunan kemacetan belum signifikan; load factor rendah. | Tujuan sosial belum tercapai. |
| Efficiency | Biaya tinggi, restrukturisasi utang menunjukkan ketidakefisienan. | Menambah beban fiskal antar-generasi. |
| Adequacy | Tidak menjawab kebutuhan mobilitas berbiaya terjangkau. | Kebijakan kurang relevan bagi masyarakat luas. |
| Equity | Tarif Rp250–350 ribu membuat akses terbatas bagi kelas menengah ke bawah. | Tidak sejalan dengan asas keterjangkauan (UU/25/2009). |
| Responsiveness | Partisipasi publik dalam perumusan dan evaluasi minim. | Kurang memenuhi asas partisipatif dan keterbukaan. |
7.4. Rekomendasi Solusi Dunn
- Restrukturisasi Kebijakan (Restructuring): Kembalikan Whoosh dalam kerangka penugasan pelayanan publik sesuai Pasal 5 ayat (4) huruf a UU/25/2009.
- Redesain Kebijakan (Redesign): Terapkan Public Service Obligation (PSO) agar tarif sosial dan subsidi negara memiliki dasar hukum.
- Redefinisi Tujuan (Redefinition): Ubah indikator “keuntungan sosial” menjadi parameter terukur—misalnya jumlah pengguna, penghematan waktu, penurunan emisi, dan dampak kesejahteraan.
- Integrasi dan Diversifikasi: Gabungkan Whoosh dengan moda KRL–MRT–LRT, serta kembangkan pendapatan non-tiket (TOD, logistik, dan iklan) agar berkelanjutan.
- Audit dan Keterbukaan: Laksanakan policy audit oleh BPK dan publikasi laporan kinerja serta risiko fiskal secara terbuka.
- Kesimpulan Kronologi kebijakan menunjukkan bahwa pemerintah menyimpang dari kerangka KPBU (Perpres/38/2015) ketika menetapkan proyek Whoosh sebagai investasi BUMN–Tiongkok melalui Perpres/107/2015. Akibatnya, proyek ini kehilangan karakter pelayanan publik sebagaimana amanat UU/25/2009.
Dalam kerangka Thomas R. Dye, kesalahan terjadi pada tahap agenda setting dan formulasi kebijakan. Sedangkan dalam pendekatan William N. Dunn, reformasi kebijakan harus dilakukan melalui restructuring, redesign, dan redefinition agar proyek kembali ke jalur layanan publik nasional yang adil, transparan, dan berkelanjutan.
Catatan
- Tribun-Video.com, “Presiden Jokowi: Transportasi Umum Diukur dari Keuntungan Sosial, Bukan Finansial,” 27 Oktober 2025.
- Ibid.
- Sekretariat Kabinet RI, “Pemerintah Evaluasi Dua Proposal Kereta Cepat,” 21 Agustus 2015.
- Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (UU/25/2009), Pasal 3–4.
- Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur (Perpres/38/2015).
- Sekretariat Kabinet RI, “Pemerintah Evaluasi Dua Proposal Kereta Cepat.”
- Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat antara Jakarta dan Bandung (Perpres/107/2015).
- UU/25/2009, Pasal 5 ayat (4) huruf a.
- Perpres/107/2015, Pasal 1, 3A, dan 4.
- UU/25/2009, Pasal 4.
- PT KCIC, Struktur Kepemilikan, 2023.
- PwC Indonesia, Infrastructure News, Oktober 2021.
- Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Peraturan Lembaga Nomor 5 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa yang Dikecualikan (Perlem LKPP/5/2021).
- Republik Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 89 Tahun 2023 tentang Penjaminan Pemerintah atas Kewajiban PT KAI (Persero) (PMK/89/2023).
- William N. Dunn, Public Policy Analysis: An Integrated Approach, 6th ed. (New York: Routledge, 2018), 50–52.
- Ibid., 221–225.