"Kalo sistim PBJ puluhan tahun terjadi pembiaran begini, bisa jadi para Pelaku yang terjerat Hukum justru adalah "KORBAN SISTEM".
"lantas dimana UPAYA PENCEGAHAN-nya
Media ini mengulas Kebijakan Pengadaan Indonesia & Dunia (UNCITRAL, WTO & European Union) serta Lembaga Pembiayaan Dunia (WB, ADB, IsDB). Pendekatannya melalui teori Kebijakan Publik terkait Pengadaan di Negara Indonesia sehingga menarik untuk dibaca, berguna bagi para Investor, Pengamat Pengadaan, Akademisi, Vendor/Supplier dari Luar Negeri, dan pastinya bagi Pelaku Pengadaan & Pemerintahan Indonesia.
"Kalo sistim PBJ puluhan tahun terjadi pembiaran begini, bisa jadi para Pelaku yang terjerat Hukum justru adalah "KORBAN SISTEM".
"lantas dimana UPAYA PENCEGAHAN-nya
Sampai detik ini saya sangat meyakini bahwa Pemerintah melalui Kementrian PUPR dan didukung LPJK tidak main-main dalam mengubah Wajah Konstruksi Indonesia yang corat marut. Salah satu gebrakan besarnya adalah merevolusi sumber awal permasalahan yaitu Proses Pemilihan Penyedia Jasa Konstruksi. Tidak main-main, Pemerintah mengubah 2 pasal lama dan menambah 9 Pasal baru pada Bagian Ketiga Pemilihan dan Penetapan Penyedia Jasa dengan melakukan Perubahan PP 22/20 menjadi PP 14/21. Dari 9 tambahan pasal tersebut, yang menjadi Pusat Perhatian kita adalah adanya tambahan pasal 74A yang berbunyi :
“Pemilihan Penyedia Jasa Konstruksi yang menggunakan sumber pembiayaan dari keuangan negara diatur dengan Peraturan Presiden”
Pasal ini sangat-sangat menarik mengingat:
Kita berterimakasih buat Pemerintah dan DPR yang telah menggratiskan pengurusan Sertifkasi di tahun ini dengan skema pembiayaan ditanggung APBN. Tapi mohonlah diperiksa apa yang terjadi dilapangan, faktanya justru makin digratiskan justru Biaya yang dipungut Asosiasi jauh lebih tinggi dari total biaya pengurusan sertifikasi sebelum digratiskan. Kalo sudah begini mendingan gak usah ditalangin APBN, kembalikan saja ke biaya sebelumnya. Sebagai yang memahami Kebijakan Publik, harusnya LPJK selaku pembina Asosiasi menerapkan Standar Biaya yang mengikuti semangat UU Cipta Kerja....memperluas kemudahan berusaha."Perencanaan Anggaran yang perlu dipertanyakan"
Ini pangkalnya karena banyaknya Penyedia yang mampu menawar sampai dibawah 80% dari HPS. Perlu dipahami, Pengguna Anggaran dalam membuat Analisa Harga Satuan Pekerjaan (AHSP), pada umumnya di KemenPUPR memakai Indeks SNI, meskipun di Instansi lain ada juga yang memakai Analisa BOW namun Uniknya Penyedia memakai analisa pendekatan Harga Pasar. Jelas ada ketimpangan pendekatan penentuan AHSP, satu sisi perencanaan anggaran pakai ilmu Teoritis karena sifatnya meramal dan sisi lain Penyedia lebih realistis karena harga yang dipakai pada saat tender tidak jauh berbeda dengan saat berkontrak. Dipandang dari sudut Cara berpikir, Pengguna Anggaran sudah pasti lebih baik "lebih" daripada kurang atau pas-pasan, sedangkan Penyedia dalam berkompetisi pastilah makin menawar murah makin pasti dapat kerja. Memang untung bisa jadi pas-pasan,kalo mau lebih ya pintar-pintar dilapangan, yang pasti roda usaha tetap berputar...gaji karyawan, cicilan kredit dan fasilitas kredit dari Bank bisa terpakai.
"Kualitas Konstruksi Indonesia yang rendah"Terhadap trend nawar rendah-rendahan saya punya analisa sendiri, kalo kuperhatikan disetiap RDP Komisi V, pertanyaan/protes terkait hal ini hanya rame pada RDP dengan Dirjen PU untuk Pekerjaan Umum dan Dirjen SDA untuk Pekerjaan Sumber Daya Air belum lagi adanya pengakuan beberapa Anggota Dewan yang ternyata mereka sebagian adalah Kontraktor bahkan Pengurus Asosiasi. Harus diakui, sangat sulit membuat syarat kuncian pada pekerjaan Umum dan SDA, tidak seperti pekerjaan Gedung dan Mekanikal Elektrikal yang bisa membutuhkan sangat banyak Tenaga Ahli/Terampil, Peralatan Kerja, Metode Kerja yang kompleks belum lagi ragam jenis, merek dan spesifikasi material. Mayoritas pemilihan penyedia di DJBK karakteristik pekerjaannya adalah Umum dan SDA, jenis ini konstruksi ini banyak peminat karena pekerjaannya simple sehingga tidak butuh tenaga ahli berbagai disiplin ilmu, variasi peralatan sedikit, teknologinya itu-itu saja apalagi metode kerjanya. Material/bahan yang dipakaipun mayoritas bahan alam, pabrikan palingan bahan pracetak seperti Uditch yg sangat banyak produsennya. Semua kondisi tersebut menimbulkan kesusahan yang sangat besar untuk mengatur Jurus/kuncian maut pertarungan Tender pada dokumen pemilihan, akibatnya banyak Penyedia yang lolos bertarung di tahapan Evaluasi Harga.
Kalo boleh jujur, yg kerja disana emang-nya siapa? apa semuanya tenaga ahli/terampil yang ditawarkan disaat tender.....yg nggaklah. Perkiraan saya kebanyakan SKA yang dipakai adalah rental, malah pernah nemu tenaga Ahli SKA Utama namun pekerjaan Utamanya tukang gojek, belum lagi pemilik SKA/T yang pekerjaannya sebagai ASN, Pegawai Administrasi. Ada juga SKAnya sama tapi fotonya beda.....bayar ahli/terampil benaran pasti mahal, belum lg bayarin BPJS, THR dll kalo dijadikan karyawan tetap....kalo sudah begini lantas konstruksi tersebut siapa yg ngerjain yak....jangan-jangan buat campuran beton ga ngitung-ngitung porsi split, air, semen...pantesan belum seminggu jalan da langsung rusak. Guwe nemu juga nih, tenaga ahli perusahaan bahkan penangungjawab Bidang dan atau Teknik yang diajukan untuk menerbitkan SBU juga semu dalam artian hanya sebatas administrasi doang namun orangnya bekerja di perusahaan lain malahan sering saling claim empunya TA.....ada juga yang justru Orang yang bersangkutan tidak tahu menahu punya SKA/SKT dan dipakai sebagai tenaga ahli perusahaan yang bersangkutan....kalo sudah begini, saranku LPJK harus mengatur semua Bisnis pendukung yang ada di jasa konstruksi jangan sampai karena terlalu dieksploitasi cetak sertifikat sebanyak-banyaknya jadi lupa tujuan utamanya adalah KONSTRUKSI BERKUALITAS.
Menariknya dari sekian banyak kalimat dilontarakan di banyak RDP Komisi V dengan jajaran KemenPUPR, saya hanya baru mendengar satu kali saja yang keluar kata KORUPSI itupun dari satu anggota dewan, tidak pernah ada peembahasan agar DJBK transparan dengan membuka seluas-luasnya Informasi terkait proses evaluasi pemilihan pemenang. Sepertinya semangat pencegahan Korupsi belum bergaung disana meskipun UU 14/2008 adalah produk konstitusi but it's OK-lah mungkin Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2018 tentang STRATEGI NASIONAL PENCEGAHAN KORUPSI hanya bahasa kerennya kalangan Eksekutif.
Berdasarkan ulasan RDP dan pengamatan saya sangat jelas Tugas dan Tanggungjawab Pengurus LPJK 2021-2024 & Kementrian yang menangani Bidang Konstruksi (mungkin KemenPUPR, soalnya saya belum pernah dengar Kepres penetapannya) memang berat karena harus menghasilkan potret KONSTRUKSI di Indonesia yang berkualitas dan setara dengan Konstruksi minimal Negara tetangga Singapura.
"SELAMAT BEKERJA KERAS LPJK"
Presiden dan DPR RI sepakat berpandangan bahwa Keterbukaan Informasi Publik penting dalam upaya untuk mengembangkan masyarakat informasi (pertimbangan UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik ). Atas dasar itu timbul niat saya melakukan gerakan/aksi-aksi perjuangan Hak Publik khususnya terkait PBJ.
Sebagai Aksi nyata demi pemenuhan hak konstitusional selaku bagian dari publik, salah satunya saya telah menempuh jalan persidangan Ajudikasi Non Litigasi Informasi terkait Evaluasi Tender yang diadakan di Badan Publik dalam hal ini Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta. Selanjutnya terkait proses sidang tersebut telah pula saya tuangkan pada artikel berikut:
1. SIDANG AJUDIKASI SENGKETA INFORMASI TERKAIT EVALUASI TENDER
2. Final Sengketa Informasi Bona Silalahi melawan atasan PPID
Sebagai proses yang memiliki awal maka pastilah memiliki ujung juga, dimana pada akhirnya Majelis Komisioner "Menolak permohonan Sengketa", meskipun pahit namun demi Hak-hak Publik maka saya tetap akan melanjutkan upaya hukum melalui PTUN dalam mencari keadilan.
Sedikit membahas alasan saya melakukan gugatan ke Pengadilan nantinya, selain karena telah diatur di BAB X tentang GUGATAN KE PENGADILAN DAN KASASI pada UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK, saya juga menilai bahwa seharusnya Majelis Komisioner memperdalam tentang status hukum terhadap Informasi yang saya mohonkan, bukan mengkorek-korek alasan pribadi pemohon serasa ini adalah peradilan umum. Selain terbukti bahwa pemohon adalah Publik kewarganegaraan Indonesia yang memiliki hak konstitusi, pada putusan Majelis sendiri sudah menyatakan bahwa Legal Standing Pemohon terpenuhi.
Agak aneh rasanya permohonan saya ditolak dengan didasari pendapat majelis yang menyebut "pemohon tidak mengikuti proses penyelesaian sengketa informasi publik dengan sungguh-sungguh dan itikad baik". Perlu saya terangkan bahwa pada awalnya memang permohonan tersebut saya mintakan terkait tesis S-2 Kebijakan Publik yaitu untuk menguji kepatuhan Badan Publik terhadap salah satunya UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK (24/04/2020). Sejak Pendaftaran Sidang Sengketa per tanggal 29 Juli 2020 faktanya persidangan perdana baru bisa dilakukan pada tanggal 17 Desember 2020...lamanya proses peradilan tersebut membuat alasan awal saya meminta informasi menjadi tidak kredibel lagi untuk dipertahankan.
Bicara Kesungguhan dan itikad baik, justru harusnya saya yang meragukan apakah persidangan ini akan berjalan dengan sungguh-sungguh dan itikad baik, karena pada Faktanya ketiga Majelis Komisioner ternyata anggota partai pendukung Gubernur DKI sekarang (termohon) malah salah satunya adalah Caleg Gagal (jejak digitalnya dimana-mana), Operasional lembaga ini juga dibiayai APBD dan Pengurusnya pun dilantik oleh Gubernur yg notabene adalah termohon pula.....hmmm mohonlah Pak Presiden dan DPR-RI terhormat agar UU 14/2008 diubah entah dengan mensyaratkan calon anggota Komisi tidak boleh anggota partai apalagi sempat Caleg atau dibukakan pintu bagi pemohon untuk memilih persidangan di Komisi Informasi Pusat....kalo sudah begini siapa sebenarnya yang tidak sungguh-sungguh dan beritikad baik?.
Harusnya majelis fokus di Pokok Perkara Informasinya, bukan ngurusin motivasi pribadi pemohon....terbukti di persidangan bahwa termohon tidak bisa membuktikan hasil Uji Konsekuensi, terbukti juga tidak ada peraturan perundang-undangan manapun menyebut kerahasian Informasi yang saya minta jangka waktunya 30 tahun.....ini namanya tindakan semena-mena penguasa tanpa berdasar hukum.
Akhir kata, mungkin upaya saya memperjuangkan Hak-hak Informasi Publik baik di Pemerintahan Provinsi maupun Komisi Informasi Provinsi DKI Jakarta telah kandas, namun saya yakin Lembaga Peradilan, Dewan Perwakilan Rakyat dan Kepala Negara akan memberikan keadilan bagi Hak-hak Publik.
Berikut adalah putusan Komisi Informasi provinsi DKI Jakarta.