Layanan Jasa Konsultasi.

Kami dapat memberikan JASA Nasehat Kebijakan terhadap Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan; Pengadaan Barang/Jasa Konstruksi (Perencanaan - Persiapan - Pelaksanaan - Kontrak); dan Pemenangan Tender. Kami juga membantu membuat Kebijakan Perusahaan (Peraturan Direksi dan Dokumen Tender). Hubungi bonatua.766hi@gmail.com

Translate

09 April 2022

Sistem Pengadaan Publik di Jerman


        Akhirnya selesai juga kegiatan hari ini, Article Reading dari Journal Solbach, T., (2018) – Public procurement in Germany, pp. 3-16, senang rasanya belajar bagaimana Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dari Negara yang kesejahteraan rakyatnya tinggi sekelas Pemerintah Jerman, setidaknya negara ini dululah menyusul negara lain agar bisa dijadikan pembanding.

Kantor Federal untuk Teknologi dan Pertahanan (BWB - Bundesamt für Wehrtechnik und Beschaffung) adalah pembeli federal terbesar (BWB, 2006). BWB memperoleh semua peralatan dan perlengkapan yang diperlukan untuk Tentara Federal Jerman, seperti: sistem senjata yang kompleks, kendaraan lapis baja, pesawat terbang, kapal, peralatan dan seragam tentara. Otoritas pembelian federal terbesar kedua adalah Badan Pengadaan Kementerian Dalam Negeri Federal (BeschA - Beschaffungsamt des Bundesministeriums des Inneren). Ini membeli produk / layanan untuk sebanyak 26 organisasi federal (polisi federal, kantor federal dan federasi). Di antara produk/ jasa yang dibeli adalah: peralatan kantor, konsultasi, penelitian dan pengembangan untuk kendaraan, kapal, helikopter polisi, obat-obatan untuk kegiatan kemanusiaan (Badan Pengadaan Kementerian Dalam Negeri Federal, 2005).

Menurut Solbach, T. (2018), fitur utama pengadaan sistem di Jerman pada tahun 2018 adalah:

  • jumlah otoritas kontrak: sekitar 30.000;
  • jumlah prosedur tahunan yang dilakukan: sekitar 2,4 juta;
  • perkiraan nilai pengadaan tahunan: antara 280 dan 360 miliar Euro (perbandingan di akhir tahun 1 Euro = IDR 16.650);
  • persentase tahunan dari nilai pengadaan dalam PDB: kira-kira. 10-15% (Solbach, T. 2018). 

Sistem pengadaan adalah terdesentralisasi pada tiga tingkatan: 

  1. Federal, bobot jumlah otoritas kontrak kira-kira 12%
  2. Regional, bobot jumlah otoritas kontrak kira-kira 30% dan 
  3. Lokal/kota, bobot jumlah otoritas kontrak kira-kira  58%. 

Menariknya, prosedur pengadaan di bawah ambang batas nilai Uni Eropa (UE) mewakili sekitar 90% dari total jumlah prosedur dan 75% dari total nilai pengadaan sedangkan prosedur di bawah ambang batas UE mewakili sekitar 10% dari total jumlah prosedur dan 25% dari total pengadaan (Tabel 1). 

Mengingat bahwa 90% dari total jumlah prosedur (yaitu bobot 75% dari total nilai) adalah prosedur di bawah ambang batas UE, Jerman memiliki sistem pengadaan yang cepat, fleksibel, efisien, dan rendah birokrasi. 

Menurut BMWi (2018), per 1 Januari 2018, nilai ambang batas UE (tanpa PPN) untuk prosedur pengadaan di Jerman adalah sebagai berikut:

  • 5,548,000 Euro untuk pekerjaan;
  • 443.000 Euro untuk pengadaan sektoral atau pertahanan;
  • 144,000 Euro untuk produk dan layanan yang dibeli oleh pusat atau federal pihak berwajib;
  • 221.000 Euro untuk kontrak produk dan layanan lainnya (BMWi, 2018).

Menurut Solbach, T. (2018), prinsip-prinsip pengadaan publik di Jerman adalah:

  1. Transparansi, 
  2. Persaingan (lebih dari satu tender), 
  3. Non diskriminasi, 
  4. Perlakuan yang sama (untuk tender Eropa dan internasional), 
  5. Kepentingan untuk usaha kecil dan menengah (pembagian objek prosedur dalam batch menjadi wajib, menerapkan prinsip proporsionalitas),
  6. Keberlanjutan dan 
  7. e-Procurement. 

Analisis komparatif prinsip pengadaan di Jerman mengungkapkan bahwa empat dari Prinsip Jerman membuat pengadaan publik lebih efektif, yaitu:

  1. Menyukai usaha kecil dan menengah yang merupakan mesin dari setiap ekonomi nasional;
  2. memastikan daya tahan hasil pengadaan (sustainability), melalui pembelian produk yang berkualitas;
  3. mempromosikan persaingan yang mengarah ke harga yang lebih rendah dan lebih tinggi efisiensi pengadaan;
  4. mendorong e-procurement yang lebih cepat, lebih transparan dan lebih banyak lagi efisien.

Kriteria penghargaan pengadaan publik Jerman adalah “tender yang paling menguntungkan secara ekonomi” (MEAT- most economically advantageous tender) yang harus diidentifikasi oleh pembeli setidaknya berdasarkan harga terendah atau biaya terendah (termasuk biaya siklus hidup terendah). Faktor penilaian lainnya dapat berupa kualitas, aspek sosial, aspek lingkungan, inovasi, dll. Keberlanjutan dalam pengadaan publik di Jerman terutama dapat merujuk pada masalah lingkungan dan sosial. Keberlanjutan dapat diubah menjadi prosedur pengadaan dengan mensyaratkan spesifikasi teknis khusus, kriteria penghargaan, dan klausul kontrak khusus. Perlu dicatat bahwa keberlanjutan diperlakukan hanya sebagai prinsip, dan tidak ada kewajiban umum pada otoritas kontraktor untuk memasukkan masalah yang terkait dengannya (Solbach, T., 2018).

Award criteria: 

"the most economically advantageous tender, which may be the lowest price or the lowest cost"

Assessment factors:  
"quality, sustainability, social aspects, environmental aspects, innovation, functional features, aesthetic features, operating costs, delivery chart (time), the cost-effectiveness ratio"

Pengadaan terpusat dilakukan di tingkat federal oleh Kantor Pengadaan Federal Kementerian Dalam Negeri (BeschA - Beschaffungsamt des Bundesministeriums des Inneren) dan oleh Kantor Federal Bundeswehr Equipment, Information, Technology and In- Service Support (BAAINB).

Perhatian khusus diberikan pada profesionalisasi pembeli, mengambil langkah- langkah untuk meningkatkan pelatihan mereka, beberapa universitas memiliki program master yang didedikasikan untuk Universitas Munich, Akademi Federal Administrasi Publik dan beberapa akademi di tingkat regional (Solbach, T., 2018).

Mengingat Jerman mematuhi Arahan UE, dalam hal prosedur memulai, mengevaluasi tender, memberikan tender dan mengajukan keluhan dijabarkan sebagai berikut:

  1. Inisiasi prosedur di atas ambang batas UE dipublikasikan di Jurnal Resmi UE (OJEU)
  2. Aturan pemberian kontrak adalah prosedur terbuka (open bid) atau prosedur terbatas dimana jumlah peserta tender minimal lima (penawaran terbatas)
  3. Kontrak kerangka kerja dapat diselesaikan dengan satu atau lebih penawar, dalam kasus kedua kompetisi akan dilanjutkan sebelum pemberian kontrak berikutnya
  4. Otoritas kontraktor berkewajiban untuk membagi objek prosedur ke dalam batch dan dapat membatasi jumlah batch yang disebabkan oleh kontraktor yang sama.
  5. Otoritas kontraktor memiliki hak untuk memilih apakah akan menerima tender alternatif atau tidak
  6. Kriteria penghargaan dan faktor penilaian harus disebutkan dalam dokumentasi pemberian dan tidak dapat diubah selama prosedur atau setelahnya
  7. Otoritas kontraktor melalui anggota panitia evaluasi tender harus independen, netral dan tidak memihak
  8. Konflik kepentingan berlaku dan memiliki kasus pengecualian yang sama dari prosedur penghargaan anggota komite evaluasi atau peserta tender
  9. Dua peserta tender yang memiliki hubungan antara mereka yang tergabung dalam perusahaan induk yang sama atau milik satu sama lain tidak dapat mengajukan dua tender yang terpisah atau tender yang terpisah dan tender dalam asosiasi karena dianggap sebagai perilaku non-kompetitif
  10. Penawar yang tendernya dinyatakan tidak berhasil harus diberitahukan oleh pihak yang berwenang tentang nama pemenang tender, alasan pemilihannya (kelebihan tender yang menang dibandingkan tender yang gagal). Kontrak tidak dapat diselesaikan sampai masa tunggu 10 hari kalender telah berlalu sejak tanggal diterimanya pemberitahuan yang disebutkan di atas.
  11. Untuk tender yang memiliki harga yang luar biasa rendah, otoritas kontraktor harus meminta klarifikasi dari tenderer, tetapi di Jerman tender tersebut dianggap tender yang memiliki harga 10-20% lebih rendah dari tender kedua.
  12. Pengaduan diajukan dalam sistem dua tingkat: di tingkat pertama ada lembaga dengan kekuasaan administratif-yurisdiksi seperti Kamar Peninjau Federal untuk prosedur pengadaan (FRC) di Jerman, dan pengadilan banding berada di tingkat kedua. Di Jerman, banding yang diajukan ke FRC akan diselesaikan dalam jangka waktu 2 hingga 4 bulan dan di pengadilan banding dalam jangka waktu 2 sampai 6 bulan
  13. Prosedur baru tidak perlu dimulai jika pemenang tender diambil alih atau bergabung dengan perusahaan lain, jika sifat kontrak tidak berubah, jika produk tambahan yang dianggap dibeli membuat nilai kontrak menjadi berada di atas ambang batas UE
  14. Produk / layanan / karya tambahan dapat dibeli dengan membuat adendum hingga 10% untuk produk / layanan dari nilai awal kontrak dan tidak lebih dari 15% untuk pekerjaan.


Kesimpulan:

Kebijakan sistem PBJ disana sangat jauh berbeda dari yang kita anut, namun Hasil tidak pernah menghianati Proses, berikut bukti nyata yang saya liput  langsung dikota Berlin tahun 2019.

Spreebogenpark-Bundestag (Taman Spreebogen-Parlemen Federal) : Fasilitas umum ini Air Sungainya tak berbau, tak ada sampah baik di dalam air maupun di darat, nyaman dilengkapi toilet, kastin, jalan dan bangunan sipilnya sangat terawat dan terpelihara (Berlin, 5 Juli 2019). 

Omnibusbahnhof (stasiun Bus) Berlin : Terminal (versi kita) tidak ada calo, bangunan sipilnya rapih dan terawat, memesan cukup via hp dan tunjukin tiket online, lengkap dengan fasilitas penyandang disabilitas dan ibu menyusui (Berlin, 7 Juli 2019).

Reference:

Ionel PREDA, "Comparative Analysis of the Characteristics of Public Procurement Systems in Germany, France and Romania"

05 April 2022

SURAT TERBUKA Kemudahan, perlindungan dan pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil

 



SURAT TERBUKA 

Kemudahan, perlindungan dan pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil


Kepada Yth.

Presiden Republik Indonesia : Bapak Joko Widodo
Assalamualaikum, Salam Sejahtera, Shalom, Om Swastyastu, Namo Buddhaya, dan Salam Kebajikan

Pertama sekali kami mengucapkan selamat menjalankan Ibadah Puasa bagi Bapak Presiden dan Keluarga serta bagi seluruh rakyat Indonesia yang menjalankannya.

Kami sangat berterimakasih atas telah dikeluarkannya Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU 11/20) yang digagas oleh Pemerintah. Begitu banyak Kebijakan yang berorientasi dalam penciptaan Lapangan kerja khususnya terkait Kebijakan Kemudahan, perlindungan dan pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil. Ini adalah gagasan yang sangat luar biasa apalagi ditengah situasi ekonomi terdampak pandemi Covid-19 yang sampai surat ini dibuat belum ada kepastian kapan pandemi akan berakhir.

Sampai saat ini begitu banyak aturan pelaksanaan dari UU 11/20 yang telah dikeluarkan dan yang terbaru adalah dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden nomor 2 tahun 2022 tentang Percepatan Peningkatan Penggunaan Produk dalam Negeri dan Produk UMK dan KOPERASI dalam rangka menyukseskan Gerakan Nasional Bangga buatan Indonesia pada pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Inpres 02/22) pada tanggal 30 Maret 2022. Tanpa bermaksud menggurui melainkan mencoba mengingatkan bahwa sebaik apapun suatu kebijakan, itu barulah langkah awal yang implementasinya harus dibuktikan apakah mampu dilaksanakan para stake holder apalagi jika terdapat kepentingan yang berbeda dari Visi Misi Presiden.

Mengutip tulisan William N. Dunn pada bukunya berjudul Public Policy Analysis: An Integrated Approach (2017) menyebutkan "The consequences of policies are never fully known in advance. For this reason, the policy- analytic procedure of monitoring is essential to policy analysis. Indeed, much of the work of policy analysis is carried out after policies have been prescribed and adopted". Maka kami sebagai bagian dari UMK yang tersebar di banyak Provinsi di Indonesia yang merupakan pemanfaat langsung kebijakan ini merasa terpanggil untuk turut mensukseskan Instruksi Presiden diatas, oleh karena itu bersamaan dengan surat ini kami berusaha memberikan masukan kepada Pemerintah dalam bentuk kajian kondisi UMK pada Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PBJ) (lampiran 1). Adapun analisanya didasarkan pada Monitoring apa yang dialami dan terjadi pada UMK khususnya yang menggantungkan nasib pada Belanja Barang/Jasa Pemerintah. Dengan begitu tujuan dari Surat terbuka kami ini adalah agar Instruksi Presiden dijalankan dengan mempertimbangkan masukan langsung dari kami para Pelaku PBJ sehingga besar harapan program Kemudahan, Perlindungan dan Pemberdayaan UMK berhasil mensejahterakan masyarakat khususnya UMK.

Demikianlah surat ini kami sampaikan, disamping itu kami juga berharap untuk diikut sertakan minimal dalam bentuk pengawasan secara aktif Implementasi Inpres 02/22 di seluruh Indonesia dan kami juga bersedia melakukan diskusi terbuka apabila ada yang harus diselaraskan antara Pemerintah dan UMK Penyedia PBJ. Atas perhatiannya kami mengucapkan terimakasih dan mohon maaf apabila terjadi suatu kesalahan.


Hormat Kami,

TTD (Lampiran 2)

UMK Penyedia PBJ Nasional


Tembusan

  1. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi

  2. Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah

  3. Menteri Keuangan

  4. Menteri Dalam Negeri

  5. Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

  1. Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia

  2. Asosiasi Pemerintahan Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI).

  3. Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI)


Notes:

Untuk mempermudah surat menyurat/komunikasi, untuk sementara bisa menghubungi sdr. Bonatua Silalahi, Unit 12 lantai 16 Tower A, The Light, Signature Park Grande Apartment, Jl. M.T. Haryono Kav. 20 Cawang Jakarta Timur, HP/WA: 08 211 211 8611/087883523473; email: Bonatua.766hi@gmail.com.






Lampiran 1.

Kajian kondisi UMK pada PBJ

Kajian ini terkait Implementasi kebijakan Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan UMK dalam PBJ dalam rangka kontrol sosial, menguatkan dan memberi masukan terhadap Instruksi Presiden nomor 2 tahun 2022 tentang Percepatan Peningkatan Penggunaan Produk dalam Negeri dan Produk UMK dan KOPERASI dalam rangka menyukseskan Gerakan Nasional Bangga buatan Indonesia pada pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Inpres 02/21).

Berikut adalah hasil kajian dari kami disertai dengan data dan asumsi terhadap keterbatasan data yang disajikan langsung pertiap instruksi beserta pembahasannya:

1) Pada Instruksi Pertama nomor 1 disebutkan: Menetapkan dan/atau mengubah kebijakan dan/atau peraturan perundang-undangan untuk mempercepat peningkatan penggunaan produk dalam negeri dan pemberdayaan UMK dan Koperasi.

Pembahasan:

Menurut catatan kami, dalam kurun tahun 2019 sampai 2022 pada Rencana Umum Pengadaan terdapat (rata-rata) 1,39 juta Paket/tahun dengan nilai nominal (rata-rata) Rp. 322 Triliun (T) per tahun dikerjakan secara Swakelola (Monev LKPP, Update). Mayoritas paket tersebut bisa dan sangat diminati para Penyedia UMK yang terdaftar di LPSE. Menurut pandangan kami, adanya Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 3 Tahun 2021 Tentang Pedoman Swakelola (PLKPP 03/21) yang tidak melarang Paket yang bisa diadakan dan sangat diminati para Penyedia UMK dikerjakan secara swakelola oleh Pengguna Anggaran. Kami mohon kebijakan ini agar memberdayakan UMK semaksimal mungkin, sangat tidak tepat terlebih lagi pada situasi Pemulihan Ekonomi saat ini Pengguna Anggaran ngotot memberdayakan Aparat Sipil Negara (ASN) mengerjakan PBJ-P, perlu pemerataan Ekonomi mengingat mereka sudah memperoleh penghasilan tetap. Pemberdayaan maksimal para UMK bisa mempekerjakan dan menekan jumlah pengangguran yang telah mencapai 9,1 juta orang (BPS, Agustus 2021)

2)  Pada Instruksi Pertama nomor 3 disebutkan: Merencanakan, mengalokasikan, dan merealisasikan paling sedikit 40% (empat puluh persen) nilai anggaran belanja barang/jasa untuk menggunakan produk Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Koperasi dari hasil produksi dalam negeri.

Pembahasan:
Pada tahun 2021, dari Rp. 1.141,8 T Pagu Belanja barang/jasa Nasional (Data SiRUP), hanya Rp. 349,6 T (30,6%) yang diperuntukkan bagi UMK dan Usaha Menengah (LKPP, Flip 2021). Oleh karena keterbatasan Data yang tidak memisahkan berapa jumlah UMK dan berapa jumlah Usaha menengah maka kami menduga untuk UMK peruntukannya direncanakan jauh dibawah 30,6 %.

3)  Pada Instruksi Pertama nomor 10 disebutkan: Menghapuskan persyaratan yang menghambat penggunaan produk dalam negeri dan produk UMK, dan Koperasi dalam Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah.
Pembahasan:

Pada faktanya, UMK dalam mengikuti tender khususnya untuk pekerjaan konstruksi selalu dihadapkan pada persyaratan diluar Sertifikasi Standar. Adapun Alasan penambahan tersebut adalah dalam rangka penjaminan Kualitas Output. Sebagai Informasi, UMK dalam mendapatkan Sertifikat Standar (SBU) saja sudah menjalani banyak tahapan di 7 Organisasi yaitu Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemenPUPR), Online Single Submission (OSS), Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK), Lisensi Lembaga Sertifikasi Badan Usaha (LSBU), Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP), Asosiasi Profesi Pekerja Konstruksi dan Asosiasi Perusahaan Konstruksi. Secara formal mestinya syarat- syarat tambahan tersebut tidak diperlukan lagi karena menurut Peraturan Pemerintah nomor 05 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (PP 05/21)dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat nomor 06 tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Produk pada Penyelenggaraan Perizinan berusaha berbasis Risiko sektor Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PMPUPR 06/21) mestinya sudah cukup menjamin Kualifikasi UMK dalam bekerja.

Uniknya Penambahan syarat-syarat ini berbanding terbalik apabila dikerjakan secara swakelola, contohnya dalam pekerjaan Penambahan Ruang Kelas Baru dimana apabila dilakukan melalui penyedia maka persyaratan SBU, Peralatan, Tenaga Terampil, Dukungan Supplier/Vendor Alat dan Material, Saldo Bank dan Jaminan Penawaran, jika menang harus memberikan Jaminan Pelaksanaan/Uang Muka/Pembayaran dan dibebani tanggungjawab Struktur sampai 10 tahun dan pastinya para Penyedia harus fight banting-bantingan Harga. Coba kita lihat dan bandingkan persyaratan jika dikerjakan secara Swakelola, praktis tidak ada, negosiasi hargapun dirasa tidak transparan dan seakan-akan tidak tunduk pada Undang-undang Jasa Konstruksi. Tidak ada jaminan bahwa Output yang dipekerjakan ASN/Organisasi Masyarakat (Ormas)/Kelompok Masyarakat (Pokmas) akan lebih baik ketimbang dikerjakan Penyedia yang telah diregisterasi/verifikasi/validasi/sertifikasi oleh 7 organisasi Pemerintah, swasta dan Ormas.

4)  Pada Instruksi Kedua, Khusus kepada (5) Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi untuk: (a). meningkatkan penggunaan produk dalam negeri dan/atau produk Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Koperasi termasuk belanja yang dialokasikan melalui transfer daerah.

Pembahasan:
Dana Alokasi Khusus (DAK) pekerjaan konstruksi pada sekolah faktanya banyak yang tidak menggunakan produk UMK. Adanya pilihan DAK bisa diadakan secara Swakelola menjadi favorit choice meskipun tidak memiliki persyaratan kualifikasi dalam mengerjakan kegiatan beresiko Menengah Tinggi (kajiannya bisa dibaca pada artikel Pekerjaan Konstruksi tidak boleh dilakukansecara Swakelola). Para ASN/Ormas/Pokmas sama sekali tidak perlu melewati 7 organisasi yang membina Penyedia dalam menjamin Pelaksanaan Pekerjaan Konstruksi.

5)  Pada Instruksi Kedua, Khusus kepada (11) Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah untuk: memfasilitasi kemudahan penerbitan perizinan berusaha bagi Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Koperasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pembahasan:

Prosedur pengurusan SBU untuk UMK saat ini melibatkan 1 Kementrian teknis (KemenPUPR), 2 Lembaga Negara (LPJK & OSS), 2 Badan Usaha Swasta (LSBU & LSP) dan 2 Ormas (Asosiasi Kontraktor & Asosiasi Profesi), ini justru berbeda dan jauh dari kemudahan mengingat dahulu sebelum ada UU 11/20 hanya melibatkan 3 Ormas saja yaitu LPJKN/D, Asosiasi Kontraktor & Asosiasi Profesi. Kami menghimbau agar Kemudahan perizinan SBU difasilitasi dan diberikan keringan pembiayaan, tidak adil UMK harus menghidupi Lembaga Negara melalui skema Penghasilan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan Pajak lainnya, menghidupi swasta melalui skema lisensi dan menghidupi Ormas melalui skema Kartu Tanda Anggota (KTA).

Dalam hal pengurusan Sertifikat Standar (SBU) kami juga menemukan adanya persyaratan OSS yang mewajibkan UMK memiliki Sertifikat ISO Manajemen Mutu dan Anti Penyuapan, meskipun saat ini diberi keringanan karena bagi yang belum memiliki sertifikat tersebut dapat menggantikannya dengan surat pernyataan yang sudah harus dipenuhi pada saat berkontrak maupun setahun kemudian. Persyaratan ini jelas melanggar PP 05/21 dimana disebutkan bahwa perizinan sub sektor jasa konstruksi yang tergolong kategori Risiko Menengah Tinggi hanya berupa Nomor Induk Berusaha dan Sertifikat Standar. Menurut PM 06/21 bahwa yang dimaksud dengan sertifikat standar adalah SBU. Disisi lain, jumlah karyawan UMK yang tidak lebih dari 10 (sepuluh) menandakan managemen dalam UMK tergolong sederhana dan bisa dijadikan pertimbangan kemudahan berusaha.

6) Pada Instruksi Kedua, Khusus kepada (17) Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah untuk: (c). melakukan penyempurnaan peraturan perundang-undangan dan sistem Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dalam rangka percepatan peningkatan penggunaan produk dalam negeri dan produk Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Koperasi untuk menyukseskan Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia pada pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

Pembahasan:

Terkait PLKPP 03/21, diharapkan Swakelola diperketat hanya untuk pekerjaan yang tidak bisa diadakan/diminati Penyedia saja. Sebagai data pendukung, untuk tahun ini saja (2022) kami melihat terdapat total 3,19 juta paket yang direncanakan diadakan secara swakelola dan melalui penyedia, apabila 3 juta paket saja diserahkan ke UMK sebanyak 373.778 (Profile Pengadaan 2019) maka masing-masing Penyedia bisa mendapat 8 Paket (asumsi seluruh penyedia yang terdaftar di LPSE adalah UMK meskipun pada kenyataannya ini adalah total Penyedia dan hanya 134.564 yang menang dari 195.264 penyedia yang aktif lelang), kalo sudah begini kami rasa tidak perlu dilakukan Tender toh masing- masing Penyedia UMK dapat paket melebih Sisa Kemampuan Paket-nya, sesekali Pemerintah berbagi Proyek ke UMK ditengah Pandemi mengingat Swakelola bisa juga dilakukan tanpa harus tender, cukup Negosiasi Harga saja. Kami menyarankan pemilihan penyedianya dengan melibatkan organisasi pembinaan (K/L/PD) yang serta diawasi secara transparan oleh masyarakat.

7) Pada Instruksi Ketiga menyebutkan: Pendanaan untuk percepatan peningkatan penggunaan produk dalam negeri dan produk Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Koperasi dalam rangka menyukseskan Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia pada pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, dan/atau sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pembahasan:
Ketentuan Pemberian Uang Muka (UM) sudah diatur pada Peraturan pemerintah nomor 7 tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (PP 07/21) namun pada Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PS 16/18') ketentuannya masih belum dirubah karena masih memuat kata "dapat" sehingga bukanlah suatu keharusan. Sebagai catatan, ketentuan UM ini sebenarnya sudah disebutkan pada Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, namun karena adanya kalimat "dapat" membuat K/L/PD beramai-ramai memilih tidak mau memberikannya, lebih uniknya lagi justru kelas Usaha Besar termasuk BUMN yang justru diberikan Uang Muka. Mohon K/L/PD merealisasikan pendanaan APBN/APBD untuk UMK sebagai mana yang diatur oleh PP 07/21. 




catt: 
  1. Baru dapat klarifikasi resmi dari Lembaga Negara bahwa Data yang ada di https://monev.lkpp.go.id/ tidak dapat dipertanggungjawabkan (bisa benar bisa salah), harap publik bijak mempercayai data yang dikeluarkan Lembaga Publik (08/04/22) .
  2. Swakelola sudah dievaluasi di Uni Eropa, salah satunya bisa dibaca pada artikel berikut In-HOUSE PROCUREMENT exception: threat for sustainable procedure of Public procurement?
 

01 April 2022

KAJIAN INPRES 02/2021 : PERCEPATAN PENINGKATAN PENGGUNAAN PRODUK DALAM NEGERI DAN PRODUK UMK DAN KOPERASI DALAM RANGKA MENYUKSESKAN GERAKAN NASIONAL BANGGA BUATAN INDONESIA PADA PELAKSANAAN PBJ-P


    
    Apa yang dimaksud dengan PRODUK pada judul Inpres tersebut belum saya temukan pada Undang-Undang Cipta Kerja maupun aturan turunannya termasuk peraturan ini, namun berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesiaprodukadalah n 1 barang atau jasa yang dibuat dan ditambah gunanya atau nilainya dalam proses produksi dan menjadi hasil akhir dari proses produksi itu; 2 benda atau yang bersifat kebendaan seperti barang, bahan, atau bangunan yang merupakan hasil konstruksi; 3 hasil; hasil kerja. Sampai disini, menurut saya sudah cukup jelas bahwa Produk yang dimaksud bisa berupa Barang maupun Jasa. Sedangkan untuk definisi UMK, teman-teman bisa membacanya di artikel Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan UMK dalam PBJ-P.

Ada hal-hal menarik menurut saya yang perlu diperhatikan masyarakat khususnya UMK agar kedepannya Instruksi Bapak Presiden dapat berjalan sesuai harapan. Saya coba menjabarkan hal-hal tersebut beserta catatan maupun saran sebagaimana saya jabarkan dibawah ini:

1. Pada Instruksi Pertama nomor 1 disebutkan : Menetapkan dan/atau mengubah kebijakan dan/atau peraturan perundang-undangan untuk mempercepat peningkatan penggunaan produk dalam negeri dan pemberdayaan UMK dan Koperasi. 

menurut catatan saya, dalam kurun 4 tahun terakhir (2019-2022) pada Rencana Umum Pengadaan terdapat rata-rata 1,39 juta Paket/tahun dengan nilai pagu rata-rata Rp. 322 T/tahun yang dikerjakan secara Swakelola (Monev LKPP, Update) . Paket ini mayoritas bisa dan sangat diminati para Penyedia UMK yang terdaftar di LPSE. Sudah selayaknya kebijakan yang tidak memberdayakan UMK khususnya Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 3 Tahun 2021 Tentang Pedoman Swakelola (PLKPP 03/21) agar diubah sesuai dengan Instruksi Presiden. Sangat tidak tepat pada situasi Pemulihan Ekonomi saat ini justru Pemerintah ngotot memberdayakan ASN yang sudah memperoleh penghasilan tetap untuk mengerjakan PBJ-P. Pemberdayaan UMK bisa mempekerjakan dan menekan jumlah pengangguran yang telah mencapai 9,1 juta orang (BPS, Agustus 2021

2. Pada Instruksi Pertama nomor 3 disebutkan : Merencanakan, mengalokasikan, dan merealisasikan paling sedikit 40% (empat puluh persen) nilai anggaran belanja barang/jasa untuk menggunakan produk Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Koperasi dari hasil produksi dalam negeri.

Pada tahun 2021, dari 1.141,8 T Pagu Belanja barang/jasa Nasional pada SiRUP, hanya 349,6 T  (30,6%) yang diperuntukkan untuk UMK dan Usaha Menengah (LKPP, Flip 2021). Oleh karena keterbatasan Data, saya menduga untuk UMK tidak sampai 20%.

3. Pada Instruksi Pertama nomor 10 disebutkan : Menghapuskan persyaratan yang menghambat penggunaan produk dalam negeri dan produk UMK, dan Koperasi dalam Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah.
Pada faktanya, UMK dalam mengikuti tender khususnya untuk pekerjaan konstruksi selalu dihadapkan pada persyaratan diluar Sertifikasi Standar dengan alasan untuk memenuhi jaminan Kualitas Output. UMK dalam mendapatkan Sertifikat Standar (SBU) saja sudah sangat susah payah. Secara formal mestinya syarat-syarat tambahan tersebut tidak diperlukan lagi karena menurut Peraturan Pemerintah nomor 05 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat  nomor 06 tahun 2021 tentang  Standar Kegiatan Usaha dan Produk pada Penyelenggaraan Perizinan berusaha berbasis Risiko sektor Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat mestinya sudah cukup menjamin Kualifikasi UMK dalam bekerja.

Penambahan syarat-syarat ini berbanding terbalik apabila yang mengerjakannya bukan Penyedia alias dikerjakan secara swakelola. Sebagai contoh dalam pekerjaan Penambahan Ruang Kelas Baru, apabila dilakukan oleh penyedia maka persyaratan SBU, Peralatan, Tenaga Terampil, Dukungan Supplier/Vendor Alat dan Material, Saldo Bank, Jaminan Penawaran, jika menang harus memberikan Jaminan Pelaksanaan/Uang Muka/Pembayaran dan dibebani tanggungjawab Struktur sampai 10 tahun dan pastinya para Penyedia harus fight banting-bantingan Harga. Coba kita lihat persyaratan jika dikerjakan secara Swakelola, praktis tidak ada, negosiasi tidak transparan dan seakan-akan tidak tunduk pada Undang-undang Jasa Konstruksi. Tidak ada jaminan Output yang dipekerjakan ASN/Ormas/Pokmas akan lebih baik ketimbang dikerjakan Penyedia yang telah tersertifikasi.

4. Pada Instruksi Kedua, Khusus kepada (5) Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi untuk : (a). meningkatkan penggunaan produk dalam negeri dan/atau produk Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Koperasi termasuk belanja yang dialokasikan melalui transfer daerah.

Dana Alokasi Khusus pekerjaan konstruksi pada sekolah faktanya banyak tidak menggunakan produk UMK. Adanya pilihan bisa diadakan secara Swakelola menjadi favorit choice meskipun tidak memiliki persyaratan kualifikasi dalam mengerjakan kegiatan beresiko Menengah Tinggi (kajiannya bisa dibaca pada artikel Pekerjaan Konstruksi tidak boleh dilakukan secara Swakelola).

5. Pada Instruksi Kedua, Khusus kepada (11) Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah untuk: memfasilitasi kemudahan penerbitan perizinan berusaha bagi Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Koperasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 

Sejak awal tahun 2020, UMK terimbas bahkan sampai saat ini, banyak yang tidak mendapatkan pekerjaan. Adanya persyaratan harus memiliki pengalaman pekerjaan kurun 3 tahun terakhir sebagai persyaratan agar bisa mendapatkan perizinan (SBU) tentunya menjadi jauh dari kata kemudahan. Semoga Kementrian Koperasi & UMKM bisa memfasilitasi para UMK.

6. Pada Instruksi Kedua, Khusus kepada (17) Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah untuk: (c). melakukan penyempurnaan peraturan perundang-undangan dan sistem Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dalam rangka percepatan peningkatan penggunaan produk dalam negeri dan produk Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Koperasi untuk menyukseskan Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia pada pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;  

Terkait PLKPP 03/21, diharapkan swakelola diperketat hanya untuk pekerjaan yang tidak bisa diadakan/diminati Penyedia. Untuk tahun 2022 saya melihat terdapat 3,19 juta paket yang direncanakan, apabila 3 juta paket saja diserahkan ke UMK dengan asumsi seluruh penyedia yang terdaftar di LPSE sebanyak 373.778 (Profile Pengadaan 2019) adalah UMK semua maka masing-masing Penyedia bisa mendapat 8 Paket, kalo sudah begini saya rasa tidak perlu dilakukan Tender, sesekali Pemerintah berbagi Proyek ke UMK ditengah Pandemi toh Swakelola bisa dilakukan tanpa harus tender, cukup Negosiasi Harga saja. Saya menyarankan pemilihan penyedianya diserahkan ke Asosiasi ataupun K/L/PD yang melakukan pembinaan dan diawasi secara transparan oleh masyarakat.

Demikianlah kajian ini saya sajikan, meskipun terdapat beberapa asumsi namun pendekatannya dipastikan tidak mengurangi akurasi analisa terhadap kesimpulan. Menjadi suatu pembelajaran bahwa Data seperti ini sangat mahal harganya di NKRI yang baru belajar Transparansi dalam memenuhi Hak Asasi akan Informasi Publik sebagaimana diatur di Undang-undang Informasi Publik.


Salam Kebijakan Publik

 

POSTINGAN TERBARU

KONFERENSI PERS DUGAAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KETENAGA KERJAAN DAN TRANSMIGRASI

Jakarta, 25 Januari 2024. KPK menetapkan 3 orang sebagai tersangka korupsi pengadaan sistem proteksi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) pada Kemen...

POSTINGAN POPULER