Layanan Jasa Konsultasi.

Kami dapat memberikan JASA Nasehat Kebijakan terhadap Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan; Pengadaan Barang/Jasa Konstruksi (Perencanaan - Persiapan - Pelaksanaan - Kontrak); dan Pemenangan Tender. Kami juga membantu membuat Kebijakan Perusahaan (Peraturan Direksi dan Dokumen Tender). Hubungi bonatua.766hi@gmail.com

Translate

08 Agustus 2020

LEGALISASI KUNCIAN pada SYARAT Pemilihan Penyedia Konstruksi.

  

    Dulu, tepatnya sebelum tanggal 18 Mei 2020, implementasi Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 07/PRT/M/2019 (PM07/19) tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi Melalui Penyedia banyak mendapat sorotan publik, pasalnya banyak para Non Penyedia terutama Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Kelompok Kerja (POKJA) membuat syarat tambahan pada proses Pemilihan Penyedia pada tender Konstruksi. Salahkah? jawabannya tentu tidak, secara tertulis baik pada Pokok maupun Lampiran-nya, PM07/19 sama sekali tidak memuat adanya sebuah larangan tertulis. Sederhananya…yang dilarang saja sering tak dipatuhi apalagi sesuatu yang gak dilarang.
    Sebagai catatan, satu-satunya larangan penambahan syarat pemilihan hanya ada di Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018  tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PS16/18), terdapat pada pasal 44 yang berbunyi “Pokja Pemilihan dilarang menambah persyaratan kualifikasi yang diskriminatif dan tidak objektif”,  sayangnya itu hanya mengatur larangan penambahan persyaratan Kualifikasi Perusahaan, tidak berlaku untuk penambahan persyaratan Kualifikasi Pekerjaan (Administrasi, Teknis, Harga ataupun Kualifikasi Keuangan). Akibatnya apa yang selanjutnya akan terjadi pada Persyaratan Tender bisa ditebak yaitu maraknya penambahan syarat-syarat.  Mari kita kupas tuntas lebih lengkap….jadi maaf agak panjang he3x.
    Turunan dari PS 16/18, lahirlah Peraturan LKPP nomor 09 tahun 2018  tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa (PBJ) Melalui Penyedia (PLKPP09/18) namun khusus untuk Pedoman Tender Konstruksi LKPP mendelegasikan kewenangannya kepada Menteri yang mengurus Konstruksi dalam hal ini adalah Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Namun perlu dicatat, aslinya hanya terdapat 6 (enam) kewenangan yang didelegasikan yaitu kebijakan terkait  Ketentuan Persyaratan Kualifikasi Administrasi/Legalitas, Kualifikasi Kemampuan Keuangan dan Kualifikasi Teknis, Ketentuan Pelaksanaan Evaluasi Teknis, Syarat-Syarat Umum Kontrak (SSUK) dan Syarat-Syarat Khusus Kontrak (SSKK). Keenam ketentuan tersebut telah dituangkan kedalam PM 07/19 namun pada kenyataanya terdapat juga hal lain yang ikut diatur diluar dari kewenangan yang didelegasikan.
    Pada kenyataannya, pada saat itu semua turunan PS 16/18 baik pada PLKPP09/18 maupun PM 07/19 sama sekali tidak menjelaskan secara rinci dan terukur/kuantitatif apa yang dimaksud dengan  “diskriminatif dan tidak objektif” pada pasal 44 tersebut diatas. Peraturan Perundang-undangan (PPU) yang ada hanya menyajikan ukuran bersifat kualitatif, bahkan banyak Non Penyedia yang berprinsip sepanjang tidak ada yang protes saat Acara Penjelasan maka ukuran “diskriminatif dan tidak objektif” sudah terpenuhi, meskipun kalo ada yang protes belum tentu juga diindahkan he3x. Untuk larangan penambahan syarat Kualifikasi saja ketentuannya masih abu-abu, gimana lagi untuk tambahan syarat Administrasi, Teknis dan Harga yang notabene sama sekali tidak ada larangannya, pastinya lebih menggila lagilah ya…. Sepanjang pengamatan penulis baik sebagai Penyedia maupun Pengamat Kebijakan Publik, sampai detik ini (meskipun PM07/19 sudah dicabut) terdapat sangat banyak syarat tambahan yang detailnya bisa dilihat pada artikel Jurus/kuncian maut pertarungan Tender.
    Beberapa contoh pada artikel Jurus/kuncian maut pertarungan Tender tersebut hanya baru merupakan penambahan syarat atas Regulasi PM07/19, kenyataannya bukan hanya syarat saja yang memungkinkan untuk ditambah/diubah, Regulasi PBJ juga bisa dirubah/tambah, dasar hukum PBJ yang awalnya hanya diatur oleh Peraturan Presiden menjadi celah tersendiri bagi Pemerintahan Daerah (Perda) untuk membuat Pedoman PBJ lokal yang isinya bahkan bisa tidak mengacu aturan yang sudah ada, menambah ketentuan yang belum diatur di PerPUU, tercatat banyak Daerah yang membuat Perda terkait PBJ-nya sendiri yang merupakan modifikasi PLKPP09/18 dan PM07/19. Kebanyakan Perda tersebut berbau kedaerahan yang efektif menyulitkan Penyedia Nasional.
    Lantas bagaimana dengan kondisi saat ini khususnya PBJ Konstruksi terkait Pasca terbitnya Peraturan Pemerintah nomor 22 tahun 2020 tentang Pelaksanaan Undang-Undang  nomor 02 tahun 2017 tentang Jasa konstruksi (PP22/20) serta Peraturan Menteri PUPR nomor 14 tahun 2020 (PM14/20) tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi Melalui Penyedia?....sangat disayangkan, tidak seperti PS 16/18, PP yang baru ini sama sekali tidak mengatur adanya larangan-larangan pengubahan persyaratan, lebih unik lagi PM 14/20 justru melegalkan penambahan persayaratan tersebut bahkan bukan hanya sebatas persyaratan kualifikasi namun untuk semua persyaratan pemilihan. Menurut saya seharusnya di-level PM14/20 sudah harus jelas The DO & The DON'T nya sehingga tidak membingungkan para pelaku PBJ. Sebagai contoh kita bisa membandingkannya dengan Peraturan Pemerintah nomor 80 tahun 2012 tentang  tata cara pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan dan penindakan pelanggaran lalu lintas dan angkutan jalan, bayangkan..sebagai Pelaksana dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan, cukup dilevel PP saja aturan ketentuannya sudah cukup jelas dan terukur.  Bandingkan dengan PM14/20, sudah sampai level pelaksanaan dari PP/PS-pun masih terlalu banyak hal multi tafsir-nya yang membingungkan  Penyedia dan POKJA. 
Bagaimana prosedur legalisasi penambahan syarat yang saya maksud bisa kita baca pada Pasal 58 PM14/20 sebagai berikut:

  1. Dalam hal diperlukan, persyaratan kualifikasi Penyedia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 dan Pasal 55 dan persyaratan teknis penawaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 dan Pasal 57 dapat dilakukan penambahan persyaratan.
  2. Penambahan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada setiap paket pekerjaan. 
  3. Penambahan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan dengan syarat: 
    • a) Mendapatkan persetujuan dari Pejabat Pimpinan Tinggi Madya pada kementerian/lembaga untuk pekerjaan dengan pembiayaan dari anggaran pendapatan dan belanja negara; atau
    • b) Mendapatkan persetujuan dari Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama pada pemerintah daerah yang membidangi Jasa Konstruksi dan Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama pada pemerintah daerah yang merupakan unsur pengawas penyelenggaraan pemerintahan daerah untuk pekerjaan dengan pembiayaan dari anggaran pendapatan dan belanja daerah; dan
    • c) Tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
       Kita harus akui adanya ketentuan pada ayat 3 diatas bisa saja membuat ”penambahan persyaratan menjadi sesuatu yang rada sulit” namun faktanya dilapangan yang terjadi itu justru tebalik. Penulis mencatat tender berjalan saat ini saja sudah banyak yang melakukan penambahan syarat tender sesuai panduan tata cara legalisasi pada aturan diatas. Pertanyaan besarnya mengapa justru semakin memudahkan? mari kita coba ulas satu persatu apakah ayat 3 tersebut efektif menghalangi Oknum penambah syarat atau tidak. Menurut saya syarat Huruf a) dan b) pada ayat tersebut secara prinsip adalah sama dan sangat gampang untuk mendapatkannya malah boleh dikatakan hal itu adalah sesutu yang diharapkan/ditunggu para Pengguna Anggaran. Berdasarkan UU no. 5/2014 tentang Aparatur Sipil NegaraPejabat Pimpinan Tinggi adalah Pegawai Aparatur Sipil Negara yang  (ASN). Yang berwenang menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pejabat pimpinan tinggi madya adalah presiden, namun tidak untuk pejabat pimpinan tinggi pratama yang kewenangan tersebut telah didelegasikan ke Gubernur di Provinsi dan  ke Bupati/Walikota di Kabupaten/Kota. Melihat kewenangan Kepala Daerah yang sangat besar terhadap Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama yang membidangi Jasa Konstruksi maka bisa dipastikan kedudukannya berada dalam kendali Gubernur/Bupati/Walikota, Lantas bagaimana dengan kedudukan Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama yang merupakan unsur pengawas penyelenggaraan pemerintahan daerah atau yang lazim disebut Inspektorat? menurut saya selain kedudukannya sama dengan Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama lainnya, secara fungsi-pun diatur pada PP no. 60/2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah dimana disebutkan bahwa Inspektorat Provinsi/Kabupaten/Kota adalah aparat pengawasan intern pemerintah yang bertanggung jawab langsung kepada Gubernur/Bupati/Walikota.
        Selanjutnya, bagaimana syarat yang dimaksud huruf c), “tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”, mungkin jika bicara sesuatu yang hitam dan putih sangat gampang memutuskan bertentangan atau tidak. Bagaimana jika persyaratan tersebut justru semakin mempertegas/ menguatkan/ mendetailkan/ memastikan suatu persyaratan yang sudah ada seperti menyertakan foto alat, menyertakan rekening koran tiga bulan terakhir, registrasi SBU tahun berjalan, personil tetap terdaftar di LPJK dll, apakah layak disebut melanggar? bagaimana pula jika ditambahkan syarat menyertakan dukungan material hanya dari Pabrikan saja, tidak boleh dari Agen dan Pabrikan tersebut harus memiliki sertifikat ISO 14001, telah pula diaudit tahun berjalan dan harus berdomisili di provinsi setempat? pasti ketawa memikirin-nya he3x. Apakah ini sah dan tidak melanggar ketentuan PerPUU ? yang pasti jawabannya ada di Pengadilan bukan di Berita Acara Penjelasan, bukan di Surat Edaran Menteri, bukan pula di Forum diskusi tak berkekuatan hukum seperti facebook dan whatapps, dan terpenting bukan pula apa kata Nara Sumber ataupun Trainer. Upaya akhir penyedia pada proses PBJ adalah melakukan sanggahan namun bisa saya pastikan sanggahan akan berujung ke sanggah banding yang akhirnya mampet juga di Pejabat tinggi tadi, kalo sudah begini apa masih ada gunanya tahapan sanggah? .
     Agak sedikit kontradiksi dengan ketentuan Umum pada PS 16/18, angka 35 yang berbunyi Dokumen Pemilihan adalah dokumen yang ditetapkan oleh Pokja Pemilihan/Pejabat Pengadaan/Agen Pengadaan yang memuat informasi dan ketentuan yang harus ditaati oleh para pihak dalam pemilihan Penyedia. Kalo begini siapa yang diikuti....PS 16/18 atau PM 14/20 ? ini namanya Pejabat tinggi yang berbuat tapi Pokja yang bertanggungjawab. Brani gak Pokja melawan.....
        Kembali ke contoh-contoh penambahan persyaratan pada artikel: Jurus / kuncian maut pertarungan Tender yang merupakan bagian dari tulisan ini, pertanyaan besar berikutnya adalah apakah praktek-praktek tersebut selama ini tanpa sepengetahuan pejabat tinggi ? saya rasa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menjawabnya dengan terkuaknya banyak kasus Tipikor yang polanya memiliki kesamaan yaitu Keterlibatan Pejabat Pembina dengan Pejabat Tingginya? bedanya sekarang ini perananan pejabat tinggi lebih Powerfull dalam urusan PBJ ketimbang Pejabat fungsional yang menanganinya. Arahan dari Pejabat Pembina secara langsung bisa diamankan melalui saktinya tanda tangan para pejabat tinggi pembantunya.
        Demikianlah tulisan artikel ini dan mohon dipandang sebagai sebuah kritik terhadap regulasi yang harapannya bisa saja membangun Bangsa khususnya Pengadaan Barang/Jasa-nya. Tentunya penulis juga bukanlah mahluk anti kritik karena saya menganggap perbedaan pendapat adalah sebuah kekayaan imaginasi. 


Update (08/03/2022):

  1. Saat ini PP 22/20 telah diubah oleh Peraturan Pemerintah nomor 14 tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah nomor 22 tahun 2020 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang nomor 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (PP 14/21). 
  2. PS 16/18 telah diubah oleh Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PS 12/21)
  3. Perlem 09/18 diganti oleh Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah nomor 12 tahun 2021 tentang Pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah melalui penyedia (PLKPP12/21). 
  4. PM14/20 dicabut oleh PS12/21 dengan menggantinya menjadi PLKPP12/21 terkait Pedoman Pemilihan Penyedia, terkait hal lain masih berlaku. Mengapa  bisa terjadi? bisa dilihat di artikel ini : LKPP-vs-KemenPUPR (jilid II).
  5. Terkait Pedoman Pemilihan Penyedia khususnya Lampiran 5 pada PLKPP12/21, KemenPUPR mengeluarkan Surat Edaran Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 18/SE/M/2021 Tahun 2021 tentang Pedoman Operasional Tertib Penyelenggaraan Persiapan Pemilihan untuk Pengadaan Jasa Konstruksi di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (SEMPUPR18/21) yang berlaku dilingkungan KemenPUPR. Pada Surat Edaran ini Menteri PUPR masih mengizinkan penambahan syarat sepanjang disetujui Pejabat Pimpinan Tinggi Madya. 
  6. Kepala LKPP juga mengeluarkan Surat Edaran Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2022 tentang Penegasan Larangan Penambahan Syarat Kualifikasi Penyedia Dan Syarat Teknis Dalam Proses Pemilihan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Edaran ini menegaskan boleh menambah persyratan sepanjang diatur oleh Undang- Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden atau berdasarkan kajian/justifikasi pihak yang berkompeten di bidangnya. 
       
Saya menyimpulkan meskipun banyak terdapat perubahan PUU, pada intinya tetap bisa menambah persyaratan karena tidak jelas apa yang dimaksud dengan "Objektif dan Tidak Diskriminatif"....ukuran dan batas lingkupnya bagaimana?


Sekian dan terimakasih.

Perhatian : 
Seluruh atau sebagian dari konten ini sangat memungkinkan menjadi bagian dari makalah, tesis atau Disertasi saya terkait Kebijakan Publik, mohon mengkomunikasikan kepada saya apabila hendak dipakai di forum resmi demi menghindari Praktek Plagiatisme. Terimakasih.

02 Agustus 2020

OTT PBJ Pekerjaan Infrastruktur di Pemerintah Kabupaten Kutai Timur

Jurus/kuncian maut pertarungan Tender

Selama puluhan tahun menjadi Penyedia dan telah mengikuti semua jenis lelang/tender beserta dinamika aturannya, saya coba merangkum trik-trik Penyedia (pengantin) yang berkolaborasi dengan para Non Penyedia. Mungkin rangkuman jurus-jurus ini sangat membantu teman-teman agar lebih waspada atau sebaliknya bisa makin nambah ilmu dan dipakai  bertarung mematahkan lawan untuk melakukan pengarahan. 

I. Jurus-jurus Maut
I.1.Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) 

    I.1.a. Membuat bingung Penyedia.
    Dokumen apa diupload dimana dan dari mana ? Tidak banyak penyedia yang memiliki pengetahuan apa itu Isian Kualifikasi pada LPSE dan apa itu Apendo bahkan banyak juga yang bingung apa itu dokumen Kualifikasi Perusahaan dan apa itu Dokumen Kualifikasi Paket Pekerjaan. Tidak ada satupun dalam peraturan perundangan-undangan yang dengan jelas mendefinisikannya. Celah ini sering dimanfaatkan Non Penyedia dengan memutar-mutar syarat yang seharusnya ada di LDK dipindah ke LDP dan sebaliknya, akibatnya Penyedia yang terbiasa mengikuti panduan penggunaan SPSE terkecoh dan gugur seketika. Teknik ini dipakai juga dengan kombinasi antar dokumen pada SPSE, seperti membuat syarat pada dokumen pemilihan namun isinya mengacu ke dokumen lain seperti: Daftar Personil mengacu ke KAK, material yang didukung sesuai Gambar, jenis-jenis pekerjaan pendukung lihat di RAB.
    I.1.b. Mempersingkat Jadwal Tender.
    Trik ini sering dipakai untuk mempersulit penyedia, ada-ada saja alasan untuk pembenaran diantaranya tidak ada peserta yang protes di Acara Penjelasan atau faktor manusia, lupalah salah pencetlah, error jaringanlah.
    I.1.c. Memperbanyak Addendum dan perubahan dokumen.
    Pernahkah teman-teman melihat Addendum sampai 3 kali atau lebih? Kalo terjadi ya harap hati-hati saja, kekurang telitian bisa berakibat fatal menggugurkan alasannya simple ‘penawaran tidak sesuai dokumen pemilihan’.
    I.1.d. Mempekecil Bandwith Server.
    Apakah kinerja server bisa disaksikan penyedia secara Live ? apakah stress testnya dilakukan dan hasilnya dipublikasikan? mengapa LPSE tidak bisa menjamin tidak ada gangguan proses Up-Load meskipun mendekati Jadwal yang ditentukan. Bukankah LPSE bertanggungjawab penuh menjamin kepuasan pelayanan publik ? bukankah sangat berbahaya LPSE dipegang oleh UKPBJ yg nota bene membawahi ULP juga. Kalopun penyedia mengupload di Ruang Server LPSE apakah terjamin bisa upload juga jika bandwith dikecilkan pada saat terjadi antrian secara bersamaan? Faktanya ini sering terjadi dan lelang tetap dilanjutkan karena Pengantin sudah sukses upload duluan sebelum jurus dikeluarkan.  
    I.1.e. Merubah RAB versi LPSE dengan versi Apendo
    Pernahkah penyedia tidak bisa mengupload RAB melalui media Unggah Apendo sehingga akhirnya mengetik secara manual di Active Screen Apendo? Atau tak kala selesai mengisi RAB versi download di LPSE dan membandingkan isinya dengan versi excell hasil download dari Apendo ternyata hasilnya berbeda? Jika iya maka penyedia telah dikerjain. 
    I.1.f. Mengupload Dokumen Tender yang tidak bisa dibuka.
    Pernahkah penyedia mendowload dokumen namun tidak bisa dibuka? Atau bisa dibuka namun dengan versi PDF reader atau Office versi tertentu? Hmmmm….liat aja pasti nanti diupload yang baru namun tidak perpanjangan waktunya kurang bahkan tidak ada.

I.2. Strategi diluar sistem.
    I.2.a. Memasang 2 atau lebih perusahaan.
    Biasanya pasang 3, satu nawar di 80% HPS (pesimis option), satu lagi di antara 80% ke 90 % (optimum option) dan sisanya di 98% (maksimum option)…..jaga-jaga siapa tahu ada virus ditengah yang susah dimatiin dan backingnya orang kuat juga he3x.
    I.2.b. Kavlingan/Arisan.
Masih trending, berbagi paket dalam satu lingkup Pengguna Anggaran yang sama dengan membuat kavlingan paket A untuk si A, Paket B untuk si B dst, dalam hal ini pengendalinya adalah PA. Namun jika berbaginya dipaket yang Pengguna Anggaran yang berbeda namanya Arisan yang pengendalinya para player itu sendiri.
    I.2.c. Mengamankan Tender Konsultan (Perencana/MK)
    Teknik ini memastikan pengarahan aman, biasanya Konsultan banting harga serendah-rendahnya agar lebih pasti menang. Tak kala sudah menang maka dengan posisi yang dekat dengan Non Penyedia akan jauh lebih mudah mengarahkan pemenang pelaksana konstruksinya. Keterlibatannya macam-macam seperti membantu pembuatan KAK, metode kerja, spesifikasi teknis, design, memberi masukan penilaian dan sebagainya
    I.2.d. Membeli dokumen Penawaran Pemenang
    Teknik ini diperlukan jaga-jaga kalo penggiringan disabotase dan atau dijadikan bahan sanggahan…. sisanya tinggal dilakukan pencarian dukungan legalitas materi yang disanggahkan.
    I.2.e. Tidak menang banyak, jangan juga kalah telak.
Sipemenang menyuruh mundur peserta yang harga penawarannya dibawah harga penawaran penggiring. Banyak cara bersifat teknis pelaksanaan agar yang mundur tidak kena blacklist. Kompensasi mundur bisa berupa uang bahkan ada yang jadi subkon.
    I.2.f. Menghindari Penyedia alias melalui swakelola.
Membuat swakelola meskipun pekerjaan tersebut diminanti banyak penyedia yang mampu menyediakan PBJ yang dimaksud, terhindari dari proses tender yang belum pasti pemenangnya, banting-bantingan harga (inefisiensi), tak perlu perizinan SBU dan macam segala, meskipun pada prakteknya yang kerja penyedia juga namun tanpa perlu mengeluarkan Jaminan, tanpa resiko pemeliharaan dan tak jelas pertanggungjawaban gagal konstruksinya.

I.3.Validasi/Verifikasi/Klarifikasi
    I.3.a. Mengirim undangan diluar jam kantor.
    Staff sudah pada pulang jam 5 sore, besok pagi masuk melihat email undangan klarifikasi jadwalnya hari ini…modar dan kocar kacir nyiapin Tenaga Ahli dan dokumen…moga-moga ga kececer hi3x.
    I.3.b. Mendatangi Vendor/Supplier
    Meminta surat pernyataan Supplier ditanyain kapasitas produksi, ditanyain pelanggan yang bakal memesan saat bersamaan pada saat pelaksanaan kontrak, ditekan secara halus....kelar deh, vendor/supplier ga mau menandatangani pernyataan kesanggupan 
    I.3.c. Meminta bantuan mencari penyakit dokumen tender si virus
    Pssst….no comment. 
    I.3.d. Mendatangkan semua Personil terutama Tenaga Ahli
    Klarifikasi wajib mendatangkan semua Tenaga Ahli beserta kelengkapannya (asli), busyet deh…mana rentalan pulak nih barang wakakakak
    I.3.f. Mendatangkan semua Peralatan.
    Kalo kecil-kecil bisalah…ini Mesin Molen dan Genset juga, mana mintanya siang lagi…masih dipakai di proyek temanlah
    I.3.g. Menghitung kepemilikan peralatan dari Laporan Keuangan.
    Seru nih, kalo dipembukuan ga pernah tercatat beli peralatan wajib GUGUR. Perusahaan segede Gaban ajapun belum tentu mau investasi di peralatan kalopun ada ya perusahaan itu aslinya Rental peralatan yang nyamar jadi kontraktor.

 



II.Kunci-kuncian yang mematikan 
II.1.Persyaratan Kualifikasi:
    II.1.a. Penambahan subklasifikasi SBU yang berlebihan
    Seperti kombinasi berbagai subklasifikasi ataupun mengambil sub klasifikasi yang tidak sesuai dengan PM no. 19 tahun 2014 tentang  Perubahan Permen PUPR nomor 08 tahun 2011 tentang Pembagian Subklasifikasi dan Subkualifikasi Usaha Jasa Konstruksi. Ini terkait kuncian pengalaman Kemampuan Dasar (KD), banyak yang memaksakan Klasifikasi/Sub Klasifikasi SBU yang tidak sesuai dijadikan syarat yang penting pengantinnya bisa masuk dan memenuhi syarat perhitungan KD. Ada nemu, sengaja mengambil SBU Spesialis pertamanan padahal Pekerjaannya mayoritas Pekerjaan Bangunan Sipil yang kebetulan lokasi kawasannya di taman. Dengan nilai KD yang besar otomatis perusahaan yang memenuhi syarat bisa dihitung dengan jari.
    II.1.b. Penambahan Pegawai tetap yang harus terdaftar di LPJK.NET 
    Kita semua tahu kalo mau daftarkan pegawai tetap ke LPJK pasti idealnya 3 tahun sekali (terkait biaya) dan itupun sebatas Penangung Jawab Teknik (PJT) dan Bidang (PJB)
    II.1.c. Penambahan subklasifikasi SKK. 
    Disyaratkan dari 1 orang personil harus memiliki beberapa SKK yang berbeda secara bersamaan. Banyak juga pemilihan mempersyaratkan SKK dari lembaga diluar LPJK seperti Radiologi, K3 Kementrian Kesehatan, Sertifikat IT dll. (catt: saat ini Personil dipersyaratkan (PM 14/20) masuk ke syarat Teknis)  
    II.1.d. Kombinasi SKK dengan jenjang pendidikan (S-2),
    Padahal kalo ada Doktor (S-3) lebih mantap lagi kuncianya ya…sayangnya Kontraktor ga mungkin punya pegawai bergelar Doktor walaupun S-2 juga belum tentu punya.
    II.1.e. Kombinasi SKK dengan Jenis Pendidikan
    Biasanya memilih Sarjana Jurusan yang sulit-sulit seperti Teknik Geodesi, Fisika dan Informatika.
    II.1.f. Kombinasi Sertifikat Manajemen
    Penambahan Sertifkasi manajemen secara bersamaan meskipun secara manajemen berfungsi sama seperti OHSAS dan SMK3 dan ISO 45001.

II.2.Persyaratan Administrasi dan Teknis
    II.2.a. Metode sesuai Urutan/tahapan.
    Sering penyedia membuat urutan/tahapan berdasarkan pengetahuannya sendiri hal ini karena tidak diberikan standar tahapan/urutan mana yang dimaksud di LDP. Ada juga yang menceritakan teknis pekerjaaan namun terdapat di KAK, RKS dan lampiran lain itupun Penulisannya bukan Tahapan/urutan
    II.2.b. Dukungan perusahaan subkon/vendor/supplier
    Pemilik SBU/Alat/Merek yg dipersyaratkan sangat terbatas bahkan hanya satu. Ketika subkon tersebut dihubungi susahnya minta ampun, udah ketemu dia ga mau ngasih…eh ternyata sudah dikavling.
    II.2.c. Pembuatan Cash Flow Keuangan
    Rencana Kas keuangan proyek harus sesuai target pekerjaan dan cara pembayaran, biasanya  dibundling dengan Penyerapan Anggaran tiap tahun dan Kurva-S.
    II.2.d. Persyaratan tambahan dari Pihak lain seperti:
  1. Subkontraktor harus melampirkan: SIUJK, SBU, Pengalaman, BPJS, Perjanjian Subkon, Foto Kantor, Sertifikasi ISO 9001, Surat penunjukan aplikator. 
  2. Supplier Material harus melampirkan: Kartu Anggota Asosiasi, Sertifikasi Manajemen, SIUP, Surat Penunjukan Pabrikan/ATPM/Distributor, Lisensi Lokal, Nasional dan International, Izin Quarry, Pabrikan radius sekian KM dari lokasi Proyek, Brosur asli bahkan berstempel basah.
  3. Vendor Alat  harus melampirkan : Izin Operasi Lokal, SIA, SIO, Izin Workshop,  Lokasi Pembuangan tanah (menang aja belum tentu), Perjanjian leges Notaris, Foto Alat, Pajak Pembelian
  4. Dukungan dari pemberi dukungan harus melampirkan :Surat dukungan dari vendor material misalnya Pemeberi Dukungan Ready Mix harus melamprkan juga surat dukungan dari supplier semen kepada pabrikan Ready mix tersebut.
    II.2.e. Sistem Nilai namun aslinya sistem GUGUR. 
       Banyak yang terkecoh kalo Sistem Nilai tidak menggugurkan jika hanya satu atau beberapa sub unsur yang kurang sempurna. Jangan lupa setelah ada Ambang Batas Total/gabungan Unsur ada juga Ambang Batas Sub Unsur. Disini letak triknya kawan-kawan, batas ambang unsur dibuat maksimal sehingga harus betul-betul sempurna. Sebagai contoh Batas Sub Unsur “X” yang misalnya 30 dibuat maksimal 30 juga, dengan kata lain tidak ada ambang batas untuk sub unsur alias sistem gugur.

    II.3.  Persyaratan Keuangan
a.Rekening koran tiga bulan terakhir.
b.Saldo sejumlah minimal tertentu yang tersedia kurun waktu 3 bulan terakhir.
c.Surat kuasa Konfirmasi Bank.
d.Surat keterangan Fiskal.

 

Demikianlah teman-teman, siapa tahu ada jurus atau kuncian lain mari saling berbagi ilmu. Pesan saya kalo mau buat jurus/kuncian, sebisa mungkin jurus lama tidak dipakai soalnya sudah kebaca….tinggal diintip 😎 jadi harus pinter-pinter dilapangan.

 

Sekian terimakasih.
 
Salam Kebijakan Publik Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah


WARTA PARLEMEN - DPR DORONG LKPP SERAP POTENSI BELANJA SEKTOR UMKM

DPR RI - KOMISI XI DORONG SISTEM PENGUATAN LKPP

PORSI PENGADAAN BARANG/JASA PADA BELANJA NEGARA

Berangkat dari artikel sebelumnya tentang Belanja Negara dapat disimpulkan bahwa baik Pemerintahan Pusat maupun Pemerintah Daerah memiliki kewenangan dalam mengatur Belanja/Pengeluarannya terutama dalam bentuk Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (disingkat PBJ). Menurut Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (update: telah diubah oleh Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021) disingkat PS 16/18, PBJ  meliputi:

  1. Barang;
  2. Pekerjaan Konstruksi;
  3. Jasa Konsultansi; dan
  4. Jasa Lainnya. 

Khusus PBJ yang pembiayaanya bersumber dari APBN/APBD dimana ketentuan Pengadaanya tunduk pada aturan PS 16/18, pelaksanaan PBJ-nya di Monev (Monitoring dan Evaluasi) oleh LKPP yang penyajian datanya dapat diakses secara online pada link berikut https://monev.lkpp.go.id. Untuk data PBJ dari tahun 2017 s/d 2021 coba saya sadur sebagai berkut :

catt: 
Pandemi Covid 19 terjadi sejak Februari 2020 dan tentunya kondisi ini sangat mempengaruhi penggunanaan anggaran terutama Belanja dalam upaya mengatasi pandemi dan pemulihan ekonomi sebagai dampak kelanjutan pandemi.

Berapakah porsi PBJ diatas dalam kurun waktu 5 tahun tersebut dalam struktur Belanja pada APBN/APBD kita?  berdasarkan olahan data dari LKPP dan Kementrian Keuangan dalam rentang 5 tahun terakhir maka coba saya simpulkan sebagai berikut:  

Ternyata total Kue APBN/APBD yang diperebutkan oleh 429.868 Penyedia Barang/Jasa (terverifikasi LKPP) nilainya sangat Fantastis yaitu rata-rata sebesar Rp. 1.167 T, namun sangat disayangkan hanya 549 T (50%) saja yang Pengadaannya mengacu ke PS 16/18 dengan begitu setengahnya adalah PBJ yang dikecualikan dalam artian tidak harus mengikuti keseluruhan 7 Prinsip pelaksanaan PJB-P yaitu :
  1. efisien;
  2. efektif;
  3. transparan;
  4. terbuka;
  5. bersaing;
  6. adil; dan
  7. akuntabel 

PBJ yang dikecualikan seperti Alparhankam, Badan Layanan Umum, Aseangames/seagames. PBJ tersebut belum juga termasuk Pengadaan Barang Jasa yang diadakan oleh BUMN/D yang bersumber dari Kekayaan Negara meskipun secara teori harusnya tetap mengikuti PS 16/18 karena modalnya bersumber dari APBN/D, khusus terkait Covid dikecualikan juga atas dasar Perpres 54/2020 & Perpres 72/2020.

Apabila diandaikan saja keuntungan para penyedia bersih 5% maka bisa dipastikan Dana APBN/APBD menggerakkan ekonomi nasional beredar sebesar 60 T/tahun. Bagaimana jika ternyata Dana sebesar yang sama tersebut juga bocor akibat adanya Moral Hazards para Pelaku PBJ ……hmmmm sudah cukup untuk APBD Provinsi Sumatera Utara selama 5 tahun.

Terkait potensi kebocoran tersebut akan kita bahas di artikel selanjutnya, intinya kita semua sama-sama memahami besarnya Kue APBN/APBD sangat menjelaskan akan tingginya kepentingan didalamnya dan sangat diperlukan Kebijakan Publik Pengadaan Barang/Jasa yang berpihak kepada pengamanan keuangan Negara.


Perhatian : 
Seluruh atau sebagian dari konten ini sangat memungkinkan menjadi bagian dari makalah, tesis atau Disertasi saya terkait Kebijakan Publik, mohon mengkomunikasikan kepada saya apabila hendak dipakai di forum resmi demi menghindari Praktek Plagiatisme. Terimakasih.

BELANJA NEGARA DALAM APBN

Ditaksir Negara kehilangan Pendapatan sekitar 600 M akibat perubahan Kebijakan Tender Konstruksi

Implementasi Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 07/PRT/M/2019 Tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi Melalui Penyedia sejak 25 Maret 2019 sedari awal terasa sudah bermasalah, salah satunya terdapat pada Pasal 21 ayat (3) huruf a, b dan c dimana terjadi perubahan Segmentasi Pangsa Pasar Konstruksi. Peraturan sebelumnya mensyaratkan perusahaan yang Sertifikat Badan Usaha (SBU) berkualifikasi Kecil hanya mampu mengikuti Tender bernilai maksimum 2,5 Milyar (M) dirubah menjadi maksimum 10 M dan untuk Perusahaan kulifikasi Menengah yang awalnya hanya diatas 2,5 M sampai dengan 50 M dirubah menjadi diatas 10 M sampai 100 M.

Adalah Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Aspal dan Beton Indonesia disingkat (DPP AABI) yang pertamasekali dan langsung berhasil melakukan Proses Uji Materiil pada Mahkamah Agung Republik Indonesia. Peraturan menteri yang baru diundangkan pada tanggal 25 Maret 2019 melalui Putusan Mahkamah Agung nomor 64 P/HUM/2019 tanggal 3 Oktober 2019 menyatakan bahwa Kebijakan Perubahan Segmentasi diatas bertentangan dengan Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukkan Peraturan Perundang-undangan.

Meskipun pada tanggal 18 Mei 2020 Peraturan Menteri tersebut telah dicabut, namun pada faktanya telah mengurangi Pendapatan Negara dari Sektor Konstruksi. Perubahan segmentasi yang tidak memperhatikan ketentuan pada Peraturan Pemerintah no. 51 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi. Perubahan segmentasi yang saya terangkan diawal tidak sejalan dengan ketentuan besarnya pembayaran pajak penghasilan final (PPh) jasa konstruksi dari perusahaan Pemenang Tender karena Rumusan Besaran pungutan PPh tersebut mengikat kepada kulifikasi SBU, bukan kepada Nilai Paket Pekerjaan. 

Adapun ilustrasi kerugian tersebut dapat saya uraikan sebagai berikut dibawah ini.
Pada paket pekerjaan dengan Nilai Kontrak diatas 2,5 Milyar sampai dengan 10 Milyar berdasarkan Undang-Undang no. 20 tahun 2008, Peraturan Pemerintah no. 51 tahun 2008 dan PermenPUPR no. 31/2015 maka seharusnya Negara memperoleh pemasukan dari PPh final konstruksi sebesar :

(3% x 2,5 M) s/d (3% x 10 M)

75 jt s/d 300 jt

Namun karena PermenPUPR no. 31/2015 diganti menjadi PermenPUPR no. 07/2019 yang mengubah segmentasi paket nilai paket pekerjaan terhadap kualifikasi SBU maka pembayaran PPh final berubah menjadi sebesar :

(2% x 2,5 M) s/d (2%x10 M)

50 jt s/d 200 jt

Dari selisih skema peneriman sebelum dan sesudah perubahan peraturan tersebut diatas terdapat Kekurangan Pendapatan Negara sebesar diatas 25 juta sampai dengan 100 juta per setiap paket kecil yg nilai kontraknya antara diatas 2,5 Milyar sampai dengan 10 Milyar. 

Sebagaimana ilustrasi pada perubahan segmentasi pakaet SBU kelas Kecil, ilustrasi yang sama juga terjadi pada perubahan Segmentasi paket SBU Kualifikasi Menengah. Dengan menggunakan Metode Pendekatan ke Harga Pagu Paket dan mengambil Data  dari Rencana Umum Pengadaan Nasional tahun Anggaran 2019 pada website resmi Lembaga Kebijakan Pengadaan Pemerintah ( https://sirup.lkpp.go.id/sirup/ro ), saya taksir telah terjadi Kekurangan Pendapatan Negara sebesar Rp. 621,32 Milyar atas PPh Final Jasa Konstruksi.

        Demikian artikel ini saya sajikan, apakah kekurangan yang saya maksud bisa dipandang sebagai Kerugian Negara tentunya diserahkan ke Lembaga yang berwenang untuk hal tersebut. Pertanyaan terpentingnya apakah kekurangan bayar tersebut masih bisa diminta kembali kepada Badan Usaha yang tidak sengaja diuntungkan pada kesalahan peraturan perundang-undangan ini ? kita berharap pemerintah berlaku adil dan merata karena tahun-tahun sebelumnya Badan Usaha lain diperlakukan sesuai peraturan perundang-undangan yang benar dan tarif yang sesuai pula.  

       Artikel ini tentunya adalah sebuah hasil pemikiran pribadi  yang didasarkan penafsiran peraturan perundang-undangan yang ada tanpa bermaksud bertindak melawan hukum ataupun mendiskreditkan pihak-pihak tertentu. Tentunya dengan catatan akan terjadi jika Kementrian Keuangan tidak melanggar Peraturan Pemerintah no. 51 tahun 2008.



Salam Kebijakan Publik PBJ



Perhatian : 
Seluruh atau sebagian dari konten ini sangat memungkinkan menjadi bagian dari Makalah, Tesis atau Disertasi saya terkait Kebijakan Publik, mohon mengkomunikasikan kepada saya apabila hendak dipakai di forum resmi demi menghindari Praktek Plagiatisme. Terimakasih.

Sumber Gambar dan Referensi: http://icconsultant.co.id/pph-pasal-4-ayat-2-pajak-atas-usaha-jasa-konstruksi/ 

 

 

 

POSTINGAN TERBARU

KONFERENSI PERS DUGAAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KETENAGA KERJAAN DAN TRANSMIGRASI

Jakarta, 25 Januari 2024. KPK menetapkan 3 orang sebagai tersangka korupsi pengadaan sistem proteksi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) pada Kemen...

POSTINGAN POPULER